Share

Di Gosip Para Tetangga, Namaku Disebut
Di Gosip Para Tetangga, Namaku Disebut
Penulis: penuliskacangan

Bab 1. Gosip di Pagi Hari

“Duh, kalau anak saya mah pagi gini sudah bangun, sudah rapi dan langsung pergi kerja! Kok anaknya Bu Ida betah molor sampai siang gini, ya? Pantes aja, lho, rezekinya dipatok ayam! Lagi pula, Bu Ida terlalu manjain anak ibu, deh, mentang-mentang anak gadis satu-satunya!”

“Iya, bener! Terus, nih, Bu ... Kalau ibu enggak ajarin dia bangun pagi dan ngurusin rumah, bakal susah dapet suami, lho! Emang mau anaknya jadi perawan tua?!”

“Iya, betul ibu! Saya punya anak saja, si Maria Mersedes itu – baru SMP, tapi yang antre mau lamar dia sudah 5 orang! Dia itu saya sudah ajar kerja rumah tangga dari SD! Saya curiga, anak ibu jomblo salah satunya karena itu, MALAS?!”

Sindiran demi sindiran terdengar dari balik kaca jendela kamarku, yang berbatasan dengan pagar rumah. Dan di depan pagar rumah itulah, para ibu-ibu kompleks sering berdiri untuk belanja sayuran di pagi hari, sambil bergosip tentunya.

Tiada hari tanpa gosip atau nyinyirin orang lain. Bahkan, kalau disuruh memilih masak dulu atau gosip, mereka lebih mendahulukan gosip. Pekerjaan rumah tangga boleh ditunda, tapi gosip jangan terlewat. Katanya, kalau sudah lewat, bakal jadi dingin! Enggak hangat lagi!

Sebenarnya, sindiran ibu-ibu itu tak benar. Karena, aku sudah bangun sejak pukul 08.00, ketika cahaya matahari sudah memasuki celah-celah kain gorden di dalam kamar. Susah payah aku membuka mata, karena semalam aku terpaksa begadang demi menyelesaikan desain logo pesanan klien. Belum lagi, aku harus meng-update bab baru untuk novel online yang aku tulis.

Tapi, kepalaku rasanya mau pecah, karena begadang dan terlalu lama menatap layar komputer, sehingga aku memilih untuk merebahkan diri di kamar dan tak sadar jika waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Waktu di mana ibu-ibu kompleks akan berkumpul untuk belanja dan bergosip.

Biasanya, ibuku yang ketiban sial harus mendengarkan semua ocehan mereka tentang diriku – yang dibandingkan dengan anak-anak mereka. Ibu yang karakternya pendiam, sering kali hanya tersenyum. Ibu tak pernah repot-repot menjelaskan, apa yang aku kerjakan, atau alasan kenapa aku belum bangun hingga pukul 09.00 pagi. Contohnya, seperti pagi ini, ketika mereka mulai berkotek tentang diriku.

“Bu, mending si Mendy disuruh kawin saja, Bu! Biar bisa belajar mandiri dan ngurusin rumah tangga, belajar bangun pagi!” celoteh Ibu Kumala. Dari suaranya yang cempreng, aku sudah tahu itu si Ibu Kumala, pemilik rumah di sebelah rumah kami. Maklum saja, kami tinggal di perumahan model couple. Dan sialnya, rumah kami bergandengan dengan rumah Ibu Kumala ini.

“Mendy belum mau nikah, Bu. Katanya dia masih mau mengejar karier dulu.” Kudengar ibu menjawab dengan santun dan lembut seperti biasa, malah membuatku geregetan. Kalau aku jadi ibu, sudah kusemproti mereka dengan uang yang aku perolehi dari hasil mendesain dan menulis novel. Belum tahu saja, hasilnya dolar, Buk!

“Karier? Memangnya si Mendy punya karier apa, Bu? Karier molor sampai siang?”

Gelak tawa ibu-ibu durjana itu kembali terdengar. Hina sekali mereka menilai diriku. Untung saja, ibu orang yang sabar menghadapi mereka, dan selalu mewanti-wanti diriku agar tak perlu menggubris mereka. Tak tahu saja mereka, aku yang kesabarannya setipis tisu toilet ini, bisa membalas ucapan mereka lebih pedas dari Carolina Reaper – cabai terpedis di dunia.

“Kalau begitu saya pamit ya, Bu-ibu! Saya sudah selesai belanja,” ucap ibuku. “Mari Mang Al!”

“Iya, Bu! Terima kasih selalu belanja dari gerobak saya,” sahut Mang Al dengan nada ceria seperti biasa.

Aku melirik dari balik tirai jendela. Seperti biasa, ketiga tukang gosip tenar seantero kompleks, yang aku juluki TTM – ‘Tiga Tetangga Medusa’ itu tampak berdiri di depan gerobak sayur Mang Al.

Dandanan mereka sungguh menor, hanya untuk berbelanja sayur. Yang aku tahu, Ibu Kumala – si wanita tambun – janda tiga anak – yang selalu mengakui dirinya punya hubungan kerabat jauh dengan artis Syahrimi, naksir brutal dengan Mang Alfred yang senang dipanggil Al. Kata Mang Al, biar mirip dengan Pak Al Berdebar-debar, di sinetron horor berjudul Ikatan Batin.

Alasan itu lah yang membuat Ibu Kumala selalu berdandan demi menarik perhatian Mang Al. Selain itu, biar dia diberi potongan harga. Kalau dua ibu lainnya, hanya ikut-ikutan. Katanya biar para suami tidak melirik yang lain.

Yang kedua, namanya Ibu Sharlotta Mersedes, berbadan kurus dengan kulit sedikit gelap, rambut bergelombang merah manyala, dan selalu menyamakan dirinya dengan penyanyi Beyonsi, dari segi kulit dan suara. Bahkan, karena ingin menunjukkan kesamaan itu, sering sekali si Ibu Sharlotta yang rumahnya berhadapan dengan rumah Ibu Kumala ini, menyanyikan lagu Beyonsi yang berjudul ‘Dengerin Bae’!

Ibu Yoona yang ketiga. Rumahnya di samping Ibu Sharlotta. Sebenarnya, namanya bukan Yoona, tapi karena dia memproklamasikan dirinya sebagai pencinta drama Korea garis keras. Jadi, dia mengganti panggilan namanya dari Juminten menjadi Yoona.

Si Ibu Yoona ini rambutnya keriting sebahu, berwarna agak kecokelatan. Ketika mendekati tahun baru, rambutnya berubah jadi lurus seperti model-model iklan sampo, dengan bau makaraizo yang begitu menusuk hidung. Padahal, jujur saja rambutnya punya ciri khas tersendiri.

Aku mulai mengamati ketiga ibu itu. Bahkan, dari tatapan mereka pada punggung ibuku saja, terasa penuh aura sindiran dan ejekan.

“Aku ya, kalau anakku seperti si Mendy itu, sudah kutendang dari rumah! Kucoret sekalian dari kartu keluarga! Bisanya cuma nyusahin aja!” Mulai lagi si Ibu Kumala – yang kebetulan anaknya seusiaku – berceloteh.

“Bener tuh, Bu! Aku juga selalu bilang ke anakku – Hye Kyo, biar enggak jadi kayak si Mendy itu! Amit-amit, deh!” timpal Ibu Yoona sambil membuat gestur seolah-olah dia geli membicarakan diriku. Padahal, anaknya baru 9 bulan, mana paham ucapannya. Ngomong-ngomong, jangan kaget dengan nama anaknya Ibu Yoona, ya!

“Kalau saya punya anak begitu, saya sudah lelang dia di media sosial, biar dibeli sama om-om kaya! Saya dapat uangnya, si beban hidup pergi dengan om-om kaya!” Ibu Sharlotta tak mau tinggal diam. Dengan gaya ketimuran, dia ikut membicarakanku.

Aku kesal bukan main! Enak saja perkataan mereka tentangku! Padahal, mereka tak tahu apa yang aku kerjakan setiap hari! Apa menurut mereka, orang yang bekerja hanya dikatakan bekerja jika dia keluar rumah? Apa mereka tak mengerti zaman sekarang ada istilahnya bekerja dari rumah atau WFH?

Gegas kakiku melangkah keluar kamar, berencana membungkam TTM itu dengan transferan dari klien sebesar $600, yang baru saja muncul di layar ponsel. Tapi, kakiku belum tiba di depan pintu keluar, ibu sudah menghadangku.

“Mau ke mana?” tanya Ibu dengan nada lembut, tapi tatapannya seolah mengatakan padaku untuk tidak berbuat aneh-aneh.

“Mau beli kerupuk di Mang Al!” sahutku ketus.

Ibu menadah tangannya di hadapanku. “Sini, berikan ke ibu saja! Biar ibu belikan!”

“Enggak usah, Bu! Aku bisa beli sendiri! Nanti aku dibilang tahunya cuma merintah ibu saja!”

“Enggak! Ibu tahu, kamu cuma mau ngejawab bacotan ibu-ibu itu, kan! Ibu enggak mau kamu ladeni mereka! Biarkan saja mereka ngomong sampai mulutnya berbusa, tapi kamu kan enggak seperti kata-kata mereka!” ceramah ibu panjang lebar.

Aku hanya mendengus dan menyerahkan uang lima ribuan pada ibu, yang langsung keluar dari rumah untuk membeli kerupuk kesukaanku, kerupuk udang. Tapi, aku tak langsung ke kamar. Aku mengintip dari balik pintu, mendengar apa lagi yang mau mereka katakan tentang diriku.

“Lho, ada yang kelupaan Bu Ida?” Kudengar Ibu Kumala, si pencetus geng penggosip itu mulai bertanya. Seperti biasa, dia yang akan menjadi jubir pembuka, sekaligus kompor 32 sumbu bagi ibu-ibu lainnya.

“Iya, Bu! Si Mendy minta dibelikan kerupuk udang kesukaannya,” jawab ibuku enteng.

Aku yakin, setelah ini para Medusa itu akan menghujatku, dan benar saja.

“Duh, aduh! Beneran beban keluarga, ya! Malah ibunya diperintah buat beliin kerupuk!” sindir Ibu Kumala, ketika kulihat ibuku sudah meninggalkan mereka.

Argh, sialan! Benar dugaanku, kan! Huh! Tunggu saja kalian! Suatu saat aku akan membungkam mulut kalian semua!

***

penuliskacangan

Yuhuu, yang baru mampir, jangan lupa like dan komentarnya biar daku semangat menulis terus, gitu!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status