Starla duduk bersandar di kusen kasur sembari menatap kosong kamar bercat putih yang sebenarnya adalah kamar Bima. Rambut yang setengah basah setelah habis mandi ia biarkan terurai. Melirik jam dinding, Starla semakin terdiam tak bisa berkata-kata.
Ini sudah lewat tengah malam dan belum ada tanda-tanda jika Bima akan pulang.
Kecewa? Tentu saja.
Karena sesakit apapun perasaannya tadi saat mengetahui perbuatan Bima, diam-diam Starla masih ingin percaya. Gadis itu mengharap sebuah penjelasan dari bibir Bima, yang menyatakan bahwa apa yang ia lihat tidak seperti yang ia bayangkan.
Starla menunduk lelah.
Bukankah sudah jelas jika Bima sama sekali tidak berniat mengklarifikasi?
Jika Starla ingat, pria itu bahkan tidak berusaha mengejarnya dari motel tadi.
Ingat semua hal itu, dada Starla kembali sesak. Tanpa sadar, Starla bahkan sudah kembali menangis.
Entah sudah berapa lama Starla menangis, hingga tanpa sadar ia sudah jatuh tertidur dengan posisi duduk menekuk lutut. Starla terbangun saat mendengar suara berisik dari luar kamar. Matanya mengerjab, kembali ia melirik jam dinding.
Jam 2 dini hari.
"Bima?" Starla keluar dari kamar, mencari-cari sosok Bima yang mungkin sudah pulang. Benar saja, ia melihat pria itu berdiri di ruang tengah.
Bima menoleh lalu segera memeluk Starla erat.
"Starla," bisiknya dengan suara setengah berat. Ia melepas pelukannya untuk menemukan bibir Starla.
Bima mencium Starla dengan rakus. Saat itulah Starla tau jika Bima dalam keadaan setengah mabuk. Bau dan rasa alkohol memenuhi indera penciuman dan pengecapan Starla. Gadis itu pun segera mendorong tubuh Bima menjauh.
"Kamu mabuk," tukasnya.
Bima terkekeh kecil, lalu kembali memeluk Starla. Namun sebelum Bima mendapatkannya, Starla lagi-lagi sudah mendorong Bima.
"Oh, Starla." Bima mulai jongkok. Ia tampak frustasi dan mengusap wajah gusar. Starla hanya menatap tanpa kata, sembai bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi pada pria itu.
Belum sempat satupun jawaban terlintas, sebuah suara berisik dan pintu terbuka mengejutkan Starla. Mata Starla tertegun melihat seorang gadis bermata sayu memasuki rumah kontrakan mereka.
Bukankah itu gadis yang tadi ia lihat di motel bersama Bima? Kenapa ia ada di sini?
Starla kembali menatap Bima tidak mengerti.
"Kenapa kamu bawa dia ke sini?" tanya Starla tidak sabar. "Kenapa dia ada di sini?"
Bima mendongak penuh sesal, yang membuat Starla sedikit terkejut karena pria itu sedang menangis tanpa suara.
"Maafin aku, Starla ...," Bima menarik ujung pakain Starla. "Maafin aku ...."
Ada sesuatu yang salah, pikir Starla. Ia menoleh pada sosok gadis yang juga melihatnya setengah bersalah dan menyesal.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi di antara mereka berdua? Jangan bilang jika akan terjadi drama seperti misal gadis asing itu hamil anak Bima? Tapi bagaimana bisa? Sebodoh itukah dirinya hingga tidak pernah tau Bima berselingkuh di belakangnya?
Berbagai pertanyaan yang sejak awal menyeruak di kepala Starla sama sekali, tidak ada satu pun yang terjawab. Detik berikutnya gadis itu lagi-lagi dikejutkan dengan kedatangan seorang pria berjas hitam. Tubuhnya tinggi besar sementara tangan kananya membawa sebuah payung hitam yang ia jadikan sebagai tongkat.
Melihat sekilas saja, Starla sedikit bergidik. Terlebih ketika pria itu melepas kaca mata hitam yang ia pakai. Hingga menampakkan bekas luka sayatan di mata sebelah kirinya.
"Jadi ... gadis ini yang kamu maksud?" Suara berat pria itu mendominasi rumah kontrakan yang tidak seberapa ini. Ia memiringkan kepala, matanya menatap awas pada Starla, meneliti dari ujung kepala hingga kaki.
Perasaan Starla menjadi luar biasa tidak enak.
Apa maksud dari ucapannya?
"Lumayan," seringainya, yang lagi-lagi berhasil membuat Starla merinding. Tanpa sadar sudah menahan napas.
Pria itu kembali berjalan dua langkah lalu mendorong tubuh gadis yang dibawa oleh Bima. Perempuan itu jatuh ke lantai. Badannya nampak bergetar ketakutan dan menahan isak tangis.
Siapa dia?
Lagi dan lagi, pertanyaan muncul di otak Starla tanpa mampu ia ucapkan dan temukan jawabannya.
"Dari pada gadis kurus dan sakit-sakitan ini, akan lebih baik membawa dia." Pria itu lagi-lagi berkata. Matanya tak henti terus melihat Starla. "Kau melakukan barter yang sangat masuk akal kali ini."
Starla benar-benar tidak memiliki ide tentang situasi yang terjadi. Ia kebingungan setengah mati. Ketika ia hendak bertanya pada Bima, lelaki itu justru kembali memeluk kaki Starla. Ia meraung sejadi-jadinya.
"Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak tau bagaimana lagi cara supaya aku bisa menyelamatkan Intan. Maafin aku Starla... Maaf... Maaf."
Bima mendongak, matanya merah dan pipinya basah karena air mata.
"Tapi aku janji sama kamu, aku bakal cari cara secepatnya buat nebus kamu lagi. Aku janji... Aku janji!" yakinnya pada Starla yang membuat Starla semakin tidak mengerti.
"Sudah cukup dramanya dan pergi dari sini!" Pria itu berkata setengah jijik. Dengan sepatu kulit hitam yang masih ia pakai, pria itu menendang Bima. Starla hendak menolong namun gadis berwajah sayu bergerak lebih dulu.
"Bima!" serunya.
Bima menangis, tampak frustasi pada keadaan.
"Cepat pergi dari sini!" Pria itu lagi-lagi hendak menendang Bima namun si gadis berwajah sayu segera menarik Bima.
"Ayo!" ajaknya pada Bima.
Bima sempat memberontak namun dengan isyarat yang dikeluarkan, dua orang pria berbadan preman dengan tato yang hampir menutup seluruh tubuh kecuali wajah mereka masuk dari pintu, menyeret keluar baik Bima maupun si gadis dengan mudah.
Menyisakan Starla dan pria asing itu berdua. Bahkan pintu keluar sudah ditutup dari luar.
Starla mengerjab. Adegan yang baru saja terjadi membuat ia speechless. Ia belum memahami apa yang terjadi dan sekarang ia hanya ada berdua dengan pria berwajah mengerikan itu.
"Jadi...," Pria berpakaian serba hitam tersebut duduk di sofa. Ia meletakkan payung hitam yang ia bawa di sebelahnya. Kaki kanan ia tumpu di atas kaki kiri. Kembali, dia menatap Starla. "Bisa kita mulai sekarang?"
Starla mengernyit. "Siapa Anda?" tanyanya dengan nada kentara yang tidak nyaman.
"Oh, jadi aku belum memperkenalkan diriku? Hahaha...," tawanya terdengar menggelegar.
Setelah Starla mengamati lebih jauh lagi, usia pria itu mungkin sudah berada di akhir 50 an. Terbukti dari kerutan di beberapa wajah dan mata. Meskipun rambut pria asing itu masih hitam dan belum ada tanda uban satu pun.
Mungkin karena ia menyemir rambutnya.
Entahlah, Starla tidak ingin tau. Yang ingin ia dengar adalah penjelasan tentang siapa pria itu dan kenapa dia ada di sini?
Puas tertawa, pria berdehem. Dia bersandar dengan nyaman di sofa sedang kedua tangannya berada di masing-masing tumpuan. Pria itu benar-benar merasa jika ia sedang ada di rumah sendiri daripada orang lain.
"Maaf, seharusnya aku lebih memperhatikan sopan santunku. Tapi situasi yang baru saja terjadi membuat mood-ku sedikit buruk. Jadi langsung saja, namaku Lion," ia mulai memperkenalkan diri. "Dan aku di sini karena ... aku memang seharusnya di sini."
"Apa maksudmu?"
Lion sama sekali tidak terganggu dengan nada tidak bersahabat dari Starla. Ia tersenyum miring, menatap Starla kasihan.
"Sedikit saran dariku, lain kali jangan mudah percaya dengan seseorang."
Starla diam mencerna tapi lagi-lagi tidak ada satu pun ide terlintas.
Lion berdiri, lalu berjalan memutari tubuh Starla. Saat itu, entah kenapa Starla merasa ngeri dan sedikit takut. Pikiran-pikiran jelek terlintas ke otaknya. Dan ketika pria itu berdiri di belakangnya, mengambil beberapa helai rambut untuk mencium aromanya, Starla segera berbalik dan mundur. Berusaha mengambil jarak sejauh mungkin.
"Apa maumu?" desis Starla tajam. Dia memberanikan diri melotot pada Lion. Saat ini lupakan sopan santun karena pria itulah yang pertama bersikap kurang ajar. "Pergi dari sini!"
Lion mengangkat sebelah alis, lalu lagi-lagi tawanya menggelegar.
"Oh, sayang! Aku tau ketakutanmu," jawabnya. "Tapi aku tidak akan pergi dari sini sebelum kau membayarnya."
"Membayar apa?!" bentak Starla. Ia ingat ia tidak memiliki hutang pada siapapun. Jangankan hutang atau masalah, kenal pria di depannya saja tidak.
"Sial*! Aku benci harus menjelaskannya dua kali," umpat Lion sebelum kembali melirik Starla. Ia berjalan menuju Starla dan Starla mundur ke belakang. Terus seperti itu sampai kaki Starla terantuk dan ia jatuh tepat di atas sofa. Jantung Starla berdetak liar.
"Jika kau tidak pergi dari sini, aku akan berteriak sekarang juga," ancam Starla disela ketakutannya.
"Aku tidak akan melarangmu," jawab pria itu meremehkan. "Seingatku rumah ini jauh dari rumah yang lain." Lion menatap Starla geli, sedangkan wajah Starla berubah pucat.
Benar juga, kenapa ia bisa lupa? Jarak rumah terdekat pun sekitar 700 meter dari sini. Starla berubah gugup.
"To-tolong... Apa maumu? Jika kau mau uang, a-aku.. masih punya beberapa ratus ribu. Biarkan aku mengambilnya untukmu."
"Tch," dengus Lion. Tangannya menyentuh dagu Starla kasar, memaksa gadis itu mendongak dan menatapnya. Lion pun mendekatkan wajah.
"Aku... tidak mau uangmu, Nona cantik" bisik Lion. Bibirnya melengkung ke atas seiring dengan rasa takut Starla yang kian bertambah.
"Aku hanya mau tubuhmu," lanjut Lion.
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.