LOGIN
“Apakah malam ini akan berhasil, Lusi? Aku takut malam ini akan sama seperti malam-malam yang telah berlalu,” ucap Isabella sembari menatap cermin bergaya klasik di sisi tembok.
Di pantulan cermin itu berdiri sosok cantik dengan rambut cokelat muda yang terurai rapi, dikepang manis di kedua sisi, dihiasi dengan gaya elegan khas bangsawan. “Bukankah Anda sudah meminum ramuan dari Tabib sakti, Yang Mulia? Semoga saja malam ini membuahkan hasil,” sahut Lusi, dayang setia yang tengah memperbaiki gaun tidur tipis milik tuannya. “Ini sudah ramuan yang kesekian kalinya, Lusi. Aku takut gagal lagi…” Lusi memandangi wajah Isabella yang menunduk sedih. Begitu jelas ketakutan dan kegelisahan di mata permaisuri itu. “Yakinlah, Yang Mulia. Setiap usaha pasti akan membuahkan hasil.” Malam itu, Kaisar Julius—penguasa tertinggi Kerajaan Everard—akan menghabiskan malam bersama permaisurinya, Isabella. Wanita yang kecantikannya tersohor hingga ke pelosok negeri. Namun, ini sudah malam ke seratus kali mereka mencoba bersatu sebagai suami istri. Setiap kali, hasilnya selalu sama. Isabella akan membiru, atau kehilangan kesadaran. Penyakit yang mereka sebut sebagai kutukan mengerikan di balik pesona sang permaisuri. Kutukan itu telah menyertainya sejak lahir. Kecuali keluarganya, setiap lawan jenis yang menyentuh kulitnya akan membuat tubuhnya bereaksi abnormal—kulit membiru, tubuh gemetar, keringat bercucuran, bahkan sering kali pingsan saat mencoba berhubungan dengan sang Kaisar. “Kau boleh pergi, Lusi. Aku ingin menenangkan diri sebelum Kaisar datang,” ucap Isabella lirih. Lusi menunduk, lalu membungkuk hormat sebelum meninggalkan tuannya sendirian. Isabella beralih dari meja rias menuju ranjang besar yang telah dihias indah oleh para pelayan. Seprai putih dengan taburan bunga mawar di atasnya, serta lilin aromaterapi yang menyala lembut, menambah kesan romantis malam itu. Isabella menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia hanya berharap malam ini tidak mengecewakan Kaisar lagi. Dua tahun sudah pernikahan mereka berlangsung, namun hingga kini Isabella belum mampu menjadi istri yang sempurna. --- Kaisar Julius datang larut malam. Sebelum masuk ke kamar permaisuri, seorang dayang mengumumkan kedatangannya agar Isabella bersiap menyambut. “Kau datang cukup larut, Suamiku,” ujar Isabella lembut saat berhadapan dengan Julius. Ia membantu suaminya melepas jubah kebesaran yang membalut tubuhnya. “Sekalipun aku datang lebih awal, apakah hasilnya akan berbeda?” sahut sang Kaisar, sarkastis. Isabella meremas jemarinya. Sejak malam-malam penyatuan yang selalu gagal, sikap Kaisar padanya menjadi dingin dan ketus. Namun Isabella tahu, semua itu karena kekurangannya sendiri. “Kali ini tabib mana yang kau datangi?” tanya Julius tanpa ekspresi. “Aku mendatangi tabib terkenal di desa Tholos,” jawab Isabella pelan. Kaisar tersenyum sinis. Mendapati respons seperti itu, rasa percaya diri Isabella semakin merosot. “Kenapa ekspresimu begitu, Suamiku?” “Tabib terbaik di ibu kota saja tak mampu menyembuhkanmu, apalagi tabib desa,” decih Julius. Isabella terdiam. Ucapan itu memang benar, tapi tetap saja menohok hatinya. Dulu, saat Julius melamarnya, dia berjanji akan mencari obat untuk kutukan Isabella. Dia juga berjanji akan sabar dan tetap mencintainya apa pun yang terjadi. Namun, seiring waktu dan kegagalan demi kegagalan, sikap Julius berubah. “Jangan pasang wajah muram! Aku sudah lelah dengan urusan negara, dan sekarang harus menghadapi raut kusutmu,” bentak Julius. Isabella mengerjap, buru-buru memperbaiki mimiknya dan tersenyum tulus. “Ayo kita mulai,” ucap Kaisar datar tanpa senyum. Isabella menarik napas panjang, namun bunyi helaan itu membuat Julius mengernyit kesal. Ia segera menahan diri agar tidak menambah amarah suaminya. Sebenarnya Isabella juga lelah. Ia ingin sembuh, ingin menjadi istri yang sempurna. Tapi di sisi lain, hatinya terluka karena perlakuan Julius. Bagaimanapun, Isabella belum pernah benar-benar bercinta. Bagaimana mungkin ia tahu caranya, jika setiap kali mencoba, ia justru tersiksa? “Kenapa masih diam?” tanya Julius dingin. “Ah… itu…” “Cium aku.” Isabella meneguk ludah. “Iya…” Dengan ragu ia mengikis jarak di antara mereka. Jantungnya berdetak tak karuan, namun ia mencoba meyakinkan diri bahwa kali ini akan berbeda. Cup. Bibir mereka bertemu. Awalnya lembut, tak ada reaksi berarti, hingga Kaisar menggamit tengkuk Isabella dan menekannya lebih dalam. “Berhenti…” bisik Isabella serak, memegang lengan Julius erat. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat, keringat membasahi pelipisnya. Ia hampir terjatuh, tapi Julius tetap memaksa. Perlahan, kulit Isabella yang pucat mulai berubah kebiruan dari ujung kaki hingga seluruh tubuhnya. Barulah Kaisar menghentikan tindakannya. Ia mendorong tubuh Isabella hingga terjatuh di lantai. “Ah…” Isabella menatapnya dengan pandangan terluka. Tubuhnya lemah, keringat mengucur deras, tapi tidak ada sedikit pun rasa iba di wajah Julius. “Lagi-lagi seperti ini. Kau tahu, aku seperti menikahi siluman buruk rupa. Kau sangat jelek dengan warna itu,” ucap Julius sarkastik sebelum mengenakan jubahnya kembali dan melangkah pergi. “Kaisar…” suara Isabella parau, tertahan di tenggorokan. Air matanya menetes. Ucapan Julius selalu kasar, tapi entah kenapa rasanya selalu sakit, seolah baru pertama kali ia dihina. Tak lama setelah Kaisar pergi, Lusi masuk tergesa. Hatinya perih melihat Isabella terduduk di sisi ranjang dengan bahu berguncang. Dari depan pintu, ia bisa melihat jelas kulit tuannya yang kini membiru. “Yang Mulia, Anda tidak apa-apa?” seru Lusi khawatir. Isabella menatapnya sayu. “Apakah aku… begitu mengerikan, Lusi? Suamiku jijik padaku…” isaknya lirih. “Yang Mulia, tolong tenangkan diri. Anda harus beristirahat dan memulihkan tenaga,” ujar Lusi sambil mencoba membantu. Namun Isabella menahan tangannya. “Aku gagal lagi, Lusi…” Dan seketika tubuhnya ambruk, tak sadarkan diri.Makan siang berlangsung cepat, namun terasa panjang dan menyesakkan. Suasananya memanas, dipenuhi aura kemarahan Kaisar yang begitu kuat hingga udara di sekitar meja makan seperti menekan. Terlebih untuk Isabella, setiap suapan terasa sulit turun ke tenggorokan. Dadanya sesak.Julius paling tidak suka dibantah, tapi karena tadi sempat ditegur Ibu Suri, ia memilih menahan diri. Namun Isabella sangat tahu—diamnya kaisar bukanlah tanda mereda, melainkan badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak."Ethan… kamu cari mati…" batin Isabella menegang. Hatinya menjerit khawatir, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada tabib itu.“Aku selesai. Kalian bisa lanjutkan makanan kalian.”Kaisar bangkit sambil mengelap bibirnya, gerakannya dingin dan angkuh.Semua yang ada di meja mengangguk, menjaga sopan santun.“Dan kamu—selesaikan pekerjaanmu lalu cepat kembali. Jangan menganggap istana seperti rumahmu.” Tatapan Julius menancap lurus pada Ethan.“Yang Mulia tidak perlu khawatir,” Ethan m
"Ethan…""Kenapa bukan Kaisar yang seperti itu?" lirih Isabella."Ya? Anda mengatakan apa, Permaisuri?" Ethan tidak terlalu mendengar karena kekhawatirannya, terlebih suara Isabella sangat begitu pelan.Isabella tersenyum miris menatap Ethan. Ia tidak menjawab apa pun dan hanya menggeleng lemah."Sepertinya Anda butuh istirahat, Permaisuri. Tenaga Anda terkuras," ucap Ethan lembut."Tadi kau sempat bicara tidak formal padaku… bicaralah seperti tadi. Aku lebih suka begitu," sahut Isabella pelan.Ethan tidak langsung menjawab, hanya menatap Isabella dalam-dalam. Entah kenapa, seolah ia bisa menyelami setiap perasaan wanita itu hanya dari raut wajahnya. Ada kesedihan besar—tersembunyi, tetapi jelas terasa."Ethan…"Ethan mengerjap, tersadar dari lamunan."Anda istirahat dulu. Biar saya memikirkan apa sebenarnya yang terjadi pada Anda. Kesimpulannya… Anda akan membiru jika disentuh oleh lawan jenis selain saya ."Isabella menghela napas tipis."Kau sudah mau pergi?"Belum sempat Ethan men
Pagi itu, usai pertemuan dengan para selir, Isabella memilih berdiam di kamarnya. Hari ini, Tabib Ethan akan datang kembali, sesuai janji mereka kemarin.Di meja telah tersusun hidangan ringan, lengkap dengan teh peony kesukaannya.Sambil menanti, Isabella menyibukkan diri dengan menyulam. Jarum dan benang menari di antara jemarinya yang lentik, menenangkan pikirannya yang masih gelisah. “Sepertinya Anda sedang sibuk, Permaisuri?”Suara itu terdengar lembut namun tiba-tiba, membuat Isabella menoleh. Di sana, berdiri Ethan dengan pakaian rapi — kemeja putih bersih berbalut rompi hitam yang menegaskan bahunya yang tegap.“Kau sudah datang?” ucap Isabella, mencoba menutupi senyum kagumnya.Namun Ethan justru menatapnya tajam. “Wajah Anda tampak sembab, Permaisuri.”Isabella sontak tertegun. Padahal ia sudah menutup bekas tangisan semalam dengan riasan cukup tebal, tapi tampaknya mata Ethan terlalu jeli untuk tertipu.“Malamku berakhir berantakan lagi,” lirih Isabella, meletakkan sulaman
Malam itu, Isabella mengenakan pakaian baru—gaun tidur tipis berwarna merah, yang sebelumnya dibelikan oleh Lusi atas perintahnya sendiri. Rambutnya yang bergelombang ia biarkan terurai, memantulkan cahaya lentera yang temaram. Sejak tadi, senyum bahagia tak henti menghiasi wajahnya. Ethan benar-benar tabib yang sakti; hanya dengan satu kali perawatan, ia sudah merasa sembuh. Namun, demi memastikan keadaannya benar-benar pulih, Ethan berjanji akan datang lagi besok. “Kaisar Julius telah tiba,” suara pengawal dari balik pintu membuyarkan lamunan Isabella di depan cermin. “Suamiku?” sambutnya dengan wajah berbinar. Kaisar masuk dengan ekspresi datar. Tanpa ragu, Isabella segera bangkit dan membuka jubah luarnya. “Kau terlihat begitu senang,” ujar Julius singkat. “Karena malam ini aku akan menjadi istri yang sempurna untukmu,” jawab Isabella riang, tak peduli pada sikap dingin suaminya. Ia yakin, setelah malam ini, hati Julius akan luluh dan berubah. “Kalau begitu, biarkan aku y
Mereka bertiga akhirnya tiba di kamar Permaisuri. Ibu Suri memilih meninggalkan ruangan terlebih dahulu, memberikan ruang bagi Isabella dan sang tabib untuk berbicara berdua.“Perkenalkan dirimu,” ucap Isabella agak canggung. Ini pertama kalinya ia berada dalam satu ruangan dengan pria lain selain suaminya.“Nama saya Ethan,” jawab tabib itu singkat.Isabella mengernyit. Perkenalan yang terlalu singkat, pikirnya.“Sebelumnya, bisakah kau mendongak? Aku kesulitan melihat wajahmu yang terus menunduk sejak tadi,” ujarnya akhirnya.Ethan pun mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Seketika, udara di sekitar mereka berubah—seolah waktu berhenti. Isabella terpaku pada sepasang mata tenang itu.“Tampan…” bisik hatinya.Ia selalu mengira Kaisar adalah lelaki tertampan di kekaisaran ini, tapi ternyata ada seseorang dengan wajah yang jauh lebih lembut… dan menenangkan.“Permaisuri?” panggil Ethan, membuyarkan lamunannya.“Ah, maaf… aku hanya sedikit terkejut,” ucap Isabella tergagap. Ethan
Isabella datang ke kediaman Ibu Suri bersama Lusi. Di taman, tampak Ibu Suri sedang menikmati teh sore. Namun ternyata beliau tidak sendirian — di seberang mejanya duduk sang Kaisar, entah sejak kapan berada di sana."Salam hormat kepada Ibu Suri, salam hormat kepada Kaisar. Semoga kesejahteraan senantiasa menyertai kalian," ucap Isabella sopan sambil menunduk."Duduklah, Permaisuri," perintah Ibu Suri dengan senyum lembut.Isabella duduk di kursi yang tersisa. Meja bulat di tengah taman itu hanya memiliki tiga kursi, melambangkan kedekatan yang tidak bisa dihindari.“Tampilanmu berubah begitu cepat,” komentar Kaisar sambil menilik penampilan Isabella dari atas ke bawah.“Maafkan aku, Suamiku,” ucap Isabella lirih, mengingat kejadian semalam.“Jangan panggil aku Suamiku di luar,” tekan Kaisar dingin.Isabella menunduk, hanya mengangguk pelan.“Sudahlah, jangan terlalu kaku pada Isabella,” sela Ibu Suri menengahi. “Dia tetap istrimu, tidak salah kalau memanggil suaminya sendiri.”“Istr







