Share

Kekhawatiran Citra

Sore hari telah menjelang dengan goresan oranye dan biru membelah langit. Suara-suara sekumpulan burung terbang di langit pun terdengar hingga membuat decakan kagum dariku. Berulang kali, aku menggumamkan kata indah. Kemudian mengendap-ngendap masuk ke kamar dan menyalakan radio.

Sepuluh detik sudah berlalu. Berulang kali aku menghitung di dalam hati. Takut seandainya ibu datang dan menanyakan kenapa lama sekali pergi. Dari pagi keluar rumah dan baru sekarang sampai. Tadi, sepulangnya bertemu Dwiyan, aku menyempatkan diri untuk berteduh di rumah sahabatku, Yanti. Siang hari tadi hujan tiba-tiba turun.

Karena sudah terlanjur mampir, aku bercerita banyak sekali padanya. Bagaimana pagi hari tadi aku mendapatkan berita buruk dari Dwiyan. Atau, alasan yang kukatakan kepada ibu. Kalau aku bertemu dengannya. Yanti merupakan sahabatku sejak masuk SMP. Setiap kali mendapatkan masalah atau memerlukan bantuan. Ia dengan senang hati membantu.

“Sejak kapan Citra datang?” Mendengar sebaris pertanyaan barusan kembali menyadarkanku. Ibu berdiri di depan pintu kamar dan menyilangkan kedua tangan.

Aku menatap wajah tegas ibu yang memakai kacamata bingkai bulat. Dengan guratan keriput di dekat mata. Baru sekarang kusadari kalau ibu memang semakin bertambah umurnya dan aku pun mulai beranjak dewasa.

“Baru saja, Bu.” Aku bangkit dari tempat tidur dan menghampiri ibu yang berdiri di depan pintu kamar.

Benar-benar ceroboh. Pintu kamarku terbuka sedari tadi. Untunglah aku tidak sedang menelepon Dwiyan atau menceritakan kabarnya kepada teman-temanku. Hampir semua teman mendukung hubunganku terkecuali keluargaku.

“Kenapa keluar lama sekali?” tanya Ibu dipenuhi oleh raut wajah curiga. Aku saja sampai berpikir keras untuk menjawab. Takut kalau sampai ketahuan tengah berbohong.

“Tadi Citra mampir ke toko buku. Melihat-lihat komik baru,” jawabku sebisa mungkin tanpa keraguan. Namun, sebersit rasa bersalah masih menghinggapi rongga dada. Aku merasa tidak enak karena berbohong lagi. Tapi, kuharap suatu hari nanti ibu memaklumi tindakanku ini. Karena aku yakin suatu saat ibu pasti merestui hubungan kami.

“Ya sudah. Ibu mau berbicara, bisa?” Awalnya aku sedikit ragu. Apalagi belum merapikan tas dan menyembunyikan ponsel dengan mengatur mode hening. Aku takut kalau Dwiyan mengirimkan pesan singkat lalu membuat Ibu curiga.

“Bisa Bu.. Sebentar, Citra harus menaruh tas dulu.”

Tanpa menunggu jawaban. Aku berjalan dengan langkah lebar dan merapikan tas beserta isinya yang berantakan di atas tempat tidurku. Kudengar langkah kaki mendekat. Lalu, buru-buru kumasukkan tas ke dalam laci. Ibu sudah duduk di dekat meja televisi. Menatapku lekat-lekat, kemudian tersenyum.

“Ibu mau membicarakan apa?” tanyaku mengawali percakapan. Padahal aku mencoba untuk mengalihkan perhatian. Karena takut ibu menanyakan keberadaan tas yang buru-buru kusimpan di dalam laci di dekat meja belajar.

Ibu mengambil telapak tanganku kemudian menepuk-nepuknya. Aku bisa menebak kalau yang dibicarakan merupakan hal yang tidak begitu baik. Karena setiap kali kabar buruk akan kudengar, selalu saja ibu melakukan hal serupa. Kalau mengenai masalah pekerjaan. Aku juga sudah melamar ke beberapa tempat. Tapi, sampai sekarang belum mendapat jawaban dari lowongan kerja yang kukirimkan lamaran.

“Citra kan sudah menganggur selama setahun. Apa nggak kepikiran untuk bekerja?” tanya Ibu dengan hati-hati. Mungkin takut kalau aku menjadi kepikiran. Meski pun begitu tetap saja tidak bisa membuatku merasa nyaman. Aku jadi berpikir kalau keadaanku sekarang memberatkan ibuku. Karena masih juga menganggur. Padahal sudah melamar pekerjaan ke beberapa tempat.

“Ya, kepikiran sih. Citra juga lagi usaha, Bu.”

“Apa mau kerja di tempat teman Ibu?”

Ibu menanyakan hal yang sudah pasti jawabannya. Bahkan, tanpa menanyakan pun aku bersedia. Tapi, ada guratan keraguan di wajah Ibu.

“Pasti mau, Bu. Kerja sebagai apa?” tanyaku penuh kebingungan melihat raut wajah ibu yang mendadak gugup.

Aku sebenarnya tidak masalah bekerja sebagai apa saja. Asal bisa membantu kedua orangtuaku. Sayangnya aku hanya lulusan SMK. Dan lapangan pekerjaan yang tersedia untuk lulusan sepertiku bisa dibilang sangat sedikit. Lulusan sarjana juga cukup banyak menganggur. Seandainya aku mempunyai orang tua yang sedikit peka dengan pendidikan mungkin akan berbeda ceritanya.

Ibu melihat ke arah lain. Bahkan bisa dibilang mencoba untuk menjelaskan detail lowongan pekerjaan yang dikatakan barusan. “Sebagai operator bensin. Yang mengisi bahan bakar kendaraan itu.”

Detik jarum jam terasa berjalan lambat. Aku berusaha mencerna perkataan ibuku. Hal paling aku takuti adalah harus berhadapan dengan banyak sekali orang asing. Seringkali mataku akan berkunang-kunang jika bersama banyak orang.

Telapak tanganku juga berkeringat dingin. Lalu, jantungku berdebar karena takut. Berulang kali aku bertanya kepada ibu dan selalu mendapat jawaban sama. Kalau aku belum bisa bersosialisasi. Dan, seiring berjalannya waktu pasti berubah membaik.

“Citra tidak yakin, Bu.”

Aku menghindari tatapan langsung ibu dan memilih untuk menunduk. Menautkan kedua ibu jari karena merasa bingung harus menjelaskan bagaimana. Kalau menjelaskan tidak menyukai keramaian sudah pasti ibu marah. Jadinya, aku hanya terdiam. Merasakan suasana kamar menjadi jauh lebih dingin walaupun aku sudah menutup jendela.

Telingaku mendengar langkah kaki yang menjauh. Kukira ibu keluar kamar dan membiarkan masalah ini berlalu begitu saja. Saat mendongak, aku melihat pintu kamar tertutup dan raut wajah ibu yang menautkan kedua alis. Ada ketegasan dari pandangan lembutnya. Aku merasa kalau semua tidak berguna sekarang. Suka atau tidak aku pasti bekerja di sana.

Ibu berdiri tiga langkah dari tempatku duduk. Menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Kenapa tidak yakin? Padahal Ibu tadi sudah bilang sama Bapak kalau Citra mau bekerja.”

Aku memikirkan kata-kata untuk menjelaskan hal serumit ini. Kenapa harus bercerita kepada bapak tanpa membicarakannya dahulu? Butuh alasan logis untuk menolak bekerja. Pekerjaan apa saja, asalkan tidak berinteraksi dengan terlalu banyak orang. Mungkin terdengar tidak masuk akal. Tapi, memang itu alasannya. Selama ini aku lebih sering berada di rumah. Dari pada pergi ke tempat ramai. Misalkan, jalan-jalan bersama teman pun hanya ke toko buku yang sedikit pengunjung.

“Ibu kan sudah tahu, kalau Citra tidak bisa berinteraksi dengan banyak orang. Apalagi untuk tersenyum ramah terasa sangat sulit,” jelasku sebisa mungkin. Menjelaskan apa yang kurasakan selama ini. Sulit rasanya tersenyum ramah dan berada di keramaian.

Raut wajah ibu tidak berubah sedikit pun. Masih menyiratkan kemarahan. Namun terlihat menahannya. Aku masih memandang wajah ibu. Hanya saja tidak sebaris kalimat pun keluar. Dan, membiarkan suasana tidak nyaman masih terus berlanjut. Kadang terpikirkan untuk menjabarkan semua yang kurasakan. Tapi, waktu ibu terlalu padat oleh kerjaan di kantor. Aku tidak sadar kalau tetesan air mata membasahi wajah. Aku mengusap dengan punggung tangan.

“Kurasa kamu sudah cukup besar untuk bertindak egois, Citra. Bapak bisa marah sekali kalau sampai menolak untuk bekerja. Memangnya pekerjaan apa yang bisa dilakukan lulusan SMK?” tanya Ibu dengan penuh penekanan pada setiap katanya. Dan terdengar benar-benar marah.

Kugigit bibir bawah pelan. Mencoba menepiskan rasa kecewa yang bersarang di rongga dada. Dan menghentikan laju air mata yang menetes di kedua telapak tangan yang kugenggam erat. Bahkan sampai terasa menyakitkan. Selama ini aku selalu menurut. Tidak adakah pengecualian? Aku sadar betul kalau tidak banyak hal yang dapat kulakukan dengan mengandalkan ijasahku sekarang.

Ibu masih mengalihkan perhatian ke rak buku di dekat meja belajar dan menatap ke depan. Tidak ada niatan untuk membujukku atau menghibur. Bahkan, aku baru sadar kalau sekarang ibu jauh lebih keras mendidikku seperti bapak.

Semuanya terasa tidak adil. Jika bukan bapak. Kenapa ibu ikut-ikutan begini? Aku hanya ingin orangtuaku paham. Kalau aku mempunyai kekurangan. Salah satunya adalah membenci terjebak di dalam keramaian.

“Sekali ini saja. Citra mohon..” jawabku terbata-bata.

Aku sudah kembali menunduk dengan air mata yang terus mengalir. Napasku tersendat-sendat. Bahkan, sekarang jauh terasa lebih berat. Untuk satu kali ini saja. Aku ingin Ibu mengerti posisiku. Juga karena ketakutanku bertatapan langsung dengan banyaknya orang asing.

“Ibu tidak menerima jawaban apa pun. Sebenarnya, kamu malu kan kalau sampai bertemu temanmu? Bukan karena takut berada di keramaian?” tanya Ibu menaikkan nada suaranya.

Sekarang, aku takut kalau bapak akan mengecek dan menemukanku seperti ini. Sudah belasan kali aku dimarahi karena belum juga bekerja. Tapi, sekarang bukan kesempatan bagus.

Aku bangkit berdiri. Menahan mati-matian semua perasaan seakan mau meledak. “Bukan sama sekali. Ibu pasti tahu kan kebiasaan Citra dari kecil. Kenapa sekarang berbeda?” tanyaku keberatan. Aku sudah menanyakannya. Bagaimana setiap kali berada di keramaian mataku berkunang-kunang atau keringat dingin membasahi telapak tanganku.

Sudah dari dulu ibu mengetahui sifatku. Kalau aku adalah orang yang tertutup kepada orang yang baru dikenal. Apalagi kalau sampai harus mengajak ngobrol. Aku belum punya keberanian untuk memulai percakapan. Takut kalau nantinya mereka tersinggung karena salah bicara.

“Ibu tidak berbeda. Kamu yang tidak berubah. Jangan memaksakan untuk mencoba memahamimu. Padahal, kamu yang tidak berusaha untuk melawan ketakutanmu,” jelas Ibu panjang lebar. Tidak membiarkanku membela diri dan memilih keluar dari kamar. Lalu, menutup pintu.

Aku menutup wajah dengan kedua tangan dan menangis sesenggukan. Selama ini aku sudah membantu orangtua semampuku. Belajar memasak di saat anak-anak seusiaku seharusnya bermain-main. Di umurku yang kesebelas. Ibu mengajarkan memasak. Karena baik bapak atau ibu harus bekerja. Jadi yang mengerjakan pekerjaan rumah beserta memasak adalah aku.

Berulang kali aku memaklumi tindakan ini. Kalau aku harus menjadi dewasa sebelum waktunya. Karena aku adalah anak pertama. Apalagi perempuan. Adik keduaku lebih suka bermain di luar dari pada membantuku di rumah. Baik dari sikap maupun wajah kami berbeda jauh.

Aku seringkali berpikir kalau orangtuaku mungkin mengerti. Kalau aku berbeda dari kebanyakan anak lainnya. Dan, aku juga tidak tahu alasannya. Aku hanya membenci berada di keramaian. Terasa asing dan menakutkan. Kukira mereka akan mengerti. Tapi, sampai sekarang pun hal itu tidak terjadi.

Dengan perasaan yang belum juga membaik. Aku berbaring di tempat tidur. Menarik selimut sebatas bahu kemudian menyeka air mata yang menetes. Kadang, banyak sekali pemikiran kalau mungkin saja aku bukanlah anak mereka. Seandainya aku memang anak kandung dari ibu. Ia tidak akan tega membuat perasaanku tidak nyaman. Aku sadar kalau harus melawan segala ketakutanku berada di keramaian.

Setidaknya, selama ini aku sudah mencoba. Meski pun selalu diiringi dengan kegagalan. Pernah suatu ketika, karena malu diledek oleh teman sekelas hanya berdiam di rumah. Aku memutuskan untuk mengikuti mereka menyaksikan pertandingan silat di GOR Ngurah Rai di dekat sekolah.

Bukannya ikut-ikutan merasa senang, karena tim silat sekolah kami menang. Aku justru jatuh pingsan sebelum bisa duduk di bangku penonton. Untuk sekali saja, aku berharap ibu bisa merasakan segala ketakutanku ini. Hingga mengerti bagaimana hidup di dalam ketakutan dan selalu menyendiri di kamar karena tidak menyukai keramaian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status