Share

Bab 14

Nicholas menatap Karen dengan sedikit perasaan kesal, lalu berbalik badan dan mulai berjalan menjauh.

"Karena aku kehilangan semua uangku ...."

Kalimat itu mengejutkan Nicholas. Dia berbalik badan memandang temannya sekali lagi. "Apa maksudmu?"

Karen memeluk kakinya dan berkata sambil terus menangis, "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi semua uang milik himpunan mahasiswa dan kelas kita hilang!"

Untuk sesaat, Nicholas terdiam, sebelum dia kembali sadar akan siapa Karen. Perempuan itu meski tidak cantik, nilai-nilainya selama belajar selalu bagus. Dia juga bukan hanya seorang pengurus kelas, tapi juga belum lama ini menjadi bagian dari himpunan mahasiswa. Siapa yang menyangka, Karen ternyata menghilangkan semua uang milik kelas dan himpunan mahasiswa?

Nicholas terburu-buru membuka aplikasi obrolan di ponselnya. Saat dia melihat grup obrolan kelasnya, di sana seakan-akan sedang terjadi ledakan besar.

"Uang itu bukan dihilangkan Karen, tapi dia habiskan ...."

"Perempuan ini, bukan cuma jelek saja, tapi juga jahat!"

"Dia pasti sudah gila. Kalau tidak, mana mungkin dia menghabiskan semua uang milik himpunan mahasiswa? Orang-orang seperti dia tidak layak bergabung di himpunan mahasiswa!"

Nicholas membaca pesan-pesan itu dengan wajah muram. Meski dia tidak tahu seperti apa Karen sehari-hari, tapi dia tahu, perempuan itu setidaknya adalah orang baik dan tidak sejahat pesan-pesan yang dikirim di dalam grup.

Uang yang dipegang Karen, kemungkinan besar memang hilang!

"Uang sesedikit itu tidak perlu diributkan, apalagi sampai mencaci-maki Karen." Nicholas merespons di grup obrolan.

"Apa ... sedikit? Nicholas ini bicara apa, sih?"

"Dasar miskin, dia bilang uang itu sedikit? Dia jadi pelayan restoran selama satu tahun pun tidak akan bisa membayarnya!"

"Hahaha ... apa yang baru saja kulihat? Nicholas, pengemis itu, bilang 40 juta uang kecil?"

Ucapan Nicholas membuat grup obrolan kelas seketika mendidih.

Tatapan Nicholas berubah dingin. Dia menatap layar ponselnya dengan perasaan sedih. Mereka semua adalah mahasiswa di kelas yang sama. Apakah seseorang boleh dengan mudah menginjak-injak orang lain hanya karena mereka lebih superior?

"Nicholas, kalau katamu itu sedikit, kenapa tidak kamu saja yang menggantinya? Hahaha ...."

Kalimat yang dikirim oleh sang ketua kelas, Chandra, membuat Nicholas merasa sedikit jijik.

Latar belakang keluarga Chandra Kosasih tidak buruk. Katanya, keluarganya mempunyai beberapa usaha di Mano. Tak jarang dia menyombongkan keluarganya saat berada di kampus. Setiap pertemuan antar kelas, dia tidak pernah absen berlagak di depan banyak orang, seolah-olah takut orang lain tidak tahu keluarganya cukup berada. Satu yang terutama adalah sikapnya yang selalu memandang ke atas dan merendahkan orang-orang dari kelas bawah. Dia bahkan tak segan menginjak-injak mereka demi menunjukkan superioritasnya.

"Nicholas, kalau kamu memang kasihan sama Karen, kenapa tidak kamu saja yang mengganti uangnya? Semua pasti akan memandangmu kagum!"

Raut wajah Nicholas semakin suram. Dia menarik napas panjang, lalu mulai mengetik. "Dia sama sekali tidak memakai uangnya. Uang kelas dan uang himpunan mahasiswa ada di aku. Baru-baru ini dia bad mood, jadi sementara uangnya dititipkan padaku."

Sesudah itu, Nicholas menyimpan ponselnya. "Sudah, sudah, cuma uang saja. Kalau hilang, tinggal diganti saja apa susahnya?"

Tangisan Karen mendadak mengeras. "Aku ... aku tidak punya uang sebanyak itu! Mana mungkin aku mengganti uang sebanyak 40 juta?"

"Tapi jangan sampai bunuh diri juga, kan?" Nicholas tersenyum lembut, menarik tangan Karen. "Masalah uang dapat dipecahkan dan sebenarnya cukup mudah!"

Karen menggeleng tidak setuju. "Kita harus punya uang untuk bisa memecahkan masalah dan ini masalah besar!"

Nicholas kehabisan kata-kata untuk sesaat, tidak tahu bagaimana membujuk Karen. "Oke, aku beri 40 juta untukmu sekarang, kamu bisa menggantinya saat mendapatkan beasiswa tahun ini!"

Karen terpelongo selama beberapa waktu. Matanya memandang ke atas, masih merah akibat menangis barusan.

Nicholas tersenyum. Dia melihat abses di wajah Karen terjatuh, seperti lembaran kulit mati setipis lembar film zaman dulu, menggantung bebas di wajahnya. Apakah abses di wajah Karen palsu? Karena dia melihat kulit di bawah abses itu putih kemerahan, layaknya kulit bayi.

Apakah perempuan ini sengaja berpura-pura terlihat buruk rupa?

"Ah ...." Karen seakan-akan juga merasakan ada sesuatu yang salah padanya. Jadi dia buru-buru berseru dan menutup wajahnya sekali lagi.

Nicholas tersenyum. "Ayo, kita pulang dulu saja. Seingatku, performa akademismu cukup bagus. Seharusnya, tidak sulit bagimu untuk mendapatkan beasiswa tahun ini, 'kan?"

"Tapi ... tapi, bagaimana kamu bisa punya uang sebanyak itu?" tanya Karen sembari berdiri, tetap menutupi wajahnya.

"Beberapa hari lalu aku mengambil dompet terjatuh di jalan. Di dalamnya ada banyak uang. Selanjutnya, waktu kukembalikan dompet itu ke pemiliknya, dia memberiku uang 200 juta sebagai kompensasi," balas Nicholas sambil tersenyum. "Dari situ, aku pinjamkan 40 juta padamu. Kamu bisa mengembalikannya setelah mendapatkan uang beasiswa nanti!"

Karen memandang Nicholas dengan sedikit perasaan bersalah.

Nicholas tidak banyak berbicara lagi. Tidak masalah baginya meminjamkan uang kepada Karen, tapi semoga perempuan itu tidak memikirkan hal lain. Pikiran ini jika berkembang akan sulit dipadamkan.

Tiba-tiba, ponsel Nicholas berbunyi. Dia segera mengangkatnya. Suara Sandy Makarus terdengar lantang menusuk telinga.

"Nicholas, kamu gila? Uang yang dipegang Karen dicuri. Semua orang tahu soal ini. Kenapa kamu tiba-tiba bilang uang itu ada padamu?"

"Tidak apa-apa. Nanti kita bicara lagi setelah aku pulang." Nicholas tidak ingin berbicara lebih banyak lagi.

"Jangan tutup teleponnya. Aku tidak peduli soal kamu mau membantu Karen atau tidak, tapi aku harus memberimu satu peringatan. Seseorang baru saja datang ke kampus mencari Willy, katanya dia tahu tentang kasus dompetmu ...," ucap Sandy terburu-buru.

Nicholas terdiam untuk sesaat. "Dia tahu tentang kasus dompetku? Siapa yang mencari Willy?"

"Aku tidak tahu, sepertinya petugas dari keamanan kampus. Kamu sebaiknya pulang sekarang tanya dia tentang masalah ini!"

Nicholas mengangguk, lalu bersiap menutup telepon. Dahinya mengerut. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Satu lagi, aku curiga Willy ini pengkhianat ...," tambah Willy.

"Oke!" balas Nicholas yang kemudian menutup telepon.

Rumor tentang Nicholas menemukan dompet hanya pernah dia bicarakan dengan beberapa teman sekamarnya saja di Restoran Lanshire. Malam itu, Felita langsung mengontak Nicholas dan menginterogasinya. Kala itu Nicholas mengira teman-temannya tidak akan berkhianat. Siapa sangka, perkiraannya berbuah pahit.

Sesampainya di gerbang universitas, Nicholas menghentikan mobilnya.

"Kamu bisa pulang sendiri?"

Karen mengangguk dengan kepala tertunduk.

"Tenang saja, aku akan memberi uangnya besok. Kamu tidak perlu pusing memikirkannya, cukup fokus belajar saja!" Nicholas memandang Karen, berusaha menghiburnya.

Karen mengangguk, sedikit kecewa. "Nicholas, aku boleh tanya satu hal? Boleh, ya?"

"Apa?" Nicholas memutar badannya, menatap Karen terkejut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status