“Duh, kalau anak saya mah pagi gini sudah bangun, sudah rapi dan langsung pergi kerja! Kok anaknya Bu Ida betah molor sampai siang gini, ya? Pantes aja, lho, rezekinya dipatok ayam! Lagi pula, Bu Ida terlalu manjain anak ibu, deh, mentang-mentang anak gadis satu-satunya!”
“Iya, bener! Terus, nih, Bu ... Kalau ibu enggak ajarin dia bangun pagi dan ngurusin rumah, bakal susah dapet suami, lho! Emang mau anaknya jadi perawan tua?!”“Iya, betul ibu! Saya punya anak saja, si Maria Mersedes itu – baru SMP, tapi yang antre mau lamar dia sudah 5 orang! Dia itu saya sudah ajar kerja rumah tangga dari SD! Saya curiga, anak ibu jomblo salah satunya karena itu, MALAS?!”Sindiran demi sindiran terdengar dari balik kaca jendela kamarku, yang berbatasan dengan pagar rumah. Dan di depan pagar rumah itulah, para ibu-ibu kompleks sering berdiri untuk belanja sayuran di pagi hari, sambil bergosip tentunya.Tiada hari tanpa gosip atau nyinyirin orang lain. Bahkan, kalau disuruh memilih masak dulu atau gosip, mereka lebih mendahulukan gosip. Pekerjaan rumah tangga boleh ditunda, tapi gosip jangan terlewat. Katanya, kalau sudah lewat, bakal jadi dingin! Enggak hangat lagi!Sebenarnya, sindiran ibu-ibu itu tak benar. Karena, aku sudah bangun sejak pukul 08.00, ketika cahaya matahari sudah memasuki celah-celah kain gorden di dalam kamar. Susah payah aku membuka mata, karena semalam aku terpaksa begadang demi menyelesaikan desain logo pesanan klien. Belum lagi, aku harus meng-update bab baru untuk novel online yang aku tulis.Tapi, kepalaku rasanya mau pecah, karena begadang dan terlalu lama menatap layar komputer, sehingga aku memilih untuk merebahkan diri di kamar dan tak sadar jika waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Waktu di mana ibu-ibu kompleks akan berkumpul untuk belanja dan bergosip.Biasanya, ibuku yang ketiban sial harus mendengarkan semua ocehan mereka tentang diriku – yang dibandingkan dengan anak-anak mereka. Ibu yang karakternya pendiam, sering kali hanya tersenyum. Ibu tak pernah repot-repot menjelaskan, apa yang aku kerjakan, atau alasan kenapa aku belum bangun hingga pukul 09.00 pagi. Contohnya, seperti pagi ini, ketika mereka mulai berkotek tentang diriku.“Bu, mending si Mendy disuruh kawin saja, Bu! Biar bisa belajar mandiri dan ngurusin rumah tangga, belajar bangun pagi!” celoteh Ibu Kumala. Dari suaranya yang cempreng, aku sudah tahu itu si Ibu Kumala, pemilik rumah di sebelah rumah kami. Maklum saja, kami tinggal di perumahan model couple. Dan sialnya, rumah kami bergandengan dengan rumah Ibu Kumala ini.“Mendy belum mau nikah, Bu. Katanya dia masih mau mengejar karier dulu.” Kudengar ibu menjawab dengan santun dan lembut seperti biasa, malah membuatku geregetan. Kalau aku jadi ibu, sudah kusemproti mereka dengan uang yang aku perolehi dari hasil mendesain dan menulis novel. Belum tahu saja, hasilnya dolar, Buk!“Karier? Memangnya si Mendy punya karier apa, Bu? Karier molor sampai siang?”Gelak tawa ibu-ibu durjana itu kembali terdengar. Hina sekali mereka menilai diriku. Untung saja, ibu orang yang sabar menghadapi mereka, dan selalu mewanti-wanti diriku agar tak perlu menggubris mereka. Tak tahu saja mereka, aku yang kesabarannya setipis tisu toilet ini, bisa membalas ucapan mereka lebih pedas dari Carolina Reaper – cabai terpedis di dunia.“Kalau begitu saya pamit ya, Bu-ibu! Saya sudah selesai belanja,” ucap ibuku. “Mari Mang Al!”“Iya, Bu! Terima kasih selalu belanja dari gerobak saya,” sahut Mang Al dengan nada ceria seperti biasa.Aku melirik dari balik tirai jendela. Seperti biasa, ketiga tukang gosip tenar seantero kompleks, yang aku juluki TTM – ‘Tiga Tetangga Medusa’ itu tampak berdiri di depan gerobak sayur Mang Al.Dandanan mereka sungguh menor, hanya untuk berbelanja sayur. Yang aku tahu, Ibu Kumala – si wanita tambun – janda tiga anak – yang selalu mengakui dirinya punya hubungan kerabat jauh dengan artis Syahrimi, naksir brutal dengan Mang Alfred yang senang dipanggil Al. Kata Mang Al, biar mirip dengan Pak Al Berdebar-debar, di sinetron horor berjudul Ikatan Batin.Alasan itu lah yang membuat Ibu Kumala selalu berdandan demi menarik perhatian Mang Al. Selain itu, biar dia diberi potongan harga. Kalau dua ibu lainnya, hanya ikut-ikutan. Katanya biar para suami tidak melirik yang lain.Yang kedua, namanya Ibu Sharlotta Mersedes, berbadan kurus dengan kulit sedikit gelap, rambut bergelombang merah manyala, dan selalu menyamakan dirinya dengan penyanyi Beyonsi, dari segi kulit dan suara. Bahkan, karena ingin menunjukkan kesamaan itu, sering sekali si Ibu Sharlotta yang rumahnya berhadapan dengan rumah Ibu Kumala ini, menyanyikan lagu Beyonsi yang berjudul ‘Dengerin Bae’!Ibu Yoona yang ketiga. Rumahnya di samping Ibu Sharlotta. Sebenarnya, namanya bukan Yoona, tapi karena dia memproklamasikan dirinya sebagai pencinta drama Korea garis keras. Jadi, dia mengganti panggilan namanya dari Juminten menjadi Yoona.Si Ibu Yoona ini rambutnya keriting sebahu, berwarna agak kecokelatan. Ketika mendekati tahun baru, rambutnya berubah jadi lurus seperti model-model iklan sampo, dengan bau makaraizo yang begitu menusuk hidung. Padahal, jujur saja rambutnya punya ciri khas tersendiri.Aku mulai mengamati ketiga ibu itu. Bahkan, dari tatapan mereka pada punggung ibuku saja, terasa penuh aura sindiran dan ejekan.“Aku ya, kalau anakku seperti si Mendy itu, sudah kutendang dari rumah! Kucoret sekalian dari kartu keluarga! Bisanya cuma nyusahin aja!” Mulai lagi si Ibu Kumala – yang kebetulan anaknya seusiaku – berceloteh.“Bener tuh, Bu! Aku juga selalu bilang ke anakku – Hye Kyo, biar enggak jadi kayak si Mendy itu! Amit-amit, deh!” timpal Ibu Yoona sambil membuat gestur seolah-olah dia geli membicarakan diriku. Padahal, anaknya baru 9 bulan, mana paham ucapannya. Ngomong-ngomong, jangan kaget dengan nama anaknya Ibu Yoona, ya!“Kalau saya punya anak begitu, saya sudah lelang dia di media sosial, biar dibeli sama om-om kaya! Saya dapat uangnya, si beban hidup pergi dengan om-om kaya!” Ibu Sharlotta tak mau tinggal diam. Dengan gaya ketimuran, dia ikut membicarakanku.Aku kesal bukan main! Enak saja perkataan mereka tentangku! Padahal, mereka tak tahu apa yang aku kerjakan setiap hari! Apa menurut mereka, orang yang bekerja hanya dikatakan bekerja jika dia keluar rumah? Apa mereka tak mengerti zaman sekarang ada istilahnya bekerja dari rumah atau WFH?Gegas kakiku melangkah keluar kamar, berencana membungkam TTM itu dengan transferan dari klien sebesar $600, yang baru saja muncul di layar ponsel. Tapi, kakiku belum tiba di depan pintu keluar, ibu sudah menghadangku.“Mau ke mana?” tanya Ibu dengan nada lembut, tapi tatapannya seolah mengatakan padaku untuk tidak berbuat aneh-aneh.“Mau beli kerupuk di Mang Al!” sahutku ketus.Ibu menadah tangannya di hadapanku. “Sini, berikan ke ibu saja! Biar ibu belikan!”“Enggak usah, Bu! Aku bisa beli sendiri! Nanti aku dibilang tahunya cuma merintah ibu saja!”“Enggak! Ibu tahu, kamu cuma mau ngejawab bacotan ibu-ibu itu, kan! Ibu enggak mau kamu ladeni mereka! Biarkan saja mereka ngomong sampai mulutnya berbusa, tapi kamu kan enggak seperti kata-kata mereka!” ceramah ibu panjang lebar.Aku hanya mendengus dan menyerahkan uang lima ribuan pada ibu, yang langsung keluar dari rumah untuk membeli kerupuk kesukaanku, kerupuk udang. Tapi, aku tak langsung ke kamar. Aku mengintip dari balik pintu, mendengar apa lagi yang mau mereka katakan tentang diriku.“Lho, ada yang kelupaan Bu Ida?” Kudengar Ibu Kumala, si pencetus geng penggosip itu mulai bertanya. Seperti biasa, dia yang akan menjadi jubir pembuka, sekaligus kompor 32 sumbu bagi ibu-ibu lainnya.“Iya, Bu! Si Mendy minta dibelikan kerupuk udang kesukaannya,” jawab ibuku enteng.Aku yakin, setelah ini para Medusa itu akan menghujatku, dan benar saja.“Duh, aduh! Beneran beban keluarga, ya! Malah ibunya diperintah buat beliin kerupuk!” sindir Ibu Kumala, ketika kulihat ibuku sudah meninggalkan mereka.Argh, sialan! Benar dugaanku, kan! Huh! Tunggu saja kalian! Suatu saat aku akan membungkam mulut kalian semua!***Yuhuu, yang baru mampir, jangan lupa like dan komentarnya biar daku semangat menulis terus, gitu!
Aku baru saja selesai mandi, dan mulai duduk di meja makan. Seperti biasa, aku akan menikmati sarapan dengan ibu.Meski sudah agak terlambat, ibu selalu menungguku. Padahal, sering kali aku meminta ibu untuk sarapan lebih dahulu, mencegah ibu dari sakit akibat terlambat sarapan.Ngomong-ngomong, di rumah ini memang hanya ada aku dan ibu. Ayahku bertugas di kota lain, karena beliau adalah seorang tentara. Tapi, ayah tidak sendirian. Ayah bersama kakak laki-lakiku – Andi, yang bekerja sebagai PNS di salah satu kantor pemerintahan.Ibu memilih untuk tinggal di rumah bersamaku, karena ibu memiliki usaha butik di Surabaya, yang tak bisa ditinggalkan. Tapi, meski begitu, kami sering mengunjungi ayah dan kakak, atau sebaliknya. Namun, aku senang karena tahun depan ayah sudah pensiun, artinya ayah akan berkumpul dengan kami di rumah.Selain kakak laki-laki, aku juga memiliki adik laki-laki – Roy – yang saat ini sedang mengambil kuliah di luar negeri. Roy adalah anak yang cerdas, sehingga dia m
Aku menguap lebar sambil menyeret langkah keluar dari OmegaMart di pinggir jalan raya, dekat dengan kompleks perumahan kami, pada sore harinya, sepulang mengambil uang dari bank. Baru saja aku membeli beberapa camilan dan pesanan ibu. Aku memang senang membeli camilan sehat ketika menerima upah kerjaku. Dari pada membeli camilan yang membuat berat tubuhku meningkat, apalagi aku selalu begadang. Lebih baik, membeli camilan sehat untuk menunjang aktivitasku.Aku selalu menikmati perjalanan keluar rumah di sore hari, karena lingkungan kompleks sore hari cukup ramai dengan anak-anak kecil yang bermain di jalanan. Senang sekali melihat kebahagiaan mereka. Terkesan jujur menurutku. Apa lagi, aku baru selesai berkutat di depan komputer, senang rasanya melihat keceriaan seperti ini. Seakan sedang nostalgia.Kulihat, ada yang bermain sepeda, ada juga yang bermain tali. Semua dipenuhi aura keceriaan. Kecuali ....Mataku tertuju pada TTM yang sedang duduk depan rumah Ibu Yoona, sambil menikmati
Hari ini aku bangun lebih pagi, tepatnya di pukul 06.00. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, tadi malam aku tidur lebih cepat karena telah menyelesaikan beberapa bab untuk novel online-ku pada hari sebelumnya. Terlebih, belum ada proyek desain yang masuk. Jadi, minggu ini aku bisa tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi.Karena sudah bangun sepagi ini, aku berencana untuk berolahraga. Apa lagi, aku sadar jika aku tak begitu banyak bergerak ketika sedang fokus bekerja. Ini saatnya aku membiarkan tubuhku, agar tidak cepat dibilang sobat jompo.Selesai menggunakan pakaian olahraga semasa SMA – karena kebetulan aku tidak punya pakaian olahraga lain – aku pun pamit pada ibu yang terlihat sedang menyiapkan sarapan.“Kamu harus rajin-rajin olahraga, biar tubuhmu sehat! Apa lagi, kamu jarang kena sinar matahari. Cuma di dalam rumah saja,” celetuk ibu terdengar seperti para penggosip itu.Aku hanya mendengus dan berlalu dari hadapan ibu.Sebelum mulai berlari, aku melakukan pemanasan lebih da
Tepat pukul delapan, aku sudah kembali ke rumah, dan mengistirahatkan tubuhku lagi sebelum mandi. Aku memilih duduk di pekarangan sebelah kanan, yang bersebelahan dengan pagar rumah Ibu Kumala. Tempat itu tertutup dari jalanan, jadi tak akan ada yang melihatku sedang beristirahat di sana.Aku memang sengaja duduk di sana, karena aku yakin sebentar lagi Ibu Kumala akan berkumpul dengan dua penggosip lainnya di lapak Mang Al. Aku mau mendengar apa yang akan dia bahas kali ini. Dan, benar saja dugaanku.“Eh, tahu gak! Tadi pagi si Mendy joging, lho! Pakai pakaian olahraga SMA!” ucap Ibu Kumala setengah berbisik.Aku mengamati dari celah-celah pagar yang terhalang tanaman sirih. Aku bisa melihat wajah Ibu Kumala yang terkesan mengejek apa yang aku lakukan.“Eh, jinja?” celetuk Ibu Yoona dengan aksen Korea dibuat-buat.Jinja, jinja! Jijay sama kalian!“Yang benar saja, kakak ibu? Perempuan pemalas begitu juga bisa bangun pagi dan olahraga? Tumben sekali!” timpal Ibu Sharlotta Mersedes.Asta
Aku menanti dengan sabar di depan teras rumah sore harinya. Pasalnya, sesuai jadwal yang aku lihat di aplikasi belanja, hari ini pesanan laptopku akan tiba. Sengaja aku membelinya secara daring, karena setelah perhitungan panjang lebar, belanja daring lebih murah dibanding offline. Meski, agak waswas jika yang datang malah zonk. Tapi, sebelum memutuskan belanja di toko itu, aku sudah lebih dahulu melihat ulasan dari pembeli-pembeli sebelumnya. Karena tidak ada ulasan negatif, aku menjalankan niat membeli laptop di toko online itu. “Belum datang juga?” tanya ibu sambil membawa nampan berisi teh tawar panas dan pisang goreng kesukaanku. Sore-sore begini, aku dan ibu memang selalu menikmati pisang goreng dan teh tawar di teras rumah. Rasanya nikmat, apa lagi kalau tidak ada tiga Medusa itu. “Iya, Bu! Mungkin, masih dalam perjalanan. Pasti banyak yang diantar, bukan punya aku saja,” jawabku, sembari mencomot salah satu pisang goreng yang masih panas. Aku meringis karena hawa panas
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Seperti hari sebelumnya, dikarenakan jadwal tidur yang mulai membaik. Aku bersyukur, sih karena aku bisa memulai hidup sehat. Aku tidak mau bersakit-sakit di usia lanjut. Makanya, aku memutuskan untuk joging seperti hari sebelumnya. Ku lirik jarum jam di weker yang terletak di atas meja. Pukul setengah enam. “Baiklah!” seruku. Aku berencana untuk berjoging di tempat lain, bukan di lapangan dekat kompleks. Alasannya hanya satu! Aku tidak ingin bertemu Lionel! Bukan hanya Lionel saja orang yang tidak ingin kutemui, tapi juga para penggosip. Aku yakin, mereka akan menggosipkan yang tidak-tidak, jika melihatku joging lagi. Maka dari itu, selesai bersiap, aku segera keluar. Biasanya, pukul begini Ibu Kumala belum terlihat di luar rumah. Cepat-cepat aku melangkahkan kakiku, melewati rumah Ibu Kumala. Tapi, oh betapa sialnya aku! Selamat dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Entah dari mana munculnya, tiba-tiba saja Ibu Yoona sudah berada di belakan
“Kau mau tidak menjadi pacarku? Ini serius lho! Bukan sedang mengerjai dirimu atau sejenisnya. Apa kau mau?” tanya Lionel begitu entengnya, seperti dia sedang menawari jasa gali sumur padaku. “Pacar?” ulangku dengan mimik tak percaya. “Aku, menjadi pacarmu?” Kali ini mimik wajahku berubah kesal, karena merasa pria ini sedang mempermainkan diriku. Mungkin, dia sedang melakukan tantangan entah dengan siapa, di mana jika dia berhasil mengajak seorang perempuan menjadi kekasihnya maka dia yang menang. Lionel mengangguk mantap, sambil memamerkan senyum manisnya, seolah dia yakin aku pasti menerimanya. Ya, memang aku akui senyumannya begitu manis. Wajahnya juga. Hidung yang mancung, rahang tegas, alis tebal nan indah. Dia seperti pria blasteran, dengan mata berwarna cokelat yang indah. Ta – tapi, bukan itu masalahnya! Aku tidak suka dengan karakter seperti dia! Karakter pria yang ramah pada semua wanita. Aku membuang napas kasar. “Hei, bocah!” Kulihat, Lionel cukup terkejut karena
“Baiklah, aku akan ikut arisan itu!” ucapku penuh semangat pada sambungan telepon. Hari ini, sahabat masa SMA yang bernama Amelia menelepon untuk mengajakku ikut serta dalam arisan teman-teman SMA. Dengan sukacita, aku menyetujuinya agar bisa berkumpul kembali dengan teman-masa SMA, setidaknya sebulan sekali dalam arisan ini. Ya, hitung-hitung biar mewaraskan pikiranku juga, yang tiap hari dipenuhi omongan para penggosip. “Arisan?” Rupanya, ibu mendengarkan ketika aku bicara dengan Amelia. “Iya, Bu! Amelia mengajakku ikut arisan dengan teman-teman SMA. Ibu tahu Amelia, kan?” tanyaku, karena bisa saja Ibu sudah lupa wajah Amelia. Aku bisa melihat kerut di kening Ibu, karena berusaha mengingat-ingat yang mana namanya Amelia. “Itu, lho! Yang kulitnya putih karena ada turunan Jepang! Yang nama panggilan di sekolahnya Ichi!” ucapku, dan Ibu langsung menjentikkan jari. “Ah, ibu tahu! Kalau Ichi ya ibu tahu! Ternyata namanya Amelia, ya!” seru Ibu. Aku terkekeh melihat ibuku, yang