LOGINJari-jemari Alejandro menggenggam erat seprai seolah berusaha menahan semua beban di dadanya.
"Kalau saja aku bisa menukar tempat dengannya, aku akan melakukannya tanpa ragu," bisiknya lirih. Valeria menatapnya seakan tidak percaya. "Kamu pikir kata-kata itu bisa membuat Alejandro hidup lagi? Tidak ada maaf untukmu, Daniel Delaluca. Kamu akan membayar atas apa yang sudah kamu lakukan pada Alejandro." Tidak lama kemudian terdengar suara langkah tergesa-gesa di luar. Dua petugas kepolisian dan salah satunya membawa berkas laporan. "Tuan Delaluca, Anda diminta hadir dalam penyelidikan resmi setelah dokter menyatakan kondisi Anda stabil. Anda masih dalam status tersangka kasus kecelakaan dengan korban jiwa, Alejandro Ramírez," ucapnya datar. Alejandro menatap petugas itu lama dan ia sama sekali tidak membantahnya. Dalam batinnya, ia tahu inilah bagian dari beban yang harus ia tanggungnya sebagai Daniel. "Baik, aku akan menjalani apa pun yang harus dijalani," katanya pelan. Dua petugas polisi itu kemudian pergi, Valeria mendengus kesal dan menatapnya dengan mata yang masih basah. "Setidaknya satu hal adil dalam dunia ini. Kamu akan tahu rasanya kehilangan segalanya." Ia berbalik hendak pergi, tapi langkahnya sempat berhenti di depan pintu. "Jangan pernah mencoba menemuiku," katanya tanpa menoleh. "Karena aku tidak akan pernah memaafkanmu." Pintu ruangan tertutup keras dan keheningan kembali menyelimuti ruangan. Alejandro menatap pintu itu begitu lama dan napasnya terasa berat seperti seseorang yang baru kehilangan hidupnya untuk kedua kalinya. Ia menunduk dan menggenggam perban di tangannya. "Valeria, jika itu yang harus aku lakukan agar bisa tetap di sisimu, maka biarlah dunia ini menghukumku, asal aku bisa menjagamu dari jauh." *** Langit kelabu menggantung rendah di atas kota seakan ikut berduka bersama hati seorang perempuan yang tengah duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Rumah itu sangat sunyi hanya terdengar suara jarum jam dinding yang berdetak lembut, tapi setiap detaknya terasa seperti dentuman yang memukul jantungnya berulang kali. Di pangkuannya tergeletak undangan pernikahan yang sekarang sudah tidak berarti apa-apa lagi. Tulisan dengan Tinta emas di atas kertas putih itu memantulkan cahaya lampu. Alejandro Ramirez & Valeria Duarte, 14 April 2025 Tanggal itu seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya, tapi yang tersisa sekarang hanyalah nama yang sama tercetak di surat kematian dan laporan polisi. Pintu ruang keluarga terbuka pelan. Ibunya, Veronika, muncul sambil membawa secangkir teh hangat. "Sayang," suaranya lembut seolah takut membuat retakan baru pada hati anaknya yang tengah berduka. "Kamu belum makan sejak pagi." Valeria menoleh sekilas, senyumnya samar, dan nyaris tak ada. "Aku tidak lapar, Mama." Ayahnya, Don Esteban, kemudian masuk sambil membawa selimut tipis dan meletakkannya di pundak putrinya. "Alejandro pasti tidak ingin melihatmu seperti ini." Ucapan ayahnya membuat Valeria terdiam lama. "Bagaimana aku bisa tidak seperti ini, Papa? Aku kehilangan cintaku dan kebahagiaanku." Suaranya terdengar patah di tengah kalimat dan matanya mulai berkaca-kaca. "Dan sekarang aku malah melihat orang yang membuatnya mati masih hidup dan bernapas. Ia menatapku seolah ...." Valeria berhenti bicara mendadak. Nafasnya tercekat.Tatapan Daniel Delaluca sama persis dengan tatapan Alejandro. Cara matanya memandang begitu lembut. Dia menelan ludah dan menggenggam ujung selimut di pangkuannya. "Mama, tadi aneh sekali. Waktu aku melihat pria itu, aku seperti sedang melihat Alejandro. Tatapan matanya dan caranya memanggil namaku. Semua terasa begitu familiar." Ibunya menatapnya dengan rasa iba dan menepuk tangan putrinya. "Itu hanya karena kamu masih berduka, Sayang. Pikiranmu sedang berusaha mencari sosok Alejandro di mana pun berada." "Kadang kehilangan membuat kita melihat apa yang ingin kita lihat. Alejandro sudah tiada dan yang harus kamu lakukan sekarang adalah hidup." Valeria terdiam lama dan menatap secangkir teh yang kini sudah mulai mendingin. Ibunya terdiam sejenak, lalu mencoba tersenyum. "Itu hanya perasaanmu saja, Sayang. Jangan biarkan bayangan Alejandro terus menghantuimu! Kamu perlu istirahat." Valeria tidak menjawab. Matanya terlihat kosong, memandangi secangkir teh di hadapannya yang sudah kehilangan uap hangatnya. Di dalam dirinya sekarang ada sesuatu yang membara secara perlahan-lahan, yaitu kebencian yang tumbuh setiap kali ia mengingat wajah Daniel Delaluca. Ketika ibu dan ayahnya meninggalkan Valeria sendirian di ruangan, Valeria menggenggam undangan itu kuat-kuat hingga kertasnya terlipat dan sobek di ujungnya. Air mata akhirnya jatuh tanpa suara. "Kalau bukan karena dia, Alejandro pasti masih di sini," bisiknya. Valeria berdiri dan melangkah menuju lemari kecil di ruang keluarga dan mengambil sebuah bingkai foto dirinya dan Alejandro di tepi pantai dengan senyumnya yang dulu membuat dunia Valeria terasa indah. Jemarinya bergetar menyentuh wajah pria itu. "Aku janji, Alejandro, aku tidak akan diam sampai keadilan berpihak padamu," ucapnya lirih. Air matanya menetes di atas kaca bingkai foto itu dan jatuh tepat di antara wajah mereka berdua seolah menghapus batas antara masa lalu dan kenyataan pahit yang sekarang menelannya. Isakan tangisnya akhirnya pecah lagi. Valeria menutup matanya dan membiarkan kesedihan dan amarahnya berbaur. Setiap kali ia mengingat tubuh Alejandro yang tak lagi bernyawa di ruang gawat darurat, dadanya terasa seperti diremuk dari dalam. Ia menggigit bibir dan berusaha menahan tangisnya yang terus memaksa keluar. Langkahnya bergetar ketika ia akan kembali meletakkan bingkai foto itu di lemari kecil. Ia menatap keluar jendela dan di luar langit tampak kelam. Saat Valeria berbalik untuk kembali ke kamarnya, ayahnya muncul di ambang pintu dengan ekspresi khawatir. "Valeria, ada seseorang yang ingin bicara denganmu. Katanya dari pihak pengacara keluarga Delaluca." Valeria menegakkan tubuhnya dan wajahnya perlahan mengeras. "Baik, Papa, suruh dia masuk!" katanya tenang, tapi suaranya bergetar halus. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Seorang pria berpakaian rapi masuk ke ruang tamu dengan wajah tenang, namun ada nada formal yang tidak bisa disembunyikan. "Nona Valeria Duarte, saya Enrique Marin, pengacara keluarga Delaluca. Terima kasih sudah meluangkan waktu," suaranya terdengar sopan. "Saya datang mewakili keluarga Delaluca. Mereka ingin menyampaikan belasungkawa yang dalam atas kehilangan Anda ...." Valeria memotong. "Saya tidak butuh belasungkawa yang diucapkan dengan sopan di balik jas mahal. Apa urusan Anda sebenarnya?"Jari-jemari Alejandro menggenggam erat seprai seolah berusaha menahan semua beban di dadanya. "Kalau saja aku bisa menukar tempat dengannya, aku akan melakukannya tanpa ragu," bisiknya lirih. Valeria menatapnya seakan tidak percaya. "Kamu pikir kata-kata itu bisa membuat Alejandro hidup lagi? Tidak ada maaf untukmu, Daniel Delaluca. Kamu akan membayar atas apa yang sudah kamu lakukan pada Alejandro."Tidak lama kemudian terdengar suara langkah tergesa-gesa di luar. Dua petugas kepolisian dan salah satunya membawa berkas laporan. "Tuan Delaluca, Anda diminta hadir dalam penyelidikan resmi setelah dokter menyatakan kondisi Anda stabil. Anda masih dalam status tersangka kasus kecelakaan dengan korban jiwa, Alejandro Ramírez," ucapnya datar. Alejandro menatap petugas itu lama dan ia sama sekali tidak membantahnya. Dalam batinnya, ia tahu inilah bagian dari beban yang harus ia tanggungnya sebagai Daniel. "Baik, aku akan menjalani apa pun yang harus dijalani," katanya pelan. Dua petu
Setelah Daniel sadar dari komanya, ia dipindahkan ke ruang VVIP. Ruangan itu sangat luas dengan dinding yang putih bersih dan tercium bau aroma antiseptik samar yang menyelimuti udara. Tirai putih bergoyang pelan, karena angin sore yang masuk melalui jendela besar. Alejandro duduk di ranjang rumah sakit dan menatap bayangan wajah asingnya di kaca. Setiap kali ia melihat pantulan wajah barunya itu, dada Alejandro terasa sesak dan ia masih belum terbiasa kalau sekarang ia telah menjadi Daniel. Ia masih berusaha beradaptasi dengan identitas barunya itu dan yang membuat ia tidak mengerti kenapa harus berada di tubuh pria yang telah menabrak dan membunuhnya. Namun sebelum ia sempat pikirannya larut lebih jauh, pintu ruangan terbuka. Suara langkah cepat terdengar bersamaan dengan panggilan tertahan. "Daniel ...." Seorang pria berjas hitam masuk dengan langkah tegas dan sedikit terburu-buru, namun wajahnya penuh emosi. Di sampingnya berdiri seorang wanita paruh baya menahan tangisnya da
Tangan Valeria gemetar memegang ponselnya. "Jadi dia yang membunuh Alejandro?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik." Ya. Berdasarkan bukti video dan laporan lalu lintas. Kami akan segera melanjutkan proses hukumnya."Valeria memutus sambungan tanpa berkata apa pun. Ponselnya jatuh ke lantai dan ia menatap kosong ke depan, lalu perlahan napasnya berubah menjadi isakan penuh amarah."Daniel Delaluca, kamu sudah menghancurkan hidupku," gumamnya diantara tangis.***Keesokan harinya wajah tampan Daniel Delaluca terpampang di layar televisi bersama headline besar.PENGUSAHA MUDA TERSANGKA KECELAKAAN MAUT YANG MENELAN KORBAN ALEJANDRO RAMIREZ, TUNANGAN DARI VALERIA DUARTEBerita itu menyebar cepat. Semua saluran televisi nasional membicarakannya, surat kabar mencetak foto mobil yang hancur, dan media sosial dipenuhi dengan komentar pedas."Orang kaya seenaknya di jalan, nyawa orang lain jadi taruhan.""Keadilan harus ditegakkan! Jangan sampai uang menutupi keadilan!"Valeria menata
Di sudut ruangan, arwah Alejandro menatap dirinya sendiri dengan mata yang kosong. Ia tidak merasakan apa pun, tidak dingin, tidak panas, dan tidak lelah, karena yang ada hanyalah kehampaan. Namun, suara tangis Valeria menembus kehampaan itu. Suara yang dulu selalu membuatnya hidup sekarang justru membuat jiwanya bergetar dalam penyesalan. "Aku di sini, Sayang," bisiknya lagi, namun suara itu hanya memantul ke dinding kosong. Alejandro melangkah mendekat dan mencoba menyentuh wajah Valeria, tapi jari-jari transparannya menembus kulit lembut itu dan membuatnya hanya bisa menatap tanpa daya. Ia ingin memeluknya, menenangkannya, dan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud meninggalkannya di altar, tapi dunia seolah memisahkan mereka dengan tirai tak kasatmata. Cahaya putih lembut mulai muncul di sisi ruangan. Cahaya itu lebih hangat dan lebih hidup seperti sinar matahari yang turun dalam bentuk bisikan. Alejandro menoleh ke arah samping. Seorang pria tua berjubah abu-abu berdir
Sore itu di musim semi, langit cerah membentang sempurna di atas kota. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga jeruk dan suara lonceng gereja Santa María de la Luz berdentang lembut di kejauhan seolah memberi tahu seluruh kota bahwa hari ini ada cinta yang akan disatukan. Alejandro Ramirez menatap dirinya di kaca spion mobil, senyumnya merekah seperti anak kecil yang baru saja diberi dunia. Jas putih gading yang dipakainya terasa pas di tubuhnya dan dasinya sedikit miring, lalu ia membetulkannya dengan tawa kecil. "Aku hampir sampai, Sayang," gumamnya sambil menyalakan panggilan di ponsel. Suara di seberang sana membuat jantungnya berdegup hangat. "Jangan sampai telat! Papa sudah di gereja dan aku tidak mau jadi pengantin sendirian di altar." Tawa Valeria terdengar ringan, namun Alejandro bisa membayangkan pipi Valeria bersemu merah saat gadis itu bicara. "Sepuluh menit lagi aku akan sampai, lalu aku akan berdiri di sana, menunggumu datang, dan memintamu jadi istriku d







