Home / Young Adult / Di Balik Tirai / Bab 1 Awal Baru

Share

Bab 1 Awal Baru

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-06-01 19:22:32

Angin sepoi-sepoi membawa aroma sawah basah ke Desa Harmoni, sebuah tempat yang menjanjikan kedamaian di setiap sudutnya. Maria Lestari menghela napas panjang, mencoba menyerap keheningan yang terasa asing baginya. Bersama kedua anaknya, Putri dan Arif, ia baru saja tiba di rumah kecil di pinggir desa—tempat baru yang ia harap akan menjadi awal kehidupan yang lebih tenang.

Rumah itu sederhana, dikelilingi pagar kayu yang mulai lapuk, dengan pekarangan kecil di belakang yang menghadap ke hutan kecil. Namun, Maria merasa ada sesuatu yang mengintai di balik keheningan ini. Ketakutan adalah sahabat lamanya, selalu membayangi, bahkan ketika ia tahu Rizal—mantan suaminya—tidak mungkin tahu keberadaannya di sini. Atau mungkin saja tahu?

Setelah mengatur koper-koper mereka di ruang tamu, Maria segera memeriksa setiap sudut rumah. Pintu depan, jendela dapur, bahkan kunci di kamar mandi diperiksanya dua kali. Ketika ia selesai, Putri berdiri di pintu dapur, menatap ibunya dengan mata yang penuh kekhawatiran.

"Ibu, kenapa Ibu selalu takut?" tanya Putri, suaranya lirih namun penuh perhatian.

Maria berhenti sejenak, berlutut agar sejajar dengan Putri. Ia menyentuh pipi gadis kecil itu dengan lembut, berusaha tersenyum meski hatinya bergetar.

"Kadang, Ibu hanya ingin memastikan semuanya aman, sayang," jawab Maria. "Ini bukan karena kamu atau Arif. Ibu hanya... ingin kita selalu bersama tanpa ada yang mengganggu."

Putri tidak membalas, tetapi ekspresinya mengatakan bahwa ia tahu lebih banyak dari yang Maria harapkan. Anak itu sudah terlalu bijaksana untuk usianya—hasil dari menyaksikan trauma yang seharusnya tidak pernah ia lihat.

Di sore harinya, seorang wanita paruh baya muncul di gerbang depan rumah mereka. Ia membawa sebakul kecil pisang dan senyum hangat yang segera mengisi udara yang canggung.

"Nama saya Dewi. Saya tetangga sebelah," katanya, suaranya penuh keramahan. "Saya lihat kalian baru pindah. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan ya."

Maria ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Terima kasih, Bu Dewi. Saya Maria, ini Putri dan Arif."

Kehangatan Dewi sedikit mencairkan dinding ketakutan Maria. Tetangga baru ini menawarkan bantuan untuk mengurus anak-anak atau sekadar menemani ngobrol. Meski sulit, Maria mencoba membuka dirinya, berusaha percaya pada orang lain.

Namun, saat senja mulai turun, kekhawatiran kembali menyelinap. Ketika Maria sedang mengatur barang-barang di ruang tamu, sebuah mobil hitam melintas pelan di depan rumah mereka. Mata Maria terpaku pada jendela, tubuhnya membeku. Mobil itu tidak berhenti, tetapi gerakannya yang lambat terasa seperti sebuah pesan. Jantung Maria berdegup kencang, tetapi ia mencoba menenangkan dirinya.

"Mungkin hanya mobil orang desa," pikirnya, meski hatinya tidak percaya.

Malam itu, Maria kembali memeriksa semua kunci sebelum tidur. Ia memeluk Putri dan Arif erat-erat, seolah-olah mereka bisa hilang kapan saja. Namun, jauh di dalam pikirannya, bayangan Rizal tidak pernah benar-benar pergi. Ia tahu, bahaya itu mungkin lebih dekat daripada yang ia bayangkan.

Keesokan harinya, Maria menemukan secarik kertas yang terselip di bawah pintu depan rumahnya. Tidak ada nama, hanya satu kalimat yang membuat darahnya membeku: “Aku tahu kau di sini.”

Pagi itu, Maria membuka pintu depan dengan hati-hati. Udara dingin menyentuh kulitnya, membawa aroma embun pagi yang menenangkan. Namun, apa yang ia temukan di bawah pintu menghapus semua perasaan tenang itu. Secarik kertas putih yang dilipat dua tergeletak begitu saja. Tangannya gemetar saat meraih kertas itu, membukanya perlahan.

"Aku tahu kau di sini."

Hanya lima kata, tapi dampaknya seperti ledakan di dalam pikirannya. Maria merasa tubuhnya lemas, seolah-olah setiap kekuatan yang ia kumpulkan untuk memulai hidup baru lenyap seketika. Ia menatap sekeliling, mencari tanda-tanda seseorang yang mungkin mengintai, tetapi jalan setapak di depan rumah itu kosong. Hanya suara angin yang menyisir dedaunan dari arah hutan kecil.

"Bu, kenapa berdiri di luar?" Suara Putri memecah kebisuan. Gadis kecil itu berdiri di ambang pintu, rambutnya masih acak-acakan, wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu.

Maria cepat-cepat menyembunyikan kertas itu di belakang tubuhnya. "Tidak apa-apa, sayang. Ibu hanya ingin menghirup udara segar."

Namun, nada suaranya tidak cukup meyakinkan. Putri memiringkan kepalanya, memperhatikan ibunya dengan tajam seperti biasa. Tapi ia tidak bertanya lebih jauh, malah berbalik menuju dapur untuk mencari sarapan.

Maria menutup pintu dan segera menuju kamar. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan kertas itu di atas meja kecil. Kepalanya dipenuhi pertanyaan. Siapa yang mengirim ini? Apakah Rizal sudah menemukan mereka? Atau mungkin ini hanya ancaman iseng dari seseorang yang tahu masa lalunya?

Maria duduk di tepi ranjang, menekan pelipisnya dengan kedua tangan. Ia ingin percaya bahwa ini hanya kebetulan, tapi setiap insting di tubuhnya menolak. Ia tahu ancaman ini terlalu spesifik untuk diabaikan.

Ketika siang menjelang, Dewi datang lagi dengan senyum hangatnya. Kali ini, ia membawa sepiring gorengan dan teh hangat. "Saya pikir kalian pasti belum sempat masak banyak, jadi saya bawakan ini," katanya sambil meletakkan nampan di meja ruang tamu.

Maria mengucapkan terima kasih, tetapi sulit baginya untuk benar-benar fokus. Wajahnya terlihat tegang, dan Dewi menangkapnya.

"Maria, kamu kelihatan gelisah. Ada apa? Kalau ada masalah, cerita saja. Kita di sini kan tetangga." Dewi duduk, menatapnya penuh perhatian.

Maria ingin berbicara, ingin menceritakan semuanya. Tetapi ada sesuatu yang menahannya. Trauma masa lalu membuatnya sulit mempercayai siapa pun, bahkan seseorang yang terlihat tulus seperti Dewi.

"Aku baik-baik saja, hanya... sedikit lelah karena pindahan," jawab Maria dengan senyum tipis. Jawaban itu terdengar datar bahkan di telinganya sendiri.

Dewi mengangguk pelan, tetapi ia tidak sepenuhnya percaya. "Kalau begitu, istirahat yang cukup ya. Kalau butuh bantuan apa pun, jangan sungkan. Saya selalu ada di sebelah."

Malamnya, Maria mencoba menenangkan pikirannya dengan membaca buku di ruang tamu. Arif dan Putri sudah tidur di kamar mereka, dan rumah terasa sunyi. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar. Sebuah suara dari luar membuat Maria langsung tegang. Suara langkah kaki—pelan tetapi jelas, seperti seseorang sedang berjalan di dekat jendela ruang tamu.

Maria menahan napas, matanya langsung tertuju pada tirai yang setengah terbuka. Ia mematikan lampu ruang tamu dengan cepat, berharap kegelapan bisa menyembunyikan keberadaannya. Perlahan, ia mendekati jendela, mencoba mengintip tanpa membuat suara.

Bayangan hitam itu terlihat samar, bergerak di tepi pagar. Orang itu mengenakan topi dan jaket gelap, wajahnya sulit dilihat dari sudut Maria berdiri. Tapi gerak-geriknya terlihat mencurigakan. Orang itu berhenti sejenak, mengamati rumah, lalu berjalan menjauh menuju arah hutan kecil.

Maria merasa jantungnya hampir meloncat keluar dari dada. Ia ingin membuka pintu dan berteriak, tapi ketakutan membungkamnya. Sebagai gantinya, ia berlari ke kamar anak-anaknya, memastikan mereka masih aman. Putri dan Arif tidur lelap, tidak menyadari ketegangan yang melingkupi rumah mereka.

Maria kembali ke ruang tamu, mengambil napas panjang untuk menenangkan diri. Ia tahu ia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini. Pagi harinya, Maria membuat keputusan. Ia akan mencari tahu siapa yang mencoba mengancamnya, dan ia tahu langkah pertama adalah menemui polisi.

Di kantor polisi, Maria bertemu Inspektur Farhan untuk pertama kalinya. Namun, respons skeptis Farhan terhadap ceritanya membuat Maria semakin frustrasi.

Maria menatap ke cermin kecil di dinding ruang tamu. Pagi itu terasa dingin, bukan hanya karena angin yang membawa aroma lembap hutan kecil di belakang rumahnya, tapi karena bayangan malam sebelumnya masih membekas. Suara langkah kaki, bayangan hitam yang melintas di pagar, semuanya membuatnya merasa tidak aman meskipun matahari kini telah terbit.

Ia tahu ia tidak bisa membiarkan ketakutan membelenggunya. Anak-anaknya membutuhkan perlindungan, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun—terutama Rizal—menghancurkan ketenangan yang baru saja mereka coba bangun. Namun, Maria juga sadar ia tidak dapat menghadapi ini sendirian. Dengan enggan, ia memutuskan untuk pergi ke kantor polisi di pusat desa. Mungkin mereka bisa membantunya.

“Putri, jaga adikmu, ya? Ibu mau pergi sebentar,” katanya sambil merapikan syal di lehernya.

Putri memandang ibunya dengan cemas. “Ibu mau ke mana? Apa semuanya baik-baik saja?”

Maria berusaha tersenyum, meskipun hatinya berat. “Ibu hanya perlu bicara dengan seseorang. Jangan khawatir. Kalian tetap di dalam rumah, jangan buka pintu untuk siapa pun, mengerti?”

Putri mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh pertanyaan yang tidak terucap.

Maria keluar rumah, menutup pintu dengan hati-hati. Ia menoleh sekali lagi ke jendela, di mana Putri berdiri sambil memegang tangan kecil Arif. Anak-anaknya adalah alasan ia tetap bertahan, meskipun hidupnya penuh ketakutan. Dengan langkah tegas, ia menuju kantor polisi, meskipun hatinya dipenuhi keraguan.

Kantor polisi di Desa Harmoni kecil dan sederhana, dengan hanya satu meja resepsionis dan beberapa kursi plastik untuk tamu. Seorang petugas berseragam berdiri di balik meja, sibuk menulis di buku catatan.

Maria mendekati meja itu, suaranya sedikit gemetar. “Saya ingin melaporkan sesuatu.”

Petugas itu mengangkat pandangannya, alisnya terangkat. “Laporan apa, Bu? Ada masalah?”

Maria menggigit bibirnya, merasa beban kata-kata yang harus ia ucapkan begitu berat. “Saya... saya menerima ancaman. Dan semalam, saya melihat seseorang mengintai rumah saya.”

Petugas itu tampak berpikir sejenak sebelum menunjuk ke sebuah ruangan kecil di sebelah kiri. “Tunggu sebentar, saya panggilkan Inspektur Farhan. Dia yang biasa menangani kasus seperti ini.”

Beberapa menit kemudian, seorang pria berusia empat puluhan dengan tubuh tegap dan tatapan tajam keluar dari ruangan itu. Wajahnya serius, tapi ada kilatan kehangatan yang tersembunyi di balik sikap profesionalnya.

“Saya Inspektur Farhan. Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya sambil mengamati Maria dengan teliti.

Maria menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan semuanya—surat ancaman, suara langkah kaki, bayangan hitam, dan trauma yang terus menghantuinya. Ia mencoba tetap tenang, meskipun hatinya berdebar kencang.

Farhan mendengarkan dengan sabar, tetapi saat Maria selesai, ia mengerutkan alis. “Ibu Maria, saya mengerti kekhawatiran Anda, tetapi sejauh ini saya tidak melihat ada ancaman yang jelas. Bisa saja ini hanya seseorang yang iseng atau kebetulan lewat di rumah Anda.”

“Tapi... surat itu?” Maria memotong, suaranya naik satu oktaf. “Dan orang yang saya lihat semalam? Itu bukan kebetulan. Saya tahu, saya merasakannya.”

Farhan menghela napas panjang. “Kami membutuhkan bukti lebih konkret untuk bisa bertindak. Surat itu bisa saja dari siapa saja, bukan berarti ada ancaman langsung.”

Kata-katanya terasa seperti palu yang menghantam dada Maria. Ia tahu sulit membuat orang lain memahami ketakutannya, tapi ia tidak menyangka akan mendapat respons seperti ini dari seseorang yang seharusnya melindungi.

Maria berdiri, menatap Farhan dengan mata penuh amarah dan frustrasi. “Jika sesuatu terjadi pada saya atau anak-anak saya, itu akan menjadi tanggung jawab Anda,” katanya dengan tegas, sebelum berbalik dan meninggalkan kantor polisi.

Langkah kakinya terasa berat saat kembali ke rumah. Setiap bayangan di jalan, setiap suara di kejauhan membuat tubuhnya tegang. Ia merasa seperti sedang diawasi, meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya.

Ketika ia sampai di rumah, Maria segera memeluk Putri dan Arif, mencoba menenangkan kegelisahan yang menguasainya. Tetapi saat ia memandang keluar jendela, matanya membeku.

Di pagar rumah, tergantung secarik kertas baru, ditiup angin lembut. Maria berjalan dengan langkah ragu, membuka pintu dan mengambil kertas itu. Tangannya bergetar saat membaca pesan yang tertulis di sana:

"Kamu tidak bisa lari selamanya."

Malam itu, suara derit pintu belakang terdengar pelan, seperti ada yang mencoba membukanya. Maria mengambil pisau dapur, berdiri di dekat kamar anak-anaknya, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.

Maria berdiri di sudut gelap dapur dengan napas terengah-engah. Tangannya yang gemetar memegang pisau dapur, cengkeramannya begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ruangan itu hening, tetapi Maria tahu ia tidak sendiri. Suara derit pintu belakang tadi bukan halusinasi. Seseorang di luar sana, mencoba masuk ke rumahnya.

Pandangannya terus mengarah ke pintu dapur yang bergetar perlahan, seolah seseorang sedang menguji kekuatannya. Suara itu kecil, tetapi di telinga Maria, setiap deritnya terasa seperti gemuruh guntur. Hatinya berpacu, pikiran berkecamuk antara melindungi anak-anaknya dan menghadapi ancaman ini sendirian.

Putri muncul di ambang pintu dapur, wajahnya pucat. “Ibu, ada apa?” bisiknya. Matanya terpaku pada pisau di tangan ibunya.

Maria langsung memberi isyarat agar Putri tidak bersuara. Ia mendekat, menunduk hingga wajahnya sejajar dengan anaknya. “Bangunkan Arif dan masuk ke kamar. Kunci pintu dari dalam, jangan buka apa pun sampai Ibu bilang, mengerti?”

“Ibu—”

“Putri, ini penting,” potong Maria, suaranya tegas namun penuh ketakutan. “Tolong, jaga adikmu. Ibu akan baik-baik saja.”

Putri menggigit bibirnya, menahan air mata, tetapi akhirnya ia mengangguk dan berlari perlahan menuju kamar Arif.

Maria kembali memfokuskan perhatian ke pintu dapur. Ia mengatur napas, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Ketika suara derit itu berhenti, jantungnya justru berdegup lebih kencang. Hening. Tidak ada gerakan. Ia mendekat ke pintu dengan hati-hati, telinganya menempel pada kayu tua itu, mencoba menangkap suara apa pun.

Lalu, sebuah ketukan pelan terdengar. Tidak keras, hanya cukup untuk membuat Maria tersentak mundur.

“Maria...” Suara itu datang dari luar, dalam nada rendah yang penuh ancaman. “Aku tahu kamu di dalam.”

Suaranya menggema di kepala Maria. Ia tahu suara itu, suara yang menghantui malam-malam panjangnya selama bertahun-tahun. Rizal. Tidak mungkin. Ia tidak mungkin bisa menemukan mereka secepat ini.

“Maria, buka pintunya. Jangan buat aku marah.”

Maria menahan napas, memegang pisau lebih erat. Ia tidak akan membiarkan dirinya kembali menjadi korban. Tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar sesuatu yang lebih menakutkan—suara kayu yang retak, seperti seseorang mencoba mendobrak pintu dari luar.

Panik, Maria berlari ke kamar anak-anak. Ia menemukan Putri dan Arif sedang bersembunyi di bawah selimut, wajah mereka pucat ketakutan.

“Diam di sini,” kata Maria, suaranya bergetar tetapi tegas. “Ibu akan melindungi kalian.”

Ia kembali ke ruang tamu, mencoba mencari sesuatu untuk memperkuat pintu dapur. Kursi, meja kecil, apa saja yang bisa menahan pintu itu agar tidak terbuka. Ketika ia sedang mendorong meja ke depan pintu, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.

“Maria, kamu pikir bisa lari dariku? Buka pintu sekarang, atau aku masuk dengan caraku sendiri.”

Maria tidak menjawab. Ia tahu berhadapan langsung dengan Rizal hanya akan membahayakan anak-anaknya. Tetapi ketegangan semakin memuncak ketika suara itu berubah menjadi tertawa rendah. Tawa yang pernah ia dengar di saat-saat tergelap hidupnya.

“Baiklah,” kata Rizal akhirnya, dengan nada menyerah yang jelas palsu. “Aku akan memberimu waktu, sayang. Tapi ingat, aku selalu tahu di mana kamu berada.”

Langkah kakinya terdengar menjauh, perlahan memudar hingga hening sepenuhnya. Maria tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya tegang, matanya terpaku pada pintu. Ia tidak berani bergerak, bahkan setelah semuanya benar-benar sunyi.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Maria akhirnya melepaskan napas panjang. Namun, ketenangan itu tidak membawa rasa lega. Ia tahu ini belum selesai. Rizal hanya bermain dengannya, mencoba menghancurkan mentalnya sebelum serangan berikutnya.

Maria mendekati jendela ruang tamu, mengintip keluar. Tidak ada tanda-tanda mobil Rizal, tidak ada bayangan di antara pohon-pohon di pinggir jalan. Tetapi ia tahu ia sedang diawasi. Setiap langkahnya, setiap gerakannya, Rizal selalu tahu.

Maria kembali ke kamar anak-anaknya, menemukan Putri dan Arif memeluk satu sama lain. Ia menarik mereka ke dalam pelukannya, mencoba memberi rasa aman meski ia sendiri hampir tidak memiliki kekuatan untuk bertahan.

“Ibu, siapa itu tadi?” bisik Arif, suaranya serak.

Maria menggeleng pelan, mencium kening putranya. “Tidak apa-apa, sayang. Ibu akan menjaga kalian. Tidak ada yang akan menyakiti kalian.”

Tetapi di dalam hatinya, Maria tahu ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus menemukan cara untuk melawan, untuk melindungi anak-anaknya. Malam itu, ia membuat keputusan. Ia akan menghubungi Dewi, mencari bantuan, atau mungkin kembali ke kantor polisi meskipun Inspektur Farhan tidak percaya padanya. Ia tidak akan membiarkan Rizal memenangkan permainan ini.

Peristiwa berlanjut: Maria menemukan jejak sepatu berlumpur di dekat pintu dapur keesokan paginya, mengarah ke arah hutan kecil. Di sana, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya kembali membeku—sebuah ponsel tergeletak di tanah, dengan layar menyala menampilkan foto dirinya dan anak-anaknya, diambil dari jarak dekat.

Pagi itu, cahaya matahari menyusup melalui tirai tipis di ruang tamu. Namun, kehangatan pagi tidak memberikan rasa aman pada Maria. Ia berdiri di depan pintu dapur, menatap jejak sepatu berlumpur yang jelas tercetak di lantai teras belakang. Napasnya tercekat saat ia mengikuti jejak itu dengan matanya. Jejak tersebut memanjang hingga ke arah hutan kecil yang mengintai di belakang rumahnya.

Maria menggenggam syal di lehernya erat-erat, rasa dingin merayapi punggungnya meskipun pagi itu cerah. Dengan hati-hati, ia membuka pintu belakang. Engsel pintu berderit pelan, menambah kesan mencekam yang sudah menguasai pikirannya sejak malam sebelumnya. Ia melangkah keluar, sepatu ketsnya menyentuh jejak yang basah. Pandangannya terpaku pada jalur yang jelas menuju hutan.

Rasa penasaran bercampur ketakutan menariknya semakin dekat ke arah pepohonan. Langkahnya pelan, setiap retakan ranting di bawah kakinya terasa seperti ledakan kecil di tengah keheningan. Angin meniup dedaunan, menciptakan suara samar yang seolah-olah berbisik kepadanya agar berbalik. Namun, Maria terus maju, meskipun jantungnya berdebar begitu keras hingga ia yakin bisa mendengarnya.

Ia berhenti di tepi hutan, tempat jejak itu tiba-tiba berakhir. Di sana, di tanah yang lembap, ia melihat sesuatu yang langsung membekukan darahnya. Sebuah ponsel tergeletak di atas tanah, layar yang menyala terang menampilkan sebuah gambar yang membuat Maria merasa lututnya hampir tak mampu menopang tubuhnya.

Foto itu adalah dirinya dan anak-anaknya. Diambil dari kejauhan, gambar itu menunjukkan mereka di ruang tamu rumahnya, tepat saat Maria memeluk Putri dan Arif malam sebelumnya.

Maria menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan teriakan. Ia memandangi sekitar, matanya mencari tanda-tanda keberadaan orang lain, tetapi tidak ada siapa pun. Keheningan hutan terasa terlalu mencekam, seperti sedang mengawasi setiap gerakannya. Dengan tangan gemetar, ia memungut ponsel itu.

Layarnya berubah. Sebuah pesan muncul, huruf-hurufnya besar dan tegas: “Aku selalu dekat. Jangan lupa itu.”

Maria mundur selangkah, rasa mual menghantamnya. Ia ingin membuang ponsel itu, tetapi pikirannya bekerja cepat. Ini bisa menjadi bukti. Ia harus menyerahkannya ke polisi, apa pun yang terjadi.

Dengan tangan gemetar, Maria memasukkan ponsel itu ke dalam saku jaketnya. Ia berlari kembali ke rumah, napasnya memburu, seperti dikejar sesuatu yang tidak terlihat. Ketika ia sampai, ia mengunci semua pintu dan jendela, memastikan setiap celah tertutup rapat.

“Ibu, kenapa kelihatan takut?” tanya Putri, yang berdiri di ruang tamu sambil memegang bonekanya. Sorot matanya penuh kecemasan.

Maria menatap anaknya, berusaha mengontrol napasnya. “Tidak apa-apa, Putri. Ibu hanya keluar sebentar untuk memastikan semuanya aman.”

“Tapi Ibu gemetar,” kata Putri pelan, suaranya hampir seperti bisikan.

Maria berlutut, menyentuh pipi Putri dengan lembut. “Ibu janji, kita akan baik-baik saja. Tapi sekarang, Ibu butuh kamu dan Arif tetap di dalam rumah. Jangan keluar sampai Ibu bilang, oke?”

Putri mengangguk meskipun matanya masih dipenuhi keraguan.

Maria bangkit, meraih telepon rumah dan dengan cepat memutar nomor kantor polisi. Ia tidak peduli jika Inspektur Farhan masih tidak mempercayainya. Apa yang baru saja ia temukan tidak bisa diabaikan. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara Farhan di ujung sana.

“Kantor Polisi Desa Harmoni, ada yang bisa saya bantu?”

“Ini Maria,” kata Maria cepat, suaranya bergetar. “Saya menemukan sesuatu… sesuatu yang membuktikan bahwa ada yang mengawasi saya.”

Ada jeda di ujung telepon sebelum Farhan menjawab, suaranya terdengar lebih serius. “Apa yang Anda temukan?”

“Sebuah ponsel. Ada foto saya dan anak-anak saya di dalam rumah. Malam tadi. Seseorang memotret kami,” katanya dengan nada hampir putus asa.

Farhan terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Baik, bawa ponsel itu ke sini. Kita akan lihat apa yang bisa dilakukan.”

Maria menutup telepon, tetapi tangannya masih gemetar. Ia tahu ia tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Ini bukan hanya tentang dirinya; ini tentang anak-anaknya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti mereka, bahkan jika ia harus menghadapi Rizal seorang diri.

Namun, saat Maria bersiap untuk pergi, sebuah suara halus datang dari jendela ruang tamu. Sebuah ketukan. Tiga kali. Ritme yang begitu lambat, begitu menghantui, hingga membuat Maria membeku di tempat. Ia berbalik perlahan, matanya tertuju pada jendela. Di balik kaca yang setengah tertutup tirai, ia melihat bayangan seseorang berdiri di luar.

Bayangan itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, mengawasinya.

Maria menahan napas, pisau dapur yang tadi ia letakkan di meja langsung diraih kembali. Perlahan, ia mendekati jendela, tetapi ketika ia menyibak tirai, bayangan itu menghilang. Tidak ada siapa pun di sana, hanya jalan setapak yang sepi dan hutan kecil di kejauhan.

Tetapi sesuatu di tanah membuat Maria menggigil. Sebuah pesan lain tertulis di atas kertas yang dilipat rapi dan diletakkan di bawah jendela. Dengan tangan gemetar, ia memungutnya dan membukanya.

Pesan itu singkat, tetapi cukup untuk membuat darah Maria membeku lagi: “Kau pikir polisi bisa menyelamatkanmu?”

Maria berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang kaku, kertas di tangannya bergetar mengikuti irama gemetar tubuhnya. Pesan itu seolah-olah menggema di pikirannya, mengunci setiap logika dan menggantinya dengan ketakutan yang membakar. "Kau pikir polisi bisa menyelamatkanmu?" Kata-kata itu seperti bisikan dari kegelapan yang terus membayangi hidupnya.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Ruang tamu itu terasa semakin sempit, semakin sesak, seolah-olah dinding-dindingnya bergerak mendekat. Suara napas Maria terdengar berat, nyaris tercekik oleh rasa panik yang semakin membuncah. Ia tahu Rizal tidak hanya bermain-main. Ini adalah ancaman nyata, pengingat bahwa ia selalu berada dalam jangkauan pria itu, tak peduli seberapa jauh ia mencoba melarikan diri.

“Ibu...” Suara Putri yang pelan tetapi jelas memecah keheningan. Anak itu berdiri di ambang pintu kamar, memeluk boneka lusuhnya dengan erat. Wajahnya yang kecil dan polos tampak penuh kekhawatiran. “Kenapa Ibu menangis?”

Maria menyeka air mata yang tanpa sadar jatuh dari sudut matanya. Ia berusaha memaksakan senyuman, tetapi gagal. “Tidak, sayang. Ibu tidak apa-apa,” katanya, meski suaranya terdengar patah.

Putri mendekat, menggenggam tangan ibunya yang dingin. “Apa ini tentang Ayah?” tanyanya perlahan, nyaris seperti bisikan.

Pertanyaan itu menusuk hati Maria seperti belati. Anak-anaknya lebih memahami situasi ini daripada yang ia kira, dan ia merasa gagal melindungi mereka dari bayangan kelam yang terus menghantui hidup mereka.

“Putri,” kata Maria sambil berlutut di hadapan anaknya, menatap matanya yang penuh kepolosan bercampur dengan luka. “Ibu tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Arif. Ibu janji. Apa pun yang terjadi, Ibu akan selalu menjaga kalian.”

Putri mengangguk pelan, tetapi tatapannya tetap ragu. Maria tahu, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menghapus rasa takut yang telah meresap begitu dalam.

Malam itu, Maria tidak tidur. Ia berjaga di kursi ruang tamu dengan pisau dapur di tangan, memandangi jendela yang tirainya ia tutup rapat. Setiap suara, sekecil apa pun, membuatnya terlonjak. Ia memaksa dirinya tetap terjaga, matanya terus mengawasi pintu dan jendela, seolah-olah Rizal bisa muncul kapan saja.

Namun, saat fajar mulai menyingsing, Maria mendengar suara pelan di luar rumah. Bukan suara langkah kaki atau ketukan, tetapi bunyi yang samar—seperti seseorang menggesekkan sesuatu ke pintu depan. Ia bangkit perlahan, jantungnya berpacu. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati pintu, menekan telinganya ke kayu tua itu untuk mendengar lebih jelas.

Suara itu berhenti. Maria menarik napas panjang, mencoba menguatkan dirinya, lalu mengintip melalui celah kecil di jendela samping. Tidak ada siapa pun di sana. Tetapi di ambang pintu, ia melihat sebuah benda kecil yang diletakkan rapi di lantai. Dengan gugup, ia membuka pintu sedikit, cukup untuk meraih benda itu.

Itu adalah sebuah kotak kecil berwarna hitam. Jari-jarinya gemetar saat membukanya, dan apa yang ia temukan di dalam membuat tubuhnya hampir terjatuh. Sebuah kalung emas, kalung yang pernah ia kenakan selama bertahun-tahun sebagai istri Rizal. Kalung itu memiliki liontin kecil berbentuk hati, di mana foto mereka berdua pernah tersimpan sebelum Maria membuangnya setelah meninggalkan pria itu.

Kalung ini tidak mungkin ada di sini. Maria tahu ia telah membuangnya di tempat yang tidak mungkin ditemukan oleh siapa pun. Tetapi sekarang, benda itu ada di tangannya, menjadi simbol ancaman nyata bahwa Rizal tidak hanya tahu di mana ia berada, tetapi juga bisa menyentuh setiap sudut kehidupannya kapan saja.

Di bawah kalung itu, ada sebuah catatan kecil yang ditulis dengan tulisan tangan familiar: “Kamu milikku, Maria. Selalu.”

Maria menjatuhkan kotak itu ke lantai, punggungnya bersandar pada dinding. Napasnya tersengal, dan tubuhnya terasa seperti kehilangan kekuatan. Dunia seakan berhenti bergerak, tetapi suara langkah kaki kecil mendekat dari arah belakang membuatnya segera tersadar.

“Ibu, apa itu?” tanya Arif yang baru bangun, matanya masih setengah terpejam.

Maria dengan cepat menendang kotak itu ke bawah meja, menyembunyikannya dari pandangan anaknya. “Tidak ada, sayang,” jawabnya dengan suara pelan, memaksakan senyuman. “Pergi ke dapur, Ibu akan buatkan sarapan.”

Setelah anaknya kembali ke kamar, Maria mengambil ponsel dan menelepon Dewi. Kali ini, ia tahu ia tidak bisa sendirian. Panggilan itu segera dijawab dengan suara hangat tetangganya, tetapi kali ini, Maria tidak berbasa-basi.

“Dewi, aku butuh bantuanmu. Bisa datang ke rumah sekarang?” suaranya hampir pecah.

Tanpa bertanya banyak, Dewi menjawab dengan yakin. “Tunggu sebentar, aku segera ke sana.”

Maria menutup telepon, matanya kembali melirik ke arah kotak yang tergeletak di lantai. Ia tahu ini bukan sekadar peringatan. Rizal ingin menunjukkan bahwa ia bisa menghancurkan hidup Maria kapan saja. Namun, kali ini, Maria memutuskan satu hal dengan pasti—ia akan melawan. Bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi ketakutannya sendiri.

Ketika Dewi tiba beberapa menit kemudian, Maria mempersiapkan dirinya untuk menceritakan semuanya. Tetapi sebelum ia bisa memulai, suara deru mesin mobil terdengar dari luar. Maria menoleh ke arah jendela, dan darahnya membeku. Mobil hitam itu kembali. Kali ini, ia berhenti tepat di depan rumah.

Darah Maria seakan berhenti mengalir saat matanya tertuju pada mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya. Jendela mobil itu gelap, membuatnya tidak bisa melihat siapa yang berada di dalam. Suara mesin yang masih menyala menambah ketegangan di udara. Maria berdiri mematung di ruang tamu, satu tangannya menggenggam telepon, sementara tangan yang lain gemetar di samping tubuhnya.

Dewi, yang baru saja masuk ke dalam rumah, mengikuti arah pandang Maria. "Siapa itu, Maria? Apa kamu mengenalnya?" tanya Dewi dengan nada khawatir, matanya penuh tanda tanya.

Maria hanya menggeleng, bibirnya terlalu kaku untuk mengeluarkan kata-kata. Jantungnya berdetak kencang, suara gemuruhnya terasa hingga ke telinga. Ia tahu ada kemungkinan besar siapa yang berada di balik kemudi mobil itu—Rizal. Hanya dia yang memiliki keberanian untuk membuat ancaman seperti ini secara terang-terangan.

Tanpa menunggu jawaban Maria, Dewi melangkah ke pintu depan. "Aku akan bicara pada mereka. Mungkin ini hanya salah paham."

"Tunggu!" Maria menarik lengan Dewi dengan tiba-tiba, suaranya melengking penuh ketakutan. "Jangan keluar. Kumohon, Dewi. Jangan."

Dewi memandang Maria dengan bingung. "Maria, kamu tidak bisa hidup seperti ini. Kalau ada yang mengancammu, kita harus hadapi, bukan lari terus-menerus."

Maria menggeleng cepat, matanya basah oleh air mata. "Dia bukan orang biasa, Dewi. Ini bukan salah paham. Dia tahu apa yang dia lakukan. Kumohon, jangan buat dirimu terlibat lebih dalam."

Dewi terdiam, mencoba membaca emosi Maria yang jelas sudah berada di titik rapuh. Ia akhirnya mengangguk, meski tampak enggan, dan mundur ke belakang. "Baiklah, aku tidak akan keluar. Tapi kita harus memikirkan sesuatu. Ini tidak bisa terus begini."

Sementara itu, suara mesin mobil tiba-tiba berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa seperti napas yang tertahan. Maria merasakan kakinya mulai melemah. Ia tahu, sesuatu akan terjadi. Dan benar saja, pintu mobil terbuka perlahan, menciptakan suara yang memekakkan di tengah keheningan. Seorang pria turun, siluetnya tampak jelas meski ia berdiri membelakangi cahaya pagi.

Pria itu mengenakan jaket hitam panjang, topinya menutupi sebagian wajahnya. Langkahnya pelan, nyaris santai, tetapi penuh ancaman. Maria merasa tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tidak bisa lepas dari sosok itu. Ia tahu gerakan itu, cara berjalan itu—semuanya begitu familiar.

"Maria, aku akan menelepon polisi sekarang," bisik Dewi sambil meraih telepon genggamnya. Namun sebelum ia sempat menekan tombol, pria itu berbicara, suaranya keras dan jelas, seolah-olah tahu mereka sedang mendengarkan dari balik dinding.

"Maria," panggil pria itu, nada suaranya datar tetapi penuh kekuatan. "Aku tahu kau di dalam. Apa kau tidak ingin menyambutku? Sudah lama sekali, bukan?"

Maria merasa dunia seolah runtuh di sekelilingnya. Itu adalah suara Rizal, tidak mungkin salah lagi. Kata-katanya seperti jarum yang menembus pertahanan terakhirnya, menghancurkan semua keberanian yang ia coba bangun. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia kendalikan.

Dewi melirik Maria, raut wajahnya berubah menjadi ketegangan yang serius. "Maria, ini tidak bisa dibiarkan. Aku akan panggil polisi sekarang," katanya dengan nada penuh keyakinan.

Maria hanya mengangguk lemah, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Namun, sebelum Dewi sempat menelepon, Rizal melanjutkan, suaranya kini lebih rendah tetapi lebih tajam, menusuk hingga ke relung hati Maria.

"Jika kau pikir polisi bisa melindungimu, kau salah besar. Aku tahu segalanya, Maria. Aku tahu kapan kau bangun, kapan kau tidur, bahkan apa yang kau masak pagi ini. Tidak ada tempat di dunia ini di mana kau bisa lari dariku."

Kata-kata itu membuat Maria merasa seperti sedang dipeluk oleh kegelapan yang mencekik. Ia melangkah mundur, tubuhnya gemetar. Dewi, yang kini juga mulai merasa takut, meletakkan teleponnya dan mendekat ke Maria.

"Maria," bisik Dewi, "kita harus tetap tenang. Jangan biarkan dia tahu kita ketakutan."

Namun sebelum Maria sempat menjawab, suara keras terdengar dari luar. Rizal melempar sesuatu ke arah rumah. Sebuah botol kaca pecah di depan pintu, isinya tumpah ke lantai kayu di teras. Aroma bensin langsung menyengat udara. Maria menatap botol itu dengan mata terbelalak, napasnya tercekat.

Rizal berbicara lagi, kali ini dengan nada penuh ancaman. "Kau tahu aku bisa membuat ini berakhir sekarang, Maria. Tapi aku tidak mau. Aku ingin kau merasa seperti yang aku rasakan. Takut. Terjebak. Sendirian."

Dewi langsung menarik Maria ke dalam pelukan, mencoba menenangkan wanita yang hampir jatuh ke lantai karena syok. "Kita harus pergi dari sini," kata Dewi dengan suara gemetar. "Sekarang juga."

Maria menggeleng, menatap Dewi dengan mata yang penuh air mata. "Aku tidak bisa meninggalkan anak-anakku. Aku tidak akan membiarkan dia menang."

Namun sebelum mereka sempat memutuskan apa yang harus dilakukan, suara sirine polisi tiba-tiba memecah udara. Rizal menoleh, wajahnya tidak terlihat, tetapi gerakannya menunjukkan ketidakpuasan. Ia melangkah kembali ke mobil, masuk ke dalam, dan pergi dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Maria yang terduduk di lantai ruang tamu dengan tubuh lemah.

Dewi meraih teleponnya lagi, kali ini memastikan pihak polisi tahu apa yang baru saja terjadi. Sementara itu, Maria menatap pintu depan yang kini penuh pecahan kaca, aroma bensin masih memenuhi udara. Ia tahu ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih berbahaya. Rizal tidak akan berhenti. Dan sekarang, ia harus mempersiapkan dirinya untuk perang yang panjang.

Maria duduk di lantai ruang tamu, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. Matanya yang merah dan sembab menatap lurus ke arah pintu depan yang kini tertutup rapat, tetapi rasa takutnya masih menyelimuti. Aroma bensin dari botol pecah di teras belum benar-benar menghilang, meski Dewi telah mencoba menyiramnya dengan air beberapa kali. Malam sudah mulai turun, dan bayangan gelap dari luar jendela tampak lebih panjang dari biasanya.

Polisi sudah datang, meski mereka hanya tinggal sebentar. Inspektur Farhan, dengan wajah datar dan sikap yang terasa jauh, hanya mencatat pernyataan Maria dan Dewi sebelum pergi. Tidak ada jaminan perlindungan, tidak ada janji bahwa ancaman ini akan dihentikan.

“Aku akan mengirimkan patroli sesekali,” ujar Farhan sebelum meninggalkan rumah itu. “Tapi tanpa bukti nyata bahwa Rizal melanggar hukum, kami tidak bisa banyak bertindak. Jika dia kembali, pastikan kalian langsung menghubungi kami.”

Maria ingin berteriak mendengar ucapan itu. Bukti nyata? Apa lagi yang mereka butuhkan? pikirnya dengan getir. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Hatinya terlalu lelah untuk melawan, dan rasa takutnya terlalu besar untuk membuat argumen.

Dewi duduk di sampingnya, menepuk pundak Maria dengan lembut. “Kita tidak bisa bergantung pada polisi,” katanya dengan nada rendah, hampir seperti berbisik. “Kamu harus memikirkan rencana lain, Maria. Rizal tidak main-main. Dia sudah membuktikannya hari ini.”

Maria memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang kembali menggenang. Rasa putus asa dan marah bergulat di dalam dirinya. Ia tidak ingin lari lagi, tetapi setiap langkah yang ia ambil untuk melawan selalu terasa seperti menabrak tembok yang lebih besar.

Putri dan Arif mengintip dari balik pintu kamar, wajah mereka menunjukkan campuran ketakutan dan kebingungan. Maria memaksakan senyum untuk mereka, meski ia tahu senyum itu tidak akan bisa menyembunyikan kekacauan yang ada di hatinya.

“Kalian lapar?” tanya Maria dengan suara serak. “Ibu bisa buatkan makanan.”

Putri menggeleng pelan. “Aku tidak lapar, Bu. Tapi… apa Ayah akan datang lagi?”

Pertanyaan itu seperti belati yang menghunjam hati Maria. Ia menatap Putri dengan mata penuh rasa bersalah, tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu tanpa membuat anak-anaknya lebih takut.

“Tidak, sayang,” katanya akhirnya, mencoba menenangkan. “Ibu tidak akan membiarkan Ayah menyakiti kita. Ibu janji.”

Putri mengangguk, meskipun raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya percaya. Arif memeluk kakaknya, keduanya kembali ke kamar tanpa berkata apa-apa lagi.

Dewi menatap Maria, matanya penuh perhatian. “Kamu tidak bisa terus seperti ini. Kamu harus melakukan sesuatu.”

Maria menunduk, tangannya mengepal erat di atas lututnya. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Dewi. Rasanya dia selalu satu langkah di depanku. Apa pun yang aku lakukan, dia selalu tahu. Aku merasa dia mengawasi setiap gerakanku.”

“Kamu harus menemukan cara untuk memutar keadaan,” kata Dewi tegas. “Kamu tidak bisa hanya menunggu dia menyerang lagi.”

Maria mengangkat wajahnya, mata yang tadinya penuh ketakutan kini perlahan mulai menyala dengan sesuatu yang lebih dalam—kemarahan. Ia tahu Dewi benar. Jika ia terus membiarkan dirinya terjebak dalam ketakutan, Rizal akan menang. Ia tidak bisa lagi hanya menjadi korban.

“Aku punya ponsel yang kutemukan di hutan,” kata Maria akhirnya, suaranya tegas meski masih bergetar sedikit. “Ponsel itu punya foto aku dan anak-anak. Aku belum sempat menyerahkannya ke polisi.”

Dewi mengangguk pelan, matanya berbinar dengan ide. “Kita bisa gunakan itu. Mungkin ada jejak yang bisa membantu kita melacaknya. Kalau polisi tidak mau bergerak, kita harus cari jalan sendiri.”

Maria terdiam, memikirkan kemungkinan itu. Ia tahu itu berbahaya, tetapi ia juga tahu bahwa berdiam diri tidak akan menyelamatkan mereka. Jika Rizal sudah cukup berani untuk datang ke rumahnya di siang hari, ia tahu serangan berikutnya hanya akan menjadi lebih buruk.

Malam semakin larut, dan Maria mengunci semua pintu serta jendela sekali lagi sebelum masuk ke kamar anak-anaknya. Ia duduk di sisi ranjang mereka, menatap wajah Putri dan Arif yang akhirnya terlelap. Napas mereka yang tenang adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan.

Di luar, angin malam berhembus, membuat dedaunan bergesekan seperti bisikan samar. Maria tahu malam ini hanya awal dari pertarungan panjang yang harus ia hadapi. Ia meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil di ruang tamu dan membuka pesan terakhir yang ia lihat di layar perangkat itu.

"Aku selalu dekat. Jangan lupa itu."

Maria mematikan layar ponsel, lalu menggenggamnya erat. Ia tahu, untuk pertama kalinya, ia harus melawan, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk anak-anaknya. Tidak ada ruang untuk rasa takut lagi. Malam itu, meski tubuhnya lelah dan pikirannya dipenuhi ketakutan, ia mulai merencanakan langkah berikutnya.

Pagi berikutnya, Maria membawa ponsel itu ke seorang ahli teknologi lokal di desa untuk mencari tahu apakah ada data yang bisa dilacak. Tetapi apa yang ia temukan di dalam ponsel itu jauh lebih menakutkan daripada yang ia bayangkan—lokasi rumahnya ada di daftar kontak terakhir, lengkap dengan catatan: "Target aman, pantau terus."

Maria memasuki ruangan kecil yang terletak di belakang sebuah warung kelontong di Desa Harmoni. Udara di dalamnya pengap, dengan aroma besi tua bercampur asap rokok. Seorang pria bertubuh kekar dengan janggut tebal menyambutnya. Ia adalah Eko, seorang ahli teknologi lokal yang dikenal di desa sebagai orang yang bisa "mengutak-atik apa saja," dari ponsel hingga mesin traktor.

“Bu Maria, ya?” tanya Eko sambil menggeser kursinya ke belakang meja yang dipenuhi dengan perangkat elektronik berserakan. “Bu Dewi tadi bilang ada masalah mendesak.”

Maria mengangguk, menatap pria itu dengan campuran harapan dan ketakutan. “Iya, Pak Eko. Saya butuh bantuan Anda untuk memeriksa ponsel ini. Ada sesuatu yang… aneh di dalamnya.”

Eko mengangkat alis, menerima ponsel yang disodorkan Maria. Ia memutar-mutar perangkat itu di tangannya, lalu mengangguk kecil. “Baik, saya akan coba lihat apa yang bisa saya temukan. Tapi kalau ada hal yang mencurigakan, saya perlu tahu konteksnya. Apa ponsel ini milik seseorang yang mengancam Anda?”

Maria menghela napas, ragu untuk menjawab. Tetapi ia sadar bahwa ini bukan saatnya menyimpan rahasia. “Ponsel itu saya temukan di hutan kecil di belakang rumah saya. Di dalamnya ada foto saya dan anak-anak saya… diambil dari luar rumah. Saya pikir… saya tahu siapa yang melakukannya.”

Eko mengangguk pelan, ekspresinya berubah serius. Ia memasukkan kartu SIM dari ponsel itu ke sebuah alat kecil yang terhubung ke komputernya. Layar monitor di hadapannya mulai memuat data, dan jari-jarinya dengan lincah mengetik beberapa perintah.

Maria berdiri di dekatnya, matanya terpaku pada layar. Setiap detik terasa seperti selamanya, hingga akhirnya Eko berbicara. “Ini aneh. Data di ponsel ini hampir semuanya dihapus. Tidak ada riwayat panggilan atau pesan teks. Tapi... ada aplikasi pelacak yang masih aktif.”

Maria menelan ludah, tubuhnya menegang. “Pelacak? Maksud Anda apa?”

Eko menunjuk layar, menunjukkan peta yang menampilkan titik merah kecil. “Aplikasi ini mengirimkan lokasi perangkat ini ke server tertentu. Lokasinya ada di sini…” Ia mengetik lebih cepat, lalu menunjuk alamat yang muncul di layar. “Desa Harmoni, tepatnya di dekat rumah Anda.”

Maria merasa darahnya mendadak mengalir lebih cepat. Ia mencoba memahami kata-kata Eko, tetapi kepanikan mulai mengambil alih pikirannya. “Jadi… ponsel ini digunakan untuk memata-matai saya?”

Eko mengangguk pelan, wajahnya penuh keprihatinan. “Kemungkinan besar, ya. Tapi itu belum semuanya.” Ia menggulirkan layar lebih jauh, hingga sebuah daftar kontak muncul. Di antara nama-nama yang sebagian besar disamarkan dengan kode angka, satu entri menarik perhatian Maria.

“Target Aman, Pantau Terus.”

Maria merasakan kakinya lemas. Ia harus memegang tepi meja untuk menjaga keseimbangan. Kalimat itu bukan hanya ancaman; itu adalah bukti bahwa Rizal telah merencanakan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang berbahaya.

Eko menatap Maria dengan serius. “Bu Maria, Anda harus melaporkan ini ke polisi. Data ini cukup kuat untuk jadi bukti. Siapa pun yang memiliki ponsel ini sedang mengawasi Anda dengan cara yang tidak wajar.”

Maria menggeleng pelan. “Saya sudah mencoba melaporkan sebelumnya. Polisi bilang mereka butuh lebih banyak bukti. Mereka tidak percaya ancaman ini serius.”

Eko menghela napas panjang, terlihat kesal. “Kalau begitu, kita harus memastikan bukti ini cukup kuat untuk memaksa mereka bertindak. Saya bisa menelusuri lebih jauh, mencari tahu ke mana aplikasi ini terhubung, siapa yang mengendalikannya. Tapi saya butuh waktu.”

Maria mengangguk dengan berat hati. “Tolong lakukan apa pun yang Anda bisa, Pak Eko. Saya tidak tahu apa lagi yang bisa saya lakukan.”

Eko tersenyum tipis, mencoba memberi sedikit kelegaan. “Jangan khawatir, Bu. Saya akan lakukan yang terbaik. Sementara itu, pastikan Anda tetap waspada. Dan jika ada yang mencurigakan, segera hubungi saya.”

Maria meninggalkan ruangan itu dengan langkah gontai, pikirannya penuh dengan ketakutan dan rencana yang belum jelas. Ketika ia kembali ke rumah, Dewi sudah menunggu di ruang tamu, duduk dengan gelisah sambil memegang cangkir teh.

“Apa yang kamu temukan?” tanya Dewi, langsung berdiri begitu Maria masuk.

Maria duduk di sofa, menggenggam tangannya erat-erat. “Ponsel itu… digunakan untuk melacak saya. Ada aplikasi yang mengirimkan lokasi saya ke seseorang. Dan ada catatan, Dewi. Catatan tentang saya sebagai ‘target.’”

Dewi menutup mulutnya dengan tangan, matanya melebar. “Ya Tuhan, Maria… kita harus pergi. Ini terlalu berbahaya. Bagaimana kalau dia datang lagi?”

Maria menggeleng perlahan, air matanya mulai mengalir. “Aku tidak bisa terus lari, Dewi. Aku sudah lelah. Kalau aku terus berlari, dia akan terus mengejar. Aku harus menemukan cara untuk melawan.”

Dewi memandang Maria dengan penuh kekhawatiran. “Lalu apa yang akan kamu lakukan?”

Maria menatap jendela rumahnya yang tertutup rapat, memikirkan ancaman yang terus mendekat. “Aku akan menunggu hasil dari Eko. Dan saat aku tahu apa yang Rizal rencanakan, aku akan bertindak lebih dulu. Aku tidak akan biarkan dia mengendalikan hidupku lagi.”

Malam itu, saat Maria mencoba menenangkan diri di ruang tamu, sebuah pesan baru masuk ke ponsel lamanya. Pesan itu tidak memiliki nama pengirim, hanya satu kalimat yang membuat jantungnya berhenti sesaat: “Waktu hampir habis, Maria. Aku akan segera menjemputmu.”

Maria terdiam memandangi layar ponselnya. Kalimat itu, singkat namun mematikan, mengoyak sisa-sisa keberanian yang berusaha ia kumpulkan sepanjang hari. “Waktu hampir habis, Maria. Aku akan segera menjemputmu.” Pesan itu seperti bisikan gelap yang datang dari kegelapan terdalam, menyusup ke dalam pikirannya, membuat setiap otot di tubuhnya kaku.

Ia mencoba bernapas, tapi dadanya terasa sesak. Tangan kanannya menggenggam erat ponsel, sementara tangan kirinya menekan perutnya yang mulai terasa mual. Ia tahu, ini bukan ancaman kosong. Ini adalah pengingat bahwa Rizal selalu selangkah lebih dekat daripada yang ia bayangkan.

“Maria, ada apa?” suara Dewi memecah keheningan. Dewi, yang duduk di seberang meja dengan secangkir teh yang sudah dingin, segera menghampirinya. Wajahnya penuh kekhawatiran.

Maria menunjukkan layar ponsel itu tanpa berkata apa-apa. Dewi membaca pesan itu, dan ekspresi wajahnya berubah dari penasaran menjadi ngeri. Ia menatap Maria dengan mata yang membelalak. “Dia tahu… Dia benar-benar tahu di mana kamu berada.”

Maria mengangguk lemah, suara di tenggorokannya terasa seperti tersangkut. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Dewi. Aku merasa… aku merasa seperti tikus yang terperangkap. Ke mana pun aku pergi, dia akan selalu menemukan aku.”

Dewi menggenggam tangan Maria dengan erat, mencoba memberinya kekuatan. “Kamu tidak sendirian, Maria. Kita akan melawan dia bersama. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian.”

Tapi Maria tahu, kata-kata Dewi, meski tulus, tidak akan cukup untuk menghentikan ancaman ini. Rizal lebih berbahaya dari yang bisa Dewi bayangkan. Ia bukan hanya seorang pria yang penuh dendam; ia adalah seseorang yang tahu bagaimana menghancurkan mental dan fisik targetnya.

Malam itu, Maria tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, memandangi pintu depan seperti seorang penjaga yang tidak pernah istirahat. Di pangkuannya, ponsel itu masih menyala, pesan terakhir dari Rizal tetap terpampang di layar. Di sebelahnya, Dewi tertidur dengan kepala bersandar di sofa, masih mengenakan pakaian lengkap. Bahkan dalam tidur, wajah Dewi terlihat tegang, seolah-olah ia ikut memikul beban Maria.

Angin malam bertiup lebih kencang, menciptakan suara gesekan daun di luar jendela yang membuat Maria semakin waspada. Setiap bayangan yang bergerak di luar tirai membuatnya menegang, setiap suara kecil terdengar seperti ancaman yang mendekat. Ia meraih pisau dapur yang ia letakkan di meja, menggenggamnya erat, berjanji pada dirinya sendiri bahwa jika Rizal benar-benar datang malam ini, ia tidak akan hanya menjadi korban lagi.

Jam dinding berdetak perlahan, mengiringi keheningan yang semakin berat. Ketika jarum menunjukkan pukul dua dini hari, suara yang ditakutkan Maria akhirnya datang. Ketukan pelan di pintu depan, tiga kali, ritme yang lambat dan menghantui.

Maria membeku. Ia ingin berteriak, ingin membangunkan Dewi, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, lebih memaksa. Maria berdiri dengan hati-hati, pisau di tangannya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia melangkah mendekati pintu, menahan napas, mencoba mengintip dari celah tirai kecil di jendela samping.

Di luar, tidak ada siapa pun. Jalan kecil di depan rumahnya kosong, diterangi samar oleh cahaya bulan. Namun, ia tahu lebih baik daripada percaya pada apa yang ia lihat. Rizal tidak akan muncul dengan cara yang sederhana. Ini adalah permainan baginya, sebuah pertunjukan untuk memperlihatkan bahwa ia selalu memegang kendali.

Ketukan ketiga terdengar, dan kali ini disertai dengan suara langkah kaki di teras depan. Maria mundur selangkah, punggungnya hampir menabrak meja kecil di ruang tamu. Dewi terbangun dengan mata yang bingung, tetapi ketika ia melihat wajah Maria, ia langsung tahu ada sesuatu yang salah.

“Maria, apa itu?” bisiknya, matanya melirik ke arah pintu.

“Dia… dia di sini,” jawab Maria pelan, suaranya nyaris tidak terdengar.

Dewi meraih ponselnya, siap menelepon polisi, tetapi Maria menghentikannya. “Jangan,” katanya cepat. “Kalau kita telepon sekarang, dia mungkin akan pergi sebelum mereka datang. Dan mereka tidak akan percaya kita lagi.”

“Tapi apa yang bisa kita lakukan?” Dewi bertanya, suaranya penuh kepanikan.

Maria tidak menjawab. Ia menatap pintu dengan mata yang tajam, pikirannya berputar cepat mencari jalan keluar. Ketika ketukan keempat terdengar, ia tahu ia tidak bisa hanya bersembunyi. Ini adalah ujian keberaniannya, dan ia harus membuktikan bahwa ia tidak lagi menjadi wanita lemah yang dulu.

Dengan tangan yang gemetar namun penuh tekad, Maria membuka pintu. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Hanya kesunyian yang menyelimuti, diselingi suara daun yang bergoyang pelan di pepohonan sekitar.

Tapi sesuatu di tanah menarik perhatiannya. Sebuah amplop cokelat besar tergeletak di depan pintu. Maria menunduk, meraihnya dengan hati-hati, seolah-olah benda itu bisa meledak kapan saja. Ia melangkah mundur, menutup pintu dengan cepat, dan membawa amplop itu ke meja.

Dewi mendekat, menatap amplop itu dengan kecurigaan. “Apa itu?” tanyanya.

Maria tidak menjawab. Ia membuka amplop itu perlahan, dan dari dalamnya, ia mengeluarkan tumpukan foto. Foto-foto itu membuat tubuhnya kaku, napasnya tercekat.

Ada gambar dirinya dan anak-anaknya, diambil dari berbagai sudut rumah. Dari dapur, dari ruang tamu, bahkan dari kamar tidur. Setiap foto memperlihatkan wajah mereka yang tidak menyadari bahwa mereka sedang diawasi.

Namun, yang membuat darah Maria benar-benar membeku adalah foto terakhir. Itu adalah foto dirinya, diambil dari luar jendela ruang tamu, saat ia memegang pisau dan menatap ke arah pintu. Foto itu diambil malam ini, hanya beberapa menit yang lalu.

Maria menatap Dewi, matanya dipenuhi ketakutan yang tak terkatakan. “Dia di sini,” bisiknya. “Dia baru saja di sini.”

Dari luar, suara langkah kaki terdengar menjauh, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara. Maria tahu, permainan ini baru saja dimulai.

Maria duduk terpaku di kursi ruang tamu, tumpukan foto itu masih berada di tangannya. Jemarinya gemetar, menggenggam erat kertas-kertas yang membuktikan bahwa kehadiran Rizal lebih nyata daripada yang bisa ia bayangkan. Matanya terpaku pada foto terakhir—dirinya, diambil beberapa menit yang lalu, dengan pisau di tangan dan sorot wajah penuh ketakutan. Ia merasa seperti seekor hewan buruan, terjebak di tengah perangkap yang tak terlihat.

Dewi berdiri di sampingnya, wajahnya pucat pasi. Ia memandang ke arah pintu yang sudah terkunci rapat, seolah-olah Rizal masih berdiri di luar, mengintai dari kegelapan. "Maria," suara Dewi hampir bergetar, "dia tidak main-main. Kita harus keluar dari sini. Sekarang juga."

Maria menggeleng lemah, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. "Aku tidak bisa terus lari, Dewi. Aku tidak bisa membiarkan anak-anakku hidup seperti ini. Rizal ingin aku takut, ingin aku menyerah. Tapi aku tidak akan memberinya kepuasan itu."

Dewi meletakkan tangannya di bahu Maria, mencoba memberi ketenangan yang bahkan ia sendiri tidak miliki. "Tapi kamu tidak bisa melawan dia sendirian. Ini sudah melampaui batas. Kita butuh bantuan."

Maria mengangkat pandangannya, matanya yang basah kini menyiratkan sesuatu yang lebih kuat. "Aku tahu. Tapi aku harus pintar, Dewi. Aku tidak bisa membiarkan dia terus mengendalikan hidupku."

Belum sempat Dewi merespons, suara gemuruh kecil terdengar dari luar. Itu bukan suara langkah kaki, tetapi suara mesin mobil yang mendekat. Kedua wanita itu saling menatap dengan panik sebelum Maria berdiri, berlari menuju jendela kecil di sisi ruang tamu. Ia mengintip dari celah tirai, napasnya tertahan.

Sebuah mobil patroli polisi berhenti di depan rumah. Maria merasa sedikit lega, meskipun ketenangan itu hanya sementara. Dari dalam mobil, Inspektur Farhan keluar, mengenakan seragamnya yang tampak rapi tetapi wajahnya menunjukkan kelelahan.

Maria membuka pintu sebelum Farhan sempat mengetuk. "Pak Inspektur," katanya dengan nada yang penuh rasa takut dan harapan sekaligus. "Dia ada di sini. Dia meninggalkan ini." Ia menyerahkan tumpukan foto itu pada Farhan.

Farhan mengambil foto-foto itu dengan alis yang berkerut dalam. Ia memeriksanya dengan teliti, wajahnya yang biasanya tenang kini menunjukkan kekhawatiran. Ketika ia sampai pada foto terakhir, ia mengangkat pandangannya pada Maria. "Ini diambil malam ini?"

Maria mengangguk pelan. "Baru beberapa menit lalu. Dia ada di luar sana, mengawasi kami."

Farhan menghela napas panjang, lalu menatap sekeliling ruang tamu. "Baik. Saya akan mengerahkan tim untuk patroli di sekitar rumah ini. Tapi, Maria, saya harus jujur. Tanpa bukti langsung tentang siapa yang melakukan ini, tindakan kami terbatas."

Maria menggigit bibirnya, amarah bercampur putus asa. "Bukti? Apa Anda pikir ini tidak cukup? Apa lagi yang Anda butuhkan, Pak? Darah saya di tangan Rizal sebelum Anda bertindak?"

Farhan terdiam, terlihat bingung antara rasa tanggung jawab dan batasan pekerjaannya. "Saya mengerti frustrasi Anda, Maria. Saya benar-benar mengerti. Tapi hukum memiliki prosedur. Kami akan melakukan yang terbaik untuk melindungi Anda dan anak-anak Anda."

"Dengan prosedur itu, dia bisa datang ke sini lagi, masuk ke rumah saya, dan menyakiti kami sebelum Anda tiba," Maria balas dengan suara pecah. Ia menghela napas, berusaha menahan dirinya agar tidak menangis lagi. "Saya tidak bisa hidup seperti ini, Pak. Saya tidak bisa terus merasa seperti ini setiap detik."

Farhan menatap Maria dengan serius. "Kita akan melakukan segalanya untuk mencegah itu terjadi. Saya akan menempatkan seorang petugas di dekat rumah Anda untuk berjaga."

Maria mengangguk, meskipun ia tahu itu mungkin tidak cukup. Rizal bukan tipe orang yang akan takut pada polisi. Baginya, ini semua hanya permainan. Ketika Farhan dan polisi pergi, Maria kembali duduk di sofa, memeluk lututnya.

Dewi mendekatinya, duduk di sampingnya dengan ekspresi khawatir. "Apa rencanamu sekarang, Maria? Polisi tidak cukup, dan Rizal tahu itu."

Maria terdiam sejenak, membiarkan pikiran-pikiran gelapnya mengalir. "Aku tidak tahu, Dewi. Tapi aku tahu satu hal: aku harus menemukan cara untuk membuat dia berhenti, entah bagaimana."

Dewi menatap Maria dengan serius. "Aku ada di sini untukmu. Apa pun yang kamu butuhkan, aku akan bantu."

Malam itu, Maria tidak tidur. Ia duduk di dekat jendela dengan pisau di pangkuannya, matanya mengawasi setiap bayangan yang bergerak di luar. Ia tahu ini bukan hanya tentang dirinya lagi. Anak-anaknya, masa depan mereka—semuanya dipertaruhkan.

Ketika pagi tiba, Maria mengambil ponsel yang ia temukan di hutan dan menghubungi Eko. Ia memutuskan untuk menggali lebih dalam, mencari tahu siapa saja yang terhubung dengan Rizal, siapa yang mungkin membantunya, dan bagaimana ia bisa memanfaatkan informasi itu. Ini bukan lagi soal bertahan hidup. Ini adalah perang, dan Maria bersumpah ia tidak akan kalah.

Beberapa jam kemudian, Eko menelepon Maria dengan suara panik. "Bu Maria, saya menemukan sesuatu yang besar. Saya perlu Anda datang ke sini secepatnya. Tapi pastikan Anda tidak diikuti."

Maria merasakan darahnya berdesir cepat saat mendengar suara panik Eko di telepon. Ia tahu, apa pun yang ditemukan Eko, itu pasti sangat penting. Tetapi rasa takut juga merayapi pikirannya. Jika Eko menemukan sesuatu yang besar, berarti Rizal sudah bergerak lebih jauh dari yang bisa ia duga.

“Aku akan ke sana sekarang,” jawab Maria dengan suara yang bergetar. “Tolong tunggu aku, dan jangan beri tahu siapa pun.”

“Baik, Bu Maria,” jawab Eko cepat sebelum menutup telepon.

Maria menatap ponselnya untuk beberapa detik, pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan buruk. Ia melirik ke arah Putri dan Arif yang sedang bermain di ruang tengah dengan boneka-boneka mereka. Kedua anak itu tampak begitu polos, tidak menyadari badai yang sedang mengancam di luar rumah mereka.

“Dewi,” Maria memanggil pelan, cukup untuk menarik perhatian tetangganya yang sedang berdiri di dapur.

Dewi menoleh. “Ada apa, Maria?”

“Aku harus pergi sebentar,” kata Maria, mencoba menenangkan suaranya agar tidak terdengar terlalu cemas. “Eko menemukan sesuatu, dan aku harus bicara dengannya. Tolong, jaga anak-anak untukku.”

Wajah Dewi berubah khawatir. “Maria, kamu yakin ini aman? Bagaimana kalau Rizal mengikutimu?”

“Aku tidak punya pilihan,” jawab Maria dengan nada tegas. “Aku harus tahu apa yang dia temukan. Ini mungkin satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini.”

Dewi menatap Maria dengan ragu, tetapi akhirnya ia mengangguk. “Baik. Aku akan menjaga Putri dan Arif. Tapi hati-hati, Maria. Jangan lakukan apa pun yang berbahaya.”

Maria tersenyum lemah, lalu meraih jaketnya dan pisau kecil yang ia sembunyikan di dalam tas. Ia tahu ini mungkin tidak cukup untuk melindunginya jika sesuatu terjadi, tetapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Ia keluar dari rumah dengan hati-hati, mengunci pintu di belakangnya. Jalan menuju tempat Eko terasa sunyi, terlalu sunyi. Setiap langkah yang ia ambil di jalan berbatu itu terdengar begitu keras di telinganya. Angin pagi yang seharusnya membawa kesejukan malah terasa seperti sentuhan dingin yang menusuk tulang.

Setelah berjalan selama lima belas menit, Maria tiba di warung kecil tempat Eko bekerja. Pintu belakang terbuka sedikit, dan Maria melihat Eko sedang duduk di depan komputernya dengan wajah tegang. Ia mengetik cepat, seperti sedang berlomba dengan waktu.

“Eko,” panggil Maria pelan sambil masuk.

Eko menoleh, wajahnya langsung menunjukkan ekspresi lega. “Bu Maria, cepat ke sini. Saya harus tunjukkan ini kepada Anda.”

Maria mendekat, berdiri di sampingnya sambil menatap layar komputer yang penuh dengan angka-angka dan grafik. Ia tidak mengerti sebagian besar dari itu, tetapi Eko segera menjelaskan.

“Saya memeriksa aplikasi pelacak yang ada di ponsel itu,” kata Eko sambil menunjuk ke layar. “Aplikasi ini tidak hanya mengirim lokasi Anda. Ini juga terhubung dengan jaringan lain, sebuah server yang digunakan untuk menyimpan data tentang aktivitas Anda.”

Maria merasa jantungnya berdebar lebih kencang. “Apa maksudnya? Rizal memantau setiap gerakanku?”

“Lebih dari itu,” jawab Eko serius. “Saya menemukan sesuatu di server itu—sebuah catatan aktivitas yang menunjukkan bahwa Rizal tidak bekerja sendirian. Ada beberapa nama lain yang terhubung dengan jaringan ini, seperti kelompok kecil yang bekerja sama untuk memata-matai Anda.”

Maria menatap Eko dengan mata terbelalak. “Kelompok? Maksud Anda, dia punya orang lain yang membantunya?”

Eko mengangguk. “Ya. Dan yang lebih buruk, saya menemukan rencana mereka.”

Maria merasa tubuhnya melemas. Ia harus memegang meja untuk menjaga keseimbangannya. “Rencana apa, Eko? Apa yang mereka rencanakan?”

Eko berhenti sejenak, menatap Maria dengan wajah penuh belas kasihan. “Mereka berencana untuk mengambil anak-anak Anda, Bu Maria. Itu adalah langkah berikutnya. Mereka ingin memaksa Anda menyerah dengan menggunakan Putri dan Arif.”

Dunia Maria seolah berhenti seketika. Kata-kata Eko menggema di kepalanya, menyalakan lonceng peringatan yang terus berdentang tanpa henti. “Tidak,” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Eko menatap Maria dengan serius. “Kita harus bergerak cepat. Saya bisa mencoba melacak lokasi Rizal dan orang-orangnya, tetapi Anda harus memastikan anak-anak Anda aman. Kalau mereka tahu saya sedang melacak mereka, mereka mungkin akan bertindak lebih cepat.”

Maria merasakan adrenalin mengalir di tubuhnya. Ketakutan yang sebelumnya menguasainya kini berubah menjadi kemarahan. Ia tidak akan membiarkan Rizal atau siapa pun menyentuh anak-anaknya.

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Maria tegas.

“Pertama, pastikan rumah Anda aman. Tingkatkan pengamanan, dan jangan biarkan anak-anak Anda keluar tanpa pengawasan. Kedua, beri tahu polisi tentang apa yang saya temukan ini. Saya akan mencetak data-data ini sebagai bukti.”

Maria mengangguk, meski pikirannya masih kacau. Ia merasa waktu begitu sempit, seolah-olah segala sesuatu akan runtuh kapan saja. Tetapi ia tahu ia tidak bisa menunjukkan kelemahan. Anak-anaknya bergantung padanya, dan ia tidak akan mengecewakan mereka.

Maria meninggalkan tempat Eko dengan salinan bukti di tangannya, langkahnya lebih cepat daripada sebelumnya. Ketika ia mendekati rumahnya, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Pintu rumahnya terbuka lebar. Tirai di ruang tamu berkibar ditiup angin. Dan di lantai depan pintu, ada boneka kecil milik Putri yang tergeletak, kotor oleh tanah.

Maria menjatuhkan tasnya dan berlari menuju rumah, panik. “Putri! Arif!” teriaknya, suaranya pecah oleh ketakutan.

Maria menemukan rumah kosong, tanpa tanda-tanda Dewi atau anak-anaknya. Di ruang tamu, sebuah pesan tertulis di cermin dengan tinta merah: “Terlambat, Maria.”

Maria terhuyung masuk ke dalam rumah, matanya liar mencari-cari tanda keberadaan Putri, Arif, atau Dewi. Namun, keheningan yang memekakkan menyambutnya, menghantam dadanya seperti palu godam. Rumah itu, yang beberapa jam lalu masih dipenuhi suara tawa kecil anak-anaknya, kini sunyi seperti makam.

Pesan di cermin ruang tamu membuat darahnya membeku: “Terlambat, Maria.” Tinta merah yang menetes dari huruf-huruf itu tampak seperti darah segar, membuat pikirannya semakin kacau. Ia melangkah mundur, punggungnya menabrak dinding, dan ia hampir terjatuh.

“Tidak,” gumamnya, suaranya serak dan hampir tidak terdengar. “Tidak, ini tidak mungkin.”

Maria berlari ke kamar Putri dan Arif, pintunya terbuka lebar. Tempat tidur mereka kosong, selimut tersingkap seolah-olah mereka dilarikan dengan tergesa-gesa. Di atas meja kecil di dekat tempat tidur, boneka lain milik Putri tergeletak, dengan kepala yang sengaja diputar menghadap ke belakang. Pemandangan itu seperti pukulan keras ke jantung Maria.

“Putri! Arif!” Maria berteriak sekuat tenaga, suaranya menggema di setiap sudut rumah yang kosong. Namun, hanya keheningan yang menjawab.

Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar, mencoba menghubungi Dewi. Tetapi telepon itu hanya berdering tanpa ada yang mengangkat. Paniknya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba lagi, kali ini dengan suara gemetar yang nyaris menangis. “Dewi, jawab, kumohon!” Tapi tidak ada jawaban.

Maria jatuh berlutut di tengah ruang tamu, tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. “Tuhan, tolong aku,” bisiknya pelan, air mata mengalir deras di pipinya. Pikiran tentang Putri dan Arif berada di tangan Rizal—atau orang-orangnya—membuatnya hampir kehilangan kewarasan.

Namun, di tengah kepanikan itu, sesuatu dalam dirinya menyala. Itu bukan rasa takut. Itu adalah kemarahan yang membakar, seperti api yang menyulut setiap saraf dalam tubuhnya. Rizal telah melangkah terlalu jauh. Ia mungkin bisa mengancam Maria, membuatnya takut, tetapi menyentuh anak-anaknya adalah dosa yang tidak akan pernah dimaafkan.

Maria bangkit dengan napas memburu. Ia mengambil pisau dapur yang tergeletak di meja, cengkeramannya begitu kuat hingga tangannya memutih. “Kamu ingin perang, Rizal? Baik,” katanya pelan, suaranya penuh dengan tekad yang dingin. “Aku akan memberimu perang.”

Saat itu, ponsel Maria berbunyi, menampilkan nomor tidak dikenal. Ia segera menjawab tanpa berpikir dua kali. “Halo?”

Di ujung telepon, suara yang ia kenal baik terdengar, begitu santai dan menyeramkan. “Maria, Maria… kau tahu aku selalu tahu di mana kau berada.”

“Rizal!” seru Maria, suaranya meledak dengan kemarahan. “Di mana anak-anakku? Apa yang kau lakukan pada mereka?!”

Rizal tertawa pelan, suara itu seperti belati yang menusuk telinganya. “Mereka baik-baik saja, sayang. Untuk saat ini. Tapi aku harus katakan, mereka sangat manis, terutama Putri. Dia sangat mirip denganmu.”

Maria menggertakkan giginya, tubuhnya bergetar hebat. “Kalau kau menyentuh mereka—kalau kau berani menyakiti mereka—aku akan membunuhmu, Rizal. Aku bersumpah, aku akan membunuhmu!”

“Oh, Maria, betapa beraninya kau sekarang,” balas Rizal dengan nada mengejek. “Tapi ini bukan tentang keberanianmu, bukan? Ini tentang pilihan. Jika kau ingin mereka tetap aman, aku ingin kau datang sendiri. Tanpa polisi, tanpa bantuan siapa pun. Kau tahu di mana menemukanku.”

Telepon terputus sebelum Maria sempat menjawab. Ia memandang layar ponselnya dengan tangan gemetar, napasnya memburu seperti habis berlari. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, tetapi ia juga tahu ini adalah perangkap. Rizal tidak pernah bermain bersih.

Maria berdiri di tengah ruang tamu, pikirannya berpacu mencari jalan keluar. Ia tidak bisa melibatkan polisi—Rizal akan tahu dan mungkin langsung melukai anak-anaknya. Ia tidak bisa meminta bantuan Dewi, yang mungkin juga telah menjadi korban.

Tapi ia tidak akan datang tanpa rencana. Ia akan menghadapi Rizal, tetapi kali ini ia akan memastikan bahwa ini adalah akhir dari permainan kotor pria itu.

Maria memasukkan pisau ke dalam tasnya, bersama dengan salinan bukti dari Eko. Ia kemudian menghubungi Eko, memberitahunya apa yang terjadi. Suara Eko terdengar panik di telepon, tetapi ia berjanji akan mencoba melacak lokasi Rizal melalui ponsel yang Maria temukan sebelumnya.

“Aku akan melakukannya secepat mungkin, Bu Maria,” kata Eko. “Tapi tolong, jangan bertindak gegabah. Beri aku waktu.”

Maria hanya menjawab pelan, “Aku tidak punya waktu, Eko.”

Ia menutup telepon, mengambil napas panjang, dan memandang rumahnya yang kosong untuk terakhir kali. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan Putri dan Arif. Ini adalah tentang mengakhiri teror Rizal untuk selamanya.

Maria melangkah keluar, meninggalkan rumah yang kini hanya terasa seperti cangkang kosong. Dalam pikirannya hanya ada satu tujuan: membawa anak-anaknya kembali, tidak peduli apa yang harus ia lakukan untuk mencapainya.

Saat Maria menuju lokasi yang diyakini sebagai tempat Rizal berada, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, pesan singkat muncul di layarnya: “Bawa dirimu sendiri. Tinggalkan pisau itu. Aku tahu apa yang kau sembunyikan.”

Maria berdiri diam di tengah jalan setapak yang gelap, hanya diterangi oleh bulan purnama di atasnya. Angin dingin malam menyapu wajahnya, membuat jaket tipis yang ia kenakan terasa tidak berguna. Ponselnya masih berada di tangan, dengan pesan terakhir dari Rizal terpampang di layar. “Bawa dirimu sendiri. Tinggalkan pisau itu. Aku tahu apa yang kau sembunyikan.” Pesan itu seperti belati yang menghantam jantungnya, menunjukkan betapa Rizal selalu satu langkah di depannya.

Maria menggenggam ponsel itu lebih erat, rahangnya mengeras. Ia tahu Rizal sedang memainkannya, menguji keberaniannya, tetapi ia tidak akan menyerah. Putri dan Arif adalah segalanya baginya. Tidak ada pilihan lain selain menghadapi pria itu, meskipun seluruh tubuhnya berteriak agar ia berhenti.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh dalam dadanya. Perlahan, ia membuka tas kecil yang tergantung di pundaknya. Di dalamnya ada pisau dapur yang ia bawa sebagai perlindungan. Jari-jarinya ragu sejenak, tetapi kemudian ia mengeluarkannya. Pesan Rizal tidak menyisakan ruang untuk bermain-main. Jika ia membawa pisau itu, Rizal mungkin benar-benar melakukan sesuatu yang tidak terduga.

Dengan berat hati, Maria meletakkan pisau itu di bawah semak-semak di dekat jalan setapak. Hatinya berdebar keras. Sekarang ia benar-benar tanpa perlindungan, hanya mengandalkan tekad dan keputusannya untuk bertahan. Ia mengeluarkan napas perlahan dan melangkah maju, memasuki hutan kecil yang gelap, di mana Rizal menyuruhnya datang.

Setiap langkah Maria terasa seperti seribu. Dedaunan kering berderak di bawah kakinya, menciptakan suara yang terasa begitu keras di tengah keheningan. Bayangan pepohonan yang menjulang tinggi seperti sosok-sosok gelap yang mengawasinya, memantau setiap gerakannya. Ia tidak tahu di mana tepatnya Rizal berada, tetapi ia tahu ia semakin dekat. Ketegangan semakin meningkat dengan setiap langkah yang ia ambil.

Lalu, ia melihatnya.

Di tengah kegelapan hutan, sebuah cahaya kecil terlihat. Sebuah lampu gantung tua tergantung dari cabang pohon, memancarkan cahaya kuning yang redup. Di bawahnya, Rizal berdiri dengan santai, tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang biasa ia pakai, dan senyum tipis penuh kemenangan terpampang di wajahnya.

“Maria,” kata Rizal dengan suara rendah yang memecah keheningan. “Kau akhirnya datang.”

Maria berhenti beberapa meter dari pria itu, matanya menatap tajam. “Di mana anak-anakku?” suaranya dingin, meskipun ia berjuang keras untuk menahan getaran di dalamnya.

Rizal tertawa pelan, menggelengkan kepalanya. “Sungguh menyedihkan. Kau selalu memulai dengan ancaman. Tidak bisakah kita berbicara dulu, seperti dua orang dewasa? Seperti dulu, saat kau masih menjadi istriku?”

Maria menggeram pelan. “Aku tidak datang untuk bernostalgia, Rizal. Di mana Putri dan Arif?”

Rizal mengangkat tangannya dengan santai, menunjukkan sikap menyerah. “Tenanglah. Anak-anakmu aman. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau paham sesuatu.” Ia melangkah mendekat, tetapi Maria mundur dengan cepat, membuat Rizal terkekeh. “Masih takut padaku, ya? Itu bagus. Ketakutanmu adalah bukti bahwa aku masih memiliki kendali.”

“Kau tidak punya kendali atas apa pun,” balas Maria tajam. “Beri aku anak-anakku, sekarang.”

Rizal berhenti, menatapnya dengan sorot mata yang tajam. “Sebenarnya, aku ingin kita membuat kesepakatan.”

“Kesepakatan?” Maria hampir tertawa, tetapi rasa marahnya terlalu besar. “Setelah semua yang kau lakukan? Setelah semua ancaman dan ketakutan yang kau sebarkan? Aku tidak akan membuat kesepakatan denganmu, Rizal. Kau salah jika berpikir aku akan menyerah.”

Rizal mengangguk perlahan, seolah-olah ia sudah menduga jawaban itu. “Tentu saja, kau akan mengatakan itu. Kau selalu keras kepala, Maria. Tapi aku akan memberimu alasan untuk berpikir ulang.”

Ia mengangkat tangan, memberi isyarat, dan dari belakang sebuah pohon besar, dua pria muncul. Mereka membawa Putri dan Arif, yang mulutnya ditutup dengan kain, mata mereka dipenuhi ketakutan. Maria merasakan darahnya mengalir dingin saat melihat anak-anaknya yang diseret ke tengah cahaya.

“Tidak!” Maria berteriak, melangkah maju, tetapi Rizal mengangkat tangannya, menghentikannya.

“Tenang, Maria,” katanya dengan nada lembut tetapi penuh ancaman. “Mereka baik-baik saja. Untuk saat ini. Tapi jika kau ingin mereka tetap aman, kau harus mendengarkan aku.”

Maria menatap anak-anaknya, air mata mengalir deras di pipinya. “Rizal, kumohon... mereka tidak ada hubungannya dengan ini. Lepaskan mereka. Apa pun yang kau inginkan dariku, kau bisa ambil. Tapi biarkan mereka pergi.”

“Justru itu, Maria,” kata Rizal, mendekat. “Yang aku inginkan adalah kau. Bukan hanya tubuhmu, tetapi juga ketakutanmu, kepatuhanmu. Kau meninggalkanku dulu, membuatku terlihat lemah di depan dunia. Sekarang, aku ingin kau kembali ke tempatmu. Di bawah kendaliku.”

Maria menggeleng keras, suaranya pecah. “Kau gila. Aku tidak akan pernah kembali padamu.”

Rizal tersenyum tipis, lalu menoleh ke salah satu anak buahnya. “Kita lihat apakah dia akan berubah pikiran.”

Pria itu menarik sebuah pisau kecil dari sakunya, mendekat ke Putri yang berjuang untuk melepaskan diri. Maria berteriak, panik, melangkah maju tanpa peduli pada ancaman Rizal.

“Berhenti!” teriak Maria. “Aku akan lakukan apa yang kau minta! Kumohon, jangan sakiti mereka!”

Rizal menatap Maria dengan mata yang berbinar puas. “Itu dia,” katanya pelan. “Sekarang kau mengerti.”

Sebelum Maria bisa melangkah lebih jauh, suara sirine polisi menggema dari kejauhan. Wajah Rizal berubah serius, dan ia memberikan isyarat pada anak buahnya untuk bersiap. Tapi Maria tahu, ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia miliki untuk menyelamatkan anak-anaknya.

Sirine yang semakin mendekat membelah keheningan malam seperti seruan harapan yang tiba-tiba hadir di tengah kegelapan. Maria melihat Rizal melirik ke arah anak buahnya, memberi isyarat cepat dengan gerakan tangan. Pria itu tampak panik, tetapi tidak sepenuhnya kehilangan kendali. Maria tahu bahwa ini adalah celah yang ia butuhkan—kesempatan untuk merebut kembali apa yang telah direnggut darinya.

Rizal mendekat padanya, matanya menyala dengan amarah yang tidak lagi ia sembunyikan. “Kau memanggil polisi, ya?” desisnya tajam, suaranya menyalak seperti belati yang siap menghujam. “Aku sudah bilang, Maria. Jangan coba-coba bermain denganku.”

“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” balas Maria, suaranya gemetar tetapi matanya penuh dengan keberanian yang baru saja ia temukan. Ia melirik ke arah Putri dan Arif yang masih digenggam erat oleh dua pria di bawah cahaya lampu. Mata Putri penuh air mata, dan Arif tampak ketakutan, tetapi Maria melihat percikan harapan di wajah mereka.

Rizal tertawa pelan, suara itu dingin dan mengancam. “Kau pikir polisi bisa menyelamatkanmu? Kau pikir sirine itu berarti mereka peduli? Tidak, Maria. Mereka hanya akan membuat ini lebih buruk.”

“Tapi kau tahu apa yang akan mereka lakukan jika mereka menemukanku di sini dengan anak-anak kita,” lanjutnya, kali ini lebih tenang tetapi dengan nada licik yang membuat Maria menggigil. “Dan kau tahu siapa yang akan menderita akibatnya. Bukan aku, Maria. Itu kau.”

Maria tidak menjawab. Ia tahu Rizal sedang mencoba menghancurkan ketenangan kecil yang ia miliki. Tetapi sesuatu dalam dirinya memberontak, menolak untuk menyerah pada permainan pikiran pria itu lagi. Ia menatap Rizal, bukan dengan ketakutan, tetapi dengan tekad yang mendidih di dalam dirinya.

“Aku tidak takut padamu lagi, Rizal,” katanya pelan, tetapi suaranya tegas. “Kau bisa mencoba segalanya, tapi kau tidak akan menang. Tidak kali ini.”

Rizal tampak terkejut sesaat, tetapi ia segera menutupi ekspresinya dengan senyum sinis. “Kau benar-benar berubah, Maria. Tapi itu tidak akan cukup.”

Maria melihat sirine semakin mendekat, cahayanya yang berkedip-kedip mulai terlihat dari kejauhan. Ia tahu bahwa Rizal hanya memiliki beberapa detik sebelum ia harus memutuskan—melarikan diri atau menghadapi risiko tertangkap. Ia harus bertindak cepat.

Dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, Maria melangkah maju ke arah Putri dan Arif. “Jika kau ingin aku kembali padamu, lepaskan mereka sekarang. Aku tidak akan pergi ke mana pun jika kau menyentuh mereka.”

Rizal menatapnya dengan tajam, rahangnya mengeras. “Jangan bermain-main denganku, Maria.”

“Lepaskan mereka,” ulang Maria, suaranya semakin keras. Ia tahu, jika ia menunjukkan keraguan sedikit saja, Rizal akan memanfaatkannya. “Jika kau benar-benar ingin aku, kau tidak butuh mereka. Aku di sini.”

Sirine semakin dekat, dan suara mobil patroli yang berhenti terdengar memecah keheningan hutan. Rizal menoleh cepat ke arah bunyi itu, kebingungan dan kemarahan tercampur di wajahnya. Ia memberi isyarat lagi pada anak buahnya, dan salah satu dari mereka mendekati Maria dengan ekspresi bimbang.

Maria memanfaatkan momen itu. Ketika pria yang menggenggam Arif sedikit lengah, Maria menerjang ke arahnya, mengarahkan seluruh kekuatan tubuhnya untuk merebut anaknya. Ia berhasil menarik Arif dari genggaman pria itu, dan dengan tangan gemetar, ia memeluk putranya erat-erat.

“Lari, Arif!” seru Maria. “Lari ke arah polisi!”

Arif terhuyung sejenak, tetapi ia mengangguk dengan cepat dan berlari sekuat tenaga menuju cahaya sirine. Rizal mengumpat keras, tetapi Maria tidak berhenti. Ia berbalik ke arah Putri, yang masih dalam genggaman pria kedua. Kali ini, Rizal bergerak lebih cepat, meraih lengan Maria dan menariknya dengan kasar.

“Kau pikir kau bisa menang dariku?” bisiknya dengan marah, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Maria. “Aku akan memastikan kau membayar untuk semua ini.”

Maria meronta, tetapi Rizal terlalu kuat. Namun, ketika ia melihat Putri memanfaatkan kekacauan itu untuk meloloskan diri dari pria yang menahannya, Maria merasakan percikan harapan lain di dadanya.

“Lari, Putri!” Maria berteriak sekuat tenaga, suaranya pecah oleh emosi. “Ikuti Arif!”

Putri berlari, air matanya mengalir di wajahnya, tetapi ia tidak berhenti. Rizal mencoba mengejarnya, tetapi langkah-langkah berat para polisi yang mendekat membuatnya berhenti. Ia menatap Maria dengan kemarahan membara.

“Kau pikir ini selesai, Maria? Aku akan kembali. Aku akan selalu kembali.”

Maria menatapnya dengan dingin, meskipun tubuhnya gemetar karena kelelahan dan ketakutan. “Kau salah, Rizal. Ini adalah akhirnya untukmu.”

Dalam beberapa detik, polisi tiba dengan senjata terangkat, berteriak agar Rizal dan anak buahnya menyerah. Rizal sempat mencoba melawan, tetapi polisi berhasil melumpuhkannya dengan cepat. Ketika Rizal diborgol dan digiring pergi, Maria jatuh berlutut, seluruh tubuhnya terasa lemas.

Putri dan Arif segera berlari kembali ke arahnya, dan ia memeluk mereka dengan seluruh kekuatan yang tersisa. Air matanya mengalir deras, tetapi kali ini bukan karena ketakutan. Ia menangis karena lega, karena ia tahu ia telah memenangkan pertarungan ini.

Namun, di dalam hatinya, ia tahu perjalanannya belum selesai. Meskipun Rizal telah ditangkap, bayangan ancamannya masih akan menghantui. Tetapi untuk saat ini, Maria memegang anak-anaknya erat, berjanji pada dirinya sendiri bahwa apa pun yang terjadi, ia akan terus melindungi mereka, apa pun taruhannya.

Maria duduk di tanah yang dingin, pelukan eratnya tidak pernah lepas dari Putri dan Arif yang kini berada dalam genggamannya. Napasnya masih tersengal, dan tubuhnya bergetar hebat, entah karena ketakutan yang baru saja mereda atau adrenalin yang perlahan memudar. Cahaya sirine polisi yang berputar-putar menerangi wajah-wajah cemas di sekitar mereka, sementara suara perintah dari para petugas terus menggema di hutan kecil itu.

“Ibu,” bisik Putri, suaranya serak dan gemetar. “Kami takut sekali…”

Maria menunduk, mencium puncak kepala Putri, dan merengkuh Arif lebih erat. “Maafkan Ibu,” suaranya pecah, nyaris tidak terdengar. “Ibu berjanji… tidak akan ada yang menyakiti kalian lagi.”

Seorang polisi mendekat, wajahnya serius namun penuh simpati. “Bu Maria,” katanya lembut, berjongkok agar sejajar dengan Maria dan anak-anaknya. “Anda dan anak-anak sekarang aman. Rizal sudah kami amankan. Dia tidak akan menyentuh Anda lagi.”

Kata-kata itu seharusnya memberi rasa lega, tetapi Maria hanya menatap petugas itu dengan mata yang penuh kehati-hatian. “Dia selalu menemukan cara,” bisiknya. “Selalu.”

Petugas itu terdiam sejenak, menyadari bahwa wanita di hadapannya telah menjalani teror yang lebih dari sekadar ancaman biasa. “Kami akan memastikan dia tetap di penjara, Bu Maria,” lanjutnya. “Tapi kami butuh kerja sama Anda. Tolong, ikuti kami ke kantor untuk memberikan keterangan lebih lengkap.”

Maria mengangguk pelan, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Ia masih bisa merasakan kehadiran Rizal—bayangannya, kekuatannya, ancamannya—seolah-olah dia tidak benar-benar pergi. Bahkan saat pria itu diborgol dan dimasukkan ke dalam mobil polisi, Maria merasa matanya masih menatap tajam ke arahnya, mengirim pesan yang tak perlu diucapkan: Ini belum selesai.

Polisi membantu Maria dan anak-anaknya masuk ke mobil patroli yang menunggu di tepi hutan. Di dalam mobil, Maria memeluk Putri dan Arif di kedua sisinya, tidak membiarkan mereka berpisah sedikit pun. Anak-anaknya perlahan mulai tertidur, kelelahan setelah melalui malam yang begitu menegangkan. Tetapi Maria tetap terjaga, matanya terpaku pada jendela, melihat pemandangan yang berlalu dengan perasaan yang bercampur aduk.

Di kantor polisi, Inspektur Farhan menunggu mereka dengan ekspresi serius. Ia menyambut Maria dengan anggukan singkat sebelum mengarahkannya ke ruang wawancara yang kecil dan sederhana. Di meja, terdapat tumpukan kertas dan beberapa foto barang bukti yang telah diamankan dari Rizal dan anak buahnya.

“Bu Maria,” kata Farhan, suaranya tenang tetapi tegas. “Anda sudah melalui banyak hal malam ini. Tapi kami perlu informasi lengkap dari Anda untuk memastikan Rizal tidak memiliki peluang sedikit pun untuk lolos dari hukum.”

Maria duduk di kursi kayu yang dingin, tangannya meremas ujung meja dengan gugup. “Saya akan memberi tahu apa pun yang Anda butuhkan,” jawabnya pelan. “Asalkan itu memastikan anak-anak saya tetap aman.”

Farhan mengangguk dan memulai dengan pertanyaan-pertanyaan dasar: bagaimana Maria pertama kali menyadari ancaman Rizal, bagaimana ia menemukan ponsel di hutan, dan bagaimana malam ini berakhir dengan konfrontasi di hutan kecil. Setiap kali ia menjawab, Maria merasakan luka lamanya kembali terbuka. Suara Rizal, senyumnya yang penuh ancaman, dan mata dinginnya semuanya terputar kembali di pikirannya, membuat tubuhnya kembali bergetar.

Ketika Maria selesai memberikan keterangannya, Farhan menghela napas panjang. Ia tampak berpikir sejenak sebelum berkata, “Rizal bukan sekadar ancaman biasa. Dia adalah manipulatif, obsesif, dan dia memiliki sumber daya untuk melanjutkan ini meskipun dia berada di balik jeruji besi. Tapi percayalah, kami akan melakukan segalanya untuk memastikan dia tidak pernah menyentuh Anda atau keluarga Anda lagi.”

“Percaya?” Maria menatap Farhan dengan mata lelah namun tajam. “Bagaimana saya bisa percaya, Pak? Dia selalu punya cara. Dia selalu menemukan celah.”

Farhan menatap Maria dengan serius. “Anda benar, Rizal licik. Tapi kita juga belajar dari kesalahan. Kami akan mengajukan perintah perlindungan maksimum, memastikan dia tidak bisa mendekati Anda lagi. Selain itu, kami akan menempatkan tim pengawasan khusus untuk memastikan keamanan Anda.”

Maria mengangguk, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. Ia tahu ini adalah langkah awal, tetapi ia juga tahu bahwa selamanya ia harus tetap waspada. Rizal mungkin telah ditangkap, tetapi ancaman yang ia tinggalkan masih terasa seperti duri di tenggorokannya.

Saat Maria keluar dari ruangan itu, ia menemukan Dewi duduk di kursi tunggu, wajahnya penuh kecemasan. Begitu melihat Maria, Dewi segera bangkit dan memeluknya erat.

“Maria! Syukurlah kalian selamat,” katanya dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Aku merasa sangat bersalah karena tidak bisa melindungi Putri dan Arif. Maafkan aku.”

Maria menggeleng pelan, memeluk Dewi lebih erat. “Ini bukan salahmu, Dewi. Aku yang seharusnya meminta bantuan lebih awal. Aku yang seharusnya bersiap lebih baik.”

Malam itu, Maria membawa anak-anaknya kembali ke rumah dengan pengawalan polisi. Rumah itu terasa dingin dan sepi, meskipun lampu-lampu telah dinyalakan. Tetapi Maria tidak lagi merasa gentar. Ia tahu, ini bukan akhir dari pertempuran. Tetapi untuk malam itu, ia memutuskan untuk memeluk anak-anaknya lebih erat, menikmati momen kecil dari kedamaian yang akhirnya ia dapatkan setelah begitu lama terpenjara dalam ketakutan.

Namun, jauh di dalam hatinya, Maria tahu satu hal: ia tidak bisa selamanya bergantung pada polisi atau orang lain. Jika Rizal kembali, ia harus siap menghadapi ancaman itu sendiri. Ia bersumpah, untuk Putri dan Arif, ia akan menjadi lebih kuat daripada sebelumnya. Perang ini mungkin belum selesai, tetapi ia tidak akan kalah. Tidak lagi.

Maria berdiri di depan jendela ruang tamu rumahnya, memandangi jalan kecil yang gelap dan sepi. Lampu jalan di ujung tikungan hanya memancarkan cahaya temaram, nyaris tidak mampu menembus bayang-bayang yang merayap di sepanjang tepi hutan. Di luar, suara malam terdengar seperti bisikan-bisikan samar yang terus-menerus mengingatkan Maria bahwa ketenangan ini hanyalah ilusi. Sekalipun Rizal telah dibawa pergi dengan tangan terborgol, bayangannya tetap terasa dekat, menghantui setiap sudut pikirannya.

Putri dan Arif tertidur di kamar mereka, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir tanpa suara isak atau mimpi buruk yang mengganggu. Maria memandangi pintu kamar mereka dari kejauhan, memastikan semuanya terkunci rapat. Ia tahu bahwa kelegaan ini hanya sementara, bahwa ini bukan akhir dari perjalanannya. Namun, melihat anak-anaknya akhirnya beristirahat dengan damai memberi Maria kekuatan untuk terus bertahan.

Di atas meja ruang tamu, ponsel Maria bergetar, menampilkan pesan dari Eko. Pesan itu hanya terdiri dari satu kalimat pendek: “Aku menemukan sesuatu. Kau harus datang besok pagi.”

Maria membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Eko sudah bekerja keras melacak jaringan Rizal, mencoba memahami bagaimana pria itu bisa begitu terorganisir dalam meneror hidupnya. Tetapi pesan ini terasa berbeda—seperti peringatan, seperti sesuatu yang lebih besar dari sekadar detail teknis. Ia mematikan ponsel itu, meletakkannya kembali di atas meja, dan menarik napas dalam-dalam.

Sebuah ketukan pelan di pintu membuat tubuhnya menegang. Maria langsung meraih pisau dapur yang ia sembunyikan di balik meja, cengkeramannya begitu kuat hingga tangannya gemetar. Ia berjalan perlahan ke arah pintu, berhenti beberapa langkah sebelum mencapainya. Suara ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.

“Maria, ini aku, Dewi!” suara dari luar memecah ketegangan.

Maria menghembuskan napas panjang, berusaha mengembalikan kendali atas tubuhnya yang gemetar. Ia membuka pintu perlahan, dan di baliknya, Dewi berdiri dengan wajah yang penuh kekhawatiran, membawa termos kecil di tangannya.

“Aku tidak bisa tidur,” kata Dewi pelan, langkahnya ragu-ragu saat memasuki rumah. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang kalian alami.”

Maria mempersilakan Dewi duduk, meski ia sendiri masih merasa terlalu gelisah untuk berbicara. Dewi menuangkan teh hangat dari termos ke dua cangkir kecil yang ia bawa. Maria mengambil satu, meski tangannya yang gemetar membuat sedikit teh tumpah ke piring kecil di bawahnya.

“Kau tahu, Maria,” Dewi memulai, suaranya penuh simpati, “kau tidak harus melalui semua ini sendirian. Aku tahu kau merasa kuat, tapi tidak ada salahnya meminta bantuan. Polisi mungkin tidak sempurna, tapi kau punya kami. Aku, Eko… kami ada di sini untukmu.”

Maria menatap cangkir teh di tangannya, matanya yang lelah menyiratkan betapa dalam ketakutannya. “Aku tidak tahu, Dewi. Aku tidak tahu siapa yang bisa aku percaya. Rizal… dia selalu menemukan cara. Bahkan dengan dia di penjara sekarang, aku tidak bisa berhenti berpikir bahwa dia masih mengawasi kami.”

Dewi mencondongkan tubuhnya ke depan, mencoba menangkap pandangan Maria. “Dia ada di penjara sekarang, Maria. Kau melihat sendiri. Dia tidak bisa menyakitimu lagi.”

“Tapi dia tidak sendiri,” bisik Maria, suaranya penuh dengan ketegangan yang ia coba kendalikan. “Eko menemukan jejaknya. Dia punya orang lain yang membantunya. Itu yang membuatku takut. Aku tahu ini belum selesai.”

Dewi terdiam, kata-kata Maria membuatnya sadar akan kedalaman trauma yang sedang dihadapi temannya. “Lalu apa rencanamu?” tanya Dewi akhirnya. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Maria menatap Dewi, mata cokelatnya menyala dengan tekad baru. “Aku akan bertarung, Dewi. Untuk anak-anak, untuk kebebasan kami. Rizal mungkin berpikir dia masih memegang kendali, tapi aku tidak akan membiarkan dia menang. Tidak lagi.”

Dewi mengangguk, meski jelas ada kekhawatiran dalam ekspresinya. “Kau tahu aku akan selalu ada di sini untuk membantumu, apa pun yang terjadi.”

Malam semakin larut, dan setelah Dewi kembali ke rumahnya, Maria tetap terjaga, duduk di ruang tamu dengan pisau di pangkuannya. Fajar mulai menyingsing ketika ia akhirnya berdiri, mengambil jaketnya, dan bersiap untuk bertemu Eko. Pesan pria itu terus terngiang di kepalanya, memicu rasa penasaran yang bercampur dengan kecemasan.

Ketika ia sampai di bengkel kecil Eko, pria itu sudah menunggunya dengan wajah serius. Di layar komputernya, data-data yang rumit memenuhi tampilan, tetapi Eko tidak membuang waktu untuk menjelaskan.

“Maria,” katanya pelan, suaranya mengandung kepedihan, “aku menemukan sesuatu. Ada akun-akun anonim yang mendanai aktivitas Rizal. Orang-orang ini bukan hanya bekerja dengannya. Mereka adalah bagian dari jaringan yang lebih besar.”

Maria menatap layar itu dengan mata terbelalak, mencoba memahami apa yang sedang ia hadapi. “Jaringan? Apa maksudmu?”

Eko mengangguk pelan. “Aku belum tahu banyak, tapi satu hal yang pasti: ini bukan hanya tentang Rizal. Ada orang-orang yang mendukungnya, memberinya sumber daya untuk terus menerormu. Dan mereka mungkin tidak akan berhenti, bahkan setelah Rizal di penjara.”

Maria merasa darahnya mendidih. Ia mengingat setiap ancaman, setiap pesan, setiap ketakutan yang Rizal tanamkan di hidupnya. Kini, mengetahui bahwa semua itu adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar membuatnya semakin marah.

“Aku akan melawan mereka,” kata Maria tegas, matanya menyala penuh keberanian. “Tidak peduli seberapa besar mereka, aku akan menghentikan ini.”

Eko menatap Maria dengan kagum, tetapi juga dengan rasa khawatir. “Kau tahu ini berbahaya, Maria. Kau harus berhati-hati.”

Maria mengangguk, rahangnya mengeras. “Aku tahu, Eko. Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan hidup kami lagi. Tidak peduli apa yang harus aku lakukan.”

Peristiwa berlanjut: Saat Maria meninggalkan tempat Eko, ia tidak menyadari bahwa seseorang sedang mengamatinya dari jauh, tersembunyi di balik bayang-bayang. Sebuah ponsel dipegang oleh tangan yang gemetar, merekam setiap langkahnya. Dalam hening, sebuah pesan terkirim: “Target bergerak. Awasi lebih dekat.”

Maria berjalan cepat di sepanjang jalan setapak menuju rumahnya, napasnya memburu meskipun ia tahu tak ada alasan bagi langkahnya untuk terburu-buru. Udara pagi terasa dingin di kulitnya, tetapi bukan itu yang membuat tubuhnya terasa kaku. Percakapan dengan Eko tadi berputar di kepalanya seperti pusaran yang tak henti-henti. Jaringan? Pendanaan? Bagaimana Rizal bisa terhubung dengan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan? Ia tidak hanya melawan satu orang, tetapi melawan bayangan yang jauh lebih gelap dan sulit ditebak.

Langit mulai terang, tetapi cahaya mentari pagi tidak mampu menenangkan kegelisahannya. Ia terus menoleh ke belakang, merasa diawasi. Meskipun jalanan sepi, perasaan itu tidak hilang—seperti ada sepasang mata yang mengikuti setiap langkahnya dari jauh.

Ketika rumahnya akhirnya terlihat, Maria mempercepat langkah. Ia ingin segera masuk, memastikan Putri dan Arif masih aman di dalam. Tetapi saat ia mencapai gerbang, ia merasakan sesuatu yang tidak beres. Pintu depan rumahnya terbuka sedikit. Detak jantungnya langsung melonjak.

“Putri? Arif?” Maria memanggil, suaranya terdengar putus asa, gemetar.

Tidak ada jawaban.

Ia menahan napas, mendorong pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk. Ruang tamu tampak seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda kerusakan atau kehadiran orang lain, tetapi keheningan itu membuatnya semakin takut.

Maria berjalan cepat menuju kamar anak-anaknya. Pintu kamar itu tertutup, tetapi tidak terkunci. Ia membuka pintu itu dengan hati-hati, dan di sana ia melihat Putri dan Arif masih tertidur di tempat tidur mereka. Napasnya perlahan kembali teratur. Ia melangkah masuk, duduk di tepi tempat tidur Putri, dan menyentuh rambut anaknya dengan lembut.

Maria menghela napas, tetapi rasa lega itu hanya berlangsung sebentar. Pintu depan yang terbuka tadi tidak bisa ia abaikan begitu saja. Ia tahu ia telah berhati-hati mengunci rumah sebelum pergi ke tempat Eko. Seseorang pasti telah masuk. Tetapi siapa? Dan apa yang mereka lakukan?

Ia kembali ke ruang tamu dan memeriksa setiap sudut, setiap pintu, dan setiap jendela. Tidak ada tanda-tanda kerusakan. Tetapi ketika ia melangkah ke dapur, matanya tertuju pada sesuatu yang membuat tubuhnya menegang. Sebuah amplop cokelat besar tergeletak di atas meja makan, sesuatu yang pasti tidak ada di sana ketika ia meninggalkan rumah pagi tadi.

Maria menatap amplop itu, tidak berani menyentuhnya. Rasa takut menguasai pikirannya, tetapi ia tahu ia harus tahu apa yang ada di dalamnya. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu dan menarik isinya—foto-foto.

Foto-foto itu memperlihatkan dirinya. Saat berjalan ke tempat Eko. Saat berbicara di depan bengkel. Saat meninggalkan lokasi. Setiap foto diambil dari sudut yang berbeda, menunjukkan bahwa seseorang telah mengawasinya sepanjang waktu. Tetapi bukan itu yang membuat darah Maria terasa membeku.

Di salah satu foto terakhir, ia melihat seseorang yang berdiri di belakangnya, hanya beberapa meter jauhnya, di antara bayang-bayang pepohonan. Wajah orang itu tidak jelas, tetapi sosoknya terlihat tegas.

Di dalam amplop, selain foto, ada sebuah catatan kecil. Tulisannya rapi, tetapi penuh ancaman:

“Jangan terlalu jauh mencari jawaban, Maria. Kau tidak akan suka apa yang kau temukan.”

Maria meremas kertas itu dengan tangan yang gemetar, amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu. Ia merasa terpojok, seperti tikus yang dikejar tanpa jalan keluar. Tetapi sesuatu di dalam dirinya kembali menyala—rasa tekad yang tak pernah benar-benar padam.

Ia meraih ponsel dan menelepon Eko. Begitu pria itu menjawab, Maria langsung berbicara dengan nada cepat.

“Mereka tahu, Eko. Mereka tahu aku bertemu denganmu,” katanya, suaranya terdengar tajam. “Mereka mengawasi kita.”

Eko terdengar terkejut. “Apa maksudmu, Maria? Siapa mereka? Apa yang terjadi?”

Maria menjelaskan amplop itu, foto-foto, dan catatan ancaman yang ia temukan. Suaranya penuh ketegangan, tetapi ia berusaha tetap tenang.

“Mereka tidak hanya mengawasiku,” lanjut Maria. “Mereka mencoba menghentikanku sebelum aku menemukan jawaban. Kita harus lebih hati-hati.”

Eko terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab. “Aku mengerti. Aku akan meningkatkan perlindungan di sini. Tapi, Maria, kau harus menjaga dirimu. Mereka lebih berbahaya daripada yang kita duga.”

Maria menutup telepon, rahangnya mengeras. Ia tahu risiko yang sedang ia hadapi. Tetapi ia juga tahu ia tidak bisa berhenti sekarang. Setiap langkah yang ia ambil mendekatkannya pada kebenaran, meskipun kebenaran itu terasa seperti pisau bermata dua.

Malam itu, Maria tidak tidur. Ia duduk di kursi ruang tamu, memandang ke luar jendela dengan pisau dapur di tangannya. Ia tahu ini baru permulaan. Jaringan yang membantu Rizal mungkin telah menyusup lebih dalam daripada yang ia duga. Tetapi ia tidak akan mundur. Demi anak-anaknya, ia akan menghadapi apa pun, bahkan jika itu berarti melawan musuh yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

Peristiwa berlanjut: Saat malam semakin larut, suara langkah kaki terdengar dari luar rumah. Maria mematikan lampu ruang tamu, berdiri di belakang tirai dengan napas tertahan. Bayangan seseorang bergerak perlahan di depan jendela, berhenti sejenak, lalu menghilang ke dalam kegelapan.

Maria berdiri diam di balik tirai yang tipis, pisau dapur masih tergenggam erat di tangannya. Nafasnya terdengar pendek-pendek, seperti sedang melawan detak jantungnya yang memompa terlalu keras. Matanya tidak lepas dari bayangan samar di luar, seseorang yang bergerak perlahan di sepanjang jendela rumahnya. Bayangan itu berhenti sejenak, lalu menghilang ke dalam gelap. Namun, keheningan yang tertinggal setelah itu justru lebih mencekam daripada kehadiran siapa pun.

Ia menahan napas, mendekatkan tubuhnya ke dinding, mencoba menangkap suara langkah atau gerakan lain yang mungkin terdengar. Tetapi yang ia temukan hanya suara dedaunan yang bergesekan, seperti bisikan alam yang memintanya untuk tetap waspada. Maria tahu ini bukan kebetulan—orang itu ada di sana untuk satu alasan. Mengawasi. Meneror. Atau lebih buruk lagi.

Perlahan, Maria mengintip dari celah tirai, tetapi yang ia lihat hanya halaman rumah yang kosong, diterangi samar oleh cahaya bulan. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak yakin apakah sosok itu sudah pergi atau hanya bersembunyi lebih dalam di dalam kegelapan.

Maria berbalik dan berjalan menuju kamar anak-anaknya. Ia membuka pintu dengan pelan, memastikan tidak ada suara yang membangunkan Putri dan Arif. Kedua anak itu masih terlelap, wajah mereka yang polos dan damai menjadi satu-satunya hal yang membuat Maria tetap berdiri tegak. Tetapi melihat mereka juga menyalakan kembali rasa takut di dalam dirinya—takut bahwa apa yang baru saja ia lihat di luar adalah ancaman baru yang akan kembali menyerang keluarganya.

“Ibu tidak akan membiarkan apa pun menyentuh kalian,” bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada anak-anaknya. Ia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Tetapi setiap tarikan napas terasa berat, seolah-olah udara di rumah itu telah menjadi lebih dingin dan lebih pekat.

Maria kembali ke ruang tamu, tubuhnya tegang seperti senar yang siap putus. Ia tidak akan tidur malam ini. Tidak ada ruang untuk beristirahat ketika bayangan dari masa lalunya terus mengejar, kali ini dengan bentuk yang lebih gelap dan lebih tak terduga. Ia tahu bahwa apa yang terjadi di luar tadi hanyalah peringatan. Peringatan bahwa ia sedang diawasi, bahwa ancaman itu belum benar-benar pergi meskipun Rizal telah ditangkap.

Ponselnya bergetar di atas meja, dan Maria langsung meraihnya. Nama Eko muncul di layar, dan Maria menjawab dengan cepat. “Eko, ada apa?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh ketegangan.

“Ada perkembangan,” suara Eko terdengar di seberang, tegang namun terkendali. “Aku mencoba melacak aktivitas terakhir dari jaringan yang terhubung dengan Rizal. Mereka tahu kau bergerak, Maria. Mereka tahu kau tidak hanya diam di tempat.”

“Bagaimana mereka tahu?” Maria bertanya cepat, rasa paniknya semakin meningkat.

“Aku tidak tahu pasti, tetapi yang jelas mereka punya lebih dari sekadar pengawasan. Mereka punya sumber daya untuk memonitor siapa saja yang mendekat ke sistem mereka. Dan itu termasuk aku,” jawab Eko, suaranya terdengar semakin serius. “Aku yakin orang-orang yang muncul di sekitar rumahmu malam ini adalah bagian dari mereka.”

Maria menggigit bibirnya, berusaha menahan gejolak di dadanya. “Jadi mereka tahu aku mencoba melawan. Mereka tahu aku tidak akan berhenti.”

“Itu membuatmu berbahaya di mata mereka, Maria,” jawab Eko pelan. “Dan kau tahu apa yang orang-orang seperti mereka lakukan pada orang yang mereka anggap ancaman.”

Maria meremas ponsel di tangannya, cengkeramannya begitu erat hingga jemarinya memutih. “Aku tidak peduli. Aku akan melindungi anak-anakku, apa pun yang harus kulakukan.”

“Dan aku akan membantumu,” jawab Eko, dengan nada yang penuh keyakinan. “Tapi kau harus mulai berpikir lebih strategis. Ini bukan hanya tentang Rizal lagi. Ini lebih besar dari yang kita kira.”

Maria mengangguk meski Eko tidak bisa melihatnya. Ia tahu pria itu benar. Ia tidak bisa hanya bereaksi. Ia harus mulai merencanakan langkahnya dengan hati-hati, seperti bidak catur di tengah permainan yang nyaris kalah.

“Eko,” Maria berkata, suaranya sedikit lebih tegas. “Apa yang kau temukan? Apa yang mereka rencanakan?”

“Aku belum punya jawaban pasti,” jawab Eko. “Tapi aku menemukan satu pola. Mereka bergerak di sekitar tempat-tempat yang pernah kau kunjungi, Maria. Tidak hanya di sini, tetapi di tempat-tempat yang kau tinggalkan sebelum ini. Mereka memburu jejakmu, dan aku takut itu berarti mereka punya akses lebih banyak daripada yang kita kira.”

Maria merasa tubuhnya membeku. “Jadi mereka tahu… semuanya?”

“Bisa jadi. Tapi aku butuh lebih banyak waktu untuk memastikan. Aku akan terus mencari tahu,” jawab Eko cepat. “Sementara itu, kau harus tetap tenang dan berhati-hati. Jangan bertindak gegabah.”

Maria menutup telepon, pikirannya berkecamuk. Jika Eko benar, maka musuh yang ia hadapi jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan. Ini bukan hanya tentang Rizal. Ini adalah tentang sesuatu yang telah menargetkannya, sesuatu yang lebih gelap daripada sekadar dendam pribadi.

Ia duduk kembali di sofa ruang tamu, matanya memandang ke arah jendela yang kini ia tutup rapat. Pikirannya penuh dengan rencana, tetapi setiap rencana yang muncul terasa seperti tidak cukup. Ia tahu bahwa perang ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Tetapi satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak akan menyerah. Tidak selama anak-anaknya masih menjadi alasan untuk bertahan.

Pagi berikutnya, Maria menemukan tanda baru di depan rumahnya—jejak sepatu yang basah, membentuk jalur langsung ke pintu depan. Di samping jejak itu, sebuah kertas kecil tertinggal, dengan tulisan: “Kami lebih dekat dari yang kau pikirkan.”

Maria terbangun dengan jantung berdebar, meskipun tubuhnya terasa kaku setelah semalaman berjaga. Cahaya pagi yang masuk dari sela-sela tirai tidak memberikan rasa tenang seperti biasanya. Udara di dalam rumah terasa lebih berat, seolah-olah sesuatu yang tak terlihat menggantung di sekitar mereka.

Ia berdiri perlahan, memastikan tidak ada suara yang membangunkan Putri dan Arif di kamar mereka. Ketika ia membuka pintu depan untuk menghirup udara pagi, pandangannya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Jejak sepatu, basah oleh embun pagi, tampak jelas di jalan setapak kecil menuju pintu rumahnya. Jejak itu tidak biasa. Mereka berhenti tepat di depan pintu, seolah-olah seseorang telah berdiri di sana selama beberapa waktu, hanya beberapa langkah dari tempat Maria tertidur di ruang tamu.

Namun, bukan hanya jejak itu yang membuat tubuhnya bergetar. Di samping jejak tersebut, ada sebuah kertas kecil yang terlipat rapi. Tangan Maria gemetar saat ia membungkuk untuk mengambilnya. Ia membuka lipatan itu dengan perlahan, dan tulisan tangan yang tajam dan rapi menyambutnya:

"Kami lebih dekat dari yang kau pikirkan."

Maria merasakan tubuhnya kehilangan keseimbangan sesaat. Ia mundur ke dalam rumah, menutup pintu dengan cepat dan memutar kunci hingga terdengar bunyi klik keras. Tangannya memegang kertas itu erat-erat, sementara pikirannya berputar-putar mencari makna dari pesan itu. Mereka tidak hanya mengawasi. Mereka ingin Maria tahu bahwa mereka ada di sini, begitu dekat, bermain dengan ketakutannya.

Ia berjalan ke meja ruang tamu, meletakkan kertas itu di sana, lalu menarik napas panjang. Tetapi setiap usaha untuk menenangkan dirinya terasa sia-sia. Bayangan jejak sepatu itu terus berputar di kepalanya. Bagaimana bisa seseorang datang sedekat itu tanpa ia sadari? Dan apa lagi yang mereka rencanakan?

Ketika ia berbalik, Putri berdiri di pintu kamar mereka, rambutnya yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. “Ibu,” kata Putri dengan suara pelan, matanya penuh kekhawatiran. “Kenapa Ibu terlihat takut?”

Maria menelan ludah, berusaha menyembunyikan emosi yang bercampur di wajahnya. Ia berjalan mendekati Putri, berlutut agar sejajar dengan anaknya, dan menyentuh wajah gadis kecil itu dengan lembut. “Tidak apa-apa, sayang. Ibu hanya… berpikir.”

Putri tidak terlihat yakin. “Apa Ayah masih mencoba mencari kita?”

Pertanyaan itu menusuk Maria, seperti belati yang mendarat tepat di hatinya. Ia ingin menjawab bahwa semuanya sudah berakhir, bahwa mereka sudah aman. Tetapi ia tahu anak-anaknya terlalu pintar untuk percaya pada kebohongan seperti itu. Jadi, ia hanya memeluk Putri erat-erat, mencium puncak kepalanya, dan berkata dengan suara yang lebih tegas dari yang ia rasakan.

“Tidak ada yang akan menyakiti kita, Putri. Ibu janji.”

Setelah Putri kembali ke kamar untuk menemani Arif, Maria menghubungi Eko. Panggilan itu diangkat hampir seketika, dan suara Eko terdengar lelah di ujung sana.

“Apa lagi yang terjadi, Maria?” tanya Eko, suaranya penuh kekhawatiran.

Maria menjelaskan tentang jejak sepatu itu, tentang catatan yang ditinggalkan di depan pintunya. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti membuka luka baru di dalam dirinya.

“Aku tahu ini akan terjadi,” jawab Eko setelah mendengar penjelasan Maria. “Mereka mencoba menekanmu, membuatmu takut. Mereka tahu kalau kau takut, kau akan berhenti.”

Maria mengepalkan tangannya. “Tapi aku tidak akan berhenti, Eko. Aku tidak bisa. Mereka bisa mencoba apa saja, tetapi aku tidak akan membiarkan mereka menang.”

“Bagus,” jawab Eko, meskipun suaranya terdengar berat. “Tapi kau juga harus berhati-hati. Orang-orang ini bukan seperti Rizal. Mereka lebih terorganisir, lebih licik. Jika mereka merasa kau terlalu jauh masuk ke dalam jaringan mereka, mereka akan menyerang. Dan serangan mereka tidak akan sekadar ancaman.”

Maria menggigit bibirnya, menahan emosi yang ingin meledak. “Aku tidak peduli, Eko. Aku sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan. Jika ini adalah jalan yang harus aku ambil untuk melindungi anak-anakku, aku akan melaluinya, apa pun risikonya.”

Eko terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Aku akan mencoba mempercepat proses pelacakan. Tapi kau harus bersiap untuk langkah berikutnya, Maria. Ini bukan hanya tentang bertahan. Ini tentang menyerang balik.”

Maria mengangguk meskipun Eko tidak bisa melihatnya. “Aku mengerti.”

Setelah menutup telepon, Maria duduk di sofa ruang tamu, matanya memandang ke arah kertas yang masih tergeletak di atas meja. Ia tahu bahwa mereka sedang bermain dengan pikirannya, mencoba memaksanya menyerah. Tetapi mereka tidak mengenalnya—mereka tidak tahu apa yang mampu ia lakukan ketika keluarganya terancam.

Ia mengambil kertas itu, meremasnya hingga menjadi bola kecil, lalu membuangnya ke tempat sampah. “Kalian bisa mencoba sekeras apa pun,” gumamnya, suaranya rendah tetapi penuh tekad. “Tapi kalian tidak akan menang. Tidak kali ini.”

Malam itu, Maria mendengar suara lain dari luar rumah—derit lembut seperti sesuatu yang diseret di sepanjang tembok. Ia berdiri di depan jendela, pisau dapur kembali di tangannya, dan kali ini ia bertekad tidak akan hanya diam mengawasi. Jika mereka datang lebih dekat, ia akan menghadapi mereka.

Maria berdiri di tengah kegelapan ruang tamu, hanya diterangi oleh cahaya samar bulan yang menembus celah tirai. Suara itu datang lagi, derit pelan seperti sesuatu yang diseret di sepanjang tembok luar rumahnya. Telinganya menangkap setiap bunyi dengan jelas, meski jantungnya berdegup begitu keras hingga terasa menggema di dadanya. Ia tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengaburkan suara yang sedang ia dengarkan.

Pisau dapur dingin di genggamannya, terasa seperti satu-satunya perlindungan nyata yang ia miliki. Ia berjalan perlahan ke arah jendela, langkahnya pelan dan hati-hati agar lantai kayu di bawah kakinya tidak mengeluarkan suara. Tangannya meraih tirai, menariknya sedikit ke samping untuk mengintip ke luar.

Bayangan. Samar, tetapi jelas. Seseorang berdiri di luar, tepat di samping tembok rumahnya. Maria menahan napas, matanya terpaku pada sosok itu. Orang itu mengenakan jaket hitam dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Tubuhnya diam, tetapi tangan kanannya bergerak perlahan, menyeret sesuatu di sepanjang dinding.

Maria ingin mundur, ingin melarikan diri, tetapi ia tahu ia tidak bisa. Ini rumahnya. Di dalam, anak-anaknya sedang tidur, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia tidak bisa meninggalkan mereka, tidak bisa membiarkan ketakutannya menguasai dirinya lagi.

Dia merapatkan genggaman pada pisau, mengatur napas yang semakin berat, lalu melangkah mundur dengan hati-hati. Ia bergerak menuju pintu dapur, tempat ia tahu ia bisa keluar tanpa menarik perhatian. Jika orang itu masih di sana, ia akan menghadapinya, tetapi dengan cara yang tidak membuatnya terjebak di dalam rumah.

Pintu dapur berderit pelan saat ia membukanya. Maria mengatupkan rahangnya, berharap suara itu tidak cukup keras untuk menarik perhatian. Udara malam yang dingin langsung menyentuh kulitnya saat ia keluar, membawa aroma tanah basah dan angin lembut yang tidak biasa. Ia melangkah ke halaman samping, di mana ia bisa melihat sudut rumah tempat bayangan itu sebelumnya berdiri.

Tetapi saat ia berbelok, orang itu sudah tidak ada. Hanya tembok yang kosong, tanpa jejak yang terlihat. Maria menatap sekeliling, matanya mencari-cari di antara bayangan pepohonan yang bergoyang pelan di tiup angin.

“Di mana kau?” bisiknya, hampir tanpa suara.

Tiba-tiba, sebuah suara datang dari belakangnya. “Mencariku?”

Maria berbalik dengan cepat, pisau di tangannya terangkat, tetapi tidak ada siapa pun. Suara itu seperti angin, menyelinap di antara pepohonan, tetapi jelas, cukup nyata untuk membuat bulu kuduknya berdiri.

“Kau pikir kau bisa melawan kami?” suara itu datang lagi, kali ini dari arah yang berbeda. Maria memutar tubuhnya, mencoba mencari sumber suara, tetapi hanya kegelapan yang menyambutnya.

“Aku tidak takut padamu,” jawab Maria, meskipun suaranya bergetar. Ia mengarahkan pisau ke depan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia masih memiliki kendali.

Tawa pelan terdengar dari kejauhan, seperti gema yang merambat di antara pepohonan. Suara itu tidak seperti milik Rizal, tetapi memiliki nada licik yang sama. “Tidak takut?” suara itu mengejek. “Tapi tanganmu gemetar, Maria.”

Maria menyadari bahwa genggamannya pada pisau memang goyah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Apa maumu?” ia bertanya keras, mencoba mengatasi rasa takut yang melumpuhkannya.

Tidak ada jawaban. Hanya angin yang bergemuruh di antara daun-daun. Maria berdiri di sana selama beberapa saat, tubuhnya tegang, sebelum akhirnya ia menyadari bahwa suara itu telah menghilang.

Ia bergegas kembali ke dalam rumah, mengunci pintu dapur di belakangnya dengan cepat. Tubuhnya gemetar saat ia duduk di sofa ruang tamu, matanya terus menatap ke arah jendela. Ia tahu ini bukan ancaman kosong. Mereka tidak hanya ingin menakutinya; mereka sedang menguji seberapa jauh ia akan bertahan sebelum ia menyerah.

Maria mengambil ponselnya dan menelepon Eko. Saat pria itu mengangkat, suaranya terdengar penuh kecemasan.

“Mereka ada di sini, Eko,” katanya cepat, suaranya penuh dengan ketegangan. “Mereka datang ke rumahku. Aku mendengar mereka. Mereka berbicara kepadaku.”

“Apa yang mereka katakan?” tanya Eko, suaranya terdengar semakin serius.

Maria menelan ludah, mencoba mengingat kata-kata yang baru saja ia dengar. “Mereka mengatakan aku tidak bisa melawan mereka. Mereka tahu aku takut.”

Eko menghela napas panjang di seberang. “Ini berarti mereka tahu kau adalah ancaman bagi mereka, Maria. Mereka mencoba menjatuhkan mentalmu.”

“Tapi bagaimana aku bisa melawan mereka, Eko? Mereka tidak hanya mengawasi. Mereka bermain-main dengan pikiranku.”

“Maria, kau harus tetap kuat,” jawab Eko tegas. “Ini adalah cara mereka untuk membuatmu berhenti. Mereka tahu bahwa jika kau terus maju, kau akan menemukan sesuatu yang bisa menghancurkan mereka.”

Maria menggenggam ponselnya lebih erat. Ia tahu Eko benar. Tetapi menghadapi ancaman yang tidak terlihat, yang bergerak seperti bayangan, membuatnya merasa seolah-olah sedang melawan sesuatu yang tidak bisa ia sentuh.

“Jangan biarkan mereka menang, Maria,” lanjut Eko. “Kau lebih kuat dari yang mereka kira.”

Maria mengangguk, meskipun Eko tidak bisa melihatnya. “Aku tidak akan menyerah, Eko. Aku tidak bisa. Demi anak-anakku.”

Setelah menutup telepon, Maria kembali duduk di depan jendela, pisau di tangannya. Ia tahu malam ini tidak akan berakhir dengan damai. Tetapi ia bersumpah, apa pun yang terjadi, ia akan bertahan. Karena ini bukan lagi tentang dirinya. Ini tentang masa depan anak-anaknya.

Di pagi hari, Maria menemukan bekas cakaran panjang di dinding luar rumahnya, seperti tanda peringatan, dengan kata-kata yang tergores samar: “Kami selalu ada di sini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Tirai    Bab 8 Penyelesaian

    Hari-hari pasca penangkapan Rizal terasa seperti langkah-langkah kecil menuju pemulihan yang panjang dan penuh tantangan. Meskipun Maria merasa sedikit lega, bahwa satu babak dari kehidupan kelamnya akhirnya selesai, ia tahu bahwa ini bukan akhir dari segala sesuatu. Itu hanyalah awal dari pertempuran baru, yang kali ini lebih bersifat pribadi, lebih dalam, dan melibatkan penyembuhan yang harus dia jalani sendiri.Di ruang tamu rumahnya yang sunyi, Maria duduk dengan punggung tegak, matanya terfokus pada secangkir teh yang baru saja diseduhnya. Putri dan Arif sedang bermain di kamar mereka, dan meskipun suara tawa mereka terdengar riang, Maria tahu betul bahwa ketenangan ini masih rapuh. Mereka telah melalui begitu banyak bersama, dan meskipun mereka mulai merasakan kedamaian, bayang-bayang trauma itu masih sulit dihapuskan.Keesokan harinya, Maria menghadiri sesi terapi pertama se

  • Di Balik Tirai    Bab 7 Konfrontasi Puncak

    Malam itu terasa berbeda. Gelap, sunyi, dan penuh dengan ketegangan yang meluap-luap, Maria bisa merasakannya di setiap detak jantungnya. Setelah berhari-hari bersembunyi, berlari, dan menghindari ancaman yang semakin nyata, malam ini terasa lebih berat. Ada perasaan tidak nyaman yang membayangi rumahnya, sebuah kesan bahwa sesuatu yang buruk sedang menunggu di luar sana, mengintai setiap gerakan.Maria duduk di meja makan, menatap dua anaknya—Putri dan Arif—yang sedang bermain dengan tenang, tidak menyadari betapa dekatnya bahaya yang mengintai. Ia mencoba menenangkan dirinya, berusaha untuk tidak membiarkan ketakutan yang semakin mendalam menguasainya. Namun, ia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya datang dari luar rumah, tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Rizal, yang selama ini mengancam hidupnya, kini berusaha mengakhiri semuanya. Ia tahu bahwa malam ini, konfrontasi itu tak terhindarkan.

  • Di Balik Tirai    Bab 6 Penyelidikan dan Perlindungan

    Maria duduk di ruang tamu rumahnya, ponselnya tergenggam erat di tangan, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan terakhir dari Inspektur Farhan. Sementara anak-anaknya bermain di kamar, dia merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa ketakutan yang sudah lama mengendap. Rizal dan Lingkaran Hitam tidak hanya mengejarnya, mereka juga mulai merangsek lebih dalam ke dalam hidupnya, mengancam setiap orang yang ia cintai. Dan sekarang, setelah mengungkap semua informasi yang mereka miliki, Maria merasa semakin terperangkap.Farhan baru saja mengirimkan kabar bahwa mereka telah menemukan bukti baru: Rizal, yang selama ini bersembunyi di bayang-bayang, kini mulai mengirim ancaman dari sebuah kota yang berbeda. Namun, meskipun mereka sudah melacak jejak komunikasi Rizal, dia sangat hati-hati. Tidak ada bukti yang jelas yang bisa menunjukkan keberadaannya secara la

  • Di Balik Tirai    Bab 5 Ketegangan Meningkat

    Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Maria duduk di ruang tamu rumahnya, dikelilingi oleh keheningan yang berat. Di luar, hanya suara angin malam yang berdesir di antara dedaunan. Namun, di dalam pikirannya, ribuan skenario mengerikan terus bermain. Wajah Putri dan Arif—wajah anak-anaknya yang polos—terus membayang di benaknya, bersanding dengan senyum dingin Rizal dan ancaman yang kini terasa semakin dekat.Di ponselnya, pesan dari Rizal masih terpampang di layar: “Anak-anakmu terlihat manis, ya?”Pesan itu disertai dengan gambar Putri dan Arif, diambil dari luar jendela ruang tamu. Mereka sedang bermain bersama Dewi, tampak ceria dan tanpa beban. Tetapi bagi Maria, gambar itu adalah pengingat bahwa tidak ada tempat aman. Rizal tidak hanya ingin mengancam; ia ingin menghancurkan setiap kepingan rasa aman yang tersisa di hidup Maria.M

  • Di Balik Tirai    Bab 4 Eskalasi Ancaman

    Maria merasakan hidupnya semakin terkunci dalam lingkaran ancaman yang tak berujung. Pesan-pesan anonim datang hampir setiap hari. Beberapa berupa surat tanpa nama yang dilemparkan ke halaman rumahnya, beberapa muncul di media sosial dengan akun-akun tak dikenal yang mengirimkan pesan menakutkan seperti, “Kami selalu melihatmu,”atau, “Tidak ada tempat yang aman, Maria.”Awalnya, Maria mencoba mengabaikan semua itu, meyakinkan dirinya bahwa ketakutannya tidak akan menjadi bahan bakar untuk permainan mereka. Namun, malam itu, sesuatu yang lebih nyata terjadi.Maria terbangun di tengah malam karena suara angin yang tidak biasa. Ia melangkah keluar dari kamarnya, memeriksa anak-anaknya yang sedang tertidur nyenyak, dan beranjak ke ruang tamu. Ketika ia tiba di dapur, ia berhenti mendadak. Pintu

  • Di Balik Tirai    Bab 3 Kilas Balik

    Pernikahan Maria dengan Rizal dimulai seperti kisah dongeng. Ia masih ingat bagaimana ia pertama kali bertemu pria itu—tampan, karismatik, dan memiliki senyum yang mampu membuat siapa pun merasa istimewa. Rizal adalah segala yang Maria pikir ia inginkan dalam seorang pasangan: perhatian, penuh kasih, dan tampak selalu hadir saat ia membutuhkannya. Ia membuat Maria merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Awalnya, semuanya berjalan sempurna. Rizal selalu menggenggam tangannya di tengah keramaian, menatapnya dengan mata yang penuh cinta. Ia mengingat momen-momen kecil itu—sarapan bersama di pagi hari, tawa mereka yang menyatu saat berbicara hingga larut malam, dan bagaimana Rizal selalu menanyakan pendapat Maria dalam hal-hal kecil, seolah-olah pendapatnya adalah satu-satunya yang penting.Namun, seiring waktu, dongeng itu mulai berubah menjadi mimpi buruk. Rizal mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya, sisi yang perlahan-lahan membuat Maria merasa seperti burung yang terkurung

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status