LOGINSetelah Daniel sadar dari komanya, ia dipindahkan ke ruang VVIP. Ruangan itu sangat luas dengan dinding yang putih bersih dan tercium bau aroma antiseptik samar yang menyelimuti udara. Tirai putih bergoyang pelan, karena angin sore yang masuk melalui jendela besar.
Alejandro duduk di ranjang rumah sakit dan menatap bayangan wajah asingnya di kaca. Setiap kali ia melihat pantulan wajah barunya itu, dada Alejandro terasa sesak dan ia masih belum terbiasa kalau sekarang ia telah menjadi Daniel. Ia masih berusaha beradaptasi dengan identitas barunya itu dan yang membuat ia tidak mengerti kenapa harus berada di tubuh pria yang telah menabrak dan membunuhnya. Namun sebelum ia sempat pikirannya larut lebih jauh, pintu ruangan terbuka. Suara langkah cepat terdengar bersamaan dengan panggilan tertahan. "Daniel ...." Seorang pria berjas hitam masuk dengan langkah tegas dan sedikit terburu-buru, namun wajahnya penuh emosi. Di sampingnya berdiri seorang wanita paruh baya menahan tangisnya dan di belakang mereka, seorang gadis muda berlari kecil dan langsung menutup mulutnya agar isakannya tidak terdengar keras. "Ayah, ibu, dan adiknya Daniel," batin Alejandro. Alejandro menegakkan tubuhnya dengan spontan dan tidak tahu apa yang harus ia katakan. Potongan-potongan kenangan samar yang bukan miliknya melintas di benaknya menyerupai momen singkat seperti gambar buram. Seorang ayah yang menepuk bahu anaknya, seorang ibu yang memeluknya, dan tawa adik perempuan yang memanggil "Kak Danny!" Semuanya terasa jauh, tapi terlihat nyata. "Ayah ...." suara itu keluar refleks dari bibirnya dan membuat ayah Daniel langsung menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Ya Tuhan! Kamu sudah sadar." Sang ayah cepat-cepat mendekat dan memeluknya sangat erat. "Kami hampir kehilanganmu." Alejandro terpaku. Pelukan itu sangat nyata, hangat, dan menyakitkan pada waktu yang sama. Sang ibu mengelus rambutnya dengan sangat lembut sambil menangis. "Kamu membuat Ibu takut setengah mati, Daniel. Dokter bilang kamu mungkin tidak akan bangun lagi. Ini suatu keajaiban." Adiknya, Camila, mendekat dengan senyum gemetar. "Kak, akhirnya …." Alejandro mencoba membalas pelukan mereka, tapi rasa bersalah menyelimutinya. "Aku bukan Daniel," batinnya lirih. Namun ia tak sanggup mengatakannya pada mereka dan membuat mereka kembali bersedih. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa jiwa pria yang mereka peluk sekarang bukan anak mereka? Bahwa tubuh ini hanyalah wadah dan roh putra mereka sedang tertidur sangat dalam. Ia hanya berusaha menenangkan suaranya. "Maaf, aku sudah membuat kalian cemas." Sang ayah tersenyum penuh haru. "Yang terpenting kamu kembali. Itu sudah cukup bagi kami." Ketiganya akhirnya duduk di sisi ranjang dan berbicara pelan tentang kabar keluarga, rumah, dan bisnis. Alejandro hanya mendengarkan, pura-pura paham, dan sesekali tersenyum ketika mereka menatapnya dengan penuh kasih sayang. Namun di dalam hatinya, Alejandro berperang dengan dirinya sendiri. Setiap tawa dan tatapan cinta dari keluarga Delaluca adalah pengingat bahwa tubuh ini bukanlah miliknya. Ia hanya menumpang dan mencuri hidup orang lain demi menepati janji yang belum selesai, yaitu untuk menjaga Valeria. Ketika mereka akhirnya pamit, ibunya mencium keningnya dengan sangat lembut. "Istirahatlah, Sayang! Kami akan datang besok pagi." Begitu pintu ruangan tertutup, Alejandro memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang. "Daniel Delaluca," gumamnya pelan. "Aku akan menjaga keluargamu seperti aku berjanji menjaga Valeria, meskipun kamu penyebab kematianku. Sungguh beruntungnya dirimu memiliki keluarga yang penuh cinta kasih tidak seperti keluargaku." Ia menatap keluar jendela ke langit sore yang mulai memerah di ufuk barat. "Valeria, aku kembali untukmu meskipun dalam tubuh orang yang mungkin akan kamu benci," bisiknya lirih. Di luar sana tanpa ia tahu, Valeria tengah melangkah menuju rumah sakit dengan amarah yang belum padam dan air mata yang belum kering. Di tangannya tergenggam erat selembar surat pemberitahuan dari rumah sakit San Felipe yang berisi berita bahwa pelaku kecelakaan yang menewaskan Alejandro Ramirez akhirnya sadar dari koma. Langkahnya sangat cepat, hampir tergesa-gesa, dan tumit sepatunya menekan lantai marmer rumah sakit dengan bunyi yang menggema. Jantungnya berdebar dengan keras antara amarah dan luka yang belum sempat sembuh. Bagaimana bisa dia hidup, sementara itu Alejandro-ku sudah pergi selamanya? pikirnya dengan dada sesak. Perawat di meja resepsionis menatapnya gugup ketika Valeria datang menghampiri. Raut wajah Valeria nampak dingin. "Di mana ruangan Daniel Delaluca?" "Ruang VVIP nomor 12, lantai tiga, tapi ...." Tanpa menunggu perawat selesai bicara, Valeria sudah melangkah cepat masuk ke dalam lift. Sementara itu di ruangan VVIP, Alejandro sedang memejamkan mata dan mencoba merasakan denyut kehidupan yang sekarang bukan miliknya, tapi ketenangan sesaatnya itu hancur ketika pintu ruangannya tiba-tiba terbuka keras. Suara itu membuat Alejandro tersentak kaget. Ia menoleh dan pandangannya langsung membeku. Valeria berdiri di ambang pintu dan wajahnya terlihat pucat, namun matanya menyala oleh amarah. Alejandro ingin berbicara kepadanya bahwa ia begitu merindukannya dan ingin mengatakan namanya, namun suaranya tertahan di tenggorokan. "Jadi ini kamu ...."ucap Valeria dingin dan suaranya bergetar oleh emosi yang ditahan mati-matian. "Pria yang sudah membuat Alejandro meninggal." Alejandro menatapnya begitu lama dan dadanya terasa nyeri mendengar nama itu dari bibir yang begitu dirindukannya. “Valeria…” ucapnya lirih dan nyaris tanpa suara. Namun bagi Valeria, nada lembut itu justru seperti penghinaan. Ia melangkah maju dan suaranya meninggi. “Jangan sebut namaku! Kamu tidak pantas memanggilku seperti itu!” Perawat yang berjaga di luar hendak masuk, tapi Alejandro mengangkat tangannya, menahan perawat itu. "Valeria ...." Tatapan Valeria penuh curiga. "Dari mana kamu tahu aku adalah Valeria? Aku bahkan belum memperkenalkan diri." Alejandro menahan napas dan terlihat gugup. "A-aku hanya tahu dari berita," katanya cepat dan mencoba mengontrol getaran suaranya. "Media menyebutkan nama korban kecelakaan malam itu dan hendak menikah dengan seorang wanita bernama Valeria Duarte dan ada foto kalian berdua." Valeria menyipitkan mata seolah menimbang-nimbang setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Sungguh hebat sampai kamu tahu siapa aku?" suaranya mengeras. "Atau kamu memang sengaja ingin mencari tahu siapa perempuan yang hidupnya sudah kamu hancurkan?" Alejandro menelan ludah dengan susah payah. "Aku hanya ingin tahu siapa orang yang telah kehilangan karena aku." "Dan kamu pikir dengan tahu namaku, rasa bersalahmu akan hilang?" balas Valeria tajam. "Kamu pikir ucapanmu bisa menggantikan nyawa Alejandro?" Ucapan Valeria seperti pisau yang menembus jantung Alejandro, tapi ia tak bisa membela diri dan hanya bisa menatapnya dan menahan air mata yang nyaris jatuh. "Kenapa kamu bisa hidup lagi?" suara Valeria bergetar. "Kenapa bukan dia yang tetap hidup?"Jari-jemari Alejandro menggenggam erat seprai seolah berusaha menahan semua beban di dadanya. "Kalau saja aku bisa menukar tempat dengannya, aku akan melakukannya tanpa ragu," bisiknya lirih. Valeria menatapnya seakan tidak percaya. "Kamu pikir kata-kata itu bisa membuat Alejandro hidup lagi? Tidak ada maaf untukmu, Daniel Delaluca. Kamu akan membayar atas apa yang sudah kamu lakukan pada Alejandro."Tidak lama kemudian terdengar suara langkah tergesa-gesa di luar. Dua petugas kepolisian dan salah satunya membawa berkas laporan. "Tuan Delaluca, Anda diminta hadir dalam penyelidikan resmi setelah dokter menyatakan kondisi Anda stabil. Anda masih dalam status tersangka kasus kecelakaan dengan korban jiwa, Alejandro Ramírez," ucapnya datar. Alejandro menatap petugas itu lama dan ia sama sekali tidak membantahnya. Dalam batinnya, ia tahu inilah bagian dari beban yang harus ia tanggungnya sebagai Daniel. "Baik, aku akan menjalani apa pun yang harus dijalani," katanya pelan. Dua petu
Setelah Daniel sadar dari komanya, ia dipindahkan ke ruang VVIP. Ruangan itu sangat luas dengan dinding yang putih bersih dan tercium bau aroma antiseptik samar yang menyelimuti udara. Tirai putih bergoyang pelan, karena angin sore yang masuk melalui jendela besar. Alejandro duduk di ranjang rumah sakit dan menatap bayangan wajah asingnya di kaca. Setiap kali ia melihat pantulan wajah barunya itu, dada Alejandro terasa sesak dan ia masih belum terbiasa kalau sekarang ia telah menjadi Daniel. Ia masih berusaha beradaptasi dengan identitas barunya itu dan yang membuat ia tidak mengerti kenapa harus berada di tubuh pria yang telah menabrak dan membunuhnya. Namun sebelum ia sempat pikirannya larut lebih jauh, pintu ruangan terbuka. Suara langkah cepat terdengar bersamaan dengan panggilan tertahan. "Daniel ...." Seorang pria berjas hitam masuk dengan langkah tegas dan sedikit terburu-buru, namun wajahnya penuh emosi. Di sampingnya berdiri seorang wanita paruh baya menahan tangisnya da
Tangan Valeria gemetar memegang ponselnya. "Jadi dia yang membunuh Alejandro?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik." Ya. Berdasarkan bukti video dan laporan lalu lintas. Kami akan segera melanjutkan proses hukumnya."Valeria memutus sambungan tanpa berkata apa pun. Ponselnya jatuh ke lantai dan ia menatap kosong ke depan, lalu perlahan napasnya berubah menjadi isakan penuh amarah."Daniel Delaluca, kamu sudah menghancurkan hidupku," gumamnya diantara tangis.***Keesokan harinya wajah tampan Daniel Delaluca terpampang di layar televisi bersama headline besar.PENGUSAHA MUDA TERSANGKA KECELAKAAN MAUT YANG MENELAN KORBAN ALEJANDRO RAMIREZ, TUNANGAN DARI VALERIA DUARTEBerita itu menyebar cepat. Semua saluran televisi nasional membicarakannya, surat kabar mencetak foto mobil yang hancur, dan media sosial dipenuhi dengan komentar pedas."Orang kaya seenaknya di jalan, nyawa orang lain jadi taruhan.""Keadilan harus ditegakkan! Jangan sampai uang menutupi keadilan!"Valeria menata
Di sudut ruangan, arwah Alejandro menatap dirinya sendiri dengan mata yang kosong. Ia tidak merasakan apa pun, tidak dingin, tidak panas, dan tidak lelah, karena yang ada hanyalah kehampaan. Namun, suara tangis Valeria menembus kehampaan itu. Suara yang dulu selalu membuatnya hidup sekarang justru membuat jiwanya bergetar dalam penyesalan. "Aku di sini, Sayang," bisiknya lagi, namun suara itu hanya memantul ke dinding kosong. Alejandro melangkah mendekat dan mencoba menyentuh wajah Valeria, tapi jari-jari transparannya menembus kulit lembut itu dan membuatnya hanya bisa menatap tanpa daya. Ia ingin memeluknya, menenangkannya, dan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud meninggalkannya di altar, tapi dunia seolah memisahkan mereka dengan tirai tak kasatmata. Cahaya putih lembut mulai muncul di sisi ruangan. Cahaya itu lebih hangat dan lebih hidup seperti sinar matahari yang turun dalam bentuk bisikan. Alejandro menoleh ke arah samping. Seorang pria tua berjubah abu-abu berdir
Sore itu di musim semi, langit cerah membentang sempurna di atas kota. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga jeruk dan suara lonceng gereja Santa María de la Luz berdentang lembut di kejauhan seolah memberi tahu seluruh kota bahwa hari ini ada cinta yang akan disatukan. Alejandro Ramirez menatap dirinya di kaca spion mobil, senyumnya merekah seperti anak kecil yang baru saja diberi dunia. Jas putih gading yang dipakainya terasa pas di tubuhnya dan dasinya sedikit miring, lalu ia membetulkannya dengan tawa kecil. "Aku hampir sampai, Sayang," gumamnya sambil menyalakan panggilan di ponsel. Suara di seberang sana membuat jantungnya berdegup hangat. "Jangan sampai telat! Papa sudah di gereja dan aku tidak mau jadi pengantin sendirian di altar." Tawa Valeria terdengar ringan, namun Alejandro bisa membayangkan pipi Valeria bersemu merah saat gadis itu bicara. "Sepuluh menit lagi aku akan sampai, lalu aku akan berdiri di sana, menunggumu datang, dan memintamu jadi istriku d







