Share

Bab 15

"Tolong sekali, jangan beritahu siapa pun tentang aku ...," ucap Karen lirih sambil menunduk.

"Tidak masalah!" Nicholas terkekeh.

"Terutama ...." Karen buru-buru menambahkan saat melihat Nicholas bersiap-siap pergi.

"Terutama apa?" Nicholas memandang Karen dengan tatapan kosong.

Karen menunduk. "Terutama wajahku, jangan beritahu yang lainnya ...."

Nicholas tersenyum, lalu melangkah mendekati Karen.

Wajah Karen seketika memucat. Dia melangkah mundur sembari memandang Nicholas ketakutan. Bola melebar menanti apa yang akan diucapkan pria itu.

"Aku akan membantu menjaga rahasiamu. Kamu sebenarnya cukup cantik, kenapa harus menutupinya dengan abses? Seharusnya, kamu lebih percaya diri, itu baik untuk dirimu sendiri!"

Karen menatap Nicholas setengah terpelongo, lalu tanpa sadar mengangguk pelan.

Nicholas tidak mengerti bagaimana cara membujuk seseorang, jadi dia pun berbalik badan, melambaikan tangan, lalu pergi menjauh.

Karen mendongak. Tatapan kosongnya tertuju pada punggung Nicholas. Tak berapa lama, dia berjalan menuju asrama wanita.

Nicholas tidak tahu apa yang dipikirkan Karen. Dia juga tidak berniat menanyakannya karena setiap orang pasti mempunyai privasi masing-masing. Sesampainya di asrama, dia merasakan suasana di sana terasa sedikit aneh.

Sandy setengah berbaring di atas ranjang dengan ekspresi aneh. Sementara Ricky sudah terlelap sejak tadi. Hanya George satu-satunya yang melirik Nicholas sesaat, lalu kembali membaca bukunya.

Sandy menyengir. "Sudah pulang? Kamu mau mengobrol dengan George? Si anak baik itu kangen kamu!"

"Mana ada!" George menoleh. Raut wajahnya jelas menunjukkan dia tidak senang.

Nicholas tersenyum. "Kalian bicara apa, sih? Kita semua ini, 'kan, saudara, memangnya George bisa menyakitiku? Sudah, kalian istirahat sana!"

"Baik sekali!" ucap Sandy mengejek.

Nicholas menaikkan kedua bahunya, lalu naik ke tempat tidur dan memejamkan mata untuk tidur. Besok adalah hari Senin, ada pertemuan kelas di pagi hari, jadi dia perlu tidur lebih awal dari biasanya.

Saat bel kelas berbunyi pagi-pagi sekali, Nicholas dan Sandy melesat menuju kelas. Sesampainya di sana, mereka mendengar suara riuh dari dalam. Ucapan menghina, bisikan tidak jelas, dan tawa bercampur menjadi satu. Semuanya ditujukan pada seseorang.

Nicholas mengintip ke dalam. Alisnya seketika mengerut.

Chandra memimpin segerombolan mahasiswa duduk di kursi sambil memandang ke arah Karen. Sesekali menertawai perempuan itu.

"Karen, Cuma 40 juta saja, kok, pusing? Apa kamu semiskin itu?"

"Mungkin Karen memakai uang itu untuk membeli kosmetik. Kita semua tidak ada yang tahu."

"Butuh uang berapa banyak untuk menyelamatkan wajahnya yang seburuk ini? 40 juta saja tidak cukup. Perlu minimal 400 juta!"

Wajah Karen memucat. Bibirnya terkunci rapat. Air mata mengalir tipis di pipinya.

Nicholas menghela napas mendengar cacian itu.

"Tuh, lihat, Nicholas datang!" Cindy tertawa menunjuk Nicholas. "Lihat, dia akan menolong Karen membayar kembali uangnya!"

Chandra menoleh dan berteriak keras. "Pahlawan penyelamat si cantik tiba! Mana tepuk tangannya? Nicholas bilang uangnya ada padanya!"

"Nicholas, pahlawan penyelamat si cantik ...."

Nicholas duduk di pinggir kelas dengan ekspresi dingin. Dia mendongak lalu berkata marah, "Kalian semua ini teman sekelas, buat apa mengejek satu perempuan?"

"Aku tidak punya teman sekelas sejelek dia ...."

"Tidak Cuma jelek saja, tapi juga suka mencuri uang!"

Tangisan Karen semakin keras. Dia menaruh kepalanya di atas meja, tak kuasa menahan hinaan-hinaan teman-temannya.

Nicholas memandang sekelilingnya dengan tatapan dingin. "Siapa bilang Karen mencuri uangnya? Sudah kubilang, uang kalian selama ini ada padaku dan aku tidak pernah menggunakannya satu peser pun!"

"Haha ... kalau begitu, letakkan di sini. Nicholas, Nicholas, aku sama sekali tidak tahu ternyata kamu berhubungan baik dengan Karen, sampai mau dititipkan uang sebanyak itu." Cindy menyengir sambil memutar bola matanya. "Kalau begitu sini uangnya. Semua orang di sini tahu, kamu dan Karen adalah yang paling miskin. Saking miskinnya, kalian sampai membual memiliki uang kami!"

"Mereka memang pasangan sejati!" seru Sandy sambil tersenyum.

Nicholas menepis tangan yang diulurkan Cindy lalu berdiri.

Untuk sesaat, Cindy terkejut. Dia tidak menyangka Nicholas akan bersikap begitu kasar padanya.

Tampang Cindy memang biasa saja, tapi dia sangat pandai merias diri. Setiap kali pergi keluar untuk bertemu dengan banyak orang, dia akan selalu memilih pakaian terbuka dengan sangat hati-hati. Dia juga senang menggunakan foundation tebal di wajahnya. Karena itulah, banyak teman sekelasnya yang mengejarnya. Setiap kali dia berbicara atau melakukan sesuatu, orang-orang selalu mendukungnya.

Ini membuat Cindy bebas menindas orang lain.

"Nicholas, perhatikan sikapmu?" Cindy menatap Nicholas tak percaya.

Nicholas jijik mendengar pertanyaan itu. "Perhatikan sikapku? Memangnya sikapku lebih buruk darimu?"

"Kamu ...." Cindy marah besar. Dia sampai menunjuk Nicholas. "Dasar miskin tak tahu diri! Kamu berani menuduhku? Cepat, keluarkan uangnya atau aku laporkan kalian ke Biro Administrasi Akademik sekarang juga!"

"Nicholas, ini semua salahmu. Kamu berani sekali memperlakukan perempuan seperti ini." Sandy menatap Nicholas dingin.

Nicholas mendengus. "Apa? Aku tidak boleh berbicara seperti ini pada perempuan, tapi kamu boleh menindas Karen seperti itu? Apa cuma Cindy yang perempuan dan Karen tidak?"

"Kenapa membandingkan dia denganku?" Amarah Cindy tersulut mendengar ucapan Nicholas.

"Memangnya Karen itu perempuan?" Sandy membentangkan tangannya sambil membuat ekspresi mengejek. Orang-orang di sekelilingnya seketika tertawa terbahak-bahak. Mereka semua memandang Karen dengan tatapan jijik.

Wajah Karen seburuk ini tidak layak disebut sebagai seorang perempuan. Kalau dia dikategorikan sebagai perempuan, bukankah sama saja merendahkan kaum hawa lainnya? Mereka berhak berbicara kasar kepada Karen karena memang Karen jelek dan layak menerimanya! Di mata mereka, hanya ada satu malaikat saja, perempuan bernama Cindy.

"Jangan banyak omong! Cepat keluarkan uangnya!" tagih Cindy dingin. "Jangan bilang, kamu juga ternyata tidak membawa uangnya?"

Nicholas balas tersenyum, lalu mengeluarkan ponselnya dari kantong. "Memangnya uang sepenting itu buat kalian? Menurutku kejadian hari ini sangat lucu. Hanya karena uang 40 juta, kalian jadi buta akan perasaan teman sekelas kalian. Tidak ada bedanya dari b*jingan ...."

"Siapa maksudmu?" Cindy tiba-tiba meledak. Telunjuknya tegak mengarah pada Nicholas.

Nicholas menyengir, lalu membuka aplikasi di dalam ponselnya. "Aku harus mengirim uangnya ke siapa?"

"Kirim ke aku. Biar kuperiksa uangnya pas atau tidak ...." Cindy mengulurkan tangannya.

Sambil menahan tawa, Nicholas mengetuk layar ponselnya beberapa kali. Entah mengapa, aplikasi perbankan di ponselnya mendadak berhenti. Saat mencoba menekan tombol, ponselnya berhenti merespons.

Crash!

Rasa sesal timbul di dalam hati Nicholas. Ponsel yang dia gunakan sedikit lebih dari satu tahun tiba-tiba mati di saat yang kritis!

"Kenapa? Sudah dikirim uangnya?" tanya Cindy, menunjuk Nicholas dengan telunjuknya. "Sekaya apa kamu? Paling tidak punya sepeser pun, hanya berpura-pura kaya saja. Dasar bodoh ...."
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Roman Saputra
itu yang ngomong si cindy thor bukan sandi,author ngantuk nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status