Aku menguap lebar sambil menyeret langkah keluar dari OmegaMart di pinggir jalan raya, dekat dengan kompleks perumahan kami, pada sore harinya, sepulang mengambil uang dari bank. Baru saja aku membeli beberapa camilan dan pesanan ibu.
Aku memang senang membeli camilan sehat ketika menerima upah kerjaku. Dari pada membeli camilan yang membuat berat tubuhku meningkat, apalagi aku selalu begadang. Lebih baik, membeli camilan sehat untuk menunjang aktivitasku.Aku selalu menikmati perjalanan keluar rumah di sore hari, karena lingkungan kompleks sore hari cukup ramai dengan anak-anak kecil yang bermain di jalanan. Senang sekali melihat kebahagiaan mereka. Terkesan jujur menurutku. Apa lagi, aku baru selesai berkutat di depan komputer, senang rasanya melihat keceriaan seperti ini. Seakan sedang nostalgia.Kulihat, ada yang bermain sepeda, ada juga yang bermain tali. Semua dipenuhi aura keceriaan. Kecuali ....Mataku tertuju pada TTM yang sedang duduk depan rumah Ibu Yoona, sambil menikmati rujak mangga dari pohon mangga milik Ibu Sharlotta.Mereka selalu melakukan hal itu, ketika musim panen mangga tiba. Tapi, jarang sekali mereka membagikan mangga untuk ibuku, kecuali ada yang ingin mereka cari tahu. Padahal, yang aku tahu, pohon mangga itu ditanam dan dirawat oleh penghuni rumah sebelumnya, Ibu Siti. Setelah rumah dijual pada keluarga Ibu Sharlotta, pohon mangga itu menjadi milik si Ibu Sharlotta yang tinggal menikmati hasilnya. Gampang sekali, kan!Dan kini, mereka bersama sedang menikmatinya. Tak hanya TTM yang kulihat sore ini. Bahkan, si Britney yang diakui ibunya sebagai kembang kompleks, juga ada di sana, dengan celana sepaha dan kaos oblongnya. Aku merasa akan ada hal buruk terjadi jika mereka sudah berkumpul. Apa lagi kalau bukan pembahasan hangat mengenai diriku yang berada jauh di bawah anaknya. Tapi, itu menurutnya.Aku mulai menghitung dalam hati, karena sebentar lagi mereka pasti akan memanggilku untuk menanyakan apa yang aku beli. Ini saatnya aku menampar mereka dengan hasil keringatku.Satu,Dua,Tiga!“Mendy! Sini gabung!” panggil Britney yang seketika sok dekat denganku.Nah, benar kan dugaanku! Padahal, biasanya juga kami tak bertegur sapa. Membuang senyum ketika bertemu pun tidak. Aku yakin, dia hanya ingin memamerkan gajinya saja nanti. Lihat saja keangkuhannya yang sebelas dua belas dengan ibunya, si Ibu Kumala.Tapi, aku mau cerita perkara nama Britney, yang sebenarnya punya kisah tersendiri. Cukup membagongkan!Waktu itu, usiaku sudah 1 tahun ketika kami pindah ke kompleks ini. Sedangkan, Ibu Kumala sedang mengandung si Britney. Sebenarnya, almarhum suami Ibu Kumala sudah menyiapkan nama Markonah untuk anak perempuannya, tapi ketika si Ibu Kumala ini mendengar namaku adalah Mendy, di situlah dia mulai iri.“Aduh, kok namanya Mendy, sih? Padahal, mukanya enggak bule-bule sekali! Nanti kalau sudah besar, bisa-bisa diejek teman-temannya lho, Bu! Tahu kan, anak-anak!” Begitulah ucapan Ibu Kumala kala itu, sesuai yang diceritakan ibuku. Padahal sesama wanita, tapi nyinyirnya luar biasa sekali.“Enggak apa-apa, Bu! Soalnya, suami saya nge-fans sama Mandy Mur, si penyanyi internesyenel itu, makanya sengaja diberikan nama Mendy untuk anak perempuan kami,” jawab ibu kala itu.Eh, tak berapa lama setelah persalinannya Ibu Kumala, ibu mendengar jika anak Ibu Kumala diberi nama Britney. Katanya, sebelum melahirkan, dia bermimpi jika Britney Spearzz muncul di mimpinya dan menyuruh dia untuk memberi nama anaknya Britney. Karena kelak, anaknya akan menjadi penyanyi seperti si Britney.Sang suami – Pak Sonisoni Ego – tak setuju dengan nama itu. Karena beliau telah menentukan nama Markonah Sulaksmi Imlie Ego untuk putrinya, dipanggil Onah. Tapi, ibu Kumala tetap kekeuh dengan nama Britney.Jadilah, si Britney ini punya nama panjang Britney Markonah Imlie Ego, dipanggil Britney.Dua tahun kemudian, Ibu Kumala kembali mengandung anak laki-laki yang diberi nama Robert Edward Cullun Parkirson Ego, dipanggil Edi. Katanya, nenek dari neneknya Edi muncul dalam mimpi, dan menyuruh diberi nama demikian.Tiga tahun kemudian, mereka kembali dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Harry Stylus Ego, dipanggil Heri.Kan, sudah kubilang! Sungguh membagongkan!Tiga tahun setelah kelahiran Heri, sang suami meninggal karena serangan jantung. Dari kabar burung yang beredar, si suami sakit karena perkataan-perkataan nyelekit Ibu Kumala, yang mengakibatkan almarhum ditumpuk banyak beban pikiran. Entahlah, kami tak mau berspekulasi yang tidak-tidak. Kami hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk almarhum.Setelah kepergian sang suami, Ibu Kumala hidup dari gaji pensiun sang suami. Tapi, sikapnya belum juga berubah. Kedengkian masih menjadi karakter utama si Ibu Kumala ini. Terlebih, ketika Britney diterima kerja sebagai asisten manajer di restoran KangPeci. Semakin angkuh ibu dan anak itu. Seperti yang terjadi saat ini ....Aku sudah berdiri di hadapan TTM dan Britney. Entah kenapa, aku merasa sedang berada di ruang pengadilan, dan siap dihakimi.“Dari mana, Mendy?” tanya Ibu Sharlotta membuka pembicaraan, padahal jelas-jelas dia sudah melihatku memegang kantong keresek dari OmegaMart.“OmegaMart, Bu! Habis belanja!” sahutku dengan senyuman cerah ceria. Dan senyumanku pasti membuat mereka dongkol.“Oh, kamu disuruh Bu Ida belanja, ya? Gitu, dong! Jangan cuma nyuruh ibu kamu aja! Kamu sebagai anak yang harusnya belanja, apa lagi ibu kamu udah keluarin duit buat kamu!” timpal Ibu Yoona, seakan aku tak punya uang untuk belanja sendiri. Dengar saja ceramahnya. Atau kusebut tuduhannya!“Enggak, Bu! Ini saya beli pakai gaji saya, kok! Saya juga beli buat ibu!” jawabku tetap ramah.Seketika, kudengar Britney tertawa, tapi dia menyembunyikan tawanya di belakang tubuh tambun ibunya.“Duh, kamu kalau ngelawak bisa juga, ya! Kerja apa memangnya? Bukannya setiap hari kamu mengurung diri di kamar saja? Kan enggak mungkin, cuma tidur-tidur, duit jatuh dari langit! Kalau seperti itu, saya juga mau, dong!” celetuk Ibu Kumala sambil terkekeh.Aku menarik napas panjang, dan mengembuskannya.“Iya, Bu! Saya memang di rumah saja, tapi saya kerja! Saya menulis novel online! Terus, saya juga membuka jasa membuat desain logo!” jawabku dengan nada cukup tinggi.Aku bisa melihat perubahan di wajah para Medusa itu, apalagi Britney. Aku pikir, mereka pasti terkejut dan mulai mengakuiku. Tapi, rupanya aku salah.“Oh, cuma menulis online! Aku pikir sudah punya buku yang diterbitkan!” Terdengar seperti ejekan sekali perkataan Ibu Yoona ini.“Iya, lagi pula kalau mendesain begitu, kecuali ada yang mesen dulu, kan!” timpal Britney dengan kening berkerut. Tapi, nada suaranya seakan dia meremehkan pekerjaanku.Aku tak menjawab, karena kenyataannya memang demikian. Tapi, yang tidak mereka tahu, sekali mendesain hasilnya bisa sama dengan si Britney yang bekerja dua bulan. Namun, aku tetap diam. Karena aku pikir, percuma saja aku menjawab. Toh, mereka punya 1001 balasan untukku.“Mendy, sebagai teman kamu, aku saranin kamu cari kerja yang pasti saja, deh! Atau, kalau kamu mau, di restoranku dibuka lowongan untuk kru restoran! Aku bisa bantu kamu untuk kerja di sana, meski jadi bawahanku, sih! Tapi, kan enggak masalah, asalkan kamu ada kerjaan!”Aku bisa melihat jelas senyum penuh ejekan yang ditunjukkan Britney. Tapi, bukan aku jika tak bisa membalasnya.“Saya dengar, gaji kamu 4 juta, ya?” tanyaku.Britney mengangguk dengan mantap, dan penuh kebanggaan."Kalau kamu jadi kru di restoran, gaji kamu dua juta! Lumayan loh, dari pada nunggu hasil dari desain yang enggak seberapa!" balas Britney sok tahu.Aku memamerkan senyum, hingga mataku menyipit.“Kalau kamu mau jadi tukang pel untuk kamar saya, saya bisa gaji kamu 6 juta! Gimana? Mau, enggak?”Seketika, wajah Britney memerah begitu juga Ibu Kumala. Berbeda dengan Ibu Sharlotta dan Ibu Yoona yang menahan senyum mereka. Lihatlah, mereka bahkan menertawai teman mereka, meski sembunyi-sembunyi.“KURANG AJAR! KAMU PIKIR BRITNEY ITU BABU!” Ibu Kumala berkacak pinggang dengan mata melotot ke arahku.Aku hanya mengedikkan bahu. “Ya, dia kan nawarin saya! Saya cuma memberikan penawaran lain yang lebih menarik!” sahutku enteng, lantas berlalu dari hadapan mereka.Aku hanya mendengar omelan panjang Ibu Kumala di belakangku, begitu juga Britney.Mampus, deh! Aku tidak seperti ibu yang hanya tersenyum atau diam menanggapi! Aku – Mendy – punya cara tersendiri melawan mulut tak bersekolah milik para Medusa itu!***Hari ini aku bangun lebih pagi, tepatnya di pukul 06.00. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, tadi malam aku tidur lebih cepat karena telah menyelesaikan beberapa bab untuk novel online-ku pada hari sebelumnya. Terlebih, belum ada proyek desain yang masuk. Jadi, minggu ini aku bisa tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi.Karena sudah bangun sepagi ini, aku berencana untuk berolahraga. Apa lagi, aku sadar jika aku tak begitu banyak bergerak ketika sedang fokus bekerja. Ini saatnya aku membiarkan tubuhku, agar tidak cepat dibilang sobat jompo.Selesai menggunakan pakaian olahraga semasa SMA – karena kebetulan aku tidak punya pakaian olahraga lain – aku pun pamit pada ibu yang terlihat sedang menyiapkan sarapan.“Kamu harus rajin-rajin olahraga, biar tubuhmu sehat! Apa lagi, kamu jarang kena sinar matahari. Cuma di dalam rumah saja,” celetuk ibu terdengar seperti para penggosip itu.Aku hanya mendengus dan berlalu dari hadapan ibu.Sebelum mulai berlari, aku melakukan pemanasan lebih da
Tepat pukul delapan, aku sudah kembali ke rumah, dan mengistirahatkan tubuhku lagi sebelum mandi. Aku memilih duduk di pekarangan sebelah kanan, yang bersebelahan dengan pagar rumah Ibu Kumala. Tempat itu tertutup dari jalanan, jadi tak akan ada yang melihatku sedang beristirahat di sana.Aku memang sengaja duduk di sana, karena aku yakin sebentar lagi Ibu Kumala akan berkumpul dengan dua penggosip lainnya di lapak Mang Al. Aku mau mendengar apa yang akan dia bahas kali ini. Dan, benar saja dugaanku.“Eh, tahu gak! Tadi pagi si Mendy joging, lho! Pakai pakaian olahraga SMA!” ucap Ibu Kumala setengah berbisik.Aku mengamati dari celah-celah pagar yang terhalang tanaman sirih. Aku bisa melihat wajah Ibu Kumala yang terkesan mengejek apa yang aku lakukan.“Eh, jinja?” celetuk Ibu Yoona dengan aksen Korea dibuat-buat.Jinja, jinja! Jijay sama kalian!“Yang benar saja, kakak ibu? Perempuan pemalas begitu juga bisa bangun pagi dan olahraga? Tumben sekali!” timpal Ibu Sharlotta Mersedes.Asta
Aku menanti dengan sabar di depan teras rumah sore harinya. Pasalnya, sesuai jadwal yang aku lihat di aplikasi belanja, hari ini pesanan laptopku akan tiba. Sengaja aku membelinya secara daring, karena setelah perhitungan panjang lebar, belanja daring lebih murah dibanding offline. Meski, agak waswas jika yang datang malah zonk. Tapi, sebelum memutuskan belanja di toko itu, aku sudah lebih dahulu melihat ulasan dari pembeli-pembeli sebelumnya. Karena tidak ada ulasan negatif, aku menjalankan niat membeli laptop di toko online itu. “Belum datang juga?” tanya ibu sambil membawa nampan berisi teh tawar panas dan pisang goreng kesukaanku. Sore-sore begini, aku dan ibu memang selalu menikmati pisang goreng dan teh tawar di teras rumah. Rasanya nikmat, apa lagi kalau tidak ada tiga Medusa itu. “Iya, Bu! Mungkin, masih dalam perjalanan. Pasti banyak yang diantar, bukan punya aku saja,” jawabku, sembari mencomot salah satu pisang goreng yang masih panas. Aku meringis karena hawa panas
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Seperti hari sebelumnya, dikarenakan jadwal tidur yang mulai membaik. Aku bersyukur, sih karena aku bisa memulai hidup sehat. Aku tidak mau bersakit-sakit di usia lanjut. Makanya, aku memutuskan untuk joging seperti hari sebelumnya. Ku lirik jarum jam di weker yang terletak di atas meja. Pukul setengah enam. “Baiklah!” seruku. Aku berencana untuk berjoging di tempat lain, bukan di lapangan dekat kompleks. Alasannya hanya satu! Aku tidak ingin bertemu Lionel! Bukan hanya Lionel saja orang yang tidak ingin kutemui, tapi juga para penggosip. Aku yakin, mereka akan menggosipkan yang tidak-tidak, jika melihatku joging lagi. Maka dari itu, selesai bersiap, aku segera keluar. Biasanya, pukul begini Ibu Kumala belum terlihat di luar rumah. Cepat-cepat aku melangkahkan kakiku, melewati rumah Ibu Kumala. Tapi, oh betapa sialnya aku! Selamat dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Entah dari mana munculnya, tiba-tiba saja Ibu Yoona sudah berada di belakan
“Kau mau tidak menjadi pacarku? Ini serius lho! Bukan sedang mengerjai dirimu atau sejenisnya. Apa kau mau?” tanya Lionel begitu entengnya, seperti dia sedang menawari jasa gali sumur padaku. “Pacar?” ulangku dengan mimik tak percaya. “Aku, menjadi pacarmu?” Kali ini mimik wajahku berubah kesal, karena merasa pria ini sedang mempermainkan diriku. Mungkin, dia sedang melakukan tantangan entah dengan siapa, di mana jika dia berhasil mengajak seorang perempuan menjadi kekasihnya maka dia yang menang. Lionel mengangguk mantap, sambil memamerkan senyum manisnya, seolah dia yakin aku pasti menerimanya. Ya, memang aku akui senyumannya begitu manis. Wajahnya juga. Hidung yang mancung, rahang tegas, alis tebal nan indah. Dia seperti pria blasteran, dengan mata berwarna cokelat yang indah. Ta – tapi, bukan itu masalahnya! Aku tidak suka dengan karakter seperti dia! Karakter pria yang ramah pada semua wanita. Aku membuang napas kasar. “Hei, bocah!” Kulihat, Lionel cukup terkejut karena
“Baiklah, aku akan ikut arisan itu!” ucapku penuh semangat pada sambungan telepon. Hari ini, sahabat masa SMA yang bernama Amelia menelepon untuk mengajakku ikut serta dalam arisan teman-teman SMA. Dengan sukacita, aku menyetujuinya agar bisa berkumpul kembali dengan teman-masa SMA, setidaknya sebulan sekali dalam arisan ini. Ya, hitung-hitung biar mewaraskan pikiranku juga, yang tiap hari dipenuhi omongan para penggosip. “Arisan?” Rupanya, ibu mendengarkan ketika aku bicara dengan Amelia. “Iya, Bu! Amelia mengajakku ikut arisan dengan teman-teman SMA. Ibu tahu Amelia, kan?” tanyaku, karena bisa saja Ibu sudah lupa wajah Amelia. Aku bisa melihat kerut di kening Ibu, karena berusaha mengingat-ingat yang mana namanya Amelia. “Itu, lho! Yang kulitnya putih karena ada turunan Jepang! Yang nama panggilan di sekolahnya Ichi!” ucapku, dan Ibu langsung menjentikkan jari. “Ah, ibu tahu! Kalau Ichi ya ibu tahu! Ternyata namanya Amelia, ya!” seru Ibu. Aku terkekeh melihat ibuku, yang
“Mendy, jangan makan yang pedas terlalu banyak. Nanti perutmu sakit, lho! Dibilangin kok susah sekali kamu, Nak!” Ibu memang akan selalu rewel, kalau menyangkut makanan pedas. Masalahnya, aku sangat menyukai makanan pedas, tapi ibu tidak mau aku sakit karena kesukaanku itu. Kalau kata ibu, aku suka sekali mencari penyakit. “Sukanya begadang, makan makanan pedas! Kamu ini, sukanya cari penyakit saja, Mendy! Buat orang tua khawatir!” Begitulah kata ibu waktu itu. Aku paham dengan kekhawatiran ibu. Soalnya, dulu sekali, aku pernah masuk rumah sakit karena penyakit lambung atau yang terkenal dengan nama ‘maag’, kumat. Kata dokter, salah satu penyebabnya karena aku sering makan makanan pedas. Belum lagi kebiasaan burukku, begadang dan minum kopi. Tapi, begitulah manusia. Semakin dilarang, malah semakin dilakukan. Rasanya hambar sekali kalau makan tak pakai sambal. Juga, hidup ini seakan tidak 'estetik' kalau belum ngopi-ngopi cantik. Makanya, aku masih setia dengan tingkah laku burukku.
Seperti yang sudah aku katakan, kalau aku akan berjoging di sore hari. Jadi, tepat pukul 15.00, aku sudah melakukan pemanasan.Kali ini, aku mengenakan pakaian olahraga yang siang tadi kubeli di pasar. Dari pada aku dibilang sengaja menggunakan pakaian olahraga anak SMA, demi memancing pria-pria muda.Agak kesal juga, punya tetangga kok sukanya ghibah. Tapi, mau dikata apa. Mulut kan mulut mereka. Dibungkam berapa kali pun, toh kebiasaan mereka tak juga hilang.Ah, dari pada memikirkan mereka, mending aku langsung ke lapangan kompleks buat joging. Kali ini, aku yakin bisa berjoging dengan damai, karena tak ada si penguntit – Lionel.Tiba di lapangan kompleks, aku mengamati sekeliling, memastikan situasi benar-benar aman. Ok, tak ada tanda-tanda Lionel. Lagi pula, kalau tiba-tiba dia muncul sore begini, bukankah sangat aneh? Segera aku memasang earphone, dan mulai aktivitas olahragaku. Tiga putaran, cukuplah! Tapi, belum juga satu putaran, aku melihat sosok yang sejak tadi beru