Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?
Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.
“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”
“Aku sudah di Jakarta Mas.”
“Hah…..di Jakarta?
Aku kemarin bercerita kepada ibu. Bercerita tentang kedekatanku dengan Zahrah. Aku bercerita bagaimana kita mengawali cerita ini. Cerita yang membuat kita sering berbagi kisah, bahkan mencuri waktu dan jam kerja. Namun, ibu tidak suka kalau aku mendekatinya. Ibu berkata begitu tentu bukan tanpa alasan, tetapi ibu berpikir seperti dulu yang telah aku pikirkan: dikira merebut pacar orang. “Berarti ibu tidak suka terhadapku ya Mas?” “Bukan begitu Za, ini tidak ada hubungan antara suka dan tidak suka.” “Tapi katamu tadi, ibu melarangmu berhubungan denganku.” “Iya, memang seperti itu. Tetapi kamu harus tahu, ibu berkata seperti itu karena ibu tidak mau anaknya ini dikatakan merebut pacar orang. Merebutmu dari Kun.” “Sama saja.” “Sudahlah Za, aku telpon kamu bukan untuk bertengkar. Aku ingin mengobati rinduku padamu, tapi jika kamu malah mengajakku bertengkar, lebih baik aku menutup telponnya saja.” Tut…tut…tut… *
Kemurungan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Dan kali ini, kemurungan itu bertamu kepadaku. Entah, rasanya ia begitu nyaman bertamu di ruang batinku. Kepergian Sally rasanya membuatku menjadi hampa. Sapaannya tiap waktu memang serupa candu. Senyumnya bagai pupuk yang selalu mampu memunculkan benih suka dalam diriku. Gengaman tangannya membuatku tegar menghadapi hidup yang hingar-bingar. Dan pelukannya membuatku menjadi lelaki yang begitu tangguh. Ah, mana janjimu dulu Sally. Janji akan selalu berada di balik punggungku. Kenapa kini kaupergi setelah semua benih itu tumbuh dalam hatiku. Kepergianmu rasanya seperti mencabut akar semangatku untuk hidup. Aku kini seperti pohon layu yang bersiap-siap tumbang. Pekerjaan yang sedari dulu membuatku penuh gairah, kini sudah takmampu membuatku tersenyum menyapanya. Rasanya aku sudah enggan melakukan rutinitas. Rasanya aku ingin mengejarmu saja, tanpa harus bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Teman-teman di kantor pun selalu
Tiap kali aku memandang foto Zahrah, rindu dalam hatiku begitu meluap-luap dan rasanya ingin tumpah. Apalagi ketika mendengar kabar kalau ia sedang sakit dan sudah tidak sadarkan diri selama 3 bulan. Duh, rasanya benar-benar kelimpungan. Aku merasa bersalah telah berburuk sangka karena ia lama menghilang, bagai ditelan bumi. Tiada kabar sedikit pun. Namun ketika ada kabar dan aku masih tetap tidak bisa menjenguknya. Aku sungguh berat mengiyakan jawaban Nay agar segera ke sana menemaninya. Aku tidak bisa meninggalkan ibu. Dua orang perempuan yang kusayang sedang sakit. Ingin rasanya aku menjenguk Zahrah, tapi sungguh tidak pantas aku meninggalkan ibu yang juga membutuhkanku untuk di sampingnya. Sedangkan untuk makan ibu harus diambilkan. Jika harus ke kamar mandi, maka harus dipapah. Duh, aku benar-benar limbung. Linglung. Sosok ibu memang sosok perempuan yang palih teduh. Tatkala aku murung saja saat menemaninya, ibu tiba-tiba saja bertanya. “K
Aku benar-benar terkejut dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Aku merasa ini sesuatu yang amat sulit aku terima. Terlalu berat. Rasanya aku ingin bercerita kepada Pak Tarman, namun saat di kantor mulut ini rasanya seperti tercekat dan tidak ada kata-kata yang mau terlontar. Aku pun urung bercerita, hanya sekadar ngobrol dan bercanda untuk mengusir kesedihan yang menggelayuti hati. Sebenarnya aku masih belum bisa menerima semua ini, namun kabar itu membuatku telah layu. Semangat kerjaku pun rapuh. Tiada lagi rasa menggebu untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan yang ada hanya ingin segera pulang dan membenamkan kepala di bawah bantal. Lalu menangis sejadi-jadinya tanpa suara dan membiarkan airmata menjadi saksi bahwa luka ini benar-benar nyata dan begitu menyiksa. Semuanya meledak. Hatiku koyak-moyak dibuatnya. Sebulan menanti kabar dari Nay, dan ketika ia mengabari kemarin aku malah ingin menarik kembali waktu agar Nay tidak menjawab pertanyaanku. “Ia sudah tenan
Teruntuk keluarga Zahrah yang sempat saya tahu:Mas Ben dan Mbak NayBagaimana kabar Mas Ben dan Mbak Nay di sana? Semoga dalam kondisi sehat selalu. Sebenarnya saya ingin bisa bicara langsung, sebab terlalu banyak yang ingin saya bicarakan. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin nampaknya. Dulu, sewaktu Mbak Nay menghubungi saya via email dan mengatakan Zahrah di rumah sakit dalam kondisi masih belum sadar. Keesokan harinya, saya kirim email. Menanyakan kabar Zahrah. Ia masih belum sadar dan ia terus menyebut nama saya. Saya diminta Mbak Nay menelpon ke nomor Zahrah, pura-pura sedang berbicara dengannya. Saya ngobrol sampai 18 menit. Setelah itu, saya matikan. Kemudian mengirim email pada Mbak Nay bertanya ikhwal keadaan Zahrah. Katanya, setelah mendengar suara saya ada respon. Meskipun responnya airmata yang ia teteskan dalam ketidaksadaran. Ah, saya taktahu itu pertanda baik atau buruk. Saya semakin kacau.
Bertemu, penasaran, rindu, dan berakhir pada perpisahan. Siklus cinta yang selalu saja membuatku terjatuh berkali-kali dan anehnya aku tidak pernah takut terjatuh. Sampai detik ini, aku pun belum bisa menemukan titik paling absurd yang sulit dijamah. Titik yang mempertemukan dua belah jiwa. * Mbak Lila, perempuan manis penunggu ruang tamu. Yah, aku lebih suka menyebutnya dengan perempuan penunggu ruang tamu daripada resepsionis. Tapi, jangan menganggap tempat kerjaku di sebuah hotel. Aku bekerja di sebuah kantor penerbitan. Mbak Lila, inilah yang dengan telaten dan piawai mengatur jadwal pertemuan antara para penulis, distributor, dan para tamu. Dan entah, ia rasanya tak pernah kehabisan bekal senyuman. Aku diam-diam sering mengamatinya, bukan hanya karena waj
Hidupku serupa pelangi.Rasanya indah. Tiba-tiba muncul nuansa baru. Aku jadi begitu cerah dan penuh semangat, sehingga aku selalu mendendangkan lagu-lagu cinta. Teman-teman di kantor pun ikut merasakan pancaran energi bahagia itu, membuat suasana kantor menjadi riuh. Penuh kebahagiaan. Inilah surga. Surga dunia. Surga yang turun di kantorku pagi ini.“Wah, ada yang sedang jatuh cinta rupanya.” ucap Pak Tarman sembari menaruh kopi di meja kerjaku. Aku membalas dengan senyuman, “dunia menjadi indah ketika sedang jatuh cinta. Selamat jatuh cinta, tapi awas patah nanti hatinya.” lanjut Pak Tarman sembari meninggalkan ruanganku.Omongan Pak Tarman tiba-tiba begitu menancap di pikiranku. Apakah aku benar-benar telah jatuh cinta? Jatuh cinta kepada Sally. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Orang yang baru kukenal, bahkan perangainya pun aku taktahu. Ia memang cantik, tapi pandangan matanya itu benar-benar membunuh. Apakah aku terbunuh dengan p
Aroma hujan masih terasa. Bau tanah menyeruak dan membuat suasana menjadi terasa segar. Hujan mengguyur semalaman. Hujan selalu saja menyisakan ingatan dalam benakku. Hujan membuatku terlelap sejak sore. Kedatangannya serupa dongeng yang selalu membuatku selalu ingin melingkarkan tubuh, mirip kucing yang sedang kedinginan. Itulah yang membuatku selalu menggagumi hujan. Hujan selalu membuatku merasa teduh, serupa hangatnya pelukan ibu. Namun, hujan semalam telah membuatku mengecewakan Sally. Semoga hujan tidak membuatmu menjauh dariku Sally.“Maaf Sally, semalam hujan mengguyur. Aku teramat payah, hingga tertidur. Dan maaf, aku tidak bisa datang menemanimu semalam.” Pesan itu langsung kukirim kepada Sally.“Sekarang hari Sabtu, nanti aku pulang lebih awal. Bisakah nanti kita ngopi, mengganti pertemuan semalam.” Sekali lagi aku mengirimkan pesan kepada Sally.Aku tahu, Sally tidak akan membalas pesanku. Biasanya jam segini ia ma