Share

Motel

last update Last Updated: 2023-07-20 21:56:34

Sudah sekitar satu jam lamanya Starla berdiri di depan gerbang kantor. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, di mana banyak kendaraan berlalu lalang. Awan yang tadinya cerah sudah berubah gelap diiringi kilat dan gemuruh petir yang sesekali menyambar di angkasa. Angin yang bertiup semakin kencang dari menit ke menit membuat Starla memeluk tubuhnya sendiri karena rasa dingin yang menusuk kulit.

"Neng masih di sini?" Pak Tarjo, satpam yang berjaga di gerbang bertanya pada Starla. Ia mendongak menatap langit yang kian menggelap karena selain sudah masuk jam setengah 6 sore, mendung tebal juga bergelayut siap menjatuhkan titik-titik air hujan kapan saja.

"Iya, Pak."

"Nunggu siapa, Neng? Jemputan?" tanya Pak Tarjo lagi, sesekali mengusap kedua telapak tangannya sebab ia juga merasa kedinginan setelah keluar dari ruang pos jaga demi menghampiri Starla. "Mending pulang aja sekarang, Neng. Mau hujan ini," saran Pak Tarjo.

Starla menghela napas. Ia melirik arloji lalu merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Starla mencoba menghubungi nomor Bima namun hanya suara operator seluler yang ia dengar. Sama seperti beberapa jam sebelumnya.

Bima ... kamu di mana, sih? batin Starla setengah kesal.

"Atau Neng masuk aja ke dalam pos sini! Nanti sakit lho!" Pak Tarjo lagi-lagi memberi tawaran. "Tenang aja, aman sama saya. Saya nggak bakal macam-macam!"

"Makasih, Pak. Tapi kayaknya aku pulang aja, deh," senyum Starla ramah.

"Lho, nggak jadi nunggu jemputan?"

Starla menggeleng. "Mungkin yang jemput lagi nggak bisa, Pak."

"Yah, padahal mau saya ajakin main catur, Neng! Hehe ... Kalau gitu, hati-hati di jalan ya, Neng!"

Starla mengiyakan saja lalu segera meninggalkan pintu gerbang perusahaan. Ia berjalan cepat menuju halte terdekat yang ada, namun baru setengah jalan hujan sudah turun dengan lebat. Mau tidak mau, Starla pun berlari agar segera sampai ke halte untuk bisa berteduh.

Sesampainya di halte, Starla mengibaskan rambut yang sudah setengah basah, juga mengusap pada seluruh badan agar lebih kering. Angin yang bertiup semakin kencang membuat bibir Starla bergemeletuk. Ia memeluk tubuh, berharap agar bis segera datang. Starla ingin cepat sampai rumah dan ganti baju hangat.

Doa Starla terkabul dengan cepat karena sebuah bis berwarna biru berhenti tak lama kemudian. Starla pun segera masuk dan semakin menggigil kala suhu AC menyambutnya. Sial, ia lupa hal ini.

Starla mengambil tempat duduk di dekat jendela. Mendesah lega setelah menyamankan diri duduk di atas kursi. Sembari terus memeluk dirinya demi mengurangi rasa dingin, kepala Starla menatap pada jalan raya. Hujan benar-benar turun dengan deras.

Cukup lama Starla menatap ke luar jendela hingga rasa kantuk menyergap. Mata Starla sudah siap terpejam saat bis berhenti karena ada salah satu penumpang yang turun. Tapi bersamaan dengan hal itu juga Starla menangkap sosok pria yang sangat ia kenal. Pria itu menyeberangi jalan sembari membawa payung dan kantung plastik putih yang entah berisi apa.

Bukankah itu Bima?

Demi memastikan, Starla menyipitkan mata. Tinggi, postur tubuh, rambut, pakaian, siluet, cara berjalan atau apapun itu benar-benar mirip Bima. Jadi Starla menyimpulkan dengan cepat bahwa pria yang ia lihat memang sungguh-sungguh Bima.

Tapi kenapa ia ada di sini? Ini bahkan masih cukup jauh dari tempat tinggal mereka berdua.

Starla bingung, dan semakin bingung saat melihat Bima berjalan di trotoar dengan tergesa menuju arah sebaliknya dari rumah.

Bis akan kembali berjalan membuat Starla tersentak. Buru-buru ia bangun dan menekan tombol di sebelah kiri agar supir bis menghentikan laju.

"Kenapa nggak dari tadi?" Supir bis itu tampak sedikit kesal dan Starla mengabaikannya saja. Ia mengeluarkan uang lima ribu dua lembar dan menyerahkannya pada supir bis. Tanpa menagatakan sepatah katapun, Starla segera turun. Tak peduli lagi dengan air hujan yang masih mengguyur bumi cukup deras.

Starla menyeberang jalan dengan cepat, sesekali berteriak memanggil nama Bima yang semakin jauh dari pandangannya. Gadis itu tidak menyerah, ia berlari cepat untuk menyusul pria itu. Dihiraukannya pakaiannya yang sudah basah kuyup.

"BIMA!!" Starla berteriak mengalahkan air hujan. Sia-sia saja, Bima terus beralan tanpa menoleh.

Hingga saat Bima masuk ke sebuah bangunan berlantai dua, kaki Starla berhenti. Ia mengerjab, menoleh demi membaca ulang tulisan dari lampu yang bersinar terang di sisi kiri bangunan.

M O T E L

Perasaan Starla jadi tidak enak. Sekali lagi menatap bangunan berlantai dua tersebut. Untuk apa Bima datang ke tempat ini?

Starla tau jika ia ingin jawaban maka ia harus mencarinya. Gadis itu pun segera masuk ke dalam bangunan tersebut.

Dengan baju basah kuyup, Starla menuju meja resepsionis. Di sana ada seorang wanita gemuk paruh baya yang sedang menonton TV sembari memakan keripik kentang.

"Oh, hai, selamat datang di motel kami!" sapanya begitu melihat Starla. "Mau pesan kamar untuk berapa malam?" Wanita itu berdiri, sedikit kesusahan karena berat badannya yang berlebih. Ia membuka buku tamu siap mencatat sebuah nama.

Namun saat memperhatikan lagi penampilan Starla ia menunjukkan ekspresi setengah kesal.

"Asal kamu tau bajumu basah kuyup. Dan itu cukup membuat motel kami kebanjiran."

Starla menunduk dan benar saja. Titik-titik air yang menetes dari pakaiannya membentuk genangan-genagan air di lantai.

"Maaf."

Wanita itu menghela napas. Masih tidak menunjukkanwajah ramah sama sekali. Sepertinya ia kesal karena harus mengepel lantai lagi. Tidak lucu bukan jika ada tamu dan terpeleset hingga menyebabkan patah tulang dan gegar otak?

"Oke. Bisa tunjukkan KTP kamu?"

Starla mengangguk. Cepat-cepat merogoh tas dan mengambil dompet yang masih kering karena tasnya merupakan tas kulit yang tahan air.

"Biaya sewa satu malam 250 ribu," terangnya tanpa basa-basi. Ia mengembalikan KTP Starla setelah selesai mencatat dalam buku tamu. "Kamu bisa bayar lebih 100 ribu dan aku bakal ngasih kamu baju kering," tawarnya. Tapi segera menambahkan lagi.

"Dan kamu seenggaknya harus ngasih tips saya 50 ribu karena saya harus mengepel lantai agar air yang kamu bawa tidak mencelakakan tamu lain."

Starla hanya mengangguk, mengambil dompet dan membayar uang sebanyak 400 ribu.

Wanita itu tersenyum puas. Kali ini wajah yang sejak tadi ketus berubah menjadi sedikit jauh lebih ramah.

"Tunggu sebentar," tukas wanita itu berlalu setelah mengambil uang pembayaran dari Starla. Tak lama kemudian ia sudah kembali dan membawa satu set pakaian kering, juga sebuah handuk kecil.

"Saya tadi nggak bilang ukuran ini cocok dengan kamu, okay? Jadi dilarang protes. Pakai aja dan bawa pulang," tukasnya sembari menyerahkan pakaian yang ia bawa. Semua itu adalah baju bekas milik putrinya yang sudah menikah, jadi tidak masalah ia memberikannya pada orang lain.

Starla menerima tanpa banyak bicara. Ia juga mengambil kunci yang diserahkan oleh wanita itu.

Baru saja berbalik untuk mencari kamarnya, Starla kembali menghadap wanita itu. Dalam keraguannya, Starla memberanikan diri untuk bertanya.

"Apa... ada cowok bernama Bima yang juga menginap di sini?" tanya Starla.

"Bima?" Wanita itu tampak berpikir sejenak. Matanya memicing curiga pada Starla. "Entahlah, saya nggak ingat," jawabnya mengindikkan bahu. "Tapi kalau kamu mau bayar 50 ribu lagi mungkin saya bisa periksa buku tamu."

Starla tau ia sedang diperas sejak awal, tapi untuk saat ini, mengetahui keberadaan Bima jauh lebih penting dari pada apapun. Ia pun akhirnya mengeluarkan uang 50 ribu dan menyerahkannya pada si wanita.

Yang lagi-lagi membuat wanita gemuk itu tersenyum penuh kemenangan. Kapan lagi ada pelanggan goblok* yang manut saja saat dipalak?

"Oke, sebutkan ciri-cirinya," tukas si wanita.

"Dia tinggi, rambutnya panjang disemir merah dan diikat ke belakang. Dia pakai kaus warna army dan jaket levis warna biru. Tingginya sekitar 175 cm dan dia ... sebenarnya dia baru masuk beberapa menit sebelum aku masuk ke sini."

"Oh! Dia! Sepertinya saya tau," seru wanita itu. "Ada di lantai dua, kamar nomor 15," lanjutnya. "Tapi ... apa hubungan kamu sama dia?" tanyanya kepo. Menjadi penjaga motel membuat ia banyak menyaksikan kejadian dramatis, dan ia merasa gadis bernama Starla ini juga akan melihat kejadian yang lebih dramatis. Alias menyakitkan.

Starla hanya menggeleng tipis tanpa menjawab, lalu segera mengucapkan terima kasih dan meninggalkan meja resepsionis. Ia pun menaiki tangga sembari terus bertanya-tanya dalam hati.

Untuk apa Bima ada di sini?

Berbagai pikiran buruk sempat melintas di otak Starla tapi ia segera menepis. Ia yakin jika Bima tidak akan melakukan sesuatu yang buruk. Starla percaya pada kekasihnya itu.

Setelah mencari-cari nomor kamar 15, akhirnya Starla menemukannya. Ia berhenti tepat di depan pintu itu dan mendadak hatinya menjadi ragu. Benarkah yang sedang ia lakukan kini?

Perlahan, tangan Starla terangkat. Ia siap mengetuk pintu tersebut. Namun kala kepalan tangannya tinggal satu sentimeter, ia berhenti. Dengan cepat, tangannya meraih handle pintu dan membukanya. Starla sedikit terkejut karena pintu itu tidak terkunci.

Starla menyentakkan kepala, mengahadap ke depan. Lalu semua pakaian dan kunci kamar yang ia bawa jatuh ke lantai karena pemandangan yang ia lihat di sana.

Tidak mungkin salah. Di sana ada Bima dan ia sedang mencumbu dan menindih tubuh seorang perempuan asing di atas kasur.

Bima yang mendengar suara pintu terbuka menoleh dan terkejut melihat sosok Starla ada di sana. Buru-buru ia bangun dari kasur, diikuti perempuan asing yang tadi ia tindih. Meskipun mereka masih memakai baju lengkap, tapi pakaian mereka sudah acak-acakan dan kusut.

Starla menggelengkan kepala, kedua tangannya menutup mulut demi menahan isak tangis yang ingin keluar dari bibir. Hatinya terasa sakit melihat penghianatan Bima secara langsung.

Sebenarnya apa yang salah? Dari mana? Dan sejak kapan Bima menusuknya dari belakang? Kenapa Starla tidak pernah tau hal ini sebelumnya? Berbagai pertanyaan langsung menyeruak dalam pikirannya, menambah rasa sakit bertubi-tubi menyayat hati.

"Starla, ini nggak seperti yang kamu bayangin. Aku bisa jelasin ini." Bima segera turun dari kasur dan berjalan mendekat pada Starla, namun seiring Bima mendekat, Starla berjalan mundur menjauh.

"Starla... serius. Ini semua nggak seperti yang kamu-- Starla!!" Bima berteriak begitu Starla langsung berbalik dan berlari meninggalkannya. Ia sudah siap mengejar namun sebuah tangan lemah menahannya untuk pergi. Bima menoleh dan menatap wanita berwajah sayu di sana.

"Kamu sudah berjanji, Bima... Jangan tinggalin aku. Aku takut."

Bima memejamkan mata, rahangnya mengeras. Tangannya pun terkepal kuat. Dalam hati ia sedang berteriak karena rasa bersalah yang luar biasa.

Harus bagaimana ia nanti menjelaskan hubungannya dengan wanita ini kepada Starla?

"Bima ...,"

"Oke. Oke. Aku nggak akan ke mana-mana seperti janji aku," kata Bima. Ia kembali duduk di atas kasur dan memeluk tubuh kurus yang sudah siap menangis karena takut ditinggalkan oleh pria berambut gondrong merah itu.

"Jangan menangis."

"Aku takut."

"Tidak apa-apa. Aku ada di sini," bisik Bima. Egonya terkalahkan, condong pada wanita dalam pelukannya alih-alih mengejar Starla.

Dalam hati, Bima mengucapkan beribu maaf pada sang kekasih.

"Maaf, Starla."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Bawah Kendali sang CEO   Extra Part - Yuda (Fin)

    Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan

  • Di Bawah Kendali sang CEO   Extra Part - Promise

    Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun

  • Di Bawah Kendali sang CEO   Extra Part - Luna & Yuda

    Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s

  • Di Bawah Kendali sang CEO   Extra Part - Yuda

    Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak

  • Di Bawah Kendali sang CEO   Extra Part - Pencuri Cilik

    “Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.

  • Di Bawah Kendali sang CEO   Extra Part - Isaac & Samantha (Fin)

    Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status