Home / Young Adult / Di Balik Tirai / Bab 2 Ancaman Muncul

Share

Bab 2 Ancaman Muncul

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-06-01 19:22:40

Maria menemukan surat itu di pagi yang cerah, terselip di bawah pintu rumahnya seperti undangan tak diinginkan yang datang tanpa pemberitahuan. Ia hampir tidak memperhatikan amplopnya, putih polos tanpa nama atau alamat pengirim. Namun, saat ia membukanya, darahnya seakan membeku. Hanya satu kalimat di sana, dengan tulisan tangan yang tegas dan dingin: “Aku tahu di mana kau tinggal.”

Jemarinya gemetar saat memegang kertas itu. Ia mencoba menenangkan napasnya, tetapi suara detak jantungnya terasa begitu keras di telinganya. Seisi ruangan yang tadi terasa hangat kini seolah mencekam. Maria berusaha berpikir rasional. Mungkin ini hanya lelucon bodoh dari seseorang yang iseng. Mungkin ini bukan seperti yang aku pikirkan, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun suara kecil di dalam kepalanya berteriak sebaliknya.

Sambil masih memegang surat itu, Maria berjalan ke rumah Dewi, tetangganya yang selalu ramah. Ia mengetuk pintu dengan tergesa-gesa, dan tidak butuh waktu lama bagi Dewi untuk membukanya.

“Maria? Ada apa? Kau terlihat pucat,” tanya Dewi, alisnya berkerut melihat ekspresi temannya.

Maria tidak menjawab. Ia menyerahkan surat itu tanpa sepatah kata pun, membiarkan Dewi membaca pesan singkat yang menghantui pikirannya. Wajah Dewi berubah, matanya melebar dengan ekspresi terkejut.

“Siapa yang mengirim ini?” tanya Dewi dengan nada cemas.

“Aku tidak tahu,” jawab Maria, suaranya hampir berbisik. “Aku menemukannya pagi ini, di bawah pintu rumahku.”

Dewi menggigit bibir, memandang Maria dengan khawatir. “Maria, kau harus melaporkan ini ke polisi.”

Maria menggeleng pelan, menundukkan kepala. “Lalu apa? Mereka tidak akan melakukan apa-apa. Ini hanya selembar kertas. Mereka tidak punya alasan untuk menganggap ini serius.”

“Tapi bagaimana kalau ini benar-benar ancaman?” desak Dewi. “Kau tidak bisa mengabaikannya. Kau harus melindungi dirimu, Maria.”

Maria tidak menjawab. Hatinya bercampur aduk. Ia tidak ingin mengakui ketakutannya, tetapi surat itu telah membuka kembali luka yang berusaha ia tutup rapat. Bayangan masa lalu terasa semakin dekat, seperti napas yang dingin di tengkuknya.

Ketika Maria kembali ke rumah, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mengurus pekerjaan rumah. Namun, perasaan diawasi tidak pernah benar-benar hilang. Setiap suara kecil—angin yang berdesir di pohon, suara langkah kaki di luar rumah—membuat tubuhnya tegang. Bahkan ketika Putri dan Arif tertawa di ruang tamu, Maria merasa tidak bisa benar-benar tenang.

Di sore harinya, Arif berlari masuk dengan suara penuh semangat. “Ibu! Ada kucing di luar! Dia sendirian!”

Maria menoleh ke arah anaknya yang berdiri di ambang pintu, matanya berbinar-binar. Di belakangnya, seekor kucing kecil berbulu putih dengan bercak cokelat di ekornya mengintip malu-malu dari balik pintu.

“Dia kelihatan lapar, Bu,” kata Arif, memandang Maria dengan wajah memohon. “Boleh aku pelihara dia?”

Maria terdiam, menatap kucing kecil itu dengan mata penuh pertimbangan. Ia tahu memberi Arif sesuatu untuk dirawat mungkin akan mengalihkan perhatian mereka dari ketegangan yang melingkupi rumah ini. Setelah beberapa detik, ia mengangguk. “Baiklah. Tapi kau yang bertanggung jawab untuk memberinya makan dan merawatnya.”

Arif melonjak kegirangan. “Terima kasih, Bu!” Ia berlari keluar, menggendong kucing itu dengan hati-hati, seolah-olah takut menyakitinya.

Melihat senyuman di wajah Arif membuat hati Maria sedikit hangat, meskipun perasaan waspada tetap mengintai. Ia berharap kucing itu bisa membawa sedikit kebahagiaan ke rumah ini, meski hanya sementara.

Malam itu, Maria berusaha untuk tidur, tetapi pikirannya terus kembali ke surat itu. Ia merasa seolah-olah tembok di sekitar rumahnya tidak cukup untuk melindungi dirinya dan anak-anaknya. Ketika ia akhirnya memaksakan dirinya untuk berbaring, ponsel di atas meja samping tempat tidur tiba-tiba berdering.

Maria meraihnya dengan cepat, jantungnya berdebar. Nomor yang muncul di layar tidak dikenal. Ia ragu sejenak, tetapi akhirnya menjawab. “Halo?”

Tidak ada suara di ujung telepon. Hanya keheningan.

“Halo? Siapa ini?” tanya Maria, suaranya mulai meninggi.

Masih tidak ada jawaban. Tetapi kemudian, suara napas yang berat terdengar, pelan dan menakutkan, seperti seseorang sedang berdiri sangat dekat di ujung telepon. Maria merasa tubuhnya mulai dingin.

“Siapa kau?!” serunya, mencoba terdengar tegas, meskipun ketakutannya sudah tak bisa lagi ia sembunyikan.

Napasan itu berhenti tiba-tiba, diikuti oleh bunyi tut tut sebelum panggilan terputus. Maria menatap layar ponselnya, tubuhnya terasa membeku di tempat. Ia meletakkan ponsel itu dengan tangan yang gemetar, mencoba mengatur napas yang mulai tak teratur.

Malam itu, Maria tidak tidur. Ia duduk di kursi ruang tamu dengan pisau dapur di pangkuannya, menatap pintu depan yang terkunci rapat. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah permainan pikiran, bahwa semua ini tidak nyata. Tetapi ia tahu lebih baik. Ancaman itu bukan lagi bayangan yang jauh. Itu sudah di sini, mengetuk pintunya, merayap di kehidupannya seperti racun yang perlahan menyebar.

Pagi berikutnya, saat Maria membuka pintu depan untuk mengambil udara segar, ia menemukan sesuatu yang membuat jantungnya kembali berdebar. Sebuah boneka kecil tergantung di pagar rumahnya, lehernya terikat oleh tali hitam, dengan kertas kecil di dadanya yang bertuliskan: “Ini baru permulaan.”

Maria membuka pintu rumah dengan hati-hati, seolah-olah ia takut sesuatu akan menyergapnya dari luar. Udara pagi terasa dingin, tetapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil. Ketika ia melangkah keluar untuk menghirup udara segar dan mencoba menenangkan pikirannya, pandangannya langsung tertuju pada sesuatu di pagar rumahnya.

Sebuah boneka kecil tergantung di sana, lehernya diikat dengan tali hitam yang kasar. Boneka itu terlihat lusuh, dengan bagian-bagian kainnya yang sobek, seolah-olah telah sengaja dirusak. Di dadanya, ada secarik kertas kecil yang disematkan dengan pin, kertas itu melambai tertiup angin pagi.

Maria mendekat, langkahnya perlahan dan penuh kewaspadaan. Jantungnya berdetak semakin cepat saat ia membaca tulisan yang tertera di kertas itu: “Ini baru permulaan.”

Tangannya gemetar ketika ia meraih boneka itu dan kertasnya, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Rasa takut yang sebelumnya hanya mengintai kini menjalar, menguasai seluruh tubuhnya. Ia memandangi boneka itu lebih dekat, memperhatikan bagaimana setiap detailnya dirancang untuk mengintimidasi—dari tali hitam di leher hingga kain yang dicabik-cabik seperti korban yang telah disiksa.

Ia tidak bisa bernapas dengan normal. Dunia di sekitarnya terasa memudar, hanya menyisakan boneka itu dan pesan yang tertulis sebagai pusat realitasnya. Ancaman ini tidak lagi samar atau terselubung. Ini adalah pernyataan langsung—sesuatu yang gelap dan nyata sedang mengintainya, dan Maria tahu ia tidak bisa terus berdiam diri.

“Maria!” suara Dewi dari belakang membuat Maria tersentak, hampir menjatuhkan boneka itu dari tangannya. Dewi berlari dari pagar rumahnya, wajahnya yang biasanya hangat kini dipenuhi kekhawatiran.

“Apa itu?” tanya Dewi, napasnya tersengal. Matanya terpaku pada boneka yang kini tergantung lemas di tangan Maria.

Maria menggeleng perlahan, suaranya nyaris tidak terdengar. “Aku… aku menemukannya di pagar. Dengan pesan ini.” Ia menyerahkan kertas itu pada Dewi, yang membacanya dengan mata melebar.

“Ya Tuhan, Maria. Ini sudah kelewatan!” seru Dewi dengan nada panik. “Kau harus melapor ke polisi. Sekarang juga. Ini bukan ancaman biasa.”

Maria memandang boneka itu dengan kosong. “Dan mereka akan mengatakan apa? Bahwa ini hanya lelucon anak-anak? Bahwa aku hanya terlalu paranoid?”

“Tidak!” Dewi membantah dengan tegas. “Ini serius, Maria. Tidak ada anak-anak yang akan melakukan ini. Orang yang melakukan ini tahu apa yang mereka lakukan. Mereka ingin kau ketakutan.”

Maria mendesah berat, pandangannya masih tertuju pada boneka di tangannya. Ia tahu Dewi benar, tetapi bayangan pengalaman masa lalunya dengan polisi membuatnya ragu. Setiap kali ia melaporkan sesuatu tentang Rizal atau ancaman yang ia terima sebelumnya, mereka selalu memandangnya dengan tatapan skeptis, seolah-olah masalahnya tidak cukup penting untuk ditangani.

“Aku tidak tahu, Dewi,” kata Maria akhirnya, suaranya hampir tenggelam oleh embusan angin pagi. “Aku merasa… aku merasa seperti dipojokkan. Ke mana pun aku pergi, ancaman ini selalu mengikuti.”

Dewi meraih bahu Maria, menatapnya dengan penuh tekad. “Kau tidak bisa menyerah, Maria. Ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang anak-anakmu. Kalau kau membiarkan ini berlanjut, mereka akan terus meningkat. Kau harus melindungi Putri dan Arif.”

Mendengar nama anak-anaknya membuat Maria tersentak. Ia memandang Dewi dengan mata yang mulai berkaca-kaca, tetapi ada kilatan tekad di dalamnya. “Kau benar,” katanya dengan suara yang sedikit lebih kuat. “Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa membiarkan mereka terus bermain-main dengan hidupku.”

Maria masuk ke dalam rumah, masih memegang boneka itu, dan meletakkannya di meja ruang tamu. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya, seolah-olah boneka itu adalah simbol dari semua ketakutannya yang kini memiliki bentuk fisik.

Putri dan Arif muncul dari kamar mereka, menggosok mata mereka yang masih mengantuk. “Ibu, ada apa?” tanya Putri dengan suara kecil.

Maria memaksa tersenyum, menyembunyikan boneka itu dengan cepat di balik tubuhnya. “Tidak apa-apa, sayang. Hanya ada sesuatu di luar. Ibu sudah membereskannya.”

“Tapi kenapa Ibu kelihatan takut?” Arif menatap ibunya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

Maria berlutut di depan mereka, menyentuh pipi mereka dengan lembut. “Ibu baik-baik saja,” katanya pelan, mencoba menenangkan anak-anaknya meskipun ia sendiri masih merasa gemetar. “Ibu hanya sedikit lelah. Kalian sarapan dulu, ya?”

Setelah memastikan anak-anaknya kembali ke dapur, Maria kembali menatap boneka itu. Ia merasakan sesuatu dalam dirinya—bukan hanya ketakutan, tetapi juga kemarahan. Orang-orang ini, siapa pun mereka, ingin menghancurkannya dari dalam. Mereka ingin ia merasa tidak berdaya. Tetapi Maria tidak akan membiarkan mereka menang.

Ia mengambil ponselnya dan menekan nomor polisi. Ketika seorang petugas menjawab, Maria mencoba mengendalikan suaranya yang bergetar. “Saya ingin melaporkan ancaman,” katanya pelan, tetapi tegas. “Seseorang datang ke rumah saya dan meninggalkan pesan.”

Petugas itu bertanya beberapa hal dasar, dan Maria menjawabnya dengan singkat tetapi jelas. Meskipun ia merasa ragu apakah mereka akan benar-benar menindaklanjuti laporannya, ia tahu ia tidak bisa hanya diam. Ini adalah langkah pertama, kecil tapi penting, untuk melawan balik.

Malam harinya, saat Maria mencoba menenangkan diri di ruang tamu, ponselnya kembali berdering. Kali ini, ia tidak menjawab. Tetapi suara napas berat yang sama terdengar dari voicemail yang ditinggalkan, diiringi oleh sebuah kalimat singkat yang membuat darahnya membeku: “Kami melihatmu, Maria. Dan kami semakin dekat.”

Maria duduk di sofa ruang tamu, ponselnya tergeletak di meja di depannya seperti benda asing yang menatap balik padanya. Ruangan itu redup, hanya diterangi oleh lampu kecil di sudut, memberikan cahaya yang terasa lebih seperti bayangan daripada terang. Pesan voicemail yang ia terima beberapa jam sebelumnya masih terngiang di telinganya—napas berat yang tidak terburu-buru, tidak gugup, tetapi penuh ancaman. Dan kalimat itu, “Kami melihatmu, Maria. Dan kami semakin dekat,” terus memutar di kepalanya, seperti jarum yang menusuk ulang luka yang sama.

Maria menggenggam erat tangannya di pangkuannya, berusaha menenangkan diri, tetapi gemetar itu tidak bisa berhenti. Ancaman ini tidak lagi hanya bermain dengan ketakutannya. Mereka masuk lebih dalam, menyusup ke dalam rutinitas dan keamanan kecil yang coba ia bangun. Mereka menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman. Tidak untuknya. Tidak untuk anak-anaknya.

Di kamar mereka, Putri dan Arif sudah tertidur, tetapi Maria tidak bisa memejamkan mata. Ia terus membayangkan sosok asing yang mungkin mengintai dari luar, seseorang yang tahu persis di mana ia berada dan apa yang ia lakukan. Rumah ini, tempat yang ia pilih untuk melarikan diri dari mimpi buruk masa lalunya, kini menjadi jebakan yang menyesakkan.

Ketika ponselnya kembali bergetar, Maria hampir melompat dari tempat duduknya. Layarnya menunjukkan nomor tak dikenal. Jari-jarinya gemetar saat ia mengambil ponsel itu, tetapi ia tidak menjawab. Ia hanya menatap layar itu, menunggu sampai dering berhenti dan voicemail baru masuk.

Setelah beberapa detik, ia membuka pesan itu, menempelkan ponsel ke telinganya dengan napas tertahan. Suara napas itu lagi, berat, lambat, dan sengaja dibuat menyeramkan. Kemudian, suara laki-laki yang dalam dan dingin terdengar, kali ini lebih jelas.

“Jangan terlalu percaya pada dinding-dinding rumahmu, Maria. Mereka tidak bisa melindungimu. Kami bisa masuk kapan saja.”

Maria menutup voicemail itu dengan cepat, seolah-olah menutupnya bisa menghentikan ancaman tersebut. Tetapi ketakutan telah menembus batas pikirannya, mengoyak sisa keberanian yang ia coba pertahankan. Ia bangkit dari sofa, langkahnya tergesa-gesa menuju dapur. Tangannya meraih pisau yang ia letakkan di atas meja, menggenggamnya seperti perisai terakhir.

Tiba-tiba, suara kecil terdengar dari arah belakangnya. Maria berbalik dengan cepat, pisau terangkat. Itu hanya Putri, berdiri di ambang pintu dapur dengan mata mengantuk dan wajah kecil yang polos.

“Ibu?” tanya Putri dengan suara kecil. “Kenapa Ibu memegang pisau? Apa ada yang salah?”

Maria menurunkan pisau itu dengan cepat, meletakkannya di meja sebelum mendekati anaknya. Ia berlutut, meraih kedua tangan Putri, dan mencoba tersenyum meskipun hatinya bergetar. “Tidak ada apa-apa, sayang. Ibu hanya… sedikit khawatir. Kau harus kembali tidur.”

Putri memiringkan kepalanya, menatap ibunya dengan rasa ingin tahu yang tidak bisa disembunyikan. “Ibu takut karena Ayah?”

Pertanyaan itu membuat Maria terdiam, napasnya tertahan. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Putri, meski baru berusia sepuluh tahun, sudah cukup mengerti bahwa ada sesuatu yang tidak pernah sepenuhnya pergi dari kehidupan mereka—bayangan gelap yang terus mengikuti. Tetapi bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa kali ini bukan hanya tentang Rizal? Bahwa ada sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya, yang kini mengancam mereka?

Maria menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. “Ibu hanya ingin memastikan semuanya aman. Kau tidak perlu khawatir, Putri. Ibu akan selalu melindungimu dan Arif.”

Putri mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya menunjukkan bahwa ia masih ragu. “Aku percaya, Bu,” katanya akhirnya sebelum kembali ke kamar.

Maria berdiri di ambang pintu, menatap punggung kecil Putri yang menghilang di balik pintu kamar mereka. Kata-kata anaknya terus terngiang di telinganya: “Aku percaya, Bu.” Itu seperti janji yang harus ia penuhi, tidak peduli apa yang harus ia korbankan.

Malam semakin larut, tetapi Maria tidak bisa membiarkan dirinya istirahat. Ia membuka setiap pintu dan jendela, memeriksa kunci-kunci dengan teliti. Ia berjalan di sekitar rumah, memastikan tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh siapa pun yang mencoba masuk. Ketika ia akhirnya duduk kembali di ruang tamu, suara ketukan pelan di jendela membuat tubuhnya membeku.

Ia tidak bergerak, hanya menatap ke arah jendela dengan tubuh yang tegang. Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras kali ini. Maria berdiri dengan hati-hati, meraih pisau di meja, lalu berjalan ke arah jendela.

Ketika ia membuka tirai dengan cepat, jantungnya melompat. Tidak ada siapa pun di luar. Hanya kegelapan dan bayangan pepohonan yang bergerak pelan tertiup angin malam. Tetapi saat ia menurunkan pandangannya, ia melihat sesuatu di tanah, tepat di depan jendela.

Sebuah foto.

Maria membuka pintu dengan hati-hati, melangkah keluar untuk mengambil foto itu. Tangannya gemetar saat ia membaliknya dan melihat gambar yang terpampang di sana. Itu adalah foto dirinya, diambil dari luar jendela saat ia duduk di sofa beberapa jam sebelumnya, memegang ponselnya.

Di belakang foto itu, sebuah pesan singkat tertulis dengan tinta hitam: “Kami sudah di sini, Maria. Selalu.”

Maria masuk kembali ke dalam rumah, mengunci semua pintu dengan panik. Namun, ketika ia memeriksa kamar anak-anaknya, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir—selembar kertas kecil yang tergeletak di atas bantal Putri, dengan tulisan yang sama: “Selalu.”

Maria berdiri di ambang pintu kamar anak-anaknya, tubuhnya kaku seperti batu. Matanya terpaku pada selembar kertas kecil yang tergeletak di atas bantal Putri. Kertas itu, dengan tulisan yang sama seperti di belakang foto, seolah-olah berteriak dalam keheningan: “Selalu.”

Tangannya meraih kertas itu dengan gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa akan kehilangan keseimbangan. Bagaimana mungkin ini bisa berada di sini? Ia telah memeriksa setiap pintu dan jendela, memastikan semuanya terkunci rapat. Tidak ada celah, tidak ada pintu yang terbuka. Tetapi fakta bahwa pesan ini ada di kamar Putri, tempat yang seharusnya menjadi zona paling aman, menghancurkan seluruh pertahanannya.

Maria menoleh ke arah anak-anaknya. Putri dan Arif masih tertidur, wajah mereka tenang dan damai, tidak tahu bahwa dunia di sekitar mereka sedang diinvasi oleh ancaman yang begitu gelap. Maria menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mengalir. Ketakutannya tidak lagi hanya miliknya. Itu telah merasuk ke dalam ruang hidup anak-anaknya, sesuatu yang tidak pernah ia inginkan terjadi.

Ia melangkah mundur dari kamar, menutup pintu perlahan tanpa suara. Dengan langkah tergesa-gesa, ia kembali ke ruang tamu, mencengkeram kertas itu di tangannya. Napasnya memburu, dan pikirannya berpacu dengan ratusan skenario buruk. Bagaimana bisa mereka masuk? Apakah seseorang masih di dalam rumahnya?

Maria meraih pisau dapur yang tadi ia letakkan di meja, cengkeramannya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia memeriksa setiap ruangan sekali lagi, lebih teliti daripada sebelumnya. Dapur, kamar mandi, bahkan lemari-lemari besar yang cukup untuk seseorang bersembunyi. Tidak ada apa-apa. Tetapi Maria tahu, ketidakhadiran fisik bukan berarti ancaman itu tidak nyata.

Ia menghempaskan diri ke kursi ruang tamu, tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Ia menatap kertas di tangannya, kemudian beralih ke foto yang tadi ia temukan di depan jendela. Wajahnya sendiri di foto itu, diambil tanpa sepengetahuannya, seperti cermin yang menunjukkan ketakutan terdalamnya. Mereka tidak hanya ingin menerornya. Mereka ingin ia tahu bahwa mereka bisa menjangkaunya kapan saja, bahkan di tempat yang seharusnya paling aman.

Maria mengambil ponsel dan langsung menghubungi Dewi. Ketika Dewi menjawab, suaranya terdengar mengantuk tetapi langsung berubah menjadi cemas ketika mendengar nada Maria.

“Dewi, aku… aku butuh bantuanmu,” kata Maria, suaranya terdengar pecah.

“Ada apa lagi, Maria?” tanya Dewi, suaranya semakin waspada. “Apa yang terjadi?”

“Mereka masuk ke rumahku,” jawab Maria pelan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Aku menemukan pesan di kamar Putri. Mereka ada di sini, Dewi. Mereka benar-benar ada di sini.”

Dewi terdiam beberapa detik sebelum menjawab, suaranya terdengar gemetar. “Maria, kau tidak bisa diam saja. Kau harus memanggil polisi. Ini sudah terlalu jauh.”

“Aku tahu,” kata Maria dengan suara yang penuh rasa putus asa. “Tapi aku takut, Dewi. Bagaimana kalau mereka tidak percaya? Bagaimana kalau mereka bilang ini hanya paranoia?”

“Maka aku akan datang bersamamu,” balas Dewi dengan tegas. “Mereka tidak bisa mengabaikan ini. Apa pun yang terjadi, kau tidak sendirian, Maria.”

Air mata mengalir di pipi Maria mendengar kata-kata itu, meskipun rasa takutnya masih menggumpal di dadanya. “Terima kasih, Dewi,” katanya lirih.

Setelah menutup telepon, Maria duduk di sana selama beberapa menit, mencoba menyusun keberanian untuk langkah berikutnya. Tetapi sebelum ia sempat bergerak, suara langkah kaki terdengar dari luar jendela. Bukan langkah yang berat, tetapi ringan dan cepat, seperti seseorang yang sengaja ingin tidak ketahuan.

Maria berdiri dengan cepat, menggenggam pisau di tangannya. Ia mendekati jendela dengan hati-hati, membuka tirai sedikit untuk melihat ke luar. Bayangan seseorang terlihat melintas cepat di depan pagar rumahnya, terlalu cepat untuk dikenali. Maria menahan napas, tubuhnya tegang. Ia ingin membuka pintu dan berlari keluar, tetapi ia tahu itu terlalu berisiko. Ia hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan bayangan itu menghilang ke dalam gelap.

Maria menutup tirai dengan gemetar, lalu kembali ke ruang tamu. Ia merasa semakin terpojok, seolah-olah rumah ini bukan lagi tempat perlindungan, tetapi jebakan. Tetapi di tengah rasa takut yang mencekik, ia merasakan sesuatu yang lain tumbuh di dalam dirinya—kemarahan. Mereka mencoba menghancurkannya, mencoba membuatnya menyerah, tetapi Maria tidak akan membiarkan itu terjadi.

Ia meraih ponselnya lagi, kali ini memutuskan untuk menghubungi polisi. Ia tahu bahwa ini mungkin tidak menghasilkan apa-apa, tetapi ia tidak bisa terus membiarkan dirinya diam. Ketika seseorang di ujung telepon menjawab, Maria berbicara dengan nada tegas meskipun suaranya bergetar.

“Saya ingin melaporkan ancaman,” katanya cepat. “Seseorang masuk ke rumah saya, meninggalkan pesan di kamar anak saya.”

Polisi itu mengajukan beberapa pertanyaan, meminta Maria untuk menjelaskan detailnya. Maria menjawab dengan singkat tetapi jelas, meskipun hatinya terus berdebar.

“Kami akan mengirimkan petugas untuk memeriksa tempat Anda,” kata suara di telepon.

Maria mengucapkan terima kasih sebelum menutup panggilan. Ia tahu polisi mungkin tidak akan menemukan apa pun, tetapi setidaknya ini adalah langkah untuk menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan ancaman ini terus berlanjut.

Ketika polisi datang beberapa jam kemudian dan memeriksa rumahnya, mereka tidak menemukan jejak yang mencurigakan. Tetapi saat mereka bersiap untuk pergi, salah satu petugas menemukan sesuatu yang tertinggal di pagar belakang rumah—sebuah amplop kecil dengan nama Maria tertulis di atasnya, dan di dalamnya, ada foto Putri sedang tidur.

Maria berdiri di ambang pintu, menyaksikan dua polisi yang berjalan perlahan di halaman belakang rumahnya. Langkah mereka terdengar berat, seperti menambah ketegangan yang sudah menekan dadanya sejak malam sebelumnya. Salah satu dari mereka membawa senter, memeriksa setiap sudut pagar, semak-semak, dan tanah yang tampak basah karena embun pagi.

“Bu Maria,” salah satu petugas berkata sambil melangkah mendekat, tangannya membawa sebuah amplop kecil yang sudah kusut di ujungnya. Wajahnya terlihat tegang, mata tajamnya menatap Maria. “Kami menemukan ini di pagar belakang rumah Anda.”

Maria memandang amplop itu seperti benda terlarang. Jemarinya ragu ketika ia mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Amplop itu ringan, tetapi bobot emosional yang mengikutinya membuat Maria merasa tubuhnya semakin lemah. Ia membuka amplop itu dengan hati-hati, dan detik berikutnya, napasnya terhenti.

Di dalamnya ada foto Putri. Anak kecilnya yang berusia sepuluh tahun itu tampak sedang tidur, wajahnya damai di bawah selimut biru yang biasa ia gunakan. Tetapi sesuatu dalam gambar itu membuat perut Maria terasa melilit. Foto itu tidak diambil dari dalam rumah. Sudutnya menunjukkan bahwa itu diambil dari luar jendela kamar Putri, seseorang mengintip masuk ke dalam privasi yang seharusnya tak tersentuh.

Maria menatap foto itu dengan tatapan kosong, tubuhnya terasa seperti jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Napasnya tersengal-sengal, dan ia berusaha keras menahan air mata yang mulai menggenang. Polisi di depannya tidak berkata apa-apa, tetapi wajah mereka menunjukkan pemahaman atas rasa takut yang baru saja menghantam Maria.

“Ini… ini diambil dari jendela kamar Putri,” gumam Maria, hampir tidak bisa mendengar suaranya sendiri. Ia mengangkat wajahnya, menatap petugas itu dengan mata yang dipenuhi rasa takut dan amarah. “Seseorang ada di sini. Di luar jendela anak saya. Bagaimana mungkin kalian tidak melihat atau mendengar apa pun?”

Salah satu petugas mencoba berbicara dengan tenang. “Bu Maria, kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ini jelas ancaman yang serius, dan kami akan meningkatkan pengawasan di sekitar rumah Anda.”

“Tingkatkan pengawasan?” suara Maria meninggi, nadanya pecah di tengah rasa paniknya. “Mereka sudah ada di sini, mengintai anak-anak saya! Kalian tidak bisa hanya mengatakan itu.”

Polisi itu terdiam sejenak sebelum menjawab. “Kami mengerti ketakutan Anda, Bu Maria. Kami akan melakukan yang terbaik untuk melindungi Anda dan keluarga Anda.”

Maria ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu polisi tidak akan memberikan jawaban yang ia butuhkan. Jawaban itu harus ia temukan sendiri.

Setelah polisi pergi, Maria duduk di kursi ruang tamu, memandang amplop dan foto itu yang sekarang tergeletak di meja di depannya. Pikirannya berpacu dengan kecepatan penuh, mencoba memahami bagaimana semuanya bisa sampai ke titik ini. Ancaman ini bukan lagi sekadar bayangan atau permainan pikiran. Ini adalah bukti bahwa seseorang telah melangkah ke dalam hidupnya, ke dalam ruang yang seharusnya tak tersentuh.

Dewi datang beberapa menit kemudian, wajahnya tegang setelah mendengar kabar dari salah satu polisi yang ia kenal. “Maria, apa yang mereka temukan?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.

Maria tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke arah foto di meja, dan Dewi segera mengambilnya. Wajahnya berubah pucat ketika ia menyadari apa yang ia lihat.

“Maria…” Dewi terdiam, suaranya tenggelam oleh rasa ngeri. Ia duduk di sebelah Maria, memegang bahu temannya dengan lembut. “Kita harus melakukan sesuatu. Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.”

Maria mengangguk pelan, meskipun matanya masih terpaku pada foto itu. “Aku tahu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa… seperti mereka selalu selangkah di depan.”

“Kau tidak sendirian,” kata Dewi dengan tegas. “Kita akan melawan mereka. Apa pun yang terjadi.”

Maria akhirnya mengalihkan pandangannya dari foto itu, menatap Dewi dengan mata yang penuh rasa terima kasih meskipun masih dibayangi ketakutan. “Terima kasih, Dewi,” bisiknya. “Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kau di sini.”

Dewi meremas bahu Maria dengan lembut. “Kita akan melewati ini bersama.”

Malam itu, setelah anak-anaknya tertidur, Maria duduk sendirian di ruang tamu. Ia tidak bisa membiarkan dirinya lengah lagi. Ia tahu bahwa mereka tidak hanya ingin mengancamnya. Mereka ingin menghancurkan setiap rasa aman yang tersisa dalam hidupnya.

Maria meraih ponselnya dan menelepon Eko. Ketika pria itu mengangkat, suaranya terdengar lelah tetapi penuh perhatian. “Eko, aku butuh bantuanmu lagi,” kata Maria, nadanya dingin tetapi tegas. “Mereka semakin dekat. Aku butuh tahu siapa mereka. Aku butuh tahu cara menghentikan ini.”

Eko terdiam sesaat sebelum menjawab. “Aku sedang melacak aktivitas mereka, Maria. Aku menemukan sesuatu yang aneh di jaringan mereka, tetapi aku butuh lebih banyak waktu.”

“Kita tidak punya waktu, Eko,” jawab Maria dengan tegas. “Mereka sudah ada di sini. Mereka mengancam anak-anakku.”

Eko menarik napas panjang. “Baik. Aku akan mempercepat semuanya. Tapi kau harus tetap waspada, Maria. Orang-orang ini tidak main-main.”

Maria menutup telepon, matanya menatap ke arah jendela yang kini tertutup rapat oleh tirai tebal. Ia tidak tahu berapa lama ia bisa bertahan dalam situasi ini, tetapi satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah.

Pada saat Maria memeriksa kamar anak-anaknya sekali lagi sebelum tidur, ia menemukan sebuah foto lain di lantai kamar Putri. Foto itu menunjukkan dirinya sendiri, diambil dari luar rumah saat ia memegang telepon dan berbicara dengan Eko. Di belakang foto itu tertulis dengan tinta merah: “Kami selalu melihat.”

Maria berdiri diam di pintu kamar Putri, tubuhnya terasa seperti tertambat oleh gravitasi yang tiba-tiba menguat. Di lantai, sebuah foto tergeletak begitu saja, seperti serpihan mimpi buruk yang menolak untuk berlalu. Ia menatapnya dengan jantung berdegup kencang, hampir tidak berani bergerak mendekat.

Akhirnya, dengan tangan gemetar, Maria membungkuk dan mengambil foto itu. Begitu ia membaliknya, napasnya terhenti. Itu adalah dirinya sendiri. Foto itu diambil dari luar rumah, menampilkan Maria yang berdiri di ruang tamu sambil memegang ponsel, berbicara dengan Eko. Foto itu diambil dalam gelap, dengan hanya sedikit cahaya dari dalam rumah yang menerangi wajahnya. Tatapannya di foto itu tampak lelah, tetapi ketakutan yang ia lihat di sana terlalu jelas untuk diabaikan.

Namun, bukan hanya gambar itu yang membuat tubuhnya terasa dingin. Di balik foto itu, dengan tinta merah yang mengalir seperti darah, tertulis kalimat: “Kami selalu melihat.”

Maria merasakan tubuhnya melemas. Ia harus bersandar pada dinding untuk menjaga dirinya tetap berdiri. Kalimat itu, sederhana tetapi begitu mematikan, menyiratkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar ancaman. Ini adalah bukti nyata bahwa siapa pun mereka, mereka benar-benar ada di dekatnya, mengawasi setiap langkahnya. Tidak ada ruang untuk merasa aman lagi.

Ia meremas foto itu di tangannya, matanya memandang ke arah jendela kamar Putri. Tirai telah ia tutup rapat sebelumnya, tetapi kini ia merasa seolah-olah tirai itu tidak cukup. Mereka mungkin berdiri di luar, hanya beberapa meter jauhnya, melihat semuanya tanpa halangan.

Maria berbalik, membuka pintu kamar Arif untuk memastikan anak bungsunya juga masih aman. Ia menemukan Arif tidur pulas, tubuh kecilnya meringkuk di bawah selimut. Air mata menggenang di mata Maria. Ia tahu bahwa anak-anaknya tidak memahami sepenuhnya bahaya yang sedang mengintai. Tetapi bagi Maria, itu adalah ketakutan terbesarnya—mereka menjadi sasaran.

Ketika Maria kembali ke ruang tamu, langkah kakinya terasa berat. Ia duduk di sofa, memandang foto itu dengan tatapan yang penuh amarah bercampur rasa putus asa. Ia tidak bisa terus seperti ini. Ia tidak bisa terus hanya menjadi korban. Orang-orang ini, siapa pun mereka, harus dihentikan sebelum mereka melangkah lebih jauh.

Teleponnya berdering lagi. Maria meraihnya dengan cepat, tetapi ketika ia melihat layar, itu adalah nomor yang tidak dikenal. Ia menatap layar itu selama beberapa detik, mencoba memutuskan apakah ia harus menjawab. Tetapi suara kecil di dalam dirinya berkata bahwa ia perlu tahu. Dengan tangan gemetar, ia menjawab panggilan itu.

“Halo?” suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan.

“Hai, Maria,” suara di seberang terdengar tenang, hampir ramah, tetapi penuh dengan nada ancaman yang halus. Itu bukan suara Rizal. Suara ini lebih dingin, lebih terkontrol, seperti seseorang yang telah lama mempelajari bagaimana meneror tanpa perlu berteriak.

“Siapa kau?” Maria bertanya dengan tegas, meskipun suaranya masih bergetar.

“Seorang teman,” jawab suara itu, disertai tawa kecil yang membuat Maria merasa seperti ditertawakan. “Kami hanya ingin memastikan kau tahu bahwa kami selalu ada. Tidak peduli seberapa keras kau mencoba melindungi mereka.”

Maria meremas ponselnya, rahangnya mengeras. “Apa yang kau inginkan? Kenapa kau melakukan ini?”

“Karena kau membuat kesalahan, Maria,” kata suara itu, nadanya berubah lebih gelap. “Kau berpikir kau bisa melarikan diri. Tapi tidak ada yang benar-benar bisa melarikan diri, bukan?”

Maria merasa amarahnya mendidih. “Jika kau menyentuh anak-anakku—”

“Tenanglah,” potong suara itu. “Kami tidak perlu menyentuh mereka… jika kau bermain sesuai aturan. Tetapi jika kau mencoba melawan… yah, kau tahu apa yang bisa terjadi.”

Panggilan itu terputus sebelum Maria bisa menjawab. Ia menatap ponsel di tangannya, darahnya mendidih dengan kemarahan yang bercampur rasa takut. Mereka tidak hanya mengancam dirinya. Mereka bermain dengan pikirannya, mencoba menghancurkan mentalnya, membuatnya menyerah tanpa perlawanan.

Tetapi Maria tidak akan menyerah. Ia tidak bisa. Anak-anaknya adalah alasan ia bertahan, dan ia tahu bahwa untuk melindungi mereka, ia harus melawan. Bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi ancaman ini sendirian.

Maria meraih ponselnya lagi dan menelepon Eko. Ia tahu bahwa pria itu mungkin belum punya jawaban, tetapi ia membutuhkan dukungan.

“Eko,” kata Maria begitu panggilan terhubung, suaranya penuh dengan emosi yang hampir meledak. “Mereka meneleponku lagi. Mereka tahu segalanya. Mereka tahu setiap langkahku.”

“Apa yang mereka katakan?” tanya Eko dengan nada cemas.

“Mereka bilang aku tidak bisa melarikan diri,” jawab Maria, suaranya dingin. “Mereka bilang mereka selalu ada. Dan Eko, aku percaya mereka.”

Eko terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berbicara. “Maria, aku tahu ini sulit. Tapi kita tidak bisa membiarkan mereka menang. Aku sedang mempelajari sesuatu. Ada pola dalam cara mereka bergerak, dan aku yakin aku bisa menemukan petunjuk.”

Maria menutup matanya, mencoba menenangkan dirinya. “Kau harus cepat, Eko. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa menahan ini.”

“Aku akan segera kabari kau,” kata Eko sebelum panggilan terputus.

Maria duduk di ruang tamu hingga larut malam, tidak membiarkan dirinya tertidur. Pisau dapur masih berada di tangannya, seolah-olah itu satu-satunya hal yang membuatnya merasa memiliki kendali. Di luar, angin berdesir pelan, membawa suara daun-daun yang bergesekan seperti bisikan. Tetapi Maria tahu lebih baik daripada mengabaikannya. Setiap suara bisa menjadi ancaman. Setiap bayangan bisa menjadi seseorang.

Ketika Maria membuka pintu belakang rumahnya di pagi hari untuk memastikan semuanya aman, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir. Sebuah rekaman video ditinggalkan di depan pintu. Ketika ia memainkannya, itu adalah rekaman dirinya dan anak-anaknya di ruang tamu malam sebelumnya, diambil dari sudut luar jendela.

Maria membuka pintu belakang dengan hati-hati, tangan kanannya masih menggenggam pisau dapur yang sejak malam tadi tak pernah ia lepaskan. Udara pagi terasa dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dari hujan semalam. Tetapi ketenangan pagi itu terasa seperti ilusi, rapuh dan tidak nyata. Ia memandang sekitar, memeriksa setiap sudut halaman belakang rumahnya dengan mata tajam, mencari tanda-tanda apa pun yang mencurigakan.

Di depan pintu, sesuatu menarik perhatiannya—sebuah kotak kecil hitam yang tergeletak di atas tanah, terlihat sengaja diletakkan di sana. Maria menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak berani langsung menyentuhnya. Kotak itu terlihat tidak berbahaya, tetapi Maria tahu lebih baik daripada meremehkan apa pun yang ditinggalkan oleh orang-orang yang mengintai keluarganya.

Dengan perlahan, ia membungkuk dan memeriksa kotak itu tanpa menyentuhnya. Tidak ada tulisan, tidak ada tanda, hanya kotak hitam yang sederhana tetapi penuh ancaman dalam kehadirannya. Akhirnya, dengan napas yang ditahan, Maria meraih kotak itu dan membawanya ke dalam rumah. Ia menutup pintu dengan cepat, memastikan kunci dan pengaman telah terkunci rapat sebelum duduk di meja dapur untuk membuka kotak tersebut.

Saat ia membuka penutupnya, yang pertama kali terlihat adalah sebuah USB drive kecil. Tidak ada catatan, tidak ada penjelasan. Hanya benda kecil itu yang tergeletak di dalam kotak hitam. Maria menatapnya dengan rasa takut yang menjalar di setiap urat nadinya. Ia tahu, apa pun yang ada di dalam drive ini, itu bukan sesuatu yang ia inginkan.

Namun, Maria juga tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan drive itu ke laptop kecil yang biasa ia gunakan untuk bekerja. Layar laptopnya berubah, dan sebuah video mulai terputar otomatis. Maria mematung saat ia melihat isi video itu.

Itu adalah rekaman dari ruang tamunya sendiri, diambil dari sudut luar jendela. Video itu menunjukkan dirinya duduk di sofa malam sebelumnya, dengan pisau di tangan, mencoba melawan ketakutannya. Kamera menangkap semuanya—tatapan tegangnya, cara ia mengawasi jendela, bahkan saat ia berjalan bolak-balik memeriksa pintu. Tetapi yang membuat darah Maria membeku adalah ketika kamera bergeser ke kamar anak-anaknya. Rekaman itu menunjukkan Putri dan Arif sedang tidur, dengan sudut pandang yang jelas menunjukkan bahwa kamera diambil dari luar jendela kamar mereka.

Maria menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan isakan yang hendak meledak. Rekaman itu berakhir dengan pesan tertulis di layar: “Kami selalu di sini, Maria. Setiap detik, setiap langkah.”

Pisau di tangan Maria jatuh ke lantai dengan suara nyaring. Tubuhnya berguncang, udara terasa seperti menghilang dari paru-parunya. Ia menatap layar laptop itu, ingin mematikan video, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak. Pesan itu terus terpampang di sana, seperti bayangan yang tidak bisa ia hindari.

Tiba-tiba, suara langkah kecil terdengar dari belakangnya. Maria berbalik dengan cepat, matanya bertemu dengan wajah Putri yang berdiri di pintu dapur, menatap ibunya dengan bingung.

“Ibu, kenapa menangis?” tanya Putri dengan suara kecil, matanya mengarah pada laptop yang masih menampilkan pesan mengerikan itu.

Maria segera mematikan layar, berusaha menyembunyikan semua dari anaknya. Ia berlutut di depan Putri, memeluknya erat-erat. “Tidak apa-apa, sayang. Ibu hanya… Ibu hanya merasa lelah.”

Putri memeluk ibunya balik, meskipun wajahnya menunjukkan kebingungan. “Ibu kelihatan sedih. Apa ini karena Ayah?”

Pertanyaan itu membuat Maria terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi tanpa menakuti Putri. Jadi, ia hanya menggeleng, berusaha tersenyum meskipun matanya masih basah oleh air mata.

“Pergilah ke kamar,” kata Maria pelan. “Ibu akan menyusul sebentar lagi.”

Putri mengangguk, meskipun ia terus memandang ibunya dengan ekspresi penuh kekhawatiran sebelum akhirnya berjalan kembali ke kamar. Maria tetap duduk di lantai dapur, mencoba mengumpulkan kekuatannya. Pikirannya berputar-putar dengan rasa takut dan kemarahan. Mereka tidak hanya mengintai. Mereka masuk ke dalam kehidupan pribadinya, ke dalam kehidupan anak-anaknya. Ini bukan hanya ancaman lagi. Ini adalah perang.

Maria mengambil ponsel dan menelepon Eko. Ketika pria itu menjawab, suaranya terdengar cemas. “Maria, ada apa lagi?”

Maria berusaha menahan getaran di suaranya. “Mereka mengirimkan video. Mereka merekam aku dan anak-anakku, Eko. Dari luar jendela. Mereka tahu segalanya.”

Eko terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Ini sudah keterlaluan. Aku akan mempercepat semuanya, Maria. Aku akan mencari tahu siapa mereka, dan aku akan memastikan kita punya bukti untuk melawan.”

“Aku tidak tahu harus apa, Eko,” kata Maria pelan. “Mereka tahu segalanya. Mereka tidak takut menunjukkan bahwa mereka selalu di sini.”

“Kau tidak sendirian,” jawab Eko dengan tegas. “Dengar aku, Maria. Jangan biarkan mereka menjatuhkanmu. Mereka ingin kau takut, ingin kau menyerah. Jangan beri mereka apa yang mereka inginkan.”

Maria mengangguk, meskipun ia tahu Eko tidak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, Maria memutuskan satu hal: ia tidak akan tinggal diam lagi. Ia tidak akan membiarkan orang-orang ini mengendalikan hidupnya lebih lama. Apa pun yang mereka rencanakan, ia akan melawan.

Malam itu, saat Maria berjaga di ruang tamu, ia mendengar suara langkah kaki di atap rumahnya. Perlahan, suara itu bergerak menuju jendela kamar Putri. Maria meraih pisau dan berjalan dengan hati-hati, siap menghadapi apa pun yang menunggunya.

Maria duduk di ruang tamu dengan tubuh tegang, memegang pisau dapur yang tidak pernah lepas dari tangannya sejak malam sebelumnya. Malam di luar begitu sunyi, hanya suara angin yang sesekali berdesir melewati pepohonan di sekitar rumah. Tetapi keheningan itu tidak menenangkan. Itu adalah keheningan yang terasa seperti jebakan, seperti sesuatu yang mengintai di balik bayangan.

Ketika suara langkah kaki terdengar di atap, Maria merasa jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya. Suara itu tidak keras, tetapi cukup untuk menghancurkan keheningan dan memicu setiap insting bertahan hidup yang ia miliki. Itu adalah langkah yang pelan dan terukur, seperti seseorang yang sengaja menyamarkan keberadaannya.

Maria berdiri perlahan, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Tangannya mencengkeram pisau dengan kuat, dan napasnya terdengar pendek-pendek. Matanya bergerak ke arah jendela, tetapi dari tempatnya berdiri, ia tidak bisa melihat atap. Ia hanya bisa mendengar suara itu—langkah-langkah yang semakin mendekat, berhenti sejenak, lalu bergerak lagi.

Maria tahu langkah itu mengarah ke sisi rumah di mana kamar Putri dan Arif berada. Ia menahan napas, berusaha berpikir dengan cepat. Jika seseorang berada di atap, mereka mungkin mencoba masuk melalui jendela kamar. Atau lebih buruk, mereka hanya ingin menunjukkan bahwa mereka bisa berada di mana saja, kapan saja, dan tidak ada yang bisa Maria lakukan untuk menghentikan mereka.

Tanpa ragu, Maria melangkah ke arah dapur. Ia tahu ada tangga kecil di gudang belakang rumahnya yang bisa membawanya ke atap. Ini berbahaya, tetapi ia tidak bisa hanya duduk diam dan berharap ancaman itu hilang dengan sendirinya. Anak-anaknya ada di dalam rumah ini, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh mereka.

Dengan langkah pelan dan hati-hati, Maria keluar melalui pintu belakang, memastikan tidak ada suara yang bisa menarik perhatian. Angin malam terasa dingin di kulitnya, tetapi ia tidak peduli. Ia menemukan tangga di gudang, menariknya dengan cepat, dan membawanya ke dinding rumah. Ia mendirikan tangga itu di bawah atap dengan cermat, memastikan tidak ada suara keras.

Langkah di atas atap terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Jantung Maria berdegup begitu keras hingga ia merasa seluruh tubuhnya bergetar. Ia mulai memanjat, satu tangan memegang erat tangga sementara tangan lainnya tetap menggenggam pisau. Ketika ia mencapai puncak, ia melongokkan kepalanya dengan hati-hati, mencoba melihat siapa yang ada di atas sana.

Cahaya bulan menerangi sebagian atap, dan Maria melihatnya. Seorang pria dengan tubuh tinggi dan jaket hitam berdiri di ujung atap, membelakangi dirinya. Kepala pria itu bergerak pelan, seperti sedang memeriksa jendela kamar Putri. Maria merasa darahnya mendidih. Mereka telah melewati batas, dan ia tidak akan membiarkan ini berlanjut.

“Siapa kau?!” teriak Maria, suaranya nyaring memecah keheningan malam.

Pria itu terkejut, tubuhnya sedikit tersentak sebelum ia berbalik perlahan. Wajahnya tertutup oleh topeng hitam, hanya menyisakan mata yang terlihat, dingin dan tanpa emosi. Ia tidak berbicara, tetapi gerak tubuhnya menunjukkan bahwa ia tidak mengharapkan konfrontasi langsung.

Maria menaiki sisa anak tangga dengan cepat, berdiri di atas atap dengan pisau di tangannya. “Keluar dari sini! Aku tidak peduli siapa kau, tapi jika kau menyentuh anak-anakku, aku akan memastikan kau tidak pernah kembali!”

Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah mundur, mendekati tepi atap. Langkahnya tenang, seperti seseorang yang tahu persis apa yang ia lakukan. Maria melangkah maju, mencoba mengejarnya, tetapi pria itu tiba-tiba melompat turun dari atap dengan gesit, menghilang di balik bayangan di bawah.

Maria berdiri di tepi atap, napasnya memburu, matanya mencari-cari di dalam gelap. Tetapi pria itu sudah pergi, seolah-olah ia tidak pernah ada. Maria menggenggam pisau lebih erat, merasakan kemarahan bercampur rasa takut yang hampir membuatnya kehilangan keseimbangan.

Ketika Maria turun dari atap, ia langsung memeriksa jendela kamar Putri dan Arif. Tidak ada tanda-tanda kerusakan, tetapi ia tidak merasa lega. Ini bukan tentang masuk ke dalam rumah. Ini tentang menunjukkan bahwa mereka bisa berada di mana saja, kapan saja. Itu adalah permainan kekuatan, dan Maria tahu bahwa mereka ingin membuatnya merasa tidak berdaya.

Ketika Maria masuk ke dalam rumah, ia memeriksa anak-anaknya. Putri dan Arif masih tertidur, tidak sadar akan bahaya yang baru saja mendekat. Maria duduk di tepi tempat tidur mereka, memandangi wajah mereka yang damai, dan hatinya hancur. Ia merasa seolah-olah telah gagal melindungi mereka, meskipun ia tahu ia telah melakukan segalanya yang ia bisa.

Maria kembali ke ruang tamu, duduk di sofa dengan tubuh yang lelah tetapi pikirannya masih berputar. Ia tahu ini belum selesai. Ini baru permulaan. Mereka akan kembali, dan lain kali, mungkin mereka tidak akan hanya bermain-main.

Ketika Maria bangun di pagi hari setelah malam yang penuh ketegangan, ia menemukan pesan baru yang tergores di pintu depan rumahnya: “Kami tidak akan pergi. Kau milik kami.”

Maria membuka pintu depan di pagi hari dengan tangan yang masih gemetar dari malam sebelumnya. Udara pagi terasa dingin, tetapi tidak menenangkan. Matahari baru saja naik, memancarkan cahaya lembut yang tidak cukup untuk menghapus bayangan ketakutan yang terus membayangi rumah ini.

Ketika ia melangkah keluar, pandangannya langsung tertuju pada sesuatu yang membuat tubuhnya membeku. Pesan itu ada di sana, tergores di pintu kayu rumahnya dengan huruf-huruf besar yang kasar: “Kami tidak akan pergi. Kau milik kami.”

Maria merasakan udara seolah-olah terhenti di sekelilingnya. Kata-kata itu tidak hanya terasa seperti ancaman; mereka seperti pernyataan definitif, sesuatu yang tidak bisa dibantah atau dihindari. Mereka telah mengklaimnya, mencoba menanamkan rasa takut yang dalam, memastikan bahwa ia tahu dirinya tidak punya jalan keluar.

Tangannya menyentuh permukaan pintu, jari-jarinya mengikuti goresan yang kasar itu. Setiap huruf terasa seperti luka yang nyata, seolah-olah pesan itu diukir langsung ke dalam jiwanya. Maria menarik tangannya dengan cepat, seakan-akan permukaan kayu itu membakar kulitnya.

“Maria!” suara Dewi memanggil dari belakang pagar, mengagetkan Maria yang sedang tenggelam dalam pikirannya. Dewi berlari kecil mendekat, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Ia pasti telah melihat goresan itu dari jauh.

“Apa ini?” tanya Dewi dengan suara panik, tangannya menunjuk ke arah pesan di pintu.

Maria menggeleng, napasnya pendek-pendek. “Aku… aku tidak tahu. Mereka melakukannya semalam. Seseorang ada di atap, Dewi. Aku melihatnya. Aku mencoba mengejarnya, tapi dia melompat turun dan menghilang.”

Dewi menatap Maria dengan mata lebar, wajahnya berubah pucat. “Maria, ini sudah tidak bisa dibiarkan. Mereka semakin berani. Mereka tidak hanya bermain-main lagi.”

Maria menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tahu. Tapi apa yang bisa aku lakukan, Dewi? Polisi tidak menemukan apa-apa. Mereka hanya berbicara soal pengawasan, tapi itu tidak cukup.”

“Kau harus pergi dari sini,” kata Dewi dengan tegas, suaranya bergetar. “Kau harus membawa Putri dan Arif ke tempat yang lebih aman. Tempat di mana mereka tidak bisa menjangkau kalian.”

Maria menggeleng keras. “Aku tidak bisa lari lagi, Dewi. Jika aku terus melarikan diri, mereka akan tetap menemukan kami. Aku harus melawan. Aku harus mengakhiri ini, di sini, sekarang.”

Dewi terdiam, tetapi ia bisa melihat tekad di mata Maria. Ia tahu temannya ini sudah terlalu lelah untuk terus berlari, tetapi pada saat yang sama, ia tidak bisa menahan rasa takut bahwa Maria mungkin sedang berjalan menuju sesuatu yang lebih gelap dan berbahaya.

“Baik,” kata Dewi akhirnya, meskipun suaranya masih ragu. “Kalau kau benar-benar ingin melawan, aku akan ada di sisimu. Tapi kita harus melibatkan orang-orang yang bisa membantu.”

Maria memandang Dewi dengan mata yang berkaca-kaca. “Terima kasih, Dewi,” katanya pelan. “Aku tidak bisa melakukannya sendirian.”

Setelah Dewi pergi untuk memanggil polisi lagi, Maria duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada jendela yang menghadap ke halaman depan. Tangannya mencengkeram pisau dapur yang sejak semalam tidak pernah ia lepas. Pikirannya terus berputar, mencoba memikirkan siapa yang bisa berada di balik semua ini. Siapa yang cukup mengenalnya, cukup tahu masa lalunya, hingga berani bermain dengan ketakutannya seperti ini?

Ketika polisi tiba, Maria menunjukkan goresan di pintu dan menceritakan apa yang terjadi semalam. Namun, seperti sebelumnya, respons mereka terasa kurang memuaskan. Mereka mencatat laporan, berjanji akan meningkatkan pengawasan, tetapi tidak ada yang bisa benar-benar menjamin keselamatannya.

“Bu Maria,” kata salah satu petugas dengan nada hati-hati, “kami akan menempatkan patroli di sekitar lingkungan ini. Tetapi jika Anda mencurigai seseorang atau memiliki informasi yang lebih jelas, kami bisa bertindak lebih cepat.”

“Informasi?” Maria mengulang dengan nada tajam, matanya menyala oleh emosi. “Informasi apa lagi yang kalian butuhkan? Mereka sudah masuk ke rumahku, mereka sudah mengancam anak-anakku, dan kalian masih meminta lebih banyak bukti?”

Polisi itu tampak canggung, tetapi tidak membalas. Maria tahu ini bukan kesalahan mereka sepenuhnya, tetapi itu tidak mengurangi rasa frustrasinya. Ketika polisi pergi, ia merasa lebih sendirian daripada sebelumnya.

Malam itu, Maria tidak tidur. Ia duduk di sofa ruang tamu, matanya terus mengawasi pintu dan jendela. Setiap bayangan yang bergerak di luar, setiap suara yang terdengar dari kejauhan, membuat tubuhnya tegang. Ia tahu mereka akan kembali. Ancaman ini tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan—apa pun itu.

Ketika jam menunjukkan pukul dua pagi, sebuah suara pelan terdengar dari luar. Bukan langkah kaki kali ini, tetapi sesuatu yang menyeret di sepanjang dinding rumahnya. Maria bangkit dengan cepat, menggenggam pisau dengan erat. Ia mendekati jendela, membuka tirai sedikit untuk mengintip keluar.

Di bawah cahaya bulan, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Seseorang berdiri di depan pagar rumahnya, mengenakan topeng hitam yang menutupi seluruh wajahnya. Orang itu tidak bergerak, hanya berdiri diam sambil menatap ke arah rumah.

Maria tidak menunggu lebih lama. Ia meraih ponsel dan menelepon polisi. Namun, saat ia kembali ke jendela, sosok itu sudah menghilang, seperti bayangan yang terhapus oleh angin malam.

Pagi berikutnya, Maria menemukan benda baru di depan pintu rumahnya—sebuah cermin kecil yang retak, dengan tulisan di atas kaca yang berbunyi: “Kau tidak bisa melarikan diri dari bayanganmu.”

Pagi itu, Maria membuka pintu depan dengan hati-hati, seperti ritual yang ia lakukan setiap pagi dalam beberapa hari terakhir. Setiap gerakan terasa berat, seolah-olah pintu itu menahan sesuatu yang tak terlihat—ketakutan, ancaman, atau mungkin bayangan yang mengintai. Udara dingin pagi menyapa wajahnya, tetapi itu tidak cukup untuk menghapus rasa gentar yang terus bersarang di hatinya.

Matanya langsung tertuju pada sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Di lantai depan pintu, tergeletak sebuah cermin kecil yang retak. Kaca cermin itu pecah menjadi beberapa bagian, tetapi cukup untuk memantulkan wajah Maria yang tampak lelah dan penuh bayangan ketakutan. Di atas retakan itu, sebuah tulisan tertoreh dengan cat merah yang mencolok: “Kau tidak bisa melarikan diri dari bayanganmu.”

Maria menahan napas, tubuhnya terasa kaku seperti membatu. Ia tidak berani menyentuh cermin itu. Pesan itu, seperti semua ancaman sebelumnya, adalah peringatan. Tetapi kali ini, rasanya lebih personal. Bayangan. Kata itu menusuk jauh ke dalam pikirannya, menggali luka lama yang sudah berusaha ia sembunyikan bertahun-tahun.

“Bayangan…” Maria menggumamkan kata itu dengan suara pelan, hampir tidak terdengar. Apakah ini hanya permainan pikiran? Atau apakah ini berarti sesuatu yang lebih besar, lebih gelap?

Langkah kaki terdengar dari belakangnya, dan Maria berbalik dengan cepat. Dewi berdiri di sana, wajahnya penuh kekhawatiran. “Maria, ada apa?” tanyanya. Tetapi ketika Dewi melihat cermin di lantai, ia tidak membutuhkan jawaban.

“Oh Tuhan,” kata Dewi dengan suara tertahan. Ia berjongkok, memeriksa cermin itu tanpa menyentuhnya. “Ini sudah terlalu jauh. Mereka tidak hanya ingin menakutimu, Maria. Mereka ingin menghancurkanmu.”

Maria memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. “Aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, Dewi. Aku merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.”

Dewi berdiri dan meraih bahu Maria dengan lembut tetapi tegas. “Kita tidak bisa membiarkan mereka terus seperti ini. Aku tahu kau takut, tetapi kau tidak bisa menyerah. Kau harus melawan.”

Maria mengangguk pelan, meskipun ia tidak yakin bagaimana caranya. Ketakutan dan kemarahan bercampur menjadi satu, menciptakan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia ingin melawan, tetapi ia juga merasa seperti melawan musuh yang tidak terlihat, musuh yang selalu selangkah di depan.

Setelah membawa cermin itu ke dalam rumah, Maria duduk di meja dapur sambil memandangnya dengan tatapan kosong. Retakan-retakan di kaca itu tampak seperti simbol dari dirinya sendiri—patah, rapuh, tetapi tetap ada.

Teleponnya berdering, memecah keheningan yang menyesakkan. Maria meraih ponselnya dengan cepat, berharap itu adalah Eko dengan berita yang baik. Tetapi saat ia melihat layar, nomor tak dikenal kembali muncul. Tangan Maria gemetar saat ia menjawab.

“Halo?” suaranya terdengar ragu, tetapi ada nada tegas di dalamnya.

Seperti sebelumnya, hanya ada keheningan di awal panggilan. Tetapi kemudian, suara itu datang. Suara yang dingin dan tenang, tetapi penuh dengan ancaman yang tidak tersirat.

“Kau masih berusaha melawan, ya, Maria?” suara itu bertanya, nada bicaranya hampir terdengar mengejek. “Kau tidak mengerti. Ini bukan pertarungan yang bisa kau menangkan.”

Maria menggertakkan giginya, mencoba mengendalikan ketakutannya. “Apa yang kau inginkan dariku? Kenapa kau melakukan ini?”

Suara itu tertawa pelan, suara yang membuat bulu kuduk Maria meremang. “Ini bukan tentang apa yang kami inginkan. Ini tentang siapa dirimu, Maria. Kau tidak bisa melarikan diri dari bayanganmu. Tidak peduli seberapa jauh kau berlari.”

“Aku tidak takut padamu,” balas Maria, meskipun suaranya sedikit bergetar. “Aku akan melindungi anak-anakku. Aku tidak peduli seberapa keras kau mencoba menghancurkanku.”

“Kita lihat,” jawab suara itu, nadanya tenang tetapi mengancam. “Tapi ingat, Maria. Setiap langkah yang kau ambil, setiap keputusan yang kau buat, kami akan selalu ada. Dan ketika kau lelah, ketika kau menyerah, itulah saatnya kau akan tahu siapa yang sebenarnya memegang kendali.”

Panggilan itu terputus, meninggalkan Maria dalam keheningan yang menusuk. Ia meletakkan ponsel itu di meja, tubuhnya terasa lelah meskipun hari baru saja dimulai.

Dewi mendekat, menatap Maria dengan mata yang penuh simpati tetapi juga tekad. “Maria, kita harus membawa ini ke polisi. Mereka harus tahu bahwa ini bukan hanya ancaman biasa. Ini sudah terlalu jauh.”

Maria menatap Dewi, ragu. Ia tahu bahwa melibatkan polisi lagi adalah langkah logis, tetapi ia juga tahu bahwa polisi mungkin tidak akan memberikan jawaban yang ia butuhkan. Mereka akan datang, mencatat, mungkin memasang patroli, tetapi mereka tidak bisa menghapus ketakutan yang sudah tertanam di dalam dirinya.

Namun, ia tahu Dewi benar. Ia tidak bisa melawan ini sendirian.

“Baik,” kata Maria akhirnya, suaranya pelan tetapi tegas. “Kita akan melaporkan ini. Tapi aku juga butuh bantuanmu, Dewi. Aku butuh seseorang yang bisa membantuku menemukan siapa mereka.”

Dewi mengangguk. “Aku akan melakukan apa saja untuk membantumu, Maria.”

Malam itu, setelah polisi datang dan mengambil cermin sebagai barang bukti, Maria duduk di ruang tamu dengan pisau di tangannya. Anak-anaknya sudah tidur, tetapi Maria tidak berani memejamkan mata. Ia tahu, permainan ini belum selesai. Mereka akan kembali, dan ia harus siap.

Tepat tengah malam, sebuah ketukan terdengar dari jendela ruang tamu. Ketukan itu pelan, tetapi cukup untuk membuat Maria berdiri dengan cepat, matanya menatap tajam ke arah jendela. Ketika ia mendekat, ia melihat bayangan seseorang yang berdiri di luar, dengan sebuah pesan tertulis di tangan: “Langkah berikutnya ada di tanganmu.”

Ketukan di jendela itu membuat darah Maria seperti berhenti mengalir. Ia berdiri di ruang tamu dengan tubuh tegang, napasnya tertahan. Suara ketukan itu pelan, hampir sopan, tetapi justru itulah yang membuatnya terasa lebih menyeramkan. Ketukan itu bukanlah tanda tergesa-gesa atau ancaman langsung, melainkan pengingat dingin bahwa mereka, siapa pun mereka, ada di sana, mengawasi, dan menunggu.

Maria meraih pisau yang sudah menjadi teman setianya, menggenggamnya dengan tangan gemetar. Ia menoleh ke arah jendela, tapi tidak langsung mendekat. Bayangan di luar samar, hampir seperti kabut yang melekat pada gelapnya malam. Namun, ia tahu seseorang ada di sana. Seseorang berdiri hanya beberapa meter darinya, dipisahkan oleh kaca tipis yang terasa tak lebih kuat dari udara.

Maria mencoba mengatur napasnya, tetapi suara itu datang lagi—ketukan yang sama, ritme yang sama, seperti jeda napas yang disengaja. Ia melangkah perlahan, satu tangan memegang pisau sementara tangan lainnya meraih tirai. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik tirai itu ke samping, dan wajahnya langsung bertemu dengan bayangan seorang pria di luar.

Pria itu mengenakan topeng hitam, hanya matanya yang terlihat. Mata itu menatap Maria dengan intensitas dingin yang membuat tubuhnya bergetar. Di tangannya, pria itu memegang sebuah kertas besar yang ia tempelkan ke kaca jendela. Tulisan di kertas itu besar dan jelas: “Langkah berikutnya ada di tanganmu.”

Maria menatap pesan itu, mencoba memahami apa yang sebenarnya mereka inginkan darinya. Tetapi pikirannya terlalu dipenuhi oleh ketakutan dan amarah untuk berpikir jernih. Ia memukul kaca dengan tangan yang bebas, berteriak, “Apa yang kau inginkan?! Kenapa kau melakukan ini?!”

Pria itu tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, matanya tetap terpaku pada Maria. Kemudian, dengan gerakan pelan, ia menurunkan kertas itu dan menyelipkannya ke dalam celah di bawah jendela. Setelah itu, ia mundur beberapa langkah, hingga bayangannya perlahan menghilang ke dalam kegelapan malam.

Maria berdiri di sana, masih memegang pisau dengan tangan gemetar. Dunia di sekitarnya terasa hening, seperti udara malam menolak memberikan suara apa pun untuk menenangkan ketegangannya. Ia tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana, tetapi akhirnya ia membungkuk, meraih kertas yang ditinggalkan pria itu.

Dengan tangan yang gemetar, Maria membuka kertas itu dan membaca pesan yang tertulis di dalamnya:

“Kita tahu apa yang paling berharga bagimu. Jika kau ingin mereka aman, kau tahu harus menemui kami. Jangan bawa siapa pun. Jangan laporkan ini. Lokasi akan kami kirimkan.”

Pesan itu membuat tubuh Maria terasa dingin. Mereka tidak lagi bermain-main. Ancaman ini nyata, dan mereka ingin ia tahu bahwa mereka bisa mengambil sesuatu yang paling ia cintai kapan saja.

Dewi berlari masuk ke dalam rumah, tampaknya mendengar teriakan Maria dari rumah sebelah. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran saat ia melihat Maria berdiri di dekat jendela, memegang kertas itu dengan tatapan kosong.

“Maria, apa yang terjadi?” tanya Dewi dengan napas tersengal. “Apa yang mereka lakukan?”

Maria menyerahkan kertas itu tanpa berkata apa-apa. Dewi membacanya dengan cepat, dan wajahnya berubah menjadi pucat. “Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Maria, kau tidak bisa pergi menemui mereka. Ini jelas jebakan.”

“Apa pilihan yang aku punya, Dewi?” kata Maria, suaranya pecah. Ia merasa tubuhnya hampir tidak mampu menahan beban emosinya lagi. “Mereka tahu semuanya. Mereka tahu anak-anak saya. Mereka bisa menyakiti mereka kapan saja.”

“Kita harus memikirkan ini dengan tenang,” kata Dewi, mencoba menenangkan temannya meskipun suaranya sendiri bergetar. “Kau tidak bisa menghadapi mereka sendirian. Ini terlalu berbahaya.”

Maria menatap Dewi dengan mata penuh air mata. “Jika mereka menyentuh Putri atau Arif, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Aku harus melindungi mereka, Dewi. Tidak peduli apa yang harus aku lakukan.”

Dewi menggenggam tangan Maria, mencoba memberikan kekuatan. “Kalau begitu, kita harus rencanakan ini. Kita tidak bisa menyerah pada permainan mereka. Kita harus tahu siapa mereka dan apa yang sebenarnya mereka inginkan.”

Maria mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih dipenuhi oleh ketakutan. Ia tahu Dewi benar. Ia tidak bisa hanya berjalan ke dalam jebakan tanpa memikirkan konsekuensinya. Tetapi rasa frustrasi dan ketidakberdayaan itu terus menggerogoti pikirannya.

Beberapa jam kemudian, ponsel Maria bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:

“Pergilah ke tempat yang akan kami kirimkan. Jika kau membawa seseorang, kau tahu apa yang akan terjadi. Jangan buat kami marah, Maria. Kami menunggumu.”

Maria duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangannya, memandangi pesan itu. Di kepalanya, ia tahu bahwa ini adalah puncak dari permainan mereka. Ketika akhirnya pesan berisi lokasi dikirimkan, ia tahu bahwa ia akan menghadapi mereka—tetapi tidak seperti yang mereka harapkan. Dengan pisau di tangan dan tekad di hati, Maria bersumpah bahwa ini akan menjadi akhir dari permainan mereka, apa pun risikonya.

Maria duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangannya, menatap pesan yang baru saja masuk dengan mata yang penuh kelelahan. Lokasi itu telah dikirim—sebuah alamat di pinggir kota, di area yang dikenal sebagai gudang tua yang sudah lama tidak terpakai. Pesan itu singkat, dingin, dan penuh ancaman: “Datanglah sendiri. Jangan bawa siapa pun, atau kau akan kehilangan segalanya.”

Maria merasakan jantungnya berdegup kencang. Rasa takut menyelimuti tubuhnya, tetapi di bawah ketakutan itu, ada kemarahan yang mendidih. Mereka telah mengintai rumahnya, meneror anak-anaknya, dan sekarang mencoba memanipulasinya untuk masuk ke dalam perangkap. Tetapi Maria tidak lagi merasa dirinya hanya korban. Ancaman ini bukan hanya ujian bagi keberaniannya, tetapi juga ujian atas cintanya kepada anak-anaknya.

Dewi duduk di samping Maria, membaca pesan itu dengan alis yang berkerut tajam. “Maria, kau tidak bisa pergi ke sana sendirian,” katanya dengan nada tegas. “Mereka jelas mencoba menjebakmu.”

“Aku tidak punya pilihan, Dewi,” jawab Maria tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. “Kalau aku tidak pergi, mereka akan terus mengancam anak-anakku. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”

“Kalau begitu kita harus melibatkan polisi,” desak Dewi. “Mereka harus tahu apa yang sedang terjadi.”

Maria menggeleng pelan, lalu menatap Dewi dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Polisi tidak bisa melindungi kita. Mereka tidak pernah benar-benar bisa melindungi siapa pun. Mereka hanya datang setelah semuanya terlambat.”

Dewi terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk membujuk Maria. Namun, ketika ia melihat wajah Maria, ia tahu tidak ada yang bisa mengubah keputusan temannya. Maria telah memutuskan untuk pergi, apa pun yang terjadi.

“Aku akan pergi,” kata Maria dengan nada dingin. “Tapi aku tidak akan datang tanpa persiapan. Mereka pikir aku hanya seorang ibu yang takut dan lemah. Mereka salah.”

Maria berdiri, langkahnya tegas meskipun tubuhnya masih terasa lelah dari malam-malam tanpa tidur. Ia membuka laci di dapur dan mengambil pisau kecil yang tajam, menyelipkannya di balik jaketnya. Ia memeriksa ponselnya lagi, memastikan baterainya penuh. Jika sesuatu terjadi, ia harus bisa menghubungi seseorang—siapa pun.

“Kalau kau benar-benar akan pergi, setidaknya biarkan aku mengawasi dari jauh,” kata Dewi dengan nada mendesak. “Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian.”

Maria menatap Dewi sejenak, ragu. Tetapi ia tahu Dewi adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli kepadanya. Akhirnya, ia mengangguk. “Baik. Tapi kau harus tetap berada di tempat yang aman. Jangan mendekat ke lokasi.”

Malam tiba dengan cepat, dan Maria bersiap untuk pergi. Anak-anaknya telah ia titipkan pada tetangga lain yang bisa ia percaya, memastikan mereka jauh dari bahaya. Sebelum meninggalkan rumah, Maria berdiri di depan pintu kamar anak-anaknya yang kosong, memejamkan mata sejenak, dan berbisik pelan, “Ibu akan melindungi kalian, apa pun yang terjadi.”

Perjalanan ke lokasi yang diberikan terasa seperti perjalanan menuju sesuatu yang tidak bisa ia hindari. Jalanan gelap dan sepi, hanya disinari lampu jalan yang jaraknya berjauhan. Maria memegang kemudi dengan tangan yang gemetar, tetapi di dalam dirinya, ada keberanian yang mulai menguat. Ia tahu ia sedang melangkah ke dalam jebakan, tetapi ia tidak akan membiarkan mereka menang tanpa perlawanan.

Saat ia tiba di depan gudang tua itu, pemandangan yang menyambutnya membuat Maria semakin waspada. Bangunan itu besar, dengan dinding-dinding kusam yang dipenuhi grafiti dan pintu besi yang terlihat sudah berkarat. Tidak ada lampu, hanya kegelapan yang pekat di dalamnya. Maria mematikan mesin mobilnya, mengambil napas dalam-dalam, lalu melangkah keluar dengan pisau yang terselip di balik jaket.

“Maria,” suara itu terdengar dari dalam gudang, tenang tetapi memerintah. “Masuklah. Kami sudah menunggumu.”

Maria menahan napas, matanya menyipit menembus kegelapan. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, setiap langkahnya terasa seperti menggemakan ketakutan di sekelilingnya. Udara di dalam gudang terasa lembap dan dingin, dengan bau besi tua yang menusuk hidung.

Di tengah ruangan, ada satu lampu gantung yang menyala, menerangi sebuah meja besar. Di atas meja itu, Maria melihat sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir—sebuah foto keluarga lamanya, foto dirinya bersama Rizal, Putri, dan Arif ketika mereka masih hidup bersama. Foto itu diletakkan di tengah meja, dengan lingkaran merah besar yang digambar di atas wajah Maria.

Langkah Maria terhenti. Ia menatap foto itu dengan tatapan kosong, tetapi kemarahan mulai menyala di dadanya. Suara langkah kaki terdengar dari kegelapan, dan seorang pria muncul dari bayang-bayang. Ia mengenakan jas hitam, wajahnya tidak asing bagi Maria. Itu adalah salah satu teman Rizal, seseorang yang selalu ada di pinggir kehidupan mereka tetapi tidak pernah benar-benar terlibat. Hingga sekarang.

“Lama tidak bertemu, Maria,” kata pria itu dengan senyum dingin. “Kau mungkin tidak ingat aku, tapi aku selalu mengingatmu.”

Maria menatapnya tajam, pisau di tangannya siap untuk bertindak. “Apa yang kau inginkan dariku?”

Pria itu tertawa kecil, langkahnya mendekati meja. “Kami ingin mengembalikan sesuatu yang kau coba ambil dari Rizal—kendali. Kau pikir kau bisa kabur dan hidup bahagia setelah meninggalkan dia? Hidupmu tidak pernah benar-benar milikmu, Maria. Kami hanya di sini untuk mengingatkanmu akan itu.”

Maria tidak menjawab, tetapi tubuhnya bergerak mundur, matanya tetap fokus pada pria itu. Ia tahu ini lebih besar daripada sekadar Rizal. Ini adalah permainan kekuasaan, sebuah jaringan gelap yang ingin memaksanya menyerah.

“Apa kau pikir aku akan menyerah?” Maria bertanya dengan nada tegas, meskipun jantungnya berdetak kencang. “Aku tidak akan membiarkan kalian menang.”

Pria itu mendekat, senyumnya semakin lebar. “Kita lihat saja, Maria. Kau mungkin berpikir kau kuat, tapi kau hanya seorang wanita lemah yang tidak tahu kapan harus berhenti.”

Sebelum pria itu sempat mendekat lebih jauh, Maria mendengar suara lain dari luar gudang—sirene polisi. Ia tahu Dewi telah memanggil bantuan, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sedikit harapan. Tetapi pria itu hanya tersenyum tipis, menunjukkan bahwa permainan ini masih jauh dari selesai.

Sirene polisi yang terdengar dari luar gudang seharusnya membawa rasa lega, tetapi Maria tahu lebih baik daripada membiarkan dirinya merasa aman. Ia tetap berdiri di tempat, pisau di tangannya bergetar karena cengkeraman yang terlalu kuat. Pria di depannya tidak menunjukkan tanda-tanda panik. Sebaliknya, ia tersenyum kecil, seperti seseorang yang tahu bahwa ia masih memegang kendali penuh.

“Sepertinya temanmu tidak mengikuti peraturan,” kata pria itu, nadanya dingin dan mengejek. “Kau membawa seseorang, Maria. Kau melanggar kesepakatan.”

Maria tidak menjawab, tetapi tubuhnya semakin tegang. Ia melihat pria itu mengangkat tangan perlahan, memberi isyarat ke arah kegelapan di sudut gudang. Dari sana, dua pria lain muncul, masing-masing membawa linggis dan pisau yang tampak mengilap di bawah cahaya lampu gantung.

“Kalian tidak akan lolos dari ini,” kata Maria dengan nada penuh keberanian, meskipun napasnya terasa berat. “Polisi akan masuk kapan saja.”

Pria itu hanya tertawa kecil, langkahnya mendekati Maria dengan perlahan. “Kau tidak mengerti, Maria. Ini bukan tentang menang atau lolos. Ini tentang mengajarkanmu pelajaran. Tidak ada tempat di dunia ini di mana kau bisa bersembunyi dari kami.”

Langkah mereka terhenti ketika suara pintu besar di belakang gudang dibuka dengan kasar. Beberapa polisi masuk, senter mereka menyala terang, menyoroti ruangan yang penuh bayangan. Salah satu petugas berteriak, “Semua orang, angkat tangan! Jangan bergerak!”

Maria melihat pria itu mengangkat tangan perlahan, senyum dinginnya tidak pernah hilang. Dua pria lainnya melangkah mundur, tetapi wajah mereka tetap tenang, seolah-olah mereka telah mempersiapkan ini. Maria menjatuhkan pisau di tangannya dan mengangkat kedua tangan, mencoba menunjukkan bahwa ia bukan ancaman.

“Bu Maria?” salah satu petugas memanggilnya, suara mereka terdengar tegas tetapi penuh perhatian. “Anda baik-baik saja?”

Maria mengangguk, tetapi matanya tetap tertuju pada pria itu. “Mereka yang melakukannya,” katanya dengan nada penuh kemarahan. “Mereka yang mengancamku, anak-anakku. Mereka yang terus membayangi hidupku.”

Petugas mendekat, memeriksa pria itu dan kedua temannya sebelum memasang borgol di pergelangan tangan mereka. Pria itu tidak melawan, tetapi saat petugas membawanya keluar, ia menoleh ke arah Maria dan tersenyum tipis.

“Ini bukan akhir, Maria,” katanya dengan nada rendah yang cukup untuk didengar Maria. “Kami tidak akan berhenti. Kau tidak akan pernah bebas.”

Maria menatapnya dengan mata yang penuh kemarahan, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Polisi membawanya pergi, meninggalkan Maria di tengah gudang yang tiba-tiba terasa kosong. Lampu gantung di atas kepala terus berayun perlahan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding.

Dewi berlari masuk beberapa menit kemudian, wajahnya penuh dengan kecemasan. “Maria!” serunya, segera memeluk temannya. “Apa kau baik-baik saja? Apa yang mereka lakukan padamu?”

Maria membalas pelukan itu dengan lemah. Tubuhnya terasa seperti baru saja melewati badai, tetapi hatinya tetap berdetak kencang dengan ketakutan dan kemarahan yang belum mereda. “Aku baik-baik saja,” jawabnya pelan. “Tapi ini belum selesai, Dewi. Mereka tidak akan berhenti.”

“Kita akan menghadapi ini bersama,” kata Dewi dengan tegas, memegang kedua tangan Maria. “Kau tidak sendirian.”

Maria mengangguk, meskipun ia tahu bahwa ancaman ini lebih besar dari yang bisa mereka hadapi sendirian. Ia harus menemukan cara untuk melawan mereka, cara untuk memastikan bahwa keluarganya aman. Tetapi untuk malam itu, ia merasa sedikit lebih tenang, mengetahui bahwa setidaknya sebagian dari mereka telah ditangkap.

Ketika polisi akhirnya mengantarnya pulang, Maria duduk di kursi ruang tamu, memandang jendela yang tertutup rapat. Anak-anaknya masih aman di rumah tetangga, dan Maria merasa lega mereka tidak terlibat dalam malam yang penuh ketegangan itu. Tetapi meskipun tubuhnya kelelahan, pikirannya tidak bisa berhenti bekerja.

Ia tahu bahwa ancaman itu belum berakhir. Pria itu mengatakan yang sebenarnya—mereka tidak akan berhenti. Tetapi Maria bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah. Tidak peduli seberapa besar ancaman yang mereka bawa, ia akan melawan. Mereka mungkin menganggapnya lemah, tetapi mereka salah. Maria adalah seorang ibu, dan seorang ibu akan melakukan segalanya untuk melindungi anak-anaknya.

Ketika Maria membuka pintu depan rumahnya keesokan paginya, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya kembali membeku. Sebuah boneka kecil tergeletak di sana, dengan pisau kecil tertancap di dadanya. Di atas pisau itu, tergantung sebuah catatan yang bertuliskan: “Kau menang malam ini, tapi perang belum dimulai.”

Maria membuka pintu depan rumahnya keesokan pagi dengan hati yang masih berat dari peristiwa malam sebelumnya. Matahari pagi mulai menyinari jalan kecil di depan rumahnya, tetapi cahaya itu tidak membawa ketenangan. Sebaliknya, rasa waspada yang terus-menerus menggantung di udara hanya semakin berat. Namun, apa yang ia temukan di depan pintu langsung menghapus segala kemungkinan untuk merasa aman.

Sebuah boneka kecil tergeletak di ambang pintu. Boneka itu berpakaian lusuh, dengan mata kancingnya yang robek sebelah. Tetapi bukan itu yang menarik perhatian Maria. Pisau kecil tertancap di dada boneka itu, menembus kainnya yang usang. Di gagang pisau itu tergantung sebuah catatan kecil. Tangan Maria gemetar saat ia membungkuk untuk mengambilnya, tetapi ia tahu ia harus melakukannya. Catatan itu tertulis dengan tinta hitam tebal:

“Kau menang malam ini, tapi perang belum dimulai.”

Maria berdiri terpaku, tubuhnya terasa berat seperti terbuat dari batu. Kata-kata itu, sederhana tetapi penuh racun, menggema di dalam pikirannya. Mereka tahu apa yang terjadi tadi malam. Mereka tahu bahwa polisi datang, dan mereka tahu bahwa beberapa dari mereka telah ditangkap. Tetapi pesan ini bukan tanda kekalahan mereka—itu adalah pengumuman bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menunggu.

“Maria?” suara Dewi memecah keheningan. Ia berdiri di pintu pagar rumah, wajahnya penuh kekhawatiran. “Apa itu?” tanyanya, matanya tertuju pada boneka di tangan Maria.

Maria berbalik perlahan, menunjukkan boneka dan catatan itu kepada Dewi. Wajah Dewi berubah pucat seketika. “Ya Tuhan,” gumamnya, tangannya menutupi mulutnya. “Mereka benar-benar tidak akan berhenti, bukan?”

Maria tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, tatapannya tetap tertuju pada boneka itu. Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang dan berjalan kembali ke dalam rumah, dengan Dewi mengikuti di belakangnya.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Dewi saat mereka duduk di ruang tamu. “Polisi sudah menangkap beberapa dari mereka, tapi jelas masih ada yang lain. Mereka tidak menyerah, Maria. Mereka semakin berbahaya.”

Maria meletakkan boneka itu di meja, menatapnya dengan intensitas yang tajam. “Aku tidak tahu,” katanya akhirnya, suaranya penuh dengan kelelahan. “Tapi aku tidak bisa terus seperti ini, Dewi. Mereka tidak hanya ingin menghancurkan aku. Mereka ingin menghancurkan segalanya—anak-anakku, hidupku. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Dewi menggenggam tangan Maria, mencoba memberinya kekuatan. “Kita harus mencari tahu siapa mereka, Maria. Jika kita tahu siapa mereka, kita mungkin bisa melawan balik.”

Maria mengangguk pelan, meskipun rasa frustrasi dan ketakutan masih membayangi pikirannya. Ia tahu bahwa menghadapi mereka tanpa informasi lebih lanjut adalah bunuh diri. Tetapi bagaimana ia bisa menemukan jawaban ketika orang-orang ini bergerak seperti bayangan, selalu satu langkah di depan?

Maria meraih ponselnya dan menelepon Eko. Ketika pria itu menjawab, suaranya terdengar lelah tetapi tetap penuh perhatian.

“Eko, aku butuh bantuanmu lagi,” kata Maria, suaranya tegas. “Mereka meninggalkan pesan baru. Mereka tidak akan berhenti.”

Eko menghela napas panjang di ujung telepon. “Aku sedang melacak aktivitas mereka, Maria. Aku pikir aku mulai melihat pola dalam cara mereka beroperasi. Tapi aku butuh waktu.”

“Kita tidak punya banyak waktu,” balas Maria dengan nada mendesak. “Mereka semakin dekat, Eko. Mereka tahu setiap langkahku.”

“Aku mengerti,” jawab Eko. “Aku akan mempercepat pencarianku. Tapi, Maria, kau harus tetap tenang. Orang-orang ini bermain di level yang berbeda. Jika kau membuat gerakan yang salah, mereka akan memanfaatkannya.”

Maria menutup telepon, mencoba menenangkan dirinya. Tetapi ia tahu bahwa ketenangan hanyalah sesuatu yang sementara. Ancaman itu masih menggantung di udara, seperti pisau yang siap jatuh kapan saja.

Malam harinya, Maria tidak tidur. Ia duduk di ruang tamu, memandangi boneka itu yang masih tergeletak di meja. Setiap detik terasa seperti ujian bagi kesabarannya, tetapi ia tahu ia tidak bisa lengah. Anak-anaknya tertidur di kamar mereka, tidak tahu bahwa dunia di luar terus mencoba masuk, mencoba menghancurkan apa yang mereka miliki.

Tepat tengah malam, Maria mendengar sesuatu—suara pelan yang datang dari luar, seperti langkah kaki di jalan berbatu di depan rumah. Ia berdiri dengan cepat, meraih pisau yang ia simpan di dekatnya, dan berjalan perlahan ke arah jendela.

Ketika ia mengintip melalui tirai, ia melihat bayangan seseorang berdiri di jalan, di luar pagar rumahnya. Orang itu tidak bergerak, hanya berdiri diam dengan tatapan yang tertuju langsung ke rumah Maria. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tidak membiarkan dirinya panik. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari permainan mereka—teror yang dirancang untuk menghancurkan mentalnya.

Maria menggenggam pisau itu lebih erat, menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Kalian tidak akan menang.”

Ketika Maria memeriksa pagar rumahnya keesokan paginya, ia menemukan sesuatu yang lebih mengerikan—sebuah foto keluarga lamanya yang robek, dengan wajah Maria yang dicoret dengan tinta merah, tertancap di pagar dengan pisau. Di bawahnya, sebuah catatan singkat berbunyi: “Kami tidak membutuhkan izinmu untuk masuk.”

Maria membuka pintu dengan hati yang berat, tangan kirinya mencengkeram pegangan sementara tangan kanannya tetap memegang pisau kecil yang sejak malam sebelumnya tidak pernah ia lepaskan. Ia tahu sesuatu akan ada di luar sana, sesuatu yang dirancang untuk menghancurkan sisa-sisa keberaniannya. Tetapi ia tidak siap untuk apa yang benar-benar ia temukan.

Di pagar rumahnya, sebuah foto keluarga lamanya tertancap dengan pisau besar yang berkarat. Foto itu adalah gambar lama—foto dari masa ketika Maria masih bersama Rizal, tersenyum meski hatinya penuh ketakutan. Wajahnya dalam foto itu dicoret dengan tinta merah, berantakan seperti amarah yang tidak terkendali. Di bawah foto itu, sebuah catatan tergantung, tertulis dengan tulisan tangan yang sama dengan semua pesan sebelumnya:

“Kami tidak membutuhkan izinmu untuk masuk.”

Maria berdiri mematung. Udara pagi yang dingin terasa menyesakkan, seperti menekan dadanya tanpa ampun. Pesan itu lebih dari sekadar ancaman; itu adalah pernyataan. Mereka ingin ia tahu bahwa ruang yang ia anggap aman hanyalah ilusi. Mereka bisa masuk kapan saja, melakukan apa saja, dan tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan mereka.

“Maria?” Suara Dewi memanggil dari belakang, nadanya penuh kekhawatiran. Dewi berlari dari pintu rumahnya, mengenakan jaket tebal, rambutnya yang kusut menunjukkan bahwa ia baru saja bangun.

Maria tidak menoleh. Ia hanya berdiri di sana, matanya terpaku pada foto itu, pada catatan itu, pada pisau yang menusuk pagar seperti tanda kepemilikan. Ketika Dewi melihat apa yang Maria lihat, ia menutup mulutnya dengan tangan, matanya melebar karena ngeri.

“Mereka… mereka benar-benar ingin menghancurkanmu,” bisik Dewi, suaranya bergetar. Ia menoleh ke Maria, mencoba mencari jawaban. “Apa yang akan kau lakukan?”

Maria akhirnya bergerak, menarik pisau dari pagar dengan gerakan cepat dan membuang foto itu ke tanah. “Aku tidak akan membiarkan mereka menang,” jawabnya dengan suara dingin, meskipun tangannya sedikit gemetar. “Mereka ingin aku takut. Tapi aku tidak akan memberi mereka kepuasan itu.”

Dewi mendekat, memegang bahu Maria dengan lembut. “Tapi, Maria, ini sudah di luar kendali. Mereka tahu terlalu banyak. Mereka terus mendekat.”

Maria menatap Dewi dengan mata yang penuh tekad. “Kalau begitu aku akan berhenti bermain di posisi bertahan. Aku akan melawan.”

Beberapa jam kemudian, Maria duduk di ruang tamunya, memeriksa foto yang ia bawa masuk ke dalam rumah. Ia tahu bahwa ini lebih dari sekadar ancaman acak. Ini adalah pesan pribadi—sesuatu yang dibuat dengan tujuan untuk menyerangnya di tempat yang paling lemah. Wajahnya yang dicoret dengan tinta merah adalah simbol penghinaan, penghapusan identitasnya. Mereka ingin ia merasa tidak berarti, seperti boneka yang mereka kendalikan.

Ponselnya berdering, suara nyaring itu membuat tubuhnya tersentak. Maria meraih ponselnya dengan cepat, berharap itu adalah Eko dengan berita tentang siapa sebenarnya yang berada di balik semua ini.

“Maria,” suara Eko terdengar di ujung sana, tenang tetapi penuh dengan kewaspadaan. “Aku menemukan sesuatu.”

“Apa itu?” tanya Maria, nadanya langsung penuh harapan meski ia mencoba menahannya.

“Aku melacak pola dalam pesan-pesan yang mereka kirimkan, dan aku menemukan bahwa mereka menggunakan beberapa perangkat untuk mengirimkan ancaman-ancaman itu. Satu perangkat khusus berasal dari kota ini—mungkin dari sekitar lingkunganmu sendiri.”

Maria terdiam, jantungnya berdegup lebih kencang. “Jadi mereka ada di dekatku?” tanyanya pelan, suaranya penuh ketegangan.

“Sepertinya begitu,” jawab Eko. “Tapi ini tidak hanya satu orang, Maria. Ada beberapa perangkat yang terhubung, seolah-olah mereka bekerja bersama-sama. Ini bukan hanya tentang Rizal. Ini lebih besar dari itu.”

Maria menutup matanya, mencoba mencerna informasi itu. Ia tahu bahwa ancaman ini terasa seperti lebih dari sekadar dendam pribadi, tetapi mendengar konfirmasi bahwa ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar membuatnya merasa seperti sedang melawan bayangan tanpa bentuk.

“Apa yang harus aku lakukan, Eko?” tanyanya akhirnya, suaranya hampir berbisik.

“Kau harus tetap kuat,” jawab Eko. “Aku akan mencoba mencari lebih banyak informasi tentang siapa mereka, tetapi kau harus memastikan bahwa kau tetap aman. Jangan biarkan mereka membuatmu kehilangan kendali.”

Maria menutup telepon dan meletakkannya di meja. Tetapi kata-kata Eko terus bergema di pikirannya: “Mereka ada di dekatmu.” Itu adalah kenyataan yang sulit diterima, tetapi ia tahu bahwa ini adalah fakta yang tidak bisa ia abaikan. Mereka telah mengawasinya selama ini, mengetahui setiap gerakannya, dan mungkin bahkan lebih dekat daripada yang ia duga.

Malam itu, Maria memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia mengunci semua pintu dan jendela, memastikan anak-anaknya aman di kamar mereka, lalu ia mengambil jaket dan menyelipkan pisau kecil di saku. Ia tidak akan menunggu mereka datang lagi. Kali ini, ia akan menjadi orang yang mencari mereka.

Saat Maria berjalan menyusuri jalanan gelap di sekitar rumahnya, ia merasa seperti sedang diawasi. Setiap bayangan di jalan tampak seperti seseorang yang bersembunyi. Ketika ia sampai di ujung jalan, ia melihat sebuah mobil hitam terparkir dengan lampu menyala. Jantungnya berdegup kencang ketika ia melihat seseorang duduk di dalam mobil itu, memandang langsung ke arahnya, dengan senyuman tipis di wajah mereka.

Maria berdiri di ujung jalan, tubuhnya membeku ketika matanya bertemu dengan sosok yang duduk di dalam mobil hitam itu. Mobil tersebut tidak bergerak, tetapi lampunya menyala terang, menyinari jalan yang kosong dan sepi. Orang di dalam mobil tidak mencoba menyembunyikan dirinya. Sebaliknya, ia duduk di kursi pengemudi dengan santai, dengan senyuman kecil yang terpampang di wajahnya, seperti seseorang yang tahu bahwa ia sedang memegang kendali.

Maria merasakan napasnya semakin berat, tetapi ia tidak membiarkan dirinya terlihat goyah. Tangannya menyentuh pisau kecil yang terselip di saku jaketnya, mencari sedikit rasa aman meskipun ia tahu pisau itu tidak akan banyak membantu. Langkah kakinya pelan tetapi tegas saat ia berjalan mendekati mobil itu, mencoba mengatasi rasa takut yang mencengkeram dadanya.

Ketika jaraknya hanya beberapa meter dari mobil, jendela di sisi pengemudi diturunkan perlahan. Suara mesin mobil yang masih menyala bercampur dengan suara malam yang sunyi, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Pria di dalam mobil memiringkan kepalanya, menatap Maria dengan mata yang dingin dan tajam.

“Hai, Maria,” katanya dengan suara yang rendah tetapi penuh ironi. “Akhirnya kau memutuskan untuk keluar. Aku senang kau tidak hanya bersembunyi di balik dinding rumahmu.”

Maria berhenti, berdiri tegak di depan mobil itu, menjaga jarak yang cukup untuk bereaksi jika sesuatu terjadi. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya, suaranya tajam meskipun ia berusaha keras untuk tidak membiarkan rasa takutnya terdengar.

Pria itu tertawa kecil, tawa yang lebih menyerupai ejekan. “Apa yang kami inginkan? Kami ingin mengingatkanmu, Maria, bahwa kau tidak bisa melarikan diri. Hidupmu—setiap langkah, setiap keputusan—ada dalam pengawasan kami. Kau bisa mencoba melawan, tapi pada akhirnya, kau akan kelelahan. Dan saat itu, kami akan menang.”

Maria mengepalkan tangannya, matanya tidak lepas dari pria itu. “Kau pikir aku akan menyerah?” tanyanya dengan nada penuh kemarahan. “Kau pikir aku akan membiarkan kalian menghancurkan hidupku?”

Pria itu mengangkat bahu, senyumnya masih melekat di wajahnya. “Kami tidak perlu kau menyerah sekarang. Kami hanya ingin kau tahu bahwa waktu sedang berjalan. Dan setiap detik yang berlalu, kami semakin dekat.”

Maria merasa darahnya mendidih. Ia melangkah lebih dekat, matanya menyala dengan tekad yang mendidih di bawah ketakutannya. “Kalau begitu kenapa kau tidak menyelesaikannya sekarang? Kenapa kau bermain-main dengan hidupku? Jika kau cukup berani, lakukan sesuatu.”

Pria itu menatap Maria dengan ekspresi penuh rasa puas, seperti seseorang yang tahu bahwa ia telah memancing reaksi yang ia inginkan. “Oh, Maria, kami tidak perlu terburu-buru. Ini bukan tentang menyelesaikan sesuatu. Ini tentang menghancurkanmu perlahan-lahan, sampai kau tidak punya apa-apa lagi selain ketakutan.”

Maria merasakan tubuhnya gemetar, tetapi bukan karena takut. Itu karena amarah yang ia tahan selama berminggu-minggu. “Kalian salah jika mengira aku akan tunduk,” katanya dengan nada rendah tetapi penuh kekuatan. “Aku mungkin terlihat lemah, tapi aku tidak akan membiarkan kalian menang.”

Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, seolah-olah ia benar-benar terhibur. “Kita lihat saja, Maria. Tapi ingat, ini baru permulaan.”

Sebelum Maria sempat menjawab, pria itu menyalakan lampu jauh mobil, membuat Maria memalingkan wajahnya sejenak karena silau. Dalam hitungan detik, mobil itu melaju pergi dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Maria berdiri di jalan yang kosong, dikelilingi oleh bayangan malam yang terasa semakin gelap.

Maria berdiri di sana selama beberapa saat, mencoba mengatur napasnya. Tangannya masih mencengkeram pisau di saku jaketnya, tetapi ia tahu bahwa senjata kecil itu tidak akan cukup untuk melindunginya dari ancaman yang terus membayangi. Ini bukan hanya tentang satu orang. Ini adalah jaringan, sebuah permainan yang dirancang untuk menghancurkan segalanya yang ia miliki.

Ketika Maria kembali ke rumah, Dewi sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah yang penuh kekhawatiran. “Maria, kau ke mana? Aku mencarimu. Kau tidak bisa keluar sendirian seperti itu,” katanya dengan nada panik.

Maria meletakkan pisau di meja dan duduk dengan lemas di kursi. “Mereka ada di sini, Dewi. Mereka terus mengawasi setiap langkahku. Aku bertemu salah satu dari mereka.”

Dewi menatap Maria dengan mata yang penuh ketakutan. “Apa yang dia katakan?”

Maria menghela napas, mencoba meredam emosinya. “Mereka bilang waktu sedang berjalan. Bahwa mereka semakin dekat. Mereka ingin aku tahu bahwa aku tidak punya tempat untuk bersembunyi.”

“Maria, ini sudah tidak bisa dibiarkan,” kata Dewi dengan suara penuh tekad. “Kita harus mencari cara untuk menghentikan mereka. Kau tidak bisa menghadapi ini sendirian.”

Maria mengangguk perlahan. “Aku tahu. Tapi ini lebih besar daripada yang kita pikirkan. Mereka bukan hanya beberapa orang yang marah. Ini lebih besar, lebih gelap.”

Maria memutuskan untuk menghubungi Eko lagi, meminta bantuannya untuk melacak lebih dalam. Tetapi ketika ia menelepon, suara di ujung telepon terdengar asing. “Eko tidak ada,” kata suara itu. “Kami yang menjawab sekarang.” Maria merasakan jantungnya berhenti sejenak, menyadari bahwa mereka telah lebih dalam dari yang ia duga.

Maria merasakan tubuhnya membeku saat mendengar suara di telepon. Itu bukan suara Eko—suara ramah dan penuh perhatian yang biasa ia dengar. Sebaliknya, suara itu rendah, dingin, dan penuh ancaman yang terbungkus dalam nada tenang.

“Eko tidak ada,” ulang suara itu dengan pelan. “Kami yang menjawab sekarang.”

Jantung Maria berdetak kencang, seolah-olah akan meledak di dadanya. Telinganya berdenging, pikirannya berpacu mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Ia tahu bahwa ancaman ini sudah jauh melampaui apa yang pernah ia bayangkan. Mereka tidak hanya mengawasi; mereka telah menyusup lebih dalam, masuk ke ruang-ruang yang seharusnya aman.

“Apa yang kalian lakukan pada Eko?” tanyanya dengan suara serak, berusaha mengendalikan dirinya meskipun ketakutan mulai menguasai.

Terdengar tawa kecil di seberang, pelan tetapi menusuk, seperti pisau yang dengan sengaja diputar di luka. “Oh, jangan khawatir. Eko baik-baik saja… untuk saat ini. Tetapi kau harus tahu, Maria, kami tidak suka ketika seseorang mencoba ikut campur dalam urusan kami.”

Maria mengepalkan tangannya di sisi meja, mencoba menahan gemetar di tubuhnya. “Kalau kalian menyakitinya…”

“Tenanglah,” potong suara itu, nadanya tetap tenang tetapi memancarkan ancaman yang jelas. “Kami tidak akan menyentuhnya—selama kau mendengarkan kami. Ini adalah peringatan, Maria. Jangan mencoba bermain-main lagi. Berhentilah melawan, atau kami akan memastikan semua orang di sekitarmu membayar harga untuk keberanianmu.”

Maria menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. “Apa yang kalian inginkan dariku? Kenapa kalian melakukan ini?”

Suara itu terdiam sejenak, sebelum menjawab, “Kami tidak ingin apa pun darimu, Maria. Kami hanya ingin kau tahu di mana posisimu. Kau adalah bagian dari permainan kami sekarang. Kau bisa mencoba kabur, tapi kami akan selalu lebih cepat. Kau bisa mencoba melawan, tapi kau tahu itu sia-sia.”

Telepon terputus, meninggalkan Maria dalam keheningan yang menusuk. Ia menatap layar ponsel yang gelap, pikirannya penuh dengan pertanyaan dan ketakutan yang semakin dalam. Mereka telah menguasai setiap aspek hidupnya. Mereka tahu di mana ia berada, siapa yang ia hubungi, bahkan apa yang ia rencanakan. Tidak ada tempat untuk merasa aman lagi.

Maria menatap Dewi yang duduk di seberang meja, wajahnya pucat setelah mendengar bagian dari percakapan itu. “Apa yang mereka katakan?” tanya Dewi, suaranya hampir tidak terdengar.

Maria meletakkan ponsel di meja dengan tangan yang gemetar. “Mereka sudah menemukan Eko,” jawabnya dengan suara serak. “Mereka mengancam akan menyakitinya jika aku tidak berhenti.”

“Maria, ini gila,” bisik Dewi, matanya penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran. “Kita tidak bisa membiarkan mereka terus seperti ini. Kita harus melakukan sesuatu.”

“Tapi apa, Dewi?” Maria memandang temannya dengan tatapan putus asa. “Mereka selalu selangkah di depan. Mereka tahu segalanya. Aku bahkan tidak tahu siapa yang harus aku percayai.”

Dewi terdiam, tetapi matanya menunjukkan tekad. “Kita akan cari tahu siapa mereka. Kita akan mencari bantuan. Tapi kau tidak boleh menyerah, Maria. Kau tidak bisa membiarkan mereka menang.”

Maria mengangguk pelan, meskipun di dalam dirinya ada rasa takut yang terus membengkak. Ia tahu bahwa ini adalah perang, dan perang ini tidak akan dimenangkan hanya dengan bertahan. Tetapi bagaimana ia bisa melawan musuh yang bersembunyi di dalam bayangan, yang selalu tahu setiap langkahnya?

Malam itu, Maria tidak tidur. Ia duduk di depan jendela ruang tamu, memegang pisau di tangan, matanya menatap gelapnya malam di luar. Anak-anaknya sudah tertidur di kamar mereka, tetapi Maria tidak bisa merasa tenang. Ia tahu bahwa mereka sedang diawasi, dan setiap detik yang berlalu terasa seperti hitungan mundur menuju sesuatu yang lebih buruk.

Ketika malam semakin larut, Maria mendengar suara pelan dari luar—suara langkah kaki di jalan berbatu di depan rumahnya. Ia menahan napas, matanya menyipit mencoba menangkap bayangan di luar. Dari tempatnya duduk, ia melihat seseorang berjalan perlahan melewati rumahnya. Orang itu tidak berhenti, tetapi gerakannya cukup untuk membuat tubuh Maria tegang.

Namun, saat Maria hampir merasa lega karena orang itu tampak menghilang ke kejauhan, sesuatu terjatuh di depan pintu rumahnya—sebuah amplop. Suara jatuhnya amplop itu begitu pelan, tetapi cukup untuk membuat Maria langsung berdiri.

Ia berjalan ke pintu dengan hati-hati, memegang pisau di satu tangan, sementara tangan lainnya meraih gagang pintu. Ia membuka pintu dengan perlahan, memastikan bahwa tidak ada siapa pun di luar sebelum ia memungut amplop itu. Begitu ia membukanya, Maria menemukan sebuah catatan tertulis dengan tinta merah tebal:

“Langkah berikutnya adalah pilihanmu. Kami akan menunggu.”

Namun, bukan hanya tulisan itu yang membuat Maria merasa mual. Di dalam amplop itu juga terdapat sebuah foto. Itu adalah foto Putri dan Arif, diambil dari jendela kamar mereka saat mereka tertidur. Wajah Maria memucat, tangannya hampir menjatuhkan foto itu. Mereka telah masuk ke ruang yang seharusnya paling aman. Mereka telah mengancam yang paling berharga dalam hidupnya.

Maria memutuskan untuk membawa foto dan catatan itu ke polisi keesokan paginya. Tetapi ketika ia tiba di kantor polisi, petugas yang ia temui memberikan tatapan dingin dan berkata, “Kami sudah tahu semua ini, Bu Maria. Tetapi tidak ada yang bisa kami lakukan sampai mereka benar-benar bertindak.” Kata-kata itu menghantam Maria seperti pukulan keras, membuatnya sadar bahwa ia sedang benar-benar sendirian dalam perang ini.

Maria duduk di kursi di kantor polisi, tangannya memegang erat foto dan catatan yang ia bawa. Matanya menatap lurus ke arah meja di depannya, tetapi pikirannya penuh dengan ketakutan dan amarah yang tak terkendali. Di seberangnya, seorang petugas polisi dengan seragam yang rapi menatapnya dengan ekspresi netral, terlalu netral, seperti seseorang yang mencoba tidak terlibat lebih dalam dari yang diperlukan.

“Bu Maria,” kata petugas itu akhirnya, suaranya datar. “Kami memahami bahwa Anda merasa terancam. Tapi seperti yang sudah kami katakan sebelumnya, tanpa bukti konkret bahwa mereka melakukan tindakan yang melanggar hukum, kami tidak bisa mengambil tindakan yang lebih jauh.”

Maria menatap petugas itu dengan mata yang penuh dengan campuran rasa frustrasi dan putus asa. Ia mendorong foto Putri dan Arif di meja ke arah petugas. “Ini tidak cukup konkret untukmu? Mereka masuk ke rumahku, mengintai anak-anakku, meninggalkan ancaman. Apa yang kau tunggu? Sampai sesuatu terjadi pada mereka?”

Petugas itu menghela napas, menatap foto itu sejenak sebelum mengangkat pandangannya kembali ke Maria. “Kami mengerti kekhawatiran Anda, tapi kami harus bekerja sesuai dengan hukum, Bu Maria. Kami sudah meningkatkan patroli di sekitar rumah Anda. Jika ada ancaman langsung atau seseorang tertangkap basah mencoba masuk ke rumah Anda, kami pasti akan bertindak.”

Maria mengepalkan tangannya di pangkuannya, mencoba menahan air mata yang menggenang. “Tertangkap basah? Apa kalian tidak mendengar diriku? Mereka sudah ada di sana. Mereka mengawasi setiap langkahku, setiap gerakanku. Mereka hanya bermain dengan waktu.”

Petugas itu tampak ragu, tetapi tetap dengan nada yang sama. “Kami akan mencatat laporan Anda dan terus memantau. Kami akan melakukan yang terbaik untuk melindungi Anda dan keluarga Anda.”

“Melindungi?” Maria hampir tertawa, tetapi tidak ada humor di dalamnya. “Kalian bahkan tidak tahu siapa yang melakukan ini. Dan aku harus pulang malam ini, membawa anak-anakku kembali ke rumah yang mereka tahu mereka bisa masuk kapan saja.”

Petugas itu tidak menjawab, dan itu hanya membuat rasa putus asa Maria semakin dalam. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengandalkan mereka. Meskipun mereka mungkin berniat baik, sistem ini tidak dibuat untuk menghadapi sesuatu seperti ini—ancaman yang tidak terlihat, yang bergerak seperti bayangan tetapi menyerang dengan presisi.

Maria berdiri dengan cepat, mengambil foto dan catatan itu dari meja. “Aku tidak bisa hanya duduk dan menunggu,” katanya dingin. “Jika kalian tidak akan melindungi kami, maka aku akan melakukannya sendiri.”

Tanpa menunggu tanggapan, Maria berbalik dan keluar dari ruangan, meninggalkan petugas itu yang hanya menatap punggungnya dengan ekspresi tidak yakin.

Ketika Maria kembali ke rumah, Dewi sudah menunggunya di ruang tamu, matanya penuh dengan kekhawatiran. “Bagaimana, Maria? Apa yang polisi katakan?” tanyanya.

Maria menutup pintu dengan perlahan, meletakkan foto dan catatan di meja sebelum duduk di sofa dengan lemas. “Mereka tidak akan melakukan apa-apa, Dewi,” katanya pelan, nadanya datar tetapi penuh dengan kemarahan yang terpendam. “Mereka bilang mereka tidak bisa bertindak sampai sesuatu benar-benar terjadi.”

Dewi menatap Maria dengan mata yang membelalak. “Jadi mereka hanya akan menunggu sampai kau atau anak-anakmu terluka?”

Maria mengangguk, menghela napas panjang. “Ya. Seperti itulah cara mereka bekerja.”

Dewi menghela napas, lalu duduk di samping Maria. “Kalau begitu, apa rencanamu? Kau tidak bisa terus seperti ini, Maria. Kau tidak bisa melawan mereka sendirian.”

Maria mengangkat wajahnya, matanya menunjukkan tekad yang berbeda dari sebelumnya. “Aku tidak akan membiarkan mereka menang, Dewi. Jika mereka pikir aku akan tunduk pada permainan mereka, mereka salah.”

Dewi memandang Maria dengan rasa cemas yang mendalam, tetapi ia juga tahu bahwa temannya tidak akan menyerah. “Aku bersamamu, Maria. Apa pun yang kau butuhkan.”

Maria mengangguk, merasa sedikit lega mengetahui bahwa ia tidak benar-benar sendirian. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah perang yang harus ia hadapi sendiri. Mereka menyerangnya secara personal, dan mereka hanya akan berhenti jika ia menunjukkan bahwa ia bukan hanya korban.

Malam itu, Maria membuat keputusan. Ia akan berhenti hanya menunggu. Ia akan mencoba memancing mereka, menemukan cara untuk membuat mereka membuat kesalahan. Jika mereka ingin bermain, maka ia akan bermain dengan caranya sendiri.

Pukul dua pagi, Maria duduk di ruang tamu dengan cahaya lampu yang redup. Anak-anaknya sudah tertidur, dan Dewi sudah kembali ke rumahnya. Maria memegang ponselnya, mencoba menghubungi Eko lagi, berharap pria itu sudah kembali atau mungkin selamat. Tetapi setiap kali panggilan itu berdering, tidak ada jawaban. Ia merasa seolah-olah setiap sekutu yang ia miliki perlahan menghilang.

Tiba-tiba, sebuah suara pelan terdengar dari luar—bunyi lembut seperti sesuatu yang jatuh di depan pintu rumah. Maria berdiri dengan cepat, mengambil pisau yang selalu ia bawa, dan berjalan dengan hati-hati ke arah pintu.

Ketika ia membuka pintu, udara malam yang dingin langsung menyambutnya. Ia melihat sesuatu di depan pintu—sebuah amplop cokelat kecil yang tergeletak dengan rapi. Tubuhnya menegang, tetapi ia memungut amplop itu dengan hati-hati.

Di dalamnya ada sebuah foto lain. Kali ini, foto itu adalah dirinya sendiri, diambil dari sudut yang tinggi, kemungkinan besar dari atap rumahnya. Ia terlihat sedang berdiri di ruang tamu dengan pisau di tangan, tatapan matanya yang tegang memandangi jendela.

Di belakang foto itu tertulis dengan tinta merah yang tebal: “Kami selalu mengawasi. Jangan membuat kesalahan, Maria.”

Maria menatap foto itu dengan napas yang semakin cepat. Saat ia menutup pintu dan mengunci semua kunci, ia mendengar langkah kaki dari atap—suara yang sama dengan malam sebelumnya, tetapi kali ini lebih berat, lebih lambat, seperti seseorang yang sengaja memastikan ia tahu mereka ada di sana.

Maria berdiri di ruang tamu, tubuhnya kaku seperti patung. Foto yang baru saja ia ambil dari amplop tergeletak di atas meja, menatapnya kembali seperti cermin yang menunjukkan ketakutannya. Tinta merah yang tercetak di belakang foto itu—“Kami selalu mengawasi. Jangan membuat kesalahan, Maria.”—berdengung dalam pikirannya, menggema seperti mantra yang mencoba merobohkan setiap tembok pertahanannya.

Namun, ketukan langkah kaki di atas atap yang mulai terdengar membuat tubuhnya tegang hingga ke tulang. Langkah itu lambat, disengaja, dan setiap derit kayu atap terdengar seperti ejekan. Mereka ingin Maria tahu bahwa mereka ada di sana, bahwa tidak ada tempat aman, bahkan di bawah atapnya sendiri.

Maria meraih pisau yang ada di meja, menggenggamnya erat hingga tangannya memutih. Napasnya terdengar pendek-pendek, tetapi di bawah ketakutannya, ada kemarahan yang mulai membakar. Mereka telah mengancam hidupnya, anak-anaknya, dan kini mereka melangkah lebih jauh—mencoba menghapus sisa-sisa keamanan yang ia coba pertahankan.

“Cukup,” gumam Maria pada dirinya sendiri, suara itu terdengar lebih seperti perintah. Ia menatap ke arah langit-langit, mendengar langkah itu bergerak dari satu sisi atap ke sisi lainnya, sebelum akhirnya berhenti di atas kamar anak-anaknya.

Maria tidak menunggu lagi. Dengan langkah pelan tapi pasti, ia berjalan menuju dapur, mengambil tangga kecil yang biasa ia gunakan untuk mengganti bohlam. Ia membukanya dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara yang bisa memperingatkan siapa pun di atas atap. Dalam diam yang mencekam, ia mendirikan tangga itu di dekat dinding rumah, tepat di bawah tepi atap.

Ketika Maria mulai menaiki tangga, ia merasakan detak jantungnya semakin cepat. Angin malam yang dingin menggigit kulitnya, tetapi ia tidak peduli. Langkahnya pelan, setiap gerakan penuh kewaspadaan. Ketika ia mencapai puncak tangga, ia mengangkat kepalanya dengan hati-hati, mencoba mengintip di atas atap tanpa menimbulkan suara.

Bayangan itu ada di sana. Seseorang, mengenakan pakaian serba hitam, sedang berjongkok di atas atap, memegang sesuatu yang tampak seperti kamera kecil. Orang itu mengarahkan kamera ke arah jendela kamar anak-anaknya, mengambil gambar tanpa suara. Maria menahan napas, amarahnya membuncah. Ini bukan lagi ancaman biasa. Ini adalah pelanggaran yang tidak bisa ia biarkan.

Dengan gerakan cepat, Maria melangkah ke atap, pisaunya terangkat. “Siapa kau?!” serunya, suaranya keras dan penuh kemarahan.

Pria itu terkejut, tubuhnya tersentak sebelum ia berbalik menghadap Maria. Wajahnya tertutup topeng hitam, hanya matanya yang terlihat—dingin, tanpa emosi. Ia berdiri perlahan, kamera di tangannya menggantung dengan tali di lehernya.

“Kau tidak seharusnya di sini,” kata pria itu dengan suara rendah tetapi penuh ancaman. “Ini bukan tempatmu untuk bertarung, Maria.”

Maria mengarahkan pisaunya ke pria itu, matanya menyala dengan tekad yang tidak bisa digoyahkan. “Ini rumahku. Ini keluargaku. Dan aku akan melawan siapa pun yang mencoba menyentuh mereka.”

Pria itu tertawa kecil, suaranya terdengar seperti ejekan. “Kau pikir kau bisa melawan kami? Kau bahkan tidak tahu siapa yang sedang kau lawan.”

“Kalau begitu beri tahu aku,” balas Maria dengan tajam. “Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?”

Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengambil langkah mundur, mendekati tepi atap. “Kau harus belajar untuk tunduk, Maria. Jika tidak, kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”

Sebelum Maria sempat menjawab, pria itu melompat dari atap, menghilang ke dalam bayangan malam. Maria berlari ke tepi atap, melihat ke bawah, tetapi pria itu sudah lenyap. Yang tersisa hanyalah kesunyian dan bayangan pohon yang melambai pelan di bawah angin.

Maria berdiri di sana selama beberapa saat, tubuhnya gemetar karena campuran ketakutan dan kemarahan. Ia merasa kalah—bukan karena ia tidak mampu melawan, tetapi karena musuhnya bergerak seperti bayangan, selalu tahu kapan harus menyerang dan kapan harus menghilang.

Ketika ia kembali masuk ke dalam rumah, Maria memeriksa kamar anak-anaknya. Putri dan Arif masih tertidur, wajah mereka tenang, tidak tahu apa yang baru saja terjadi di atas kepala mereka. Maria mendekati tempat tidur mereka, menyentuh kepala Putri dengan lembut, dan berbisik, “Ibu tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kalian.”

Maria kembali ke ruang tamu, menatap foto dan catatan yang masih tergeletak di meja. Ia tahu ini belum selesai. Mereka akan kembali, dan lain kali, mereka mungkin tidak hanya datang untuk mengancam. Ia harus siap.

Ketika Maria akhirnya mencoba tidur beberapa jam kemudian, ponselnya bergetar di meja samping tempat tidur. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Pesan itu hanya terdiri dari satu kalimat: “Kau membuat langkah pertama malam ini, Maria. Tapi ingat, ini adalah permainan kami.”

Maria membuka matanya perlahan, kepala terasa berat setelah malam yang penuh ketegangan. Napasnya masih belum benar-benar stabil. Ia melirik ponsel di meja samping tempat tidur yang terus bergetar, menyala dengan sebuah pesan baru. Tanpa ragu, ia meraih ponsel itu dan membuka pesan dari nomor yang tak dikenal.

Pesan itu hanya berisi satu kalimat, tetapi itu cukup untuk membuat darahnya kembali berdesir: “Kau membuat langkah pertama malam ini, Maria. Tapi ingat, ini adalah permainan kami.”

Maria menatap layar ponselnya, matanya tak berkedip. Pesan itu seperti pukulan di perut, mengingatkan bahwa meskipun ia telah menunjukkan keberaniannya, mereka tetap merasa memegang kendali. Kata “permainan” berputar di kepalanya, memercikkan api kecil dari amarah yang semakin sulit ia kendalikan. Mereka tidak hanya mencoba menghancurkannya; mereka menikmatinya.

Dengan tangan yang gemetar, Maria membuang ponsel itu ke sisi tempat tidur dan berdiri. Di luar, langit mulai memudar menjadi biru pagi. Tetapi cahaya matahari yang lembut tidak memberikan kenyamanan. Ia tahu, hari ini bukanlah hari yang lebih baik. Ancaman itu terus mengintai.

Maria berjalan ke dapur, mengambil segelas air, tetapi matanya terus terpaku pada pintu belakang. Ia mengingat peristiwa tadi malam—sosok di atas atap, senyuman di balik topeng, dan lompatan yang mulus ke dalam bayangan. Itu semua terasa seperti permainan yang sudah mereka atur dengan rapi, sementara Maria hanya pion yang dipaksa bergerak di papan mereka.

Dewi mengetuk pintu belakang beberapa menit kemudian, membawa secangkir kopi untuk Maria. “Aku pikir kau mungkin butuh ini,” kata Dewi sambil menatap Maria dengan ekspresi khawatir. Ia melihat bagaimana wajah temannya terlihat lebih lelah daripada biasanya, lingkaran hitam di bawah matanya semakin dalam.

Maria mengambil cangkir itu, mengucapkan terima kasih dengan suara rendah sebelum duduk di meja dapur. Dewi duduk di depannya, menatap Maria seolah-olah ia mencari cara untuk membantu meski tidak tahu harus mulai dari mana.

“Mereka mengirim pesan lagi?” tanya Dewi akhirnya, suaranya hampir berbisik.

Maria mengangguk pelan, meletakkan cangkir kopi di atas meja. “Mereka bilang ini adalah permainan mereka. Mereka ingin aku tahu bahwa tidak peduli apa yang aku lakukan, mereka selalu punya kendali.”

“Kau harus melawan balik, Maria,” kata Dewi dengan nada yang tegas. “Kita tidak bisa terus membiarkan mereka mempermainkanmu seperti ini.”

Maria mengangkat tatapannya, matanya penuh dengan amarah yang terpendam. “Aku ingin melawan, Dewi. Tapi bagaimana caranya? Mereka tahu segalanya tentang aku, tentang anak-anakku. Mereka bisa masuk ke rumahku, mengambil foto anak-anakku saat mereka tidur. Aku bahkan tidak tahu siapa mereka atau seberapa banyak orang yang terlibat.”

Dewi menggigit bibirnya, terlihat ragu sebelum akhirnya berkata, “Bagaimana kalau kita coba mencari tahu siapa mereka? Mungkin kita bisa memancing mereka keluar dari bayang-bayang.”

Maria menatap Dewi, idenya mulai meresap di pikirannya. Memancing mereka keluar. Itu terdengar seperti sebuah risiko besar, tetapi ia tahu bahwa selama ini, mereka selalu bergerak dari tempat yang aman, selalu bermain dari balik layar. Jika ia bisa membuat mereka muncul, mungkin itu adalah langkah pertama untuk membalikkan keadaan.

“Bagaimana caranya?” tanya Maria akhirnya.

“Kita bisa mencoba membuat mereka berpikir kau akan menyerah,” kata Dewi dengan hati-hati. “Kau bisa menunjukkan bahwa mereka telah menang—bahwa kau sudah terlalu lelah untuk melawan. Mungkin itu akan membuat mereka ceroboh.”

Maria terdiam, memikirkan kemungkinan itu. Ia tahu ini berbahaya, tetapi pada titik ini, semua yang ia miliki hanyalah keberanian yang didorong oleh keputusasaan. Jika ini adalah satu-satunya cara untuk menemukan kelemahan mereka, maka ia harus mencobanya.

Beberapa jam kemudian, Maria mulai merancang rencananya. Ia menyiapkan pesan balasan untuk nomor yang mengiriminya ancaman, sesuatu yang terdengar seperti penyerahan diri tetapi tetap cukup samar untuk tidak terlihat jelas.

Pesan itu berbunyi: “Aku mengerti. Aku tidak bisa melawan kalian. Tolong beri aku waktu untuk mempersiapkan segalanya.”

Maria menatap pesan itu untuk waktu yang lama sebelum akhirnya mengirimkannya. Ia merasa seperti menyerahkan sebagian dari dirinya, tetapi ia tahu ini hanyalah langkah pertama dalam permainan yang lebih besar.

Tidak butuh waktu lama sebelum balasan masuk: “Itu keputusan yang bijak, Maria. Kami akan menunggumu. Jangan mencoba sesuatu yang bodoh.”

Maria membaca pesan itu dengan hati yang berat. Mereka percaya bahwa ia menyerah. Itu adalah langkah kecil, tetapi cukup untuk memberinya sedikit ruang untuk bergerak.

Malam harinya, Maria duduk di ruang tamu dengan pisau di meja, menunggu apa pun yang mungkin terjadi. Tetapi untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, malam itu berlalu tanpa gangguan. Tidak ada suara langkah kaki di atap, tidak ada amplop yang dilemparkan ke depan pintu. Maria tidak merasa lega. Sebaliknya, ia tahu bahwa ketenangan ini hanyalah jeda sebelum badai yang lebih besar.

Pada pagi berikutnya, Maria menerima pesan baru yang memberinya sebuah lokasi untuk bertemu. Pesan itu berbunyi: “Datanglah sendiri ke lokasi ini. Jangan bawa siapa pun. Jika kau mencoba sesuatu, kau tahu apa yang akan terjadi.” Lokasi itu adalah sebuah gudang tua di pinggiran kota—tempat yang cukup jauh dari keramaian dan terlalu sempurna untuk menjadi sebuah jebakan.

Maria menatap layar ponselnya dengan tangan yang sedikit bergetar. Pesan itu terasa seperti pisau tajam yang menembus perlahan ke dalam dirinya. Lokasi yang diberikan adalah gudang tua di pinggiran kota, tempat yang terlalu terpencil untuk sesuatu yang tidak mencurigakan. Ia tahu ini adalah jebakan. Tidak ada yang dirancang untuk melindunginya di sana—tempat itu hanya menjadi arena di mana mereka berencana menyudutkannya.

Tetapi ia tidak punya pilihan. Mereka ingin ia datang, dan ia tahu jika ia tidak menuruti perintah mereka, ancaman kepada Putri dan Arif akan semakin nyata.

Maria duduk di ruang tamu, mencoba mengatur napasnya. Di depannya, Dewi memandangi layar ponsel yang sama dengan tatapan khawatir. “Maria, kau tidak bisa pergi sendiri,” kata Dewi, suaranya hampir memohon. “Kau tahu ini adalah jebakan. Mereka ingin kau lemah, terisolasi.”

“Aku tahu,” jawab Maria dengan suara rendah tetapi tegas. “Tapi kalau aku tidak pergi, mereka akan menganggap aku mencoba melawan. Aku tidak bisa mengambil risiko itu, Dewi.”

“Lalu apa rencanamu?” Dewi bertanya, mencoba tetap tenang meskipun jelas ia ketakutan. “Kau tidak bisa berjalan masuk ke tempat itu tanpa tahu apa yang menunggumu.”

Maria menatap Dewi dengan mata yang penuh tekad. “Aku akan pergi, tapi aku tidak akan datang sebagai korban. Aku akan membuat mereka berpikir aku menyerah, tapi aku akan mempersiapkan diriku.”

Dewi mengangguk pelan, meskipun rasa cemas masih terlihat jelas di wajahnya. “Aku akan menunggumu di dekat sana, Maria. Aku tidak peduli apa pun yang mereka katakan. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi mereka sendirian.”

Beberapa jam kemudian, Maria duduk di dalam mobilnya yang terparkir beberapa blok dari lokasi yang diberikan. Ponselnya dipegang erat di tangannya, dan pisau kecil terselip di dalam jaketnya. Ia melihat ke luar jendela, memandangi jalanan sepi yang menuju ke gudang tua itu. Bangunan itu tampak gelap dan terlantar, dikelilingi oleh ilalang tinggi yang bergerak pelan di bawah angin malam.

Maria menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Kau bisa melakukannya,” bisiknya kepada dirinya sendiri. Tetapi meskipun ia mencoba menyemangati dirinya, ia tahu bahwa ia sedang melangkah ke dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

Ia melangkah keluar dari mobil dengan hati-hati, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Langkahnya pelan tetapi tegas, setiap langkah terasa seperti gema yang menghantam kesunyian malam. Ia berjalan menuju pintu besar gudang, berhenti tepat di depannya. Ia bisa merasakan kehadiran mereka di dalam, seperti bayangan yang mengintai dari balik kegelapan.

Pintu itu terbuka dengan bunyi derit yang memekakkan, seolah-olah tidak pernah disentuh selama bertahun-tahun. Di dalam, cahaya redup dari beberapa lampu gantung menerangi ruangan yang luas. Lantai gudang penuh debu, tetapi di tengah ruangan itu, ada sebuah meja dengan beberapa kursi di sekelilingnya. Di salah satu kursi, seorang pria duduk dengan santai, mengenakan jas hitam dengan senyum dingin di wajahnya.

“Selamat datang, Maria,” katanya dengan nada yang terlalu ramah. “Aku senang kau memutuskan untuk datang.”

Maria berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegang tetapi matanya tidak menunjukkan rasa takut. “Aku tidak punya pilihan,” katanya tajam. “Kalian membuatnya jelas.”

Pria itu tertawa kecil, suaranya menggema di dalam gudang yang kosong. “Itu benar. Kau memang tidak punya pilihan. Tapi aku senang kau menyadarinya.”

Maria berjalan mendekat, menjaga jarak yang cukup dari pria itu. “Apa yang kalian inginkan dariku? Kenapa kalian terus mengancamku?”

Pria itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengamati Maria seperti seorang pemburu yang memperhatikan mangsanya. “Ini bukan tentang apa yang kami inginkan, Maria. Ini tentang kau belajar di mana tempatmu. Kau berpikir kau bisa melarikan diri, memulai hidup baru, tapi hidupmu bukan milikmu. Hidupmu ada di tangan kami.”

Maria mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba menahan amarah yang mulai membakar. “Aku tidak akan menyerah,” katanya dengan nada rendah tetapi penuh dengan tekad. “Kalian mungkin berpikir kalian memegang kendali, tapi kalian salah.”

Pria itu berdiri perlahan, langkahnya pelan tetapi penuh dengan ancaman yang tidak tersirat. “Kau pikir kau bisa melawan kami, Maria? Kami selalu tahu setiap langkahmu. Setiap keputusanmu. Tidak ada yang bisa kau sembunyikan.”

Maria berdiri tegak, matanya menatap pria itu dengan tajam. “Kalian salah jika berpikir aku akan menyerah tanpa perlawanan.”

Pria itu tersenyum, tetapi ada sesuatu yang berubah dalam ekspresinya—sesuatu yang gelap dan dingin. “Kalau begitu, mari kita lihat seberapa jauh kau bisa bertahan.”

Sebelum Maria sempat menjawab, pintu gudang di belakangnya tertutup dengan keras. Suara langkah kaki terdengar dari arah lain, dan beberapa pria muncul dari bayang-bayang, mengelilinginya. Maria merasakan jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tahu bahwa ini adalah momen di mana ia harus tetap tenang dan mencari cara untuk keluar.

Maria berdiri di tengah gudang tua itu, dikelilingi oleh bayangan pria-pria yang baru saja muncul dari kegelapan. Mereka tidak mengatakan apa-apa, hanya berdiri diam seperti patung, membentuk lingkaran yang menutup setiap kemungkinan baginya untuk keluar. Pintu di belakangnya sudah tertutup dengan bunyi keras yang masih menggema di telinganya, dan udara di dalam gudang terasa semakin berat.

Pria berjas hitam yang berdiri di depannya masih tersenyum kecil, matanya tajam seperti belati yang menembus pertahanan Maria. Ia menyilangkan tangan di dadanya, menatap Maria seolah-olah ia adalah mainan yang baru saja dibuka dari bungkusnya.

“Lihatlah di sekitarmu, Maria,” katanya dengan nada lembut tetapi penuh ironi. “Tidak ada jalan keluar. Tidak ada tempat untuk lari. Jadi, katakan padaku—apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Maria mengepalkan tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap berada di dekat pisau kecil yang ia sembunyikan di balik jaketnya. Ia tahu, serangan fisik mungkin tidak akan berguna, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan. “Apa yang kalian inginkan dariku?” tanyanya dengan nada tajam. “Kalian terus mengintai, mengancam, tapi kalian belum mengatakan apa pun yang jelas. Kenapa kalian melakukan ini?”

Pria itu tertawa kecil, melangkah mendekat dengan pelan. “Kami tidak perlu menjelaskan diri kami kepadamu. Tapi aku akan memberimu sedikit petunjuk. Semua ini bukan hanya tentang kau, Maria. Ini adalah tentang pelajaran. Tentang menunjukkan bahwa tidak ada yang benar-benar bisa kabur dari bayangan mereka.”

Maria menahan napas, mencoba mencerna kata-katanya. Bayangan. Kata itu terus muncul dalam setiap ancaman, seperti simbol yang terus-menerus menghantui. Tapi ia tidak punya waktu untuk membiarkan pikirannya berkeliaran. Ia harus fokus pada saat ini, pada apa yang ada di depannya.

“Jadi kalian hanya ingin menghancurkanku?” tanya Maria dengan suara tegas. “Apa itu tujuan kalian? Mengambil nyawaku? Membuatku takut?”

Pria itu menggeleng pelan, senyum kecil masih menghiasi wajahnya. “Takut hanyalah bagian dari permainan, Maria. Tapi nyawamu? Tidak. Kami ingin kau tetap hidup. Kami ingin kau merasakan setiap detik dari apa yang kami lakukan. Itu jauh lebih menarik daripada sekadar membunuhmu.”

Maria menelan ludah, mencoba menahan rasa mual yang muncul di dadanya. “Kalian salah jika berpikir aku akan tunduk pada permainan ini,” katanya dengan nada dingin.

Senyuman pria itu memudar sedikit. Ia menatap Maria dengan pandangan yang lebih serius, langkahnya semakin dekat. “Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan, Maria. Kau bisa mencoba melawan, tapi pada akhirnya, kau akan menyerah. Kau akan tahu bahwa kami adalah segalanya yang ada dalam hidupmu sekarang.”

Maria melihat celah kecil di antara pria-pria yang mengelilinginya. Sebuah ide mulai terbentuk di pikirannya—jika ia bisa memancing pria di depannya untuk mendekat, mungkin ia bisa menciptakan gangguan yang cukup untuk melarikan diri. Ia harus bertaruh, dan ia harus bertindak sekarang.

“Jika kalian pikir kalian sudah menang,” kata Maria dengan nada rendah tetapi penuh dengan kemarahan yang membara, “kenapa kalian perlu begitu banyak orang untuk menangani satu wanita? Apa kalian takut?”

Pria itu berhenti, matanya menyipit. “Takut? Tidak, Maria. Kami hanya ingin memastikan bahwa kau tidak membuat keputusan bodoh.”

Maria tersenyum tipis, tetapi itu bukan senyuman yang ramah. “Kalau begitu, buktikan. Lepaskan mereka. Berhadapanlah denganku, satu lawan satu.”

Pria itu tampak ragu sesaat, tetapi akhirnya ia melambaikan tangan ke arah pria-pria lain. “Mundur,” katanya dengan nada perintah.

Pria-pria itu menuruti perintahnya, meskipun mereka tidak bergerak terlalu jauh. Lingkaran itu tetap ada, tetapi sekarang Maria hanya berhadapan dengan pria berjas hitam di depannya. Ia merasa sedikit lega, meskipun ia tahu ini hanya langkah pertama dari rencananya.

“Baik, Maria,” kata pria itu, menatapnya dengan dingin. “Tunjukkan apa yang kau punya.”

Maria tidak membuang waktu. Ia mengambil langkah maju dengan cepat, tangannya meraih pisau kecil di balik jaketnya. Tetapi sebelum ia bisa menyerang, pria itu meraih pergelangan tangannya dengan cepat, menghentikan gerakannya.

“Kau pikir kau bisa menang?” katanya dengan nada mengejek. “Kau pikir pisau kecil ini cukup untuk menghentikan kami?”

Maria tersenyum meskipun tubuhnya gemetar. “Aku tidak perlu menang. Aku hanya butuh cukup waktu.”

Sebelum pria itu sempat menjawab, suara sirene polisi mulai terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin keras. Wajah pria itu berubah, senyumnya lenyap digantikan oleh kemarahan yang tajam.

“Kau memanggil mereka,” katanya dengan nada dingin.

Maria menarik napas panjang, menggunakan momen kebingungan itu untuk melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. “Kalian terlalu percaya diri. Itu kesalahan terbesar kalian.”

Pria itu melangkah mundur, menatap Maria dengan mata penuh kebencian. “Ini belum selesai, Maria. Kami akan kembali. Dan lain kali, tidak akan ada peringatan.”

Pria-pria lain mulai bergerak, menghilang ke dalam bayangan gudang saat suara sirene semakin dekat. Pria berjas hitam itu menatap Maria sekali lagi sebelum berbalik dan berjalan cepat menuju pintu belakang, meninggalkannya sendirian di tengah ruangan.

Ketika polisi tiba dan memasuki gudang, Maria menceritakan apa yang terjadi, tetapi mereka tidak menemukan siapa pun. Lingkaran ancaman itu telah menghilang lagi, meninggalkan Maria dengan rasa frustrasi yang semakin dalam. Namun, ia tahu satu hal: mereka kehilangan kendali malam itu, dan itu adalah awal dari perlawanan yang ia tahu harus ia menangkan.

Maria berdiri di tengah gudang yang mulai sunyi setelah kepergian para pria itu. Polisi sibuk memeriksa setiap sudut ruangan, menyalakan senter mereka ke setiap celah gelap. Suara radio komunikasi mereka sesekali terdengar, menggema di dalam bangunan tua yang dingin dan lembap. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan pria-pria yang tadi mengelilinginya. Mereka menghilang begitu saja, seperti bayangan yang lenyap di bawah sinar lampu.

Maria memandang ke arah pintu belakang yang tadi digunakan pria berjas hitam untuk pergi. Pintu itu kini terbuka, membiarkan angin malam masuk dan menghembuskan bau logam yang lembap. Di satu sisi, Maria merasa lega karena berhasil membuat mereka mundur, tetapi di sisi lain, ia tahu ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya.

Seorang polisi mendekat, wajahnya tegas tetapi sedikit ragu. “Bu Maria, kami sudah memeriksa seluruh area,” katanya. “Tidak ada siapa pun di sini. Mereka sudah pergi sebelum kami datang.”

Maria menatap polisi itu dengan tatapan tajam, penuh frustrasi yang tidak bisa ia sembunyikan. “Tentu saja mereka sudah pergi,” katanya dengan nada dingin. “Mereka selalu tahu kapan harus menghilang. Mereka selalu satu langkah di depan.”

“Apakah Anda mengenali salah satu dari mereka?” tanya polisi itu. “Atau mungkin ada sesuatu yang mereka katakan yang bisa membantu kami melacak mereka?”

Maria menggeleng pelan, matanya masih terpaku pada pintu belakang. “Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi mereka tahu segalanya tentangku. Mereka tahu ke mana aku pergi, siapa yang aku hubungi. Mereka bahkan tahu bagaimana membuatku merasa seperti tidak ada jalan keluar.”

Polisi itu mencatat sesuatu di buku kecilnya, tetapi Maria bisa merasakan bahwa mereka tidak benar-benar mengerti seberapa dalam ancaman ini. Bagaimana mungkin mereka mengerti? Orang-orang ini bergerak seperti bayangan, tidak meninggalkan jejak, hanya rasa takut yang mendalam di mana pun mereka berada.

“Apakah ada sesuatu yang Anda temukan?” tanya Maria akhirnya, mencoba menahan rasa frustrasi. “Apakah ada sesuatu yang bisa digunakan untuk melawan mereka?”

Polisi itu menghela napas pelan. “Kami menemukan beberapa jejak sepatu di luar, tapi itu tidak cukup untuk melacak mereka. Kami juga akan memeriksa kamera pengawas di sekitar area ini, meskipun tempat ini cukup terpencil.”

Maria tertawa kecil, tetapi itu adalah tawa tanpa humor. “Kamera? Kau pikir mereka cukup bodoh untuk terekam kamera?”

Polisi itu tidak menjawab, hanya menatap Maria dengan ekspresi yang sulit dibaca. Setelah beberapa saat, ia mengangguk singkat. “Kami akan melakukan yang terbaik, Bu Maria. Tapi untuk saat ini, kami menyarankan Anda untuk tetap waspada dan tidak bepergian sendirian.”

Maria menatapnya tanpa emosi. “Waspada? Aku sudah hidup dalam kewaspadaan selama berminggu-minggu. Apa lagi yang bisa kulakukan selain itu?”

Ketika Maria kembali ke rumah, langit mulai berubah menjadi jingga tanda fajar. Ia masuk dengan langkah berat, tubuhnya terasa lelah, tetapi pikirannya terus bekerja tanpa henti. Dewi sudah menunggu di ruang tamu, wajahnya penuh dengan kecemasan yang tidak bisa disembunyikan.

“Kau baik-baik saja?” tanya Dewi, berdiri dari sofa dan mendekati Maria. “Apa yang terjadi di sana?”

Maria meletakkan tasnya di meja dan duduk dengan tubuh yang lelah. “Mereka pergi sebelum polisi datang,” katanya pelan. “Seperti biasa. Mereka selalu tahu kapan harus menghilang.”

Dewi menghela napas, lalu duduk di sebelah Maria. “Maria, ini tidak bisa terus seperti ini. Mereka hanya bermain-main denganmu, mencoba membuatmu menyerah. Kita harus menemukan cara untuk membalikkan keadaan.”

Maria menatap Dewi, matanya penuh dengan amarah yang terpendam. “Aku tahu,” katanya, suaranya mulai terdengar lebih tegas. “Aku tidak akan membiarkan mereka menang. Tapi untuk melawan mereka, aku harus tahu siapa mereka. Aku harus tahu bagaimana mereka bekerja.”

Dewi menggenggam tangan Maria, mencoba memberikan dukungan. “Kita akan mencarinya, Maria. Apa pun yang diperlukan.”

Maria mengangguk, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa waktu tidak berada di pihaknya. Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan bagi mereka untuk menyusun rencana baru, untuk menyerang dengan cara yang lebih cerdas dan lebih mematikan.

Beberapa hari berikutnya, Maria hidup dalam kewaspadaan yang lebih tinggi. Ia mengawasi setiap gerakan di sekitar rumahnya, memastikan pintu dan jendela selalu terkunci. Tetapi ketenangan itu terasa palsu, seperti permukaan air yang tenang sebelum badai besar datang.

Kemudian, suatu malam, saat Maria sedang memeriksa kamar anak-anaknya, ponselnya bergetar di meja samping tempat tidur. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal, sama seperti sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Maria membuka pesan itu.

Pesan itu hanya berisi satu kalimat: “Kami selalu lebih dekat dari yang kau pikirkan.”

Maria menatap layar ponselnya, napasnya terhenti. Di bawah pesan itu, sebuah lampiran foto menyertainya. Ia membuka foto itu, dan apa yang ia lihat membuat darahnya membeku. Itu adalah foto jendela kamar anak-anaknya, diambil dari luar, hanya beberapa menit yang lalu. Tirai di jendela itu sedikit terbuka, cukup untuk memperlihatkan Maria yang sedang berdiri di dalam kamar.

Maria menjatuhkan ponsel itu ke atas meja, tubuhnya gemetar. Mereka tidak hanya mengawasi. Mereka ada di sini, sekarang, tepat di luar rumahnya.

Maria mengambil pisau dari dapur dan berjalan ke jendela dengan hati-hati, mencoba mengintip ke luar. Tetapi yang ia lihat hanyalah kegelapan, bayangan pepohonan yang bergerak pelan tertiup angin. Namun, di bawah cahaya bulan, ia melihat sesuatu yang membuat tubuhnya membeku—bekas jejak kaki di tanah, langsung menuju ke jendela kamar anak-anaknya.

Maria berdiri di depan jendela kamar anak-anaknya, tubuhnya membeku saat matanya tertuju pada jejak kaki yang jelas di tanah. Jejak itu basah, mungkin dari embun malam, dan mengarah lurus ke jendela tempat ia baru saja berdiri beberapa menit yang lalu. Napasnya tersengal, telinganya menangkap setiap suara kecil di malam yang sunyi. Tetapi selain suara angin yang menyapu daun-daun, dunia di luar tampak diam—terlalu diam.

Tangannya mencengkeram pisau yang ia ambil dari dapur, genggamannya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia tahu mereka ada di luar sana. Mereka tidak mencoba bersembunyi lagi. Sebaliknya, mereka ingin ia tahu bahwa mereka bisa berada sedekat ini, bahwa mereka mampu menyentuh setiap sudut kehidupannya jika mereka menginginkannya.

Maria menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan getaran di dadanya. Ia menoleh ke arah tempat tidur Putri dan Arif, memastikan anak-anaknya masih tertidur dengan nyenyak. Ketenangan wajah mereka memberinya kekuatan, tetapi juga menyalakan kemarahan yang mendidih dalam dirinya. Ancaman ini tidak bisa dibiarkan. Mereka telah melewati batas.

Ia meninggalkan kamar anak-anaknya dengan hati-hati, menutup pintu tanpa suara. Di ruang tamu, Dewi sudah berdiri, wajahnya penuh kecemasan. “Maria, apa yang terjadi?” tanya Dewi dengan nada rendah, tetapi penuh urgensi.

Maria menunjukkan foto di ponselnya kepada Dewi—gambar jendela kamar yang diambil dari luar, hanya beberapa menit yang lalu. “Mereka ada di sini, Dewi,” kata Maria dengan suara serak. “Tepat di luar jendela. Mereka mengawasi.”

Dewi menatap foto itu dengan mata membelalak, mulutnya terbuka tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Akhirnya, ia mengalihkan pandangannya ke Maria. “Kita harus menelepon polisi lagi,” katanya, suaranya gemetar. “Mereka tidak bisa mengabaikan ini.”

“Menelepon polisi?” Maria hampir tertawa, tetapi tidak ada humor dalam nada suaranya. “Apa yang akan mereka lakukan? Datang setelah mereka pergi lagi? Membuat laporan lain yang tidak berarti apa-apa?”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” desak Dewi, matanya dipenuhi dengan campuran ketakutan dan frustrasi. “Kau tidak bisa hanya diam dan membiarkan ini terus terjadi.”

Maria menatap Dewi, matanya yang merah menunjukkan emosi yang hampir meluap. “Aku tidak akan diam. Tapi aku juga tidak akan duduk di sini menunggu mereka menyerang lagi. Jika mereka ingin bermain permainan ini, maka aku akan memainkannya. Tapi dengan caraku.”

Beberapa jam kemudian, Maria berdiri di luar rumahnya dengan jaket tebal yang menutupi tubuhnya. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya, tetapi ia tidak peduli. Di tangannya, ia membawa senter kecil dan pisau yang masih terselip di jaketnya. Ia memutuskan untuk mengikuti jejak kaki yang tertinggal di tanah, melangkah pelan tetapi pasti, matanya terus mengawasi setiap bayangan di sekitarnya.

Jejak itu membawanya ke arah hutan kecil di belakang rumahnya. Pohon-pohon tinggi berdiri diam, menciptakan kegelapan yang lebih pekat di bawah naungan dedaunan mereka. Maria menyalakan senter, sinarnya yang kecil memotong kegelapan dengan hati-hati. Langkahnya berhenti setiap kali ia mendengar suara ranting patah atau gesekan daun yang tidak wajar. Ia tahu mereka mungkin ada di sini, mengawasinya seperti biasanya.

“Keluar!” seru Maria dengan suara yang keras dan tegas. “Aku tahu kalian ada di sini! Kenapa kalian tidak menunjukkan diri kalian?”

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti hutan, tetapi Maria tahu keheningan itu tidak normal. Ia bisa merasakannya—kehadiran mereka, seperti bayangan yang bergerak di pinggir penglihatannya. Ia melangkah lebih jauh ke dalam hutan, mencoba menemukan akhir dari jejak kaki itu.

Akhirnya, jejak itu berhenti di sebuah pohon besar. Di bawah pohon itu, sesuatu yang mencolok menarik perhatian Maria. Sebuah amplop putih tergeletak di atas tanah, diletakkan dengan hati-hati seolah-olah sengaja menunggu ia menemukannya. Maria berlutut, mengambil amplop itu dengan hati-hati. Tangannya gemetar saat ia membukanya, menemukan sebuah catatan di dalamnya.

“Kami melihatmu, Maria. Setiap langkahmu. Jangan lupa bahwa ini adalah permainan kami, dan kau hanya seorang pemain. Jangan berpikir kau bisa keluar tanpa izin kami.”

Maria meremas catatan itu di tangannya, napasnya memburu. Ia memandang sekeliling, mencoba menemukan siapa pun yang mungkin ada di dekatnya, tetapi yang ia temukan hanyalah kegelapan.

“Tunjukkan dirimu!” ia berteriak, suaranya bergema di antara pepohonan. “Kalian pikir aku takut? Aku tidak akan lari!”

Masih tidak ada jawaban. Tetapi di kejauhan, ia mendengar sesuatu—suara langkah kaki yang cepat, semakin menjauh. Mereka pergi, lagi-lagi meninggalkannya dalam situasi tanpa jawaban, hanya rasa takut dan frustrasi yang semakin menumpuk.

Maria kembali ke rumah dengan perasaan yang bercampur aduk. Dewi menunggunya di ruang tamu, wajahnya penuh kecemasan. “Apa yang kau temukan?” tanya Dewi.

Maria menunjukkan amplop itu, menyerahkan catatan yang sudah kusut. Dewi membacanya dengan mata melebar. “Mereka terus bermain denganmu,” bisiknya. “Mereka tahu bagaimana membuatmu merasa tidak berdaya.”

Maria mengangguk, tetapi matanya menyala dengan tekad yang baru. “Mereka ingin aku merasa tidak berdaya, tetapi aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Jika ini adalah permainan mereka, aku akan mencari cara untuk membalikkan keadaan.”

Tepat tengah malam, Maria menerima pesan di ponselnya. Pesan itu adalah sebuah video—rekaman dirinya yang berjalan di hutan tadi, diambil dari sudut tinggi, mungkin dari salah satu pohon. Suara dalam video itu terdengar pelan, tetapi jelas: “Kau berani, Maria. Tapi keberanian itu bisa menghancurkanmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Tirai    Bab 8 Penyelesaian

    Hari-hari pasca penangkapan Rizal terasa seperti langkah-langkah kecil menuju pemulihan yang panjang dan penuh tantangan. Meskipun Maria merasa sedikit lega, bahwa satu babak dari kehidupan kelamnya akhirnya selesai, ia tahu bahwa ini bukan akhir dari segala sesuatu. Itu hanyalah awal dari pertempuran baru, yang kali ini lebih bersifat pribadi, lebih dalam, dan melibatkan penyembuhan yang harus dia jalani sendiri.Di ruang tamu rumahnya yang sunyi, Maria duduk dengan punggung tegak, matanya terfokus pada secangkir teh yang baru saja diseduhnya. Putri dan Arif sedang bermain di kamar mereka, dan meskipun suara tawa mereka terdengar riang, Maria tahu betul bahwa ketenangan ini masih rapuh. Mereka telah melalui begitu banyak bersama, dan meskipun mereka mulai merasakan kedamaian, bayang-bayang trauma itu masih sulit dihapuskan.Keesokan harinya, Maria menghadiri sesi terapi pertama se

  • Di Balik Tirai    Bab 7 Konfrontasi Puncak

    Malam itu terasa berbeda. Gelap, sunyi, dan penuh dengan ketegangan yang meluap-luap, Maria bisa merasakannya di setiap detak jantungnya. Setelah berhari-hari bersembunyi, berlari, dan menghindari ancaman yang semakin nyata, malam ini terasa lebih berat. Ada perasaan tidak nyaman yang membayangi rumahnya, sebuah kesan bahwa sesuatu yang buruk sedang menunggu di luar sana, mengintai setiap gerakan.Maria duduk di meja makan, menatap dua anaknya—Putri dan Arif—yang sedang bermain dengan tenang, tidak menyadari betapa dekatnya bahaya yang mengintai. Ia mencoba menenangkan dirinya, berusaha untuk tidak membiarkan ketakutan yang semakin mendalam menguasainya. Namun, ia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya datang dari luar rumah, tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Rizal, yang selama ini mengancam hidupnya, kini berusaha mengakhiri semuanya. Ia tahu bahwa malam ini, konfrontasi itu tak terhindarkan.

  • Di Balik Tirai    Bab 6 Penyelidikan dan Perlindungan

    Maria duduk di ruang tamu rumahnya, ponselnya tergenggam erat di tangan, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan terakhir dari Inspektur Farhan. Sementara anak-anaknya bermain di kamar, dia merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa ketakutan yang sudah lama mengendap. Rizal dan Lingkaran Hitam tidak hanya mengejarnya, mereka juga mulai merangsek lebih dalam ke dalam hidupnya, mengancam setiap orang yang ia cintai. Dan sekarang, setelah mengungkap semua informasi yang mereka miliki, Maria merasa semakin terperangkap.Farhan baru saja mengirimkan kabar bahwa mereka telah menemukan bukti baru: Rizal, yang selama ini bersembunyi di bayang-bayang, kini mulai mengirim ancaman dari sebuah kota yang berbeda. Namun, meskipun mereka sudah melacak jejak komunikasi Rizal, dia sangat hati-hati. Tidak ada bukti yang jelas yang bisa menunjukkan keberadaannya secara la

  • Di Balik Tirai    Bab 5 Ketegangan Meningkat

    Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Maria duduk di ruang tamu rumahnya, dikelilingi oleh keheningan yang berat. Di luar, hanya suara angin malam yang berdesir di antara dedaunan. Namun, di dalam pikirannya, ribuan skenario mengerikan terus bermain. Wajah Putri dan Arif—wajah anak-anaknya yang polos—terus membayang di benaknya, bersanding dengan senyum dingin Rizal dan ancaman yang kini terasa semakin dekat.Di ponselnya, pesan dari Rizal masih terpampang di layar: “Anak-anakmu terlihat manis, ya?”Pesan itu disertai dengan gambar Putri dan Arif, diambil dari luar jendela ruang tamu. Mereka sedang bermain bersama Dewi, tampak ceria dan tanpa beban. Tetapi bagi Maria, gambar itu adalah pengingat bahwa tidak ada tempat aman. Rizal tidak hanya ingin mengancam; ia ingin menghancurkan setiap kepingan rasa aman yang tersisa di hidup Maria.M

  • Di Balik Tirai    Bab 4 Eskalasi Ancaman

    Maria merasakan hidupnya semakin terkunci dalam lingkaran ancaman yang tak berujung. Pesan-pesan anonim datang hampir setiap hari. Beberapa berupa surat tanpa nama yang dilemparkan ke halaman rumahnya, beberapa muncul di media sosial dengan akun-akun tak dikenal yang mengirimkan pesan menakutkan seperti, “Kami selalu melihatmu,”atau, “Tidak ada tempat yang aman, Maria.”Awalnya, Maria mencoba mengabaikan semua itu, meyakinkan dirinya bahwa ketakutannya tidak akan menjadi bahan bakar untuk permainan mereka. Namun, malam itu, sesuatu yang lebih nyata terjadi.Maria terbangun di tengah malam karena suara angin yang tidak biasa. Ia melangkah keluar dari kamarnya, memeriksa anak-anaknya yang sedang tertidur nyenyak, dan beranjak ke ruang tamu. Ketika ia tiba di dapur, ia berhenti mendadak. Pintu

  • Di Balik Tirai    Bab 3 Kilas Balik

    Pernikahan Maria dengan Rizal dimulai seperti kisah dongeng. Ia masih ingat bagaimana ia pertama kali bertemu pria itu—tampan, karismatik, dan memiliki senyum yang mampu membuat siapa pun merasa istimewa. Rizal adalah segala yang Maria pikir ia inginkan dalam seorang pasangan: perhatian, penuh kasih, dan tampak selalu hadir saat ia membutuhkannya. Ia membuat Maria merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Awalnya, semuanya berjalan sempurna. Rizal selalu menggenggam tangannya di tengah keramaian, menatapnya dengan mata yang penuh cinta. Ia mengingat momen-momen kecil itu—sarapan bersama di pagi hari, tawa mereka yang menyatu saat berbicara hingga larut malam, dan bagaimana Rizal selalu menanyakan pendapat Maria dalam hal-hal kecil, seolah-olah pendapatnya adalah satu-satunya yang penting.Namun, seiring waktu, dongeng itu mulai berubah menjadi mimpi buruk. Rizal mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya, sisi yang perlahan-lahan membuat Maria merasa seperti burung yang terkurung

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status