Share

Bab 2. Gaya Elit, Nebeng Doang?

Aku baru saja selesai mandi, dan mulai duduk di meja makan. Seperti biasa, aku akan menikmati sarapan dengan ibu.

Meski sudah agak terlambat, ibu selalu menungguku. Padahal, sering kali aku meminta ibu untuk sarapan lebih dahulu, mencegah ibu dari sakit akibat terlambat sarapan.

Ngomong-ngomong, di rumah ini memang hanya ada aku dan ibu. Ayahku bertugas di kota lain, karena beliau adalah seorang tentara. Tapi, ayah tidak sendirian. Ayah bersama kakak laki-lakiku – Andi, yang bekerja sebagai PNS di salah satu kantor pemerintahan.

Ibu memilih untuk tinggal di rumah bersamaku, karena ibu memiliki usaha butik di Surabaya, yang tak bisa ditinggalkan. Tapi, meski begitu, kami sering mengunjungi ayah dan kakak, atau sebaliknya. Namun, aku senang karena tahun depan ayah sudah pensiun, artinya ayah akan berkumpul dengan kami di rumah.

Selain kakak laki-laki, aku juga memiliki adik laki-laki – Roy – yang saat ini sedang mengambil kuliah di luar negeri. Roy adalah anak yang cerdas, sehingga dia mendapat beasiswa penuh dari salah satu universitas di Australia.

Satu tahun lagi, Roy akan menyelesaikan kuliahnya. Karena itu, aku bekerja mati-matian, untuk membantu ayah dan ibu agar bisa berangkat ke Australia pada saat Roy wisuda nanti. Meski aku tahu, ayah dan ibu tak ingin kami menghabiskan penghasilan kami untuk mereka, namun aku ikhlas melakukannya demi orang tuaku.

“Bu, habis makan, aku ke bank dulu, ya! Mau narik,” ucapku sambil menyendok nasi goreng buatan ibu ke dalam piringku.

“Iya. Kalau gitu, sekalian sama ibu, ya! Ibu mau ke butik,” jawab ibu.

Aku mengangguk sebagai persetujuan. Aku mulai menikmati masakan buatan ibu yang tidak ada duanya.

Selesai sarapan, aku bersiap-siap untuk ke bank. Kulihat ibu juga sudah selesai bersiap. Segera saja kami berdua keluar bersama, ketika mobil Maxx yang kami pesan sudah tiba di luar. Maklum, saja, kami tak memiliki kendaraan pribadi, jadi ke mana-mana menggunakan ojek online.

Tapi, baru saja kami akan masuk, tiba-tiba Ibu Kumala yang entah kapan datangnya, sudah berdiri di samping mobil dengan pakaian rapi dan sebuah tas tangan. Kedatangannya benar-benar seperti Jelangkung. Datang tanpa diundang.

Dandanannya juga jangan ditanya lagi. Mungkin, jika dia tidak menggunakan lipstik merah menyala yang terkesan berminyak, dengan alis yang digambar menukik tajam, serta tahi lalat palsu di bawah bibir, dia akan merasa belum sempurna.

Aku sekuat tenaga menahan tawa pada penampilan Ibu Kumala. Aku bertanya-tanya, mau ke mana wanita ini dengan dandanan menor begini? Mana wajahnya putih sekali seperti pakai tepung. Berbeda dengan lehernya yang lebih gelap.

“Bu Ida, mau ke mana?” tanya si Ibu Kumala dengan senyum lebar yang mencurigakan bagiku.

“Oh, saya mau ke butik. Sedangkan, Mendy mau ke bank,” jawab ibuku dengan lembut seperti biasanya.

Seketika, Ibu Kumala meraih tangan ibuku dan menepuknya sok akrab.

“Aduh, kebetulan sekali, Bu! Saya juga mau ke tempat kerjanya Britney! Kan sebelum butiknya ibu! Boleh dong ya, saya numpang ke sana? Pasti boleh, dong! Dari pada saya harus pesan ojek lagi! Enggak ada salahnya, kan membantu sesama tetangga! Apa lagi hubungan kita kan baik, rumah saya paling dekat, lho sama ibu!” seru Ibu Kumala seakan tak ada urat malunya.

Wah, lihat ini! Kalau butuh bantuan, dia akan membawa-bawa hubungan baik tetangga dengan kami. Tapi, jika tidak, dia akan menghujatku habis-habisan.

“Maaf, Bu! Eng –”

“Oh, boleh aja, Bu! Silakan!”

Aku menatap pada ibu dengan wajah tak bersahabat. Aku baru saja akan menolak rayuan busuk si Ibu Kumala, tapi ibu malah bertindak seperti ibu perinya Lala di sinetron Bidadari.

Wajahku seolah mempertanyakan perbuatan ibu, tapi ibu malah melengos masuk ke dalam mobil begitu saja, dan duduk di samping si Ibu Kumala yang rupanya sudah masuk lebih dahulu. Aku berani bertaruh, dia tak akan membayar sepeser pun untuk perjalanannya.

Dengan kesal, aku masuk ke kursi depan, dan duduk dekat Pak sopir.

“Pak, nanti tolong berhenti lebih dahulu di depan restoran KangPeci, ya! Saya mau turun di sana! Soalnya, anak saya asisten manajer di sana! Tadi, saya ditelepon suruh ke sana, karena dia mau membagi gajinya buat saya! Duh, katanya bulan ini gajinya sudah 4 juta, lho!” Panjang lebar si Medusa mulai mengagungkan anaknya si Britney, padahal tak ada yang bertanya. Apakah dia tidak berpikir, membeberkan informasi seperti ini pada orang asing sangat riskan?

Aku hanya memutar bola mata dengan malas. Ini semua karena ibu yang terlalu baik hati, memberi tumpangan pada si Medusa. Padahal, kalau memang gaji anaknya besar – menurut dia – kenapa tidak dipesankan ojek online saja?

“Oh, iya! Ngomong-ngomong, Mendy ke bank buat ngapain? Mau ajukan pinjaman?” tanya Ibu Kumala mulai kepo tingkah tinggi. Dia bahkan terkekeh seolah-olah mengejekku yang ke bank. Dan, apa katanya? Aku mengajukan pinjaman? Memang agak lain pikiran orang ini!

“Enggak, Bu! Saya mau narik gaji saya!” jawabku ketus, tanpa berbalik padanya. Biar saja dianggap tak sopan, memangnya penting? Toh, berlaku sopan atau tidak, namaku sudah jelek di hadapan mereka.

Aku yakin, jawabanku membuat si Ibu Kumala mulai curiga. Apa lagi, aku hanya di rumah saja, tapi bisa mendapat gaji?

“Memangnya Mendy kerja apa? Kok enggak kelihatan berangkat kerja setiap hari? Terus gajinya berapa? Lebih dari Britney, ya?" tanya Ibu Kumala.

Awalnya, aku ingin menjelaskan semuanya. Tapi, seketika aku mengurungkan niatku. Toh, menjelaskan pun pasti mereka tak percaya. Lagi pula, untuk apa repot-repot menjelaskan pada si pembenci? Hanya buang-buang waktu.

“Yah, enggak apa-apa sih, kalau memang ada kerjaan beneran. Asalkan bukan dari hasil enggak bener, misalnya jadi artis toktok yang suka live joget-joget bahenol dengan sound viral, lalu dibayar itu lho!” ucap Ibu Kumala sambil terkekeh.

Apa ini? Apa dia berpikir aku seperti itu saking tak terlihat bekerja? Memangnya dia pikir mendapatkan uang hanya dari cara seperti itu? Masih banyak cara lain!

“Kok Ibu tahu? Apa Ibu Kumala biasa nonton, ya? Soalnya, jujur saja saya enggak pernah nonton yang begituan! Saya baru tahu dari Ibu Kumala, lho!” jawabku membuat si Ibu Kumala terdiam seribu bahasa.

Dia tak lagi mencerocos, dan hanya diam hingga tiba di tempat kerja Britney. Pasti dalam hati kesal dengan ucapanku barusan.

“Aduh, Bu Ida! Terima kasih ya, sudah diberi tumpangan! Tapi, ngomong-ngomong, saya belum pegang uang, nih! Gimana dong? Soalnya saya ketemu Britney baru dikasi uang! Enggak apa-apa, kan? Jangan dianggap utang, ya! Anggap saja membantu tetangga.”

Kulirik Ibu Kumala memasang wajah seakan-akan dia tak enak pada ibuku. Dan jelas saja, dengan hati malaikatnya, ibu membiarkan Ibu Kumala pergi begitu saja.

“Bu, lain kali enggak usah biarin dia nebeng sama kita! Gaya Elit doang, ke mana-mana nebeng! Nyebut gaji anaknya tinggi, kok mesan ojek aja gak bisa?!” ucapku ketus dan Ibu hanya terdiam. Malah, si Pak Sopir yang menjawab ucapanku barusan.

“Pasti hidupnya Non di kompleks dipenuhi drama para tetangga julid, ya!” Pak Sopir di sebelahku tertawa.

Tuh, lihat! Bahkan, Pak Sopir online saja tahu hanya dari pembicaraanku dengan Ibu Kumala.

“Jangan begitu, Pak! Begitu-begitu, beliau tetangga yang baik,” ucap Ibu terkesan membela Ibu Kumala, dan aku tak suka.

“Baik dari mananya, Bu?! Suka nyinyir gitu dibilang baik!” sahutku.

Ibu malah tertawa mendengar ucapanku. “Ya, baik! Kalau beliau enggak ada, kompleks kita jadi terlalu sepi. Enggak ada hiburan. Kalau ada beliau kan, kita selalu dihibur dengan penampilannya. Tadi saja, kamu tahan ketawanya sampai air matamu mau keluar.”

Ah, aku paham maksud ibu. Seketika, aku ikut tertawa membayangkan dandanan Ibu Kumala yang bak lenong. Bagaimana tanggapan para pembeli di restoran, ya, ketika Ibu Kumala masuk?

Tapi, aku baru tahu! Ternyata ibuku diam-diam, omongannya mengena juga, ya!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status