Share

Mungkin

Sudah dua bulan lamanya Starla tinggal bersama Bima. Ia merasa cukup bahagia. Dulu mungkin hanya panggilan telepon dan pertukaran chat yang bisa menjadi pengobat rindu. Tapi sekarang, setiap hari Starla bisa selalu melihatnya, menyentuhnya, dan menciumnya...

Starla tidak tau jika tinggal berdua bersama seorang yang amat ia cintai bisa menyebabkan hari-harinya menjadi seindah ini.

"Selamat pagi," sapa Bima serak. Tangannya memeluk tubuh telanjang Starla yang berada di balik selimut. Tadi malam merupakan satu dari sekian banyak malam penuh gairah yang telah dihabiskan Starla bersama Bima.

"Pagi," jawab Starla.

"Jam berapa ini?" tanya Bima saat ia merasa Starla mencoba untuk beringsut bangun. Matanya mengerjab tipis, mencari-cari di mana letak jam dinding berada.

"Sudah jam tujuh. Aku harus bangun dan siap-siap berangkat kerja sekarang," jawab Starla.

Bima mendesah, mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Ia mengusap wajah yang masih setengah mengantuk.

"Oke," tukas Bima kemudian.

"Kamu nggak bangun buat kerja?" tanya Starla mengernyit heran. Ia ingat jika sudah dua minggu ini ia selalu mendapati Bima ada di rumah.

Bima menghela napas dan beringsut duduk. Rambut gondrong merahnya acak-acakan. "Aku bakal nyari. Kamu tau kan aku seorang fotografer lepas? Akhir-akhir ini belum ada yang sewa jasaku lagi," jelas Bima. Wajahnya terlihat sedikit tertekan karena hal ini.

"Kamu pasti bakal dapat orderan lagi secepatnya," tukas Starla menenangkan. Gadis itu menyentuh bahu Bima dan bergerak mendekat. Bima pun langsung menariknya dalam pelukan.

"Ya, semoga," do'a Bima sungguh-sungguh.

"Bagaimana kalau kamu mulai dari pesta pernikahan? Ulang tahun anak-anak? Foto random buat wisuda siswa-siswi yang baru lulus?" saran Starla menyebutkan tempat-tempat yang mungkin sangat membutuhkan jasa fotografer.

Bima terkekeh. "Ide bagus. Hari ini aku akan ke rumah salah satu temanku. Kebetulan dia menikah hari ini."

"Benarkah?"

"Hmmm," angguk Bima.

"Kamu mau aku ikut?" tawar Starla sembari menaik turunkan alis. Membuat Bima mengacak gemas rambut Starla.

"Acaranya jam 10 dan kamu masih kerja, Sayang."

Oh, iya benar, batin Starla. Diam-diam mengutuk perusahaannya yang memiliki peraturan tegas.

"Oke, aku mandi dulu sebelum terlambat." Starla mengecup sekilas bibir Bima, lalu dengan melilitkan selimut tebal untuk menutupi badannya yang telanjang Starla segera pergi ke kamar mandi.

Sepeninggal Starla, Bima menjatuhkan tubuh kembali di atas kasur. Ia hampir kembali terlelap tetapi sebuah suara handphone membuatnya urung.

Dengan malas, tangan Bima meraba nakas. Ia sempat mengernyit saat melihat nomor baru yang masuk.

"Halo," ucap Bima setelah menggeser tombol hijau di layar.

Dari seberang, Bima sempat mendengar suara grasak-grusuk, benda-benda yang dibanting dan kekacauan lainnya. Kernyitan Bima semakin dalam, ia merasa bahwa panggilan telepon iu hanyalah salah sambung. Tapi baru saja ia hendak memutuskan sambungan telepon tersebut, sebuah suara familiar menyapa.

"Bima ...,"

Tubuh Bima menegang. Matanya terbelalak lebar. Jantung Bima pun berdebar kencang. Rasa kantuk yang tadi menyerang pun langsung menghilang digantikan rasa campur aduk yang sulit untuk Bima jelaskan.

Bima tau suara ini. Terlalu mengenal malah. Suara seorang gadis yang sudah bertahun-tahun hilang tanpa kabar.

"Intan?" gumam Bima. Buru-buru ia berdiri untuk keluar menuju ruang tamu.

"Intan? Kamu Intan, bukan?" tanya Bima lagi, tanpa sanggup menutupi suara cemasnya.

Jeda beberapa detik, hingga suara wanita itu kembali lagi. Meski dengan lemah, Bima masih bisa menangkap kalimatnya.

"Iya. Ini aku Bima... Intan."

Bima menutup mulut dengan sebelah tangan. Tubuhnya menjadi gusar hingga ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Bahkan ia lupa sama sekali jika ia masih dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun menutup tubuh.

"Kamu... di mana saja kamu? Aku cari kamu ke mana-mana!" seru Bima dengan suara setengah bergetar.

Intan terisak melalui seberang telepon, dan Bima menghembuskan nafas frustasi. "Intan, jawab aku! Di mana kamu sekarang?"

"Aku ...,"

Belum selesai Intan menjawab, suara piring dibanting dari telepon terdengar. Membuat Bima menjadi semakin gusar dan khawatir.

"Katakan padaku apa yang terjadi?!"

"Tolong aku, Bima... hiks ... hiks ... Tolong...," jawab Intan sebelum sambungan telepon itu tiba-tiba tertutup.

"Intan! Intan! Halo?! Intan!" panggil Bima berulang kali. Ia pun menekan kembali nomor tadi tapi sia-sia saja. Nomor itu sudah tidak aktif lagi.

"Sial!" umpat Bima. Ia melempar handphone-nya ke atas sofa, lalu mengusap wajah dengan kasar. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Intan? Bertahun-tahun lamanya dia menghilang dan sekarang tiba-tiba menelpon dan meminta tolong.

Demi menjaga kewarasan, Bima pun segera kembali ke kamar. Ia mengambil kaus dan celananya yang tergeletak di lantai. Bima berpakaian dengan cepat lalu segera keluar dari kamar. Mungkin menyiapkan sarapan bisa sedikit menjernihkan pikiran yang sedikit kacau pagi itu karena kekasih masa lalunya.

***

Sementara Bima di dapur, Starla keluar dari kamar mandi. Ia bersiap-siap dengan cepat. Memakai kemeja merah, blouse putih dan rok span selutut. Starla mengoleskan make-up tipis ke wajahnya. Ia memang tidak suka dandanan yang terlalu menor.

Dirasa sudah cukup, Starla mengambil tas kulit kerjanya dan segera keluar dari kamar. Tak lupa sebelumnya ia juga merapikan kasur agar tidak lagi tampak berantakan. Rutinitas ini memang selalu ia lakukan setiap hari. Dan jujur saja kontrakan Bima jauh lebih bersih dan tertata rapi sejak ia tinggal di sana.

"Sarapan dulu, Sayang." Bima menegur Starla yang melewati dapur. Starla menoleh dan langsung mencium bau harum masakan yang berasal dari meja.

Tidak ada meja makan di kontrakan kecil mereka, jadi setiap mereka makan, mereka melakukannya di ruang tamu.

"Tumben masak?" tanya Starla heran setengah geli. Ia yang tadi berniat sarapan di depan kantor seperti hari-hari sebelumnya jadi urung.

"Yah, cuma mie instan sama telur doang, kok!" jawab Bima, mengajak Starla duduk di sofa. Ia sudah meletakkan hasil masakannya di atas meja berikut dengan sendok dan piring.

Starla mengangguk. Memang sarapan ini terbilang sangat sederhana, namun tetap saja yang memasak adalah Bima. Dan Starla menyukai hal apapun yang Bima lakukan untuknya.

"Terima kasih," tukas Starla yang langsung memakan sarapan dengan lahap. Bima mengikuti kemudian.

"Aku jemput kamu di jam biasa. Oke?" Bima berkata setelah Starla selesai mencuci piring bekas sarapan. Ia memeluk tubuh Starla dari belakang. Hidungnya ia tempelkan ke leher jenjang Starla yang berbau harum lavender. Bima selalu menyukai bau tubuh Starla.

Starla tersenyum.

"Oke," jawabnya. Ia meraih lap yang tergantung dekat wastafel untuk mengeringkan tangannya yang basah lalu berbalik. Saat itu juga, bibir Bima langsung menemukan bibir Starla.

Bima mencium Starla, menggigit bibir bawah Starla dan menyusupkan lidahnya dalam mulut Starla yang sudah terbuka. Mereka berciuman cukup lama, hingga terdengar bunyi kecipak yang nyata. Lidah mereka saling menggoda dan membelit satu sama lain.

"Kita harus berhenti di sini sebelum kita berbuat lebih jauh lagi," kata Starla saat Bima melepas ciuman demi memasok udara kembali ke paru-paru.

Napas Bima terdengar berat, matanya pun sudah berkabut menatap Starla penuh gairah.

"Bagaimana dengan sex 15 menit? Aku akan melakukannya dengan cepat. Aku janji."

Sejujurnya, Starla sempat tergoda. Namun saat ia melirik arloji di tangannya, ia tau ia harus menolak atau ia akan terlambat dan beresiko diberi SP 3 oleh perusahaan tempat ia bekerja.

Mungkin Darma memang benar. Sejak ia kenal dengan Bima, Starla jadi sering terlambat ke kantor. Kali terakhir adalah satu minggu yang lalu. Bosnya marah besar karena ia sering terlambat dan memberikan SP 2 setelah SP pertama yang ia terima dua bulan lalu.

"Mungkin jam 5, setelah kita sampai rumah. Itu pun jika kamu nggak keberatan dengan bau keringatku setelah seharian bekerja," goda Starla. Tangannya bermain-main di rahang Bima. Mengelus bulu-bulu kasar yang mulai tumbuh setelah satu minggu yang lalu tercukur bersih.

"Kamu tau aku tidak pernah keberatan dengan hal itu." Bima mencium Starla lagi. Namun di saat tangannya mulai meraba dada Starla, Starla segera mendorong Bima menjauh.

"Sabar, Tuan Bima yang terhormat. Aku harus berangkat sekarang juga," tukas Starla, membuat Bima refleks mengerang kecewa.

"Please? Hanya 5 menit?"

Starla tertawa lalu menggeleng tegas. "Jika aku terlambat lagi, aku akan dipecat."

Dengan berat hati akhirnya Bima mundur ke belakang. Memberi ruang bagi Starla untuk pergi  dari dapur.

"Hati-hati di jalan!" ucap Darma berpesan.

"Iya."

Setelah itu Starla meninggalkan rumah. Selama perjalanan ke kantor dengan naik bis, sebuah senyum tipis tak pernah lepas dari bibir gadis berambut hitam tersebut. Hubungannya dan Bima sejauh ini baik-baik saja, dan ia berdoa agar selalu bisa baik-baik saja.

Menatap langit biru yang cerah, Starla mulai berani bermimpi.

Jika nanti ia dan Bima akhirnya siap untuk menikah, mungkin kebahagiaan mereka akan lebih besar dari ini.

Mungkin ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status