Aku baru saja selesai mandi, dan mulai duduk di meja makan. Seperti biasa, aku akan menikmati sarapan dengan ibu.
Meski sudah agak terlambat, ibu selalu menungguku. Padahal, sering kali aku meminta ibu untuk sarapan lebih dahulu, mencegah ibu dari sakit akibat terlambat sarapan.Ngomong-ngomong, di rumah ini memang hanya ada aku dan ibu. Ayahku bertugas di kota lain, karena beliau adalah seorang tentara. Tapi, ayah tidak sendirian. Ayah bersama kakak laki-lakiku – Andi, yang bekerja sebagai PNS di salah satu kantor pemerintahan.Ibu memilih untuk tinggal di rumah bersamaku, karena ibu memiliki usaha butik di Surabaya, yang tak bisa ditinggalkan. Tapi, meski begitu, kami sering mengunjungi ayah dan kakak, atau sebaliknya. Namun, aku senang karena tahun depan ayah sudah pensiun, artinya ayah akan berkumpul dengan kami di rumah.Selain kakak laki-laki, aku juga memiliki adik laki-laki – Roy – yang saat ini sedang mengambil kuliah di luar negeri. Roy adalah anak yang cerdas, sehingga dia mendapat beasiswa penuh dari salah satu universitas di Australia.Satu tahun lagi, Roy akan menyelesaikan kuliahnya. Karena itu, aku bekerja mati-matian, untuk membantu ayah dan ibu agar bisa berangkat ke Australia pada saat Roy wisuda nanti. Meski aku tahu, ayah dan ibu tak ingin kami menghabiskan penghasilan kami untuk mereka, namun aku ikhlas melakukannya demi orang tuaku.“Bu, habis makan, aku ke bank dulu, ya! Mau narik,” ucapku sambil menyendok nasi goreng buatan ibu ke dalam piringku.“Iya. Kalau gitu, sekalian sama ibu, ya! Ibu mau ke butik,” jawab ibu.Aku mengangguk sebagai persetujuan. Aku mulai menikmati masakan buatan ibu yang tidak ada duanya.Selesai sarapan, aku bersiap-siap untuk ke bank. Kulihat ibu juga sudah selesai bersiap. Segera saja kami berdua keluar bersama, ketika mobil Maxx yang kami pesan sudah tiba di luar. Maklum, saja, kami tak memiliki kendaraan pribadi, jadi ke mana-mana menggunakan ojek online.Tapi, baru saja kami akan masuk, tiba-tiba Ibu Kumala yang entah kapan datangnya, sudah berdiri di samping mobil dengan pakaian rapi dan sebuah tas tangan. Kedatangannya benar-benar seperti Jelangkung. Datang tanpa diundang.Dandanannya juga jangan ditanya lagi. Mungkin, jika dia tidak menggunakan lipstik merah menyala yang terkesan berminyak, dengan alis yang digambar menukik tajam, serta tahi lalat palsu di bawah bibir, dia akan merasa belum sempurna.Aku sekuat tenaga menahan tawa pada penampilan Ibu Kumala. Aku bertanya-tanya, mau ke mana wanita ini dengan dandanan menor begini? Mana wajahnya putih sekali seperti pakai tepung. Berbeda dengan lehernya yang lebih gelap.“Bu Ida, mau ke mana?” tanya si Ibu Kumala dengan senyum lebar yang mencurigakan bagiku.“Oh, saya mau ke butik. Sedangkan, Mendy mau ke bank,” jawab ibuku dengan lembut seperti biasanya.Seketika, Ibu Kumala meraih tangan ibuku dan menepuknya sok akrab.“Aduh, kebetulan sekali, Bu! Saya juga mau ke tempat kerjanya Britney! Kan sebelum butiknya ibu! Boleh dong ya, saya numpang ke sana? Pasti boleh, dong! Dari pada saya harus pesan ojek lagi! Enggak ada salahnya, kan membantu sesama tetangga! Apa lagi hubungan kita kan baik, rumah saya paling dekat, lho sama ibu!” seru Ibu Kumala seakan tak ada urat malunya.Wah, lihat ini! Kalau butuh bantuan, dia akan membawa-bawa hubungan baik tetangga dengan kami. Tapi, jika tidak, dia akan menghujatku habis-habisan.“Maaf, Bu! Eng –”“Oh, boleh aja, Bu! Silakan!”Aku menatap pada ibu dengan wajah tak bersahabat. Aku baru saja akan menolak rayuan busuk si Ibu Kumala, tapi ibu malah bertindak seperti ibu perinya Lala di sinetron Bidadari.Wajahku seolah mempertanyakan perbuatan ibu, tapi ibu malah melengos masuk ke dalam mobil begitu saja, dan duduk di samping si Ibu Kumala yang rupanya sudah masuk lebih dahulu. Aku berani bertaruh, dia tak akan membayar sepeser pun untuk perjalanannya.Dengan kesal, aku masuk ke kursi depan, dan duduk dekat Pak sopir.“Pak, nanti tolong berhenti lebih dahulu di depan restoran KangPeci, ya! Saya mau turun di sana! Soalnya, anak saya asisten manajer di sana! Tadi, saya ditelepon suruh ke sana, karena dia mau membagi gajinya buat saya! Duh, katanya bulan ini gajinya sudah 4 juta, lho!” Panjang lebar si Medusa mulai mengagungkan anaknya si Britney, padahal tak ada yang bertanya. Apakah dia tidak berpikir, membeberkan informasi seperti ini pada orang asing sangat riskan?Aku hanya memutar bola mata dengan malas. Ini semua karena ibu yang terlalu baik hati, memberi tumpangan pada si Medusa. Padahal, kalau memang gaji anaknya besar – menurut dia – kenapa tidak dipesankan ojek online saja?“Oh, iya! Ngomong-ngomong, Mendy ke bank buat ngapain? Mau ajukan pinjaman?” tanya Ibu Kumala mulai kepo tingkah tinggi. Dia bahkan terkekeh seolah-olah mengejekku yang ke bank. Dan, apa katanya? Aku mengajukan pinjaman? Memang agak lain pikiran orang ini!“Enggak, Bu! Saya mau narik gaji saya!” jawabku ketus, tanpa berbalik padanya. Biar saja dianggap tak sopan, memangnya penting? Toh, berlaku sopan atau tidak, namaku sudah jelek di hadapan mereka.Aku yakin, jawabanku membuat si Ibu Kumala mulai curiga. Apa lagi, aku hanya di rumah saja, tapi bisa mendapat gaji?“Memangnya Mendy kerja apa? Kok enggak kelihatan berangkat kerja setiap hari? Terus gajinya berapa? Lebih dari Britney, ya?" tanya Ibu Kumala.Awalnya, aku ingin menjelaskan semuanya. Tapi, seketika aku mengurungkan niatku. Toh, menjelaskan pun pasti mereka tak percaya. Lagi pula, untuk apa repot-repot menjelaskan pada si pembenci? Hanya buang-buang waktu.“Yah, enggak apa-apa sih, kalau memang ada kerjaan beneran. Asalkan bukan dari hasil enggak bener, misalnya jadi artis toktok yang suka live joget-joget bahenol dengan sound viral, lalu dibayar itu lho!” ucap Ibu Kumala sambil terkekeh.Apa ini? Apa dia berpikir aku seperti itu saking tak terlihat bekerja? Memangnya dia pikir mendapatkan uang hanya dari cara seperti itu? Masih banyak cara lain!“Kok Ibu tahu? Apa Ibu Kumala biasa nonton, ya? Soalnya, jujur saja saya enggak pernah nonton yang begituan! Saya baru tahu dari Ibu Kumala, lho!” jawabku membuat si Ibu Kumala terdiam seribu bahasa.Dia tak lagi mencerocos, dan hanya diam hingga tiba di tempat kerja Britney. Pasti dalam hati kesal dengan ucapanku barusan.“Aduh, Bu Ida! Terima kasih ya, sudah diberi tumpangan! Tapi, ngomong-ngomong, saya belum pegang uang, nih! Gimana dong? Soalnya saya ketemu Britney baru dikasi uang! Enggak apa-apa, kan? Jangan dianggap utang, ya! Anggap saja membantu tetangga.”Kulirik Ibu Kumala memasang wajah seakan-akan dia tak enak pada ibuku. Dan jelas saja, dengan hati malaikatnya, ibu membiarkan Ibu Kumala pergi begitu saja.“Bu, lain kali enggak usah biarin dia nebeng sama kita! Gaya Elit doang, ke mana-mana nebeng! Nyebut gaji anaknya tinggi, kok mesan ojek aja gak bisa?!” ucapku ketus dan Ibu hanya terdiam. Malah, si Pak Sopir yang menjawab ucapanku barusan.“Pasti hidupnya Non di kompleks dipenuhi drama para tetangga julid, ya!” Pak Sopir di sebelahku tertawa.Tuh, lihat! Bahkan, Pak Sopir online saja tahu hanya dari pembicaraanku dengan Ibu Kumala.“Jangan begitu, Pak! Begitu-begitu, beliau tetangga yang baik,” ucap Ibu terkesan membela Ibu Kumala, dan aku tak suka.“Baik dari mananya, Bu?! Suka nyinyir gitu dibilang baik!” sahutku.Ibu malah tertawa mendengar ucapanku. “Ya, baik! Kalau beliau enggak ada, kompleks kita jadi terlalu sepi. Enggak ada hiburan. Kalau ada beliau kan, kita selalu dihibur dengan penampilannya. Tadi saja, kamu tahan ketawanya sampai air matamu mau keluar.”Ah, aku paham maksud ibu. Seketika, aku ikut tertawa membayangkan dandanan Ibu Kumala yang bak lenong. Bagaimana tanggapan para pembeli di restoran, ya, ketika Ibu Kumala masuk?Tapi, aku baru tahu! Ternyata ibuku diam-diam, omongannya mengena juga, ya!***Aku menguap lebar sambil menyeret langkah keluar dari OmegaMart di pinggir jalan raya, dekat dengan kompleks perumahan kami, pada sore harinya, sepulang mengambil uang dari bank. Baru saja aku membeli beberapa camilan dan pesanan ibu. Aku memang senang membeli camilan sehat ketika menerima upah kerjaku. Dari pada membeli camilan yang membuat berat tubuhku meningkat, apalagi aku selalu begadang. Lebih baik, membeli camilan sehat untuk menunjang aktivitasku.Aku selalu menikmati perjalanan keluar rumah di sore hari, karena lingkungan kompleks sore hari cukup ramai dengan anak-anak kecil yang bermain di jalanan. Senang sekali melihat kebahagiaan mereka. Terkesan jujur menurutku. Apa lagi, aku baru selesai berkutat di depan komputer, senang rasanya melihat keceriaan seperti ini. Seakan sedang nostalgia.Kulihat, ada yang bermain sepeda, ada juga yang bermain tali. Semua dipenuhi aura keceriaan. Kecuali ....Mataku tertuju pada TTM yang sedang duduk depan rumah Ibu Yoona, sambil menikmati
Hari ini aku bangun lebih pagi, tepatnya di pukul 06.00. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, tadi malam aku tidur lebih cepat karena telah menyelesaikan beberapa bab untuk novel online-ku pada hari sebelumnya. Terlebih, belum ada proyek desain yang masuk. Jadi, minggu ini aku bisa tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi.Karena sudah bangun sepagi ini, aku berencana untuk berolahraga. Apa lagi, aku sadar jika aku tak begitu banyak bergerak ketika sedang fokus bekerja. Ini saatnya aku membiarkan tubuhku, agar tidak cepat dibilang sobat jompo.Selesai menggunakan pakaian olahraga semasa SMA – karena kebetulan aku tidak punya pakaian olahraga lain – aku pun pamit pada ibu yang terlihat sedang menyiapkan sarapan.“Kamu harus rajin-rajin olahraga, biar tubuhmu sehat! Apa lagi, kamu jarang kena sinar matahari. Cuma di dalam rumah saja,” celetuk ibu terdengar seperti para penggosip itu.Aku hanya mendengus dan berlalu dari hadapan ibu.Sebelum mulai berlari, aku melakukan pemanasan lebih da
Tepat pukul delapan, aku sudah kembali ke rumah, dan mengistirahatkan tubuhku lagi sebelum mandi. Aku memilih duduk di pekarangan sebelah kanan, yang bersebelahan dengan pagar rumah Ibu Kumala. Tempat itu tertutup dari jalanan, jadi tak akan ada yang melihatku sedang beristirahat di sana.Aku memang sengaja duduk di sana, karena aku yakin sebentar lagi Ibu Kumala akan berkumpul dengan dua penggosip lainnya di lapak Mang Al. Aku mau mendengar apa yang akan dia bahas kali ini. Dan, benar saja dugaanku.“Eh, tahu gak! Tadi pagi si Mendy joging, lho! Pakai pakaian olahraga SMA!” ucap Ibu Kumala setengah berbisik.Aku mengamati dari celah-celah pagar yang terhalang tanaman sirih. Aku bisa melihat wajah Ibu Kumala yang terkesan mengejek apa yang aku lakukan.“Eh, jinja?” celetuk Ibu Yoona dengan aksen Korea dibuat-buat.Jinja, jinja! Jijay sama kalian!“Yang benar saja, kakak ibu? Perempuan pemalas begitu juga bisa bangun pagi dan olahraga? Tumben sekali!” timpal Ibu Sharlotta Mersedes.Asta
Aku menanti dengan sabar di depan teras rumah sore harinya. Pasalnya, sesuai jadwal yang aku lihat di aplikasi belanja, hari ini pesanan laptopku akan tiba. Sengaja aku membelinya secara daring, karena setelah perhitungan panjang lebar, belanja daring lebih murah dibanding offline. Meski, agak waswas jika yang datang malah zonk. Tapi, sebelum memutuskan belanja di toko itu, aku sudah lebih dahulu melihat ulasan dari pembeli-pembeli sebelumnya. Karena tidak ada ulasan negatif, aku menjalankan niat membeli laptop di toko online itu. “Belum datang juga?” tanya ibu sambil membawa nampan berisi teh tawar panas dan pisang goreng kesukaanku. Sore-sore begini, aku dan ibu memang selalu menikmati pisang goreng dan teh tawar di teras rumah. Rasanya nikmat, apa lagi kalau tidak ada tiga Medusa itu. “Iya, Bu! Mungkin, masih dalam perjalanan. Pasti banyak yang diantar, bukan punya aku saja,” jawabku, sembari mencomot salah satu pisang goreng yang masih panas. Aku meringis karena hawa panas
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Seperti hari sebelumnya, dikarenakan jadwal tidur yang mulai membaik. Aku bersyukur, sih karena aku bisa memulai hidup sehat. Aku tidak mau bersakit-sakit di usia lanjut. Makanya, aku memutuskan untuk joging seperti hari sebelumnya. Ku lirik jarum jam di weker yang terletak di atas meja. Pukul setengah enam. “Baiklah!” seruku. Aku berencana untuk berjoging di tempat lain, bukan di lapangan dekat kompleks. Alasannya hanya satu! Aku tidak ingin bertemu Lionel! Bukan hanya Lionel saja orang yang tidak ingin kutemui, tapi juga para penggosip. Aku yakin, mereka akan menggosipkan yang tidak-tidak, jika melihatku joging lagi. Maka dari itu, selesai bersiap, aku segera keluar. Biasanya, pukul begini Ibu Kumala belum terlihat di luar rumah. Cepat-cepat aku melangkahkan kakiku, melewati rumah Ibu Kumala. Tapi, oh betapa sialnya aku! Selamat dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Entah dari mana munculnya, tiba-tiba saja Ibu Yoona sudah berada di belakan
“Kau mau tidak menjadi pacarku? Ini serius lho! Bukan sedang mengerjai dirimu atau sejenisnya. Apa kau mau?” tanya Lionel begitu entengnya, seperti dia sedang menawari jasa gali sumur padaku. “Pacar?” ulangku dengan mimik tak percaya. “Aku, menjadi pacarmu?” Kali ini mimik wajahku berubah kesal, karena merasa pria ini sedang mempermainkan diriku. Mungkin, dia sedang melakukan tantangan entah dengan siapa, di mana jika dia berhasil mengajak seorang perempuan menjadi kekasihnya maka dia yang menang. Lionel mengangguk mantap, sambil memamerkan senyum manisnya, seolah dia yakin aku pasti menerimanya. Ya, memang aku akui senyumannya begitu manis. Wajahnya juga. Hidung yang mancung, rahang tegas, alis tebal nan indah. Dia seperti pria blasteran, dengan mata berwarna cokelat yang indah. Ta – tapi, bukan itu masalahnya! Aku tidak suka dengan karakter seperti dia! Karakter pria yang ramah pada semua wanita. Aku membuang napas kasar. “Hei, bocah!” Kulihat, Lionel cukup terkejut karena
“Baiklah, aku akan ikut arisan itu!” ucapku penuh semangat pada sambungan telepon. Hari ini, sahabat masa SMA yang bernama Amelia menelepon untuk mengajakku ikut serta dalam arisan teman-teman SMA. Dengan sukacita, aku menyetujuinya agar bisa berkumpul kembali dengan teman-masa SMA, setidaknya sebulan sekali dalam arisan ini. Ya, hitung-hitung biar mewaraskan pikiranku juga, yang tiap hari dipenuhi omongan para penggosip. “Arisan?” Rupanya, ibu mendengarkan ketika aku bicara dengan Amelia. “Iya, Bu! Amelia mengajakku ikut arisan dengan teman-teman SMA. Ibu tahu Amelia, kan?” tanyaku, karena bisa saja Ibu sudah lupa wajah Amelia. Aku bisa melihat kerut di kening Ibu, karena berusaha mengingat-ingat yang mana namanya Amelia. “Itu, lho! Yang kulitnya putih karena ada turunan Jepang! Yang nama panggilan di sekolahnya Ichi!” ucapku, dan Ibu langsung menjentikkan jari. “Ah, ibu tahu! Kalau Ichi ya ibu tahu! Ternyata namanya Amelia, ya!” seru Ibu. Aku terkekeh melihat ibuku, yang
“Mendy, jangan makan yang pedas terlalu banyak. Nanti perutmu sakit, lho! Dibilangin kok susah sekali kamu, Nak!” Ibu memang akan selalu rewel, kalau menyangkut makanan pedas. Masalahnya, aku sangat menyukai makanan pedas, tapi ibu tidak mau aku sakit karena kesukaanku itu. Kalau kata ibu, aku suka sekali mencari penyakit. “Sukanya begadang, makan makanan pedas! Kamu ini, sukanya cari penyakit saja, Mendy! Buat orang tua khawatir!” Begitulah kata ibu waktu itu. Aku paham dengan kekhawatiran ibu. Soalnya, dulu sekali, aku pernah masuk rumah sakit karena penyakit lambung atau yang terkenal dengan nama ‘maag’, kumat. Kata dokter, salah satu penyebabnya karena aku sering makan makanan pedas. Belum lagi kebiasaan burukku, begadang dan minum kopi. Tapi, begitulah manusia. Semakin dilarang, malah semakin dilakukan. Rasanya hambar sekali kalau makan tak pakai sambal. Juga, hidup ini seakan tidak 'estetik' kalau belum ngopi-ngopi cantik. Makanya, aku masih setia dengan tingkah laku burukku.