Share

Di balik Kematian Adikku
Di balik Kematian Adikku
Penulis: Henya Firmansyah

Perut Buncit

1.Di balik kematian adikku yang idiot

1.Perut buncit

"Aida, k_kenapa perutmu buncit?" Tanyaku sembari menatap perut adik perempuanku satu satunya yang berusia tujuh belas tahun.

"Uuh auhh hehe," jawab Aida nggak jelas. Entah kenapa, perasaanku jadi nggak enak. Detak jantungku mendadak tak beraturan. Perut Aida seperti orang hamil.

"Aida, jawab!" Ucapku sedikit menekan. netraku melebar menatap adikku. Aida menggaruk rambutnya yang berponi, pupil matanya keatas dua duanya. Aku menarik nafas kemudian menghembuskannya pelan untuk menenangkan hati.

Aida tidak mengerti pertanyaanku. Adikku ini menderita keterbelakangan mental. Orang bilang dia idiot. Di samping itu, Aida juga tidak bisa berbicara dan mendengar, dia tuna rungu. Sebagai kakak, aku tidak tahu sebabnya kenapa adikku begitu. Setahuku, Aida begitu sejak lahir.

"Kamu tidak mengerti pertanyaan kakak," gumamku sembari mengancingkan baby doll Aida. Setelah selesai memakaikan baju Aida, aku segera keluar menuju rumah tetanggaku Bu Salamah. Bu Salamah adalah orang yang kutitipi Aida setiap hari saat aku bekerja.

"Assalamualaikum, Bu,"

Aku langsung memasuki rumah sederhana milik Bu Salamah setelah mendengar balasan salam.

"Eh, Mbak Anna ... Ada apa?"

Perempuan tua itu keluar dari sebuah bilik sederhana yang merupakan kamarnya. Segera aku duduk di kursi kayu reyot yang ada di sini. Bu Salamah mengambil kursi plastik berwarna biru, lalu duduk tak jauh dariku.

"Bu, saya mau tanya ..." Aku menghentikan omonganku sejenak. Berpikir untuk merangkai kata yang tepat, agar Bu Salamah mau jujur padaku.

"I_iya, Mbak ..." Bu Salamah belum-belum sudah salah tingkah. Dia tampak gugup. Aku menatapnya lekat. Apa dia sudah tahu tentang perut buncit Aida? Aku jadi ingat, sudah lama Bu Salamah tidak memintaku membeli pembalut untuk Aida.

"Kapan Aida terakhir mens, Bu?" Langsung saja aku bertanya. Bu Salamah tampak gelagapan. Meski rumah ini tampak gelap karena kurang pencahayaan, tapi aku masih bisa melihat raut wajah Bu Salamah yang ketakutan.

"Anu ... Eh, mens Aida Minggu k_kemarin, Mbak," jawab perempuan di depanku ini dengan gugup. Dia menunduk, tak berani menatapku, membuatku semakin curiga ada yang sedang ditutupi.

"Jangan bohong, Bu!" Kali ini, intonasi suaraku berubah meninggi. Aku berdiri dan berjalan mendekati Bu Salamah. Perempuan itu gelisah, kedua jemari kurus dan keriput miliknya saling menaut di pangkuan. Kuangkat dagu perempuan tua itu hingga mendongak padaku yang sekarang berdiri tepat di depannya. Sekilas mata Bu Salamah bertabrakan dengan sorot mataku. Segera Bu Salamah kembali menunduk. Kali ini tubuhnya gemetar.

"Minggu kemarin Ibu tidak meminta uang untuk membeli pembalut Aida!"

"P_pakai pembalut sisa bulan kemarin, Mbak," kepala Bu Salamah mengangguk.

"Bulan kemarin Ibu juga tidak meminta pembalut sama saya, bagaimana bisa memakai sisa pembalut bulan kemarin?!" Kali ini aku tidak bisa lagi menahan emosi. Kutekuk lutut dan berjongkok di depan perempuan ini, berusaha menatap bola mata Bu Salamah agar bisa melihat kejujuran di sana.

"Aida hamil, kan, Bu?" Aku menatap tajam. Bu Salamah menggeleng kuat, kedua tangannya menutup wajah.

"Huhuhu huhuhu."

Perempuan tua itu justru menangis sesenggukan. Tanpa dia menjawab pun, aku sudah tahu kebenarannya. Rasanya dadaku seperti terhempas sesuatu yang besar dan berat. Rasanya menyakitkan. Hingga membuat kakiku mundur dua langkah. Suara tangis Bu Salamah terdengar seperti ratapan di telingaku.

Nafasku tersengal, tubuhku bergetar hebat. Rasa marah, kaget dan takut menggulung perasaanku. Sejenak tubuhku terpaku dengan mulut terkunci. Tapi kemudian aku kembali mendekati Bu Salamah.

"Siapa yang tega melakukannya, Bu?" Kedua tanganku mengguncang tubuh perempuan tua itu dengan kasar. Bu Salamah pasti tahu sesuatu!

"Ibu tidak tahu! Ibu tidak tahu!" Bu Salamah menggelengkan kepalanya berkali-kali.

"Jangan bohong!" Aku membentak. Bu Salamah tetap menggeleng, membuatku emosi.

"Sumpah ibu tidak tahu, Mbak ... Huhuhu,"

"Kenapa Ibu tidak bilang padaku kalau Aida hamil?" Rasanya aku ingin menempeleng perempuan ini. Telapak tangan ini sudah mengepal.

"I_ibu takut ..." Dia menjawab lirih di sela isak tangis.

"Takut sama siapa?!" Cecarku. Bu Salamah tidak segera menjawab. Aku hanya mendengar tarikan nafasnya yang berat.

"Jawab, Bu!" Mataku melotot.

"Takut sama Mbak Anna."

"Takut sama saya?! Justru karena ibu tidak jujur sama saya, itu membuat saya marah, Bu!" Aku berbicara keras tepat di muka Bu Salamah. Kesal sekali rasanya.

"Siapa bajing*n yang sudah tega menghamili Aida, Bu? Jawab!"

"Ibu tidak tahu, Ibu tidak tahu!"

Bu Salamah menjawab sambil berlari masuk ke biliknya. Sorot mataku mengikutinya. Percuma memaksa dia berbicara sekarang. Bergegas aku meninggalkan rumahnya.

Sudah jam sembilan malam. Aku membuka korden kamar Aida. Adikku itu belum tidur, dia masih asyik menghitung jari-jari tangannya.

"Aida, ayo ikut kakak!"

Kupakaikan jaket pada adikku, lalu aku menyeretnya keluar. Kugenggam tangan adikku dan mengajaknya ke bidan desa.

"Aida hamil lebih kurang sepuluh Minggu, Anna ...." Kata Bu Ani bidan desa. Dia menatapku tegang.

Tenggorokan ini rasanya tercekat, bahkan aku tidak bisa menelan ludah untuk beberapa detik. Kelu.

"Siapa yang tega melakukannya Anna?"

Aku menggeleng. Kulihat Aida yang duduk di tepi tempat tidur periksa. Dengan bergoyang kaki, adikku itu memasukkan jari telunjuk ke mulutnya lalu mengenyotnya. Pupil matanya yang kocak khas penderita down syndrom itu menatapku, lalu dia tertawa. Hatiku semakin teriris melihatnya. Kali ini, aku tidak bisa lagi menahannya. Air mataku tumpah di depan Bu Ani.

"Biadab sekali yang tega menggagahi Aida! Dia harus bertanggung jawab!"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status