Share

Kemarahan Ibu

Jam satu pagi aku baru sampai di rumah. Karena tadi mampir sebentar untuk membeli nasi kuning di pinggir jalan. Untunglah masih ada yang berjualan di pagi buta. Kalau tidak, aku pasti akan kelaparan dan belum bisa memejamkan mata sampai matahari terbit. Aku berjalan menuju pintu samping dan disambut oleh ibuku yang melipat tangan di depan dada.

Hari sudah cukup larut untuk beristirahat. Sekarang malah disambut oleh raut kemarahan. Ada sedikit rasa kecewa. Mulanya aku ingin berlalu saja dan bergegas untuk mengganti baju lalu mandi. Tapi, tangan ibu keburu menarikku masuk ke kamar.

“Ibu sudah peringatkan bukan?” Mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu membuatku berpikir sejenak. Mulai menerka-nerka peringatan apa yang dimaksud.

Setelah belasan kali berkedip, aku baru sadar. Kalau ibuku tengah membahas perihal Dwiyan. Aku sudah cukup lama tidak menemuinya. Walaupun rasanya kangen sekali. Tapi, kehadiran ibu sekarang justru mengingatkanku pada peringatan untuk mengakhiri hubunganku dengan Dwiyan. Aku ingin mengelak dan membahas mengenai hal yang lain. Namun, menghindar bukan gagasan bagus. Karena besok pasti akan ditanyakan lagi. Ditambah lagi, aku terlalu malas membahas masalah yang lalu.

“Iya, sudah berulang kali.”

Rasanya suasana kamarku yang semula sejuk terasa menyesakkan. Aku bukannya ingin melawan kata-kata ibu. Tapi, pada usiaku sekarang bukan waktunya bermain-main dengan perasaan. Aku memerlukan seseorang yang tahu kekuranganku, namun masih ingin menggenggam tanganku. Bahkan, masih terus berusaha meski pun kerepotan karena tidak mendapat sambutan hangat dari keluargaku.

Kulirik telapak tangan ibu yang mengepal. Kedua alisnya menaut seakan tengah berpikir keras. Aku ingin berbicara. Mengatakan semuanya. Apa yang kulihat dari dalam diri Dwiyan hingga sampai sekarang masih mempertahankannya.

Ia memang tidak sempurna. Namun kesempurnaan itu terjadi di saat kami berdua bersama. Contohnya, sewaktu aku hanya berani bernyanyi di depannya dengan petikan gitar akustik yang membuat alunan nada di dalam dunia kami. Tidak perlu berkata apa pun, aku bisa mengerti perasaannya dari tatapan mata itu.

“Lalu, kenapa sekarang masih melawan? Ibu tidak suka pacarmu itu anak band. Kamu tidak tahu bagaimana pergaulan mereka.”

Selama ini jarang sekali aku bisa berbicara empat mata dengan ibuku. Karena lebih sering disibukkan dengan tugas di kantor. Kalau senggang pun ibuku memilih untuk beristirahat lebih awal. Jadinya, selama ini berbagai masalah aku simpan sendiri. Sampai akhirnya ibu mengetahui kalau aku berpacaran. Semua berubah sejak waktu itu.

Aku memerlukan seseorang yang dapat kupercaya untuk berbagi. Dan, aku tahu Dwiyan adalah orang tepat. Setiap kali mendapat pemikiran baru mengenai rencana ke depannya. Ia pasti akan menanggapi dengan antusias bahkan selalu memberikan semangat. Mimpi-mimpi yang rasanya sulit terwujud selalu mungkin baginya. Atau, ketika memiliki masalah dengan teman sekolah, Dwiyan adalah tempatku berbagi.

Hampir seluruh teman-teman seangkatan dulu mengenalku. Hanya saja untuk menceritakan masalah di rumah atau mengutarakan apa yang kurasakan cukup sulit. Tidak terucap sepatah kata pun ketika aku tiba-tiba menangis di kelas karena mendapat masalah di rumah. Dan mereka memaklumi dengan memelukku erat. Meski pun begitu, aku bahagia mengenal seluruh teman-temanku yang kebanyakan adalah perempuan.

“Citra bukannya ingin melawan. Tidak semua anak band seperti yang Ibu katakan. Dwiyan berbeda. Apa Ibu ingin bertemu dengannya?” pertanyaan itu kulontarkan tanpa sengaja. Sejak awal hubungan ini diketahui dan tidak disetujui. Aku belum berani menanyakannya. Takut mendengar jawaban penolakan.

“Tetap saja bagi Ibu tindakanmu sekarang adalah bentuk dari perlawanan. Tidak masuk akal rasanya kamu tiba-tiba menyukai anak band. Ibu malas bertemu. Apa ini pengaruh dari teman-temanmu?” tanya Ibu masih dengan alis menaut dan tatapan mata tajam yang membuat perasaanku terasa berat sekali.

Aku sayang kepada ibuku dan tidak ingin melawan. Tapi, sekali ini saja aku ingin mendengarkan kata hatiku dan memperjuangkan rasa yang kumiliki. Selama beberapa tahun terakhir, aku selalu menurut sewaktu ibu melarangku berpacaran. Tapi untuk sekarang, aku merasa memerlukan seseorang sebagai tempatku membagi kesedihan dan kebahagiaan yang kurasakan.

Berulang kali aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Badanku letih sekali. Persendian juga terasa sakit –karena hari ini menangani banyak pembeli. Baik itu di pos premium motor atau pun mobil. Tadi, aku sempat menggantikan teman yang sedang tidak enak badan. Makanya untuk hari ini aku menangani dua pos bergantian. Aku baru sempat beristirahat sore hari. Setelah itu tidak pernah masuk ke dalam kantor untuk meminum air.

“Tidak ada hubungannya sama sekali, Bu. Sekarang Citra ingin bersih-bersih dan beristirahat. Rasanya badan seakan remuk.”

“Oke. Kali ini Ibu tidak akan membahas lebih jauh lagi. Nanti, kalau ada waktu kita harus membicarakan masalah ini.”

Aku mencoba mengalihkan perhatian. Karena jujur saja badanku terasa letih. Ingin segera mandi dan makan. Barulah nanti beristirahat. Untunglah hari ini libur. Jadi tidak perlu bangun terlalu pagi untuk bekerja. Setidaknya, aku akan bangun seperti biasa. Pukul tujuh pagi. Kemudian, mulai membersihkan rumah.

Pandanganku masih mengikuti langkah ibu yang berjalan keluar kamar. Lalu, kulihat ibuku mematikan lampu di ruang keluarga. Kudengar suara pintu menutup di sebelah. Aku benar-benar sendirian sekarang. Menatap kedua tanganku yang kulitnya semakin cokelat karena terbakar sinar matahari. Setelah sekian banyak pertimbangan, pada akhirnya aku tetap menuruti permintaan ibuku. Sama halnya dengan bekerja di pompa bensin.

Ada ketakutan di dalam diriku. Kalau nantinya menuruti permintaan ibuku untuk mengakhiri hubungan dengan Dwiyan. Aku membutuhkannya sebagai tempat bercerita saat merasa tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghilangkan jenuh.

Dulu di hari pertama bekerja, aku merasa seakan tengah berada pada dimensi yang tidak kukenali. Orang-orang menatapku. Beberapa saat kemudian, pembeli itu berbicara dengan teman di sebelahnya. Atau, ada beberapa pembeli terlalu terang-terangan mengamati dari atas sampai bawah. Di amati begitu membuatku merasa asing dan sangat tidak nyaman. Namun yang bisa kulakukan cuma membantu senior di pos lain. Jantungku berdegup sangat keras. Sering kali mataku akan berkunang-kunang karenanya.

Aku menahannya selama tiga hari. Tidak benar-benar terbiasa. Hanya sebatas berkomunikasi dengan senior dan pembeli. Kalimat-kalimat yang kuucapkan tidak lebih dari beberapa kata yang sesuai Standar Operasional Pekerja. Contohnya saja, mengucapkan salam atau selalu memulai pengisian bensin dari nol. Banyak reaksi dari pembeli yang kutemukan jika menerapkannya. Ada yang cuma tersenyum. Atau, mengajak bercanda. Pernah suatu ketika seorang pembeli berkata kalau tidak bisakah dimulai dari angka seratus. Aku menanggapi dengan tersenyum dan berucap terima kasih setelah pembeli itu membayar.

Suatu hari, kami berkumpul setelah shift berakhir karena membicarakan peraturan baru yang mengharuskan kami untuk memulai shift pagi jam enam. Itu menandakan kalau kami harus berangkat sebelum matahari terbit. Kalau kata senior di sini. Kami bekerja layaknya robot. Aku tidak berkata apa pun dan menyimak apa yang mereka katakan.

Padahal sudah dua bulan bekerja di pompa bensin. Tapi, aku belum juga terbiasa suasana di sini atau banyaknya pembeli bensin. Aku tidak mempermasalahkan kulitku yang terbakar sinar mentari, dan seragam yang basah penuh keringat. Karena aku cepat sekali berkeringat apalagi kalau gugup. Tidak dapat dihindari kalau aku merasa gugup setiap kali mengisi bensin. Karena beberapa pembeli iseng menggodaku.

Aku membuka sepatu boots dan mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu. Mencoba menghilangkan perasaan yang berkecamuk di dalam dada. Sebuah perasaan sedih dan kecewa secara bersamaan. Dulu setiap kali hendak bekerja, aku sering berpikir kalau seandainya ibu akan menyambutku pulang dengan senyuman. Karena alasanku bersemangat untuk bekerja adalah kedua orangtua. Aku tidak ingin membebani mereka.

Selain bekerja. Aku juga ingin melanjutkan kuliah. Tapi, karena jam kerja yang tidak tentu, kurasa hal itu harus tertunda. Kalau pindah ke tempat kerja lain, aku belum benar-benar yakin bisa mengerjakan pekerjaan itu. Bayangkan saja, aku hanya lulusan SMK. Apa yang aku ketahui hanyalah dasar-dasar dari pelajaran akuntansi. Berbeda dengan mereka yang sudah mengenyam pendidikan sarjana. Tentu saja berbeda jauh. Dari segi pengetahuan dan keterampilan.

Aku putuskan untuk bergegas mandi. Sepertinya guyuran air dingin mampu mendinginkan kepala dan menghilangkan segala keresahanku. Sebelum nantinya bergegas makan dan tidur karena hari sudah menjelang pagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status