Share

Pekerjaan Baru

Matahari sore ini seperti membelah diri menjadi dua. Panasnya mampu membuatku berulang kali minum segelas air putih. Sekarang sudah gelas keempat. Lalu, aku kembali berjalan keluar menuju pos mobil. Barusan aku masuk ke dalam kantor. Untuk menghilangkan dahaga. Di sini terdapat empat pos pengisian bensin. Premium untuk motor, premium dan pertamax untuk mobil adalah tempat paling luas. Dua pos terakhir merupakan solar dan pertamax dex. Setiap pos berdampingan meski pun jaraknya berbeda.

“Sudah mendingan, Citra?” tanya Agus. Ia adalah seorang pegawai pompa bensin yang paling tinggi di antara teman-teman lain. Walaupun memiliki wajah galak. Ia bersedia direpotkan saat awal-awal aku bekerja di sini.

“Ya, lumayan,” jawabku tersenyum simpul. Kemudian mengambil tas pinggang tempat uang kembalian. Setiap kali menjaga pos, kami diberikan modal awal sebelum bekerja.

Sebuah mobil Honda Jazz menginterupsi pembicaraan kami. Aku tersenyum. Kemudian menghampiri di dekat jendela mobil dan merendahkan tubuh. Seorang pria paruh baya meminta untuk mengisi premium.

Ia menyodorkan uang seratus ribu lalu membuka tutup tangki mobil. Aku tidak melihat kehadiran seniorku. Saat menoleh ke tempat parkir, kulihat ia melambaikan tangan –mungkin ingin beristirahat. Di sini, satu-persatu pegawai akan beristirahat secara bergantian. Kecuali pegawai yang bekerja di dalam kantor. Tidak seperti kami operator bensin.

“Di mulai dari nol ya, Pak.” Seperti biasa sebuah kalimat singkat itu harus diucapkan ketika tengah mengisi bensin. Awalnya, aku sedikit risih. Tapi, lambat laun semakin terbiasa. Pengendara mobil tidak berkata apa pun dan hanya menoleh pada spion mobil sesekali.

Kalau pembeli bensin berada di dalam mobil, aku selalu saja bingung harus melakukan apa. Seringkali aku mengamati angka yang bertambah sewaktu pengisian bensin di mesin. Dimulai dari nol dan seterusnya. Ketika mencapai seratus ribu, aku menggeser kuncian dan menaruh nozzle pada tempatnya. Lalu, menutup tangki bensin. Seulas senyum kusunggingkan.

“Terima kasih, Pak.”

Setelah mendengarnya, pemilik mobil bergegas pergi tanpa mengatakan apa pun. Kebanyakan orang-orang yang mengisi di pos mobil memang begitu. Tidak mengatakan sepatah kata kecuali nominal dan jenis bensin yang ingin dibeli. Aku juga tidak memusingkan hal itu. Dengan begitu tidak perlu berbasa-basi –hal yang selalu payah kulakukan.

Terakhir kali mengajak bicara pembeli adalah saat seorang pemuda meminta mengisi pertamax dex. Aku ditertawakan oleh teman-teman satu shift. Karena menjawab seadanya mengenai perbedaan antara bensin pertamax dengan pertamax dex. Waktu itu, aku menjawab tanpa berpikir panjang.

Kalau pertamax warnanya adalah biru dan pertamax dex merah. Satpam yang mendengar langsung tertawa cukup keras, hingga terdengar oleh temanku yang lain. Seharian aku ditertawakan oleh mereka. Dan, pembeli itu hanya melayangkan senyum tipis sebelum pergi dengan motor khas pembalapnya.

“Citra, kenapa senyum-senyum sendiri?” tiba-tiba Putra muncul dengan sebuah tas plastik putih. Dari aromanya mampu membuat perutku bergejolak. Tapi, aku masih bisa menahan diri. “Nih,” lanjutnya memberikan bungkusan nasi campur itu.

“Ya, tiba-tiba saja teringat kejadian lucu. Aku kan nggak ikutan beli nasi campur.”

Rasanya aneh melihat orang-orang yang bekerja di sini bersikap baik. Aku merasa terbebani. Meski pun mereka melakukan itu karena peduli padaku. Hanya saja, aku masih belum terbiasa. Aku bukan orang yang mudah percaya orang lain. Atau, bisa menerima kebaikan hati mereka. Seringkali aku menolak secara halus.

Alis tipisnya naik sebelah. Tatapan itu juga kelihatan kurang suka. Lalu, ia mendorongku untuk menjauh dari pos dan mengibaskan tangan seakan mengusir. Walaupun mempunyai tampang sangar seperti preman, hampir semua teman-teman di sini bersikap ramah. Bisa dibilang sangat baik dan menganggapku layaknya keluarga.

Aku berjalan menuju ruang loker yang berada satu meter di depan pos pertamax dex. Membuka pintu berlapis kaca itu pelan, dan masuk setelahnya. Bungkusan tadi aku taruh pada meja plastik di sebelah loker. Kemudian, mengambil botol air mineral dan menggeser kursi untuk bersandar pada tembok.

Siang ini tumben banyak yang membeli bensin. Mulanya aku ingin berjaga di pos premium untuk motor. Tapi, teman-teman menyuruhku berdiam di pos mobil. Dan, aku menurutinya. Seringkali aku meminta berjaga di pos motor, tetapi mereka pasti menyuruhku untuk berdiam di pos mobil. Kecuali saat pengawas lapangan ikut-ikutan berjaga di sini.

Tanganku membuka bungkusan nasi campur yang diberikan Putra tadi. Tidak berbeda dengan menu kemarin. Sepotong telur dadar, tumis sayuran buncis dan orek tempe. Aku tersenyum dibuatnya. Ia selalu tahu kesukaanku.

Karena aku merasa tidak enak jika dibelikan makan sore yang mahal. Ini saja sudah sangat bersyukur. Selama satu bulan bekerja seringkali teman-teman lain menunjukkan perhatian semacam ini. Katanya karena umurku paling muda dari yang lain mengingatkan mereka terhadap sosok adik dan anak di rumahnya.

“Woy.. Makan sendirian lagi?”

Mendengar suara yang familiar, aku menoleh dan mendapati Pande mendorong pintu sambil membawa piring dan gelas plastik –ia sangat tidak suka minum air dalam botol karena menurutnya tidak higienis.

“Kamu memanggilku seakan memanggil teman dekat. Apa nggak bisa memanggil namaku?”

Bukannya menjawab. Ia justru tertawa dan menepuk-nepuk pundakku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di hadapan. Keanehan sikapnya seringkali kutemui. Sehingga aku memilih untuk mengabaikan. Takutnya ia akan menceritakan banyak hal dan menganggap kami berteman dekat.

Aneh. Dari awal bekerja, ia sering menemaniku makan. Padahal sudah ada larangan kalau tidak diperbolehkan makan bersamaan. Pande berulang kali mendapat peringatan dari pengawas lapangan. Tapi tidak dihiraukan dan terus-menerus mengulangnya. Aku juga malas menanyakan kehadirannya sekarang di sini.

“Nggak! Aku kebiasaan memanggilmu begitu. Kenapa nggak mau ditemani makan? Padahal aku sampai berulang kali dimarahi.”

Aku menautkan kedua alis, lalu mendengus sebal. Memangnya aku pernah memintanya untuk menemaniku? Tidak sama sekali. Setiap kali makan aku terbiasa sendiri. Di rumah juga demikian. Adikku Maha, jarang sekali ada di rumah. Ia biasanya makan di tempat game online. Aku sering memarahinya karena lebih mementingkan permainan yang tidak aku mengerti. Justru, ia balik memarahiku karena menurutnya jika sehabis berpikir keras di sekolah perlu hiburan semacam itu.

Perbedaan umurku dan Maha adalah empat tahun. Sehari-hari jarang berbincang. Kecuali ia tengah kelaparan dan memintaku untuk memasakkan sesuatu pagi-pagi buta. Aku akan mengomel dulu sebelum membuatkannya makanan. Meski pun selalu saja disibukkan dengan bermain game online, ia mendapatkan peringkat di kelas. Paling kecil juara tiga.

Aku tidak mengerti mengapa perbedaan kami terlalu jauh. Maha jarang sekali belajar. Kecuali, kalau besok ulangan. Tapi, ia selalu mendapatkan nilai sempurna. Sedangkan aku, setiap hari terus-menerus belajar. Namun, tetap saja hasil yang kuterima pas-pasan. Itulah mengapa orangtuaku selalu membandingkan kami. Dan, aku tidak menyukainya. Tentu saja kami berbeda. Baik aku atau Maha mempunyai keahlian masing-masing. Dan juga kesukaan terhadap hal yang berlainan. Seperti kesukaanku pada buku-buku lawas yang masih layak dibaca.

“Kalau memang nggak ingin dimarahi, jangan makan berdua. Kamu tentu tahu betapa mengerikannya pengawas ‘kan?” Aku menanyakan sambil menyendokkan nasi. Agar lebih cepat menghabiskan waktu istirahat. Takutnya ada banyak pembeli bensin dan merepotkan senior-seniorku.

“Tau kok. Makanya kita harus buru-buru menyelesaikan istirahat.”

Ia menjelaskan seakan-akan kalau sampai itu yang terjadi adalah kesalahanku. Padahal aku bisa saja beristirahat selama tiga puluh menit –seperti perjanjian di dalam kontrak kerja. Kehadirannya mungkin membuatku berada dalam masalah. Harus menyelesaikan waktu makan menjadi kurang dari lima belas menit. Dari sekian banyak operator bensin yang bekerja di SPBU ini. Aku paling tidak menyukai sikapnya.

Bukan karena kulit kecokelatan terbakar sinar matahari. Atau hidung mancung seperti pinokio. Tetapi, setiap kali ada waktu luang. Ia akan mengganggu dengan menanyakan banyak hal yang menurutku bersifat pribadi. Contohnya saja seperti dimana tempat tinggalku.

Untuk seorang gadis yang terbiasa sendiri di rumah. Hal itu sangat membahayakan. Meski pun tingkat kejahatan di kota Denpasar bisa dibilang cukup sedikit. Aku tidak berani mengambil resiko dengan memberitahukan tempat tinggalku terhadap orang yang baru kukenal. Walaupun ia adalah rekan kerja. Teman sekolah saja hanya segelintir tahu dimana tempat tinggalku.

“Kenapa diam?” Tangan Pande menyenggol pundak dan membuatku menatap matanya yang sayu.

Kurasa karena ia sering bergadang. Selama mendengar celotehannya mengenai banyak hal, cuma satu yang aku ingat. Kalau rumahnya berada di Gianyar. Kira-kira perlu waktu satu jam lebih untuk mencapai tempat kerja. Aku sempat heran mengapa ia mau bekerja di sini. Padahal rumahnya sangat jauh. Aku takut ia salah paham, sehingga tidak pernah sekali pun menanyakan alasannya bekerja.

“Karena aku nggak ingin mengatakan apapun,” jawabku singkat. Lalu, ia hanya tersenyum lebar dan menunjukkan kedua lesung pipit pada wajahnya.

Aku benci ekspresi wajahnya. Seperti tidak ada beban sama sekali. Dan hal itu tidak dapat kulakukan sampai sekarang. Jauh di lubuk hati, aku menginginkan itu.

Kalau aku bisa dekat dan berbaur bersama teman kerja. Aku jarang berbicara dengan mereka. Hanya sesekali saat mereka bertanya. Kemudian, aku akan terdiam lagi. Jujur saja. Berada di tempat kerja yang penuh dengan pria, membuatku merasa sedikit canggung. Walaupun ada satu lagi operator bensin seorang gadis. Karena cuma ada kami, makanya jarang bertemu. Karena berbeda shift dengannya.

Aku dan Pande makan di dalam keheningan. Setiap kali berdebat, selalu saja kesunyian menyergap kami sesudahnya. Aku akan kembali mengunyah dalam diam sambil sesekali memikirkan hal-hal yang terjadi di hidupku. Keluarga, keinginan untuk kuliah, dan Dwiyan. Dari sekian banyak masalah yang kuhadapi. Yang terberat adalah memikirkan jalan keluar dari hubungan ini. Aku tidak menemukan kemajuan setelah satu setengah tahun berpacaran. Bahkan, frekuensi untuk bertemu semakin jarang karena seringkali aku mendapat shift sampai tengah malam.

Shift siang berakhir tepat jam sebelas malam. Sesudahnya, kami harus menghitung total uang dari berjualan bensin bersama-sama. Belum lagi kalau ada selisih, pengawas lapangan akan mencoba untuk memeriksa tas compact yang kami bawa. Memastikan kalau tidak ada selembar pun uang tersimpan.

Jika belum juga ketemu, kami harus mengganti jumlah kekurangan dari uang yang harusnya disetorkan. Karena semua adalah tanggung jawab bersama. Itulah alasan mengapa setiap seminggu sekali, aku pasti tiba di rumah pukul satu pagi. Karena harus menghitung jumlah uang yang disetorkan dan biasanya aku akan mampir sebentar untuk membeli makan.

“Aku duluan ya.”

Aku menoleh dan mendapati Pande sudah memakai topi merah khas pompa bensin. Kemudian, merapikan peralatan makan yang sudah dicuci dengan menaruh di lokernya. Karena merasa cukup lelah, aku mengangguk kecil. Lalu, kembali menyendokkan nasi terakhir. Sebelum menghabiskan air mineral di botol.

Rasanya aku ingin mengeluh. Tapi, aku tidak mempunyai kewenangan untuk itu. Bapak seringkali marah-marah mendapatiku ketiduran di sofa ruang keluarga sepulang kerja –setiap mendapat shift pagi, aku sampai di rumah pukul dua siang. Aku sudah mengatakan dengan sopan kalau aku lelah bekerja dan ingin beristirahat. Namun, sebuah jawaban menyakitkan selalu dilontarkan.

Karenanya aku pasti terbangun dengan kesadaran yang tersisa sambil berjalan untuk mengambil sapu. Lalu, membersihkan rumah. Seharian bekerja selama delapan jam cukup membuat letih. Karena setiap kali bekerja kami tidak diijinkan untuk duduk. Melainkan harus berdiri mengisi bensin. Menurut manajer di sini, itu merupakan pertimbangan perusahaan. Bahkan ada CCTV di setiap pos dan memastikan kami bekerja maksimal. Tidak mencuri-curi waktu untuk duduk.

Padahal bagi seorang gadis, pekerjaan ini termasuk berat. Tentunya selain mengangkat nozzle yang beratnya sampai dua kilo. Ada beberapa yang mengatakan kalau pekerjaan sebagai operator bensin cukup berbahaya, karena terlalu sering menghirup bau menyengat dari bensin. Seorang pembeli mengingatkanku. Meski pun aku hanya berkata terima kasih karena telah mengingatkan. Kadang-kadang, aku kepikiran juga dengan permasalahan itu.

Dengan satu tarikan napas panjang, aku bangkit berdiri, kemudian berjalan menuju pintu keluar. Menutup pintu pada ruang loker dan memakai topiku. Setibanya di luar, aku melihat banyak sekali antrian kendaraan. Lalu, setengah berlari menuju pos mobil. Sudah waktunya untuk berkonsentrasi bekerja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status