Share

Bertemu Kekasih

Hari sabtu jam tujuh malam. Aku berdiri di pinggir Jalan Melati. Di depan bangunan penyiaran radio kosong dan termakan usia. Dengan dedaunan liar yang tumbuh di temboknya. Rasanya bukan hanya dinginnya malam yang kurasakan. Mungkin saja, ada makhluk-makhluk tak kasat mata yang menemaniku di sini.

Tapi, aku menahan diri untuk berada di sini. Aku bukannya ingin uji nyali dengan mengunjungi gedung kosong yang sudah digembok pagarnya. Namun, aku sedang menunggu Dwiyan. Tadi melalui pesan singkat, ia menjelaskan ingin bertemu di sini. Sesekali malam mingguan bukan hal buruk menurutku. Malahan, aku senang mendengarnya ingin bertemu.

Aku tidak menghabiskan malam minggu di gedung kosong mengerikan ini. Di sini kami hanya bertemu. Lalu, bersama-sama menuju tempat makan. Lalu lintas di depanku sangat padat. Sesekali mereka melirik dan bersiul. Membuatku ingin cepat-cepat pergi. Bahkan, merutuki dalam hati mengapa Dwiyan menyuruhku menunggu di sini. Padahal, aku tidak memakai pakaian minim. Tapi, entah mengapa setiap kali sepeda motor yang lewat menjahili dengan bersiul. Untung saja aku berpura-pura tengah berbicara di telepon. Jadi, mereka segera pergi setelahnya.

Meskipun telah memakai rajutan sweater berwarna putih dan memakai celana jins hitam panjang, masih tidak bisa mengusir rasa dingin yang kurasakan. Aku menoleh ke timur lalu mendapati sepeda motor Dwiyan mendekat dan memarkirkannya di sebelahku. Aku membuang muka ke arah lain. Sudah lima belas menit aku menunggu. Ia beruntung karena aku tidak pulang. Tadi sempat kepikiran untuk membatalkan janji. Tapi, mengingat jarak tempuh Dwiyan yang dari Jimbaran cukup jauh, aku maklumi hal itu.

“Hei, ngambek ya?”

Aku masih belum menoleh dan menatap sepatu kets biru milikku. Berpura-pura sibuk dengan menendang kerikil kecil di antara ilalang yang tumbuh. Kurasakan telapak tanganku diraihnya, kemudian Dwiyan meniup-niup pelan. Aku memandangi wajahnya yang kelelahan.

“Apa yang kamu lakukan?”

Aku masih dengan tampang masam dan kedua alis dikerutkan, menatap sepasang mata dibalik bingkai itu. Sebenarnya aku tidak sungguh-sungguh marah. Hanya ingin melihat apa yang akan ia lakukan jika aku ngambek karena lama menunggunya.

“Mencoba membuat tanganmu hangat. Kamu menungguku sampai tanganmu dingin begini. Kenapa nggak pulang aja?”

Dwiyan menanyakan hal yang sudah sangat jelas. Mana mungkin aku bergegas pergi hanya karena terlambat beberapa menit. Aku percaya kalau ia pasti datang. Meskipun Dwiyan tidak mengabari sejak jam empat sore.

“Aku sudah terbiasa menunggumu. Masa cuma belasan menit saja aku akan pulang? Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya. Bertahun-tahun pun aku mau menunggumu.”

Dwiyan tersenyum. Menepuk kedua bahu lalu menatap kedua mataku. “Kalau aku menyuruhmu untuk berhenti menunggu. Bersediakah?”

Aku mematung. Mencoba menyadarkan diri kalau yang dikatakan Dwiyan cuma perumpamaan tidak berarti. Ia pasti hanya ingin mengetahui jawabanku. Bukan benar-benar memikirkan kalau suatu hari nanti memintaku untuk berhenti menunggunya. Setelah beberapa detik keheningan dan hanya tatapan mata yang bertemu, aku tersenyum. Sebisa mungkin terlihat tulus dan sungguh-sungguh.

“Tentu saja. Namun butuh waktu lama untuk membuat hari-hariku seperti sedia kala. Mungkin saja aku kehilangan alasan meraih impianku. Aku cuma bisa berharap kalau suatu hari akan ada kesempatan menggenggam tanganmu lagi.”

“Ck. Dasar keras kepala. Aku sudah berulang kali mengatakannya. Jangan menyerah pada impianmu meskipun kita nggak bersama lagi.”

Aku tersenyum mengejek dengan menjulurkan lidah. Kemudian, mendorongnya untuk bergegas menaiki sepeda motor. “Aku memang keras kepala. Sudah ah, aku lapar.”

Dwiyan tertawa kecil lalu memakai helm dan menyalakan sepeda motor. Ia melaju setelah lalu lintas sepi dan diikuti olehku. Dalam hatiku merasa resah. Karena ia tiba-tiba saja menanyakan kalau seandainya memintaku untuk berhenti menunggu. Aku awalnya ingin egois dan mementingkan perasaanku saja. Tapi, setelah satu tahun lebih berlalu, hubungan kami tidak mengalami perubahan. Aku takut seandainya Dwiyan lelah menjalani semuanya.

Setelah melewati dua lampu lalu lintas dan banyaknya belokan. Kami memasuki pusat perbelanjaan di Denpasar Timur. Di Jalan Dewi Sartika yang menuju arah Teuku Umar. Matahari Mal berada di sebelah kiri jalan. Hanya empat lantai. Rata-rata bangunan di sini cuma boleh bertingkat empat. Karena peraturan yang melarang adanya bangunan pencakar langit. Itulah salah satu perbedaan Bali dengan pulau lain di Indonesia.

Aku melihat Dwiyan mengeluarkan dompet dan membayar parkir. Ia melambai mengarahkanku untuk mengikutinya. Setiap kali pergi ke mal. Kami selalu parkir bersebelahan. Tujuannya tidak lain agar aku mudah untuk pulang. Kami parkir di depan pos satpam. Dan ada beberapa pot tanaman bunga kertas di sekitarnya.

Setelah melepaskan helm. Tanganku ditariknya. Lalu, ia menautkan jari-jari kami. Aku berjalan mengikuti langkahnya. Melewati deretan-deretan baju yang tergantung. Ada beberapa pakaian yang terlihat menarik pada patung-patung putih pucat itu. Namun, aku hanya mengikuti Dwiyan menuju basement. Aku tidak ingin ia membelikanku pakaian. Padahal, bayaran band manggung pun hanya cukup untuk uang jajan sehari-hari.

“Kenapa makan di sini?”

Kami tiba di lantai paling bawah. Bersebelahan dengan toko buku. Aku bukannya tidak menyukai makanan cepat saji. Tapi untuk makan berdua bisa menghabiskan uang cukup banyak. Meskipun bagi beberapa orang harganya termasuk standar. Biasanya kalau makan di restoran cepat saji atau kafe, aku akan menolak. Kecuali dulu saat Dwiyan tiba-tiba mengajak bertemu pada waktu itu di kafe dekat rumah.

“Ya, karena aku jarang mengajakmu makan enak. Biasanya kita kan makan nasi campur di pinggir jalan. Sebentar, aku pesankan dulu.”

Dwiyan bangkit berdiri menuju kasir untuk memesan makanan. Aku merasa bersalah. Harusnya tadi aku bisa bertanya kami makan di mana. Bisa saja ia mengurangi jatah untuk sarapan hanya karena ingin mengajakku makan di tempat ini. Kalau menolak pastinya ia tidak akan mau. Aku mengambil ponselnya yang tergeletak di meja plastik lalu mengambil beberapa foto.

Di foto pertama, aku berpose dengan dua jari mencubit pipi tembamku. Dan di belakangnya adalah antrian pengunjung yang ingin memesan makanan. Termasuk Dwiyan. Ia bahkan tidak sadar kalau aku diam-diam mengambil fotonya. Ia berdiri dengan memasukkan tangan ke dalam saku celana panjangnya. Dinding yang kebanyakan bercorak merah mengingatkanku terhadap kesukaan Dwiyan terhadap warna merah.

Aku membuka kontak telepon. Hanya ingin tahu kalau ia menyimpan nomor ponselku dengan nama apa. Memang terkesan kekanakan tapi aku penasaran akhir-akhir ini.

“Sedang apa?” Suara beratnya menyadarkanku. Kemudian, senyumku melebar. Seperti baru saja ketahuan melakukan kesalahan. Tidak ada yang salah kalau aku mengecek ponsel pacarku. Ya, setidaknya tadi aku berpikir demikian.

“Bukan apa-apa,” jawabku dengan tenang. Lalu, terbesit ide untuk mengajaknya berfoto bersama. “Duduklah di sebelahku. Kita sudah setahun pacaran belum punya foto bersama.”

Dwiyan berpikir selama beberapa detik. Hingga akhirnya bangkit berdiri dan menarik kursi di sebelahku. Tidak banyak. Hanya tiga foto. Pose pertama, ia tengah memandangku yang tersenyum. Pada foto kedua, kami sama-sama tersenyum menatap kamera. Dan terakhir adalah saat Dwiyan mencubit pipiku gemas dan tertawa lepas. Sedangkan, aku tengah meringis berpura-pura kesakitan. Di antara ketiga foto itu, aku paling suka yang terakhir.

“Bagaimana kalau Ibu tahu?” tanya Dwiyan ragu-ragu.

“Pasti nggak tau. Fotonya kusimpan di ponselmu. Jangan pernah berani menghapusnya!” gurauku mencoba untuk membuatnya tertawa. Justru, ia menatapku beberapa detik sebelum mengambil kembali ponselnya.

“Kalau begitu hanya aku yang akan mengingat kenangan ini seandainya nanti kamu lupa.”

Aku mengacak rambut Dwiyan yang ikal lalu menarik hidung mancungnya. Dasar pemuda aneh. Bagaimana mungkin aku bisa lupa. Umurku masih muda. Dan daya ingatku juga bisa dibilang cukup bagus. Yang terakhir, karena aku selalu memikirkannya di waktu luangku.

“Nggak mungkin. Tapi, kenapa cuma pesan satu paket panas saja? Kamu memangnya sudah makan?”

Tiba-tiba aku baru sadar melihat hanya sebuah piring –di atasnya terdapat nasi hangat yang dibungkus kertas nasi dan ayam goreng renyah dengan tulisan Kentucky.

“Aku makan es krim cokelat kok.” Tangannya mengambil gelas kecil berisi es krim coklat dengan taburan kacang mede yang sudah dihancurkan. Aku yang semula ingin makan menjadi enggan. Baru sekarang, aku bertemu pemuda sepertinya. Dwiyan membelikan makanan untukku meskipun akhirnya ia memilih tidak makan.

“Itu bukan makan namanya, Dwiyan. Kamu ingin pesan apa? Biar aku yang membelikan,” ucapku lalu bangkit berdiri. Sebelum bergegas pergi, tanganku sudah ditarik pelan olehnya. Ia tersenyum dan menepuk kursi di sebelahnya –menyuruhku untuk kembali duduk.

“Sudah kewajibanku untuk membayarimu makan. Kamu adalah tanggung jawabku. Lagi pula kalau nanti lapar, aku bisa beli nasi kuning di perjalanan pulang. Kamu habiskan saja makananmu mumpung masih hangat,” ucapnya mulai menyendok es krim.

“Terima kasih.”

Aku ingin mengatakan banyak hal. Namun, hanya sebaris kalimat itu yang mampu kuucapkan. Ia mengangguk kemudian kami kembali membicarakan banyak hal. Dwiyan menceritakan kegiatannya hari ini di kampus. Sesekali, aku memandanginya dalam diam. Belum pernah aku bertemu pemuda unik sepertinya. Untuk hal kecil saja ia bersikap begitu. Aku merasa menjadi gadis paling beruntung karena memiliki orang yang sepenuhnya berkorban untukku. Ia satu-satunya pemuda yang membuatku terkagum.

Hubungan yang sudah terjalin selama setahun bersama Dwiyan tidak benar-benar mulus. Sering kali, aku akan marah karena masalah kecil. Misalkan pada saat Dwiyan lama membalas pesan singkat. Padahal ia disibukkan dengan tugas kuliah dan latihan band yang merupakan pekerjaannya. Walaupun hasilnya tidak seberapa. Ia menikmati perasaan setiap kali berdiri di atas panggung dan bernyanyi mewakili hatinya. Itulah alasan yang diungkapkan kepadaku setiap bertanya kenapa ia tidak bekerja di kantor saja.

“Kenapa melihatku begitu?” pertanyaan Dwiyan menyadarkan lamunanku.

Aku menggeleng pelan kemudian tersenyum lembut. Tangannya mengelus puncak kepalaku lalu balas tersenyum. Orang-orang yang belum mengenal sisi baik Dwiyan pasti berpikiran demikian. Kalau anak band punya kesan buruk. Namun, aku tidak perlu mendengarkan mereka. Karena yang aku tahu Dwiyan adalah pemuda berhati lembut dan hal terpenting karena aku mencintainya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status