Desa Harmoni tampak tenang di bawah sinar matahari senja yang meredup, dikelilingi oleh hamparan sawah yang membentang luas, dan angin sepoi-sepoi yang menambah kedamaian. Namun, di balik kedamaian itu, ada cerita yang tak terlihat, ada bayang-bayang yang menyelubungi kehidupan setiap orang yang tinggal di sana. Sebuah kisah tentang perjuangan yang tak terucapkan, tentang rasa takut yang merayap di setiap sudut, dan tentang keberanian yang harus ditemukan meskipun dunia seakan melawan.
Maria Lestari, seorang ibu tunggal berusia 35 tahun, berdiri di pintu depan rumah sederhana yang kini menjadi tempat perlindungannya dan kedua anaknya—Putri, yang kini berusia sepuluh tahun, dan Arif, yang baru tujuh tahun. Rumah itu tidak besar, tetapi cukup untuk memberi mereka rasa aman, sesuatu yang sangat berharga setelah berbulan-bulan melarikan diri dari bayang-bayang masa lalu yang mengancam. Maria sudah cukup lelah menjalani hidup dalam ketakutan. Ia sudah cukup dengan segala ancaman yang datang dari seorang pria yang dulu ia percayai—Rizal Pratama.
Sebelumnya, hidup Maria tampak sempurna. Sebagai seorang ibu, ia merasa bangga dengan anak-anaknya dan kehidupannya yang sederhana namun penuh kebahagiaan. Namun, semuanya berubah ketika ia menikah dengan Rizal, seorang pria yang tampaknya sempurna. Rizal adalah orang yang tampak begitu mempesona—tampan, cerdas, dan sangat perhatian. Tapi seiring waktu, dia menunjukkan sisi lain yang lebih gelap—sisi yang mengendalikan, yang memanipulasi, yang penuh dengan kekerasan tersembunyi. Maria, yang pada awalnya merasa beruntung menemukan pasangan seperti Rizal, segera terjebak dalam sebuah hubungan yang mengerikan, di mana setiap langkahnya diperhitungkan, setiap gerakannya diawasi, dan setiap kebebasan yang ia miliki perlahan-lahan dicabut darinya.
Rizal, yang dulunya tampak penuh kasih, berubah menjadi monster yang tidak hanya memukul dan mengancam Maria, tetapi juga mencoba menghancurkan jiwa anak-anak mereka. Setiap kali Maria berusaha untuk berbicara atau bertindak, Rizal akan menghukumnya dengan cara yang membuatnya merasa tidak punya tempat untuk bersembunyi. Dan itu berlangsung selama bertahun-tahun, sampai akhirnya Maria memutuskan untuk melarikan diri dengan anak-anaknya.
Namun, keputusan itu bukanlah keputusan yang mudah. Rizal, meskipun terbilang cerdas dan manipulatif, tak akan membiarkan Maria pergi begitu saja. Dia mengancam akan melukai anak-anak mereka jika Maria berani meninggalkan dia. Rizal tahu cara membuatnya takut, cara mengendalikan hidupnya dari jauh. Mereka berpindah tempat dari satu kota ke kota lain, selalu melarikan diri, selalu menghindari pandangan tajam pria itu yang bisa merobeknya kapan saja.
Desa Harmoni, dengan ketenangannya yang memikat, menjadi tempat baru yang mereka pilih untuk bersembunyi. Namun, meskipun hidup mereka jauh dari kota besar, jauh dari dunia yang pernah mereka kenal, Maria selalu merasa terjaga. Setiap suara di luar rumah, setiap suara kendaraan yang lewat, seolah membawa ancaman dari masa lalu yang tak pernah bisa ia lupakan. Rizal, meskipun jauh, masih bisa menjangkau mereka dengan cara-cara yang tidak pernah mereka bayangkan.
Rizal mulai mengirimkan pesan anonim, mengancam dan mengintimidasi mereka dengan cara yang tak terlihat, tetapi sangat terasa. Setiap surat yang ditemukan di depan pintu, setiap panggilan telepon tanpa suara, membuat Maria merasa terperangkap dalam sebuah dunia yang tidak bisa ia kendalikan. Seperti bayang-bayang yang mengejarnya, selalu ada ketakutan yang mengintai, selalu ada ancaman yang menunggu di balik pintu yang tidak bisa ia lihat. Maria, yang berusaha untuk membangun kehidupan baru untuk dirinya dan anak-anaknya, merasa seolah-olah dirinya tidak pernah benar-benar bebas.
Di Desa Harmoni, Maria bertemu Dewi, seorang tetangga yang ramah dan penuh perhatian. Dewi adalah satu-satunya orang yang Maria bisa percayai sepenuhnya. Mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan, dan Dewi selalu ada untuk mendukung Maria dalam setiap langkahnya. Ketika Maria mulai membuka bisnis kecil menjahit untuk mencari nafkah, Dewi menjadi tangan kanan yang tak ternilai. Mereka bekerja bersama, merancang pakaian, memperkenalkan produk mereka ke pasar lokal, dan secara perlahan, bisnis itu mulai berkembang. Maria mulai merasakan bahwa ada sedikit harapan. Dia dan anak-anaknya mulai membangun kembali hidup mereka, jauh dari bayang-bayang masa lalu.
Namun, meskipun ada kedamaian yang mulai mereka rasakan, Maria tahu bahwa dirinya dan anak-anaknya tidak pernah benar-benar aman. Rizal, yang selalu ada di pikirannya, tidak akan pernah berhenti sampai dia menghancurkan apa yang sudah dibangun. Semua yang mereka lakukan, setiap langkah mereka untuk memulai hidup baru, selalu terbayang oleh ancaman yang tidak bisa mereka lihat tetapi selalu ada di luar sana.
Hidup Maria di Desa Harmoni adalah hidup yang penuh dengan ketakutan dan keberanian, dengan cinta yang dia berikan kepada anak-anaknya dan tekad untuk bertahan hidup. Tetapi tidak ada kedamaian yang sepenuhnya, tidak ada rasa aman yang abadi. Sebab, masa lalu selalu memiliki cara untuk menyusup ke dalam hidupnya, untuk memaksanya menghadapi kembali ketakutan yang ia coba tinggalkan.
Satu hal yang pasti—Maria tidak akan menyerah. Tidak pada anak-anaknya, dan tidak pada dirinya sendiri. Ia berjanji akan melawan sampai akhir. Namun, dalam setiap langkah yang ia ambil, dalam setiap keputusan yang ia buat, ada satu pertanyaan yang selalu membayangi pikirannya: Apakah mereka benar-benar bisa bebas?
Tentu saja, ia belum tahu jawaban pasti dari pertanyaan itu. Tetapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri: Maria Lestari, seorang ibu yang berjuang untuk keluarganya, akan melakukan apa saja untuk memastikan bahwa bayang-bayang masa lalu tidak akan pernah lagi mengendalikan hidupnya.
Maria masuk kembali ke dalam rumah, mengunci semua pintu dengan panik. Namun, ketika ia memeriksa kamar anak-anaknya, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir—selembar kertas kecil yang tergeletak di atas bantal Putri, dengan tulisan yang sama: “Selalu.”Maria berdiri di ambang pintu kamar anak-anaknya, tubuhnya kaku seperti batu. Matanya terpaku pada selembar kertas kecil yang tergeletak di atas bantal Putri. Kertas itu, dengan tulisan yang sama seperti di belakang foto, seolah-olah berteriak dalam keheningan: “Selalu.”Tangannya meraih kertas itu dengan gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa akan kehilangan keseimbangan. Bagaimana mungkin ini bisa berada di sini? Ia telah memeriksa setiap pintu dan jendela, memastikan semuanya terkunci
Maria menemukan surat itu di pagi yang cerah, terselip di bawah pintu rumahnya seperti undangan tak diinginkan yang datang tanpa pemberitahuan. Ia hampir tidak memperhatikan amplopnya, putih polos tanpa nama atau alamat pengirim. Namun, saat ia membukanya, darahnya seakan membeku. Hanya satu kalimat di sana, dengan tulisan tangan yang tegas dan dingin: “Aku tahu di mana kau tinggal.”Jemarinya gemetar saat memegang kertas itu. Ia mencoba menenangkan napasnya, tetapi suara detak jantungnya terasa begitu keras di telinganya. Seisi ruangan yang tadi terasa hangat kini seolah mencekam. Maria berusaha berpikir rasional. Mungkin ini hanya lelucon bodoh dari seseorang yang iseng. Mungkin ini bukan seperti yang aku pikirkan, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun suara kecil di dalam kepalanya berteriak sebaliknya.
Maria masuk ke dalam rumah, masih memegang boneka itu, dan meletakkannya di meja ruang tamu. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya, seolah-olah boneka itu adalah simbol dari semua ketakutannya yang kini memiliki bentuk fisik.Putri dan Arif muncul dari kamar mereka, menggosok mata mereka yang masih mengantuk. “Ibu, ada apa?” tanya Putri dengan suara kecil.Maria memaksa tersenyum, menyembunyikan boneka itu dengan cepat di balik tubuhnya. “Tidak apa-apa, sayang. Hanya ada sesuatu di luar. Ibu sudah membereskannya.”“Tapi kenapa Ibu kelihatan takut?” Arif menatap ibunya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.Maria berlutut di depan mereka, menyentuh pipi mereka dengan lembut. “Ibu baik-baik saja,” katanya pelan, mencoba menenangkan anak-anakn
Pertanyaan itu menusuk Maria, seperti belati yang mendarat tepat di hatinya. Ia ingin menjawab bahwa semuanya sudah berakhir, bahwa mereka sudah aman. Tetapi ia tahu anak-anaknya terlalu pintar untuk percaya pada kebohongan seperti itu. Jadi, ia hanya memeluk Putri erat-erat, mencium puncak kepalanya, dan berkata dengan suara yang lebih tegas dari yang ia rasakan.“Tidak ada yang akan menyakiti kita, Putri. Ibu janji.”Setelah Putri kembali ke kamar untuk menemani Arif, Maria menghubungi Eko. Panggilan itu diangkat hampir seketika, dan suara Eko terdengar lelah di ujung sana.“Apa lagi yang terjadi, Maria?” tanya Eko, suaranya penuh kekhawatiran.Maria menjelaskan tentang jejak sepatu itu, tentang catatan yang ditinggalkan di depan pintunya. Setiap kata yang ia ucapkan te
Saat malam semakin larut, suara langkah kaki terdengar dari luar rumah. Maria mematikan lampu ruang tamu, berdiri di belakang tirai dengan napas tertahan. Bayangan seseorang bergerak perlahan di depan jendela, berhenti sejenak, lalu menghilang ke dalam kegelapan.Maria berdiri diam di balik tirai yang tipis, pisau dapur masih tergenggam erat di tangannya. Nafasnya terdengar pendek-pendek, seperti sedang melawan detak jantungnya yang memompa terlalu keras. Matanya tidak lepas dari bayangan samar di luar, seseorang yang bergerak perlahan di sepanjang jendela rumahnya. Bayangan itu berhenti sejenak, lalu menghilang ke dalam gelap. Namun, keheningan yang tertinggal setelah itu justru lebih mencekam daripada kehadiran siapa pun.Ia menahan napas, mendekatkan tubuhnya ke dinding, mencoba menangkap suara langkah atau gerakan lain yang mungkin terdengar. Tetapi yang ia temukan hanya suara deda
Malam semakin larut, dan setelah Dewi kembali ke rumahnya, Maria tetap terjaga, duduk di ruang tamu dengan pisau di pangkuannya. Fajar mulai menyingsing ketika ia akhirnya berdiri, mengambil jaketnya, dan bersiap untuk bertemu Eko. Pesan pria itu terus terngiang di kepalanya, memicu rasa penasaran yang bercampur dengan kecemasan.Ketika ia sampai di bengkel kecil Eko, pria itu sudah menunggunya dengan wajah serius. Di layar komputernya, data-data yang rumit memenuhi tampilan, tetapi Eko tidak membuang waktu untuk menjelaskan.“Maria,” katanya pelan, suaranya mengandung kepedihan, “aku menemukan sesuatu. Ada akun-akun anonim yang mendanai aktivitas Rizal. Orang-orang ini bukan hanya bekerja dengannya. Mereka adalah bagian dari jaringan yang lebih besar.”Maria menatap layar itu dengan mata terb