Teruntuk keluarga Zahrah yang sempat saya tahu:
Mas Ben dan Mbak Nay
Bagaimana kabar Mas Ben dan Mbak Nay di sana? Semoga dalam kondisi sehat selalu. Sebenarnya saya ingin bisa bicara langsung, sebab terlalu banyak yang ingin saya bicarakan. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin nampaknya. Dulu, sewaktu Mbak Nay menghubungi saya via email dan mengatakan Zahrah di rumah sakit dalam kondisi masih belum sadar.Keesokan harinya, saya kirim email. Menanyakan kabar Zahrah. Ia masih belum sadar dan ia terus menyebut nama saya. Saya diminta Mbak Nay menelpon ke nomor Zahrah, pura-pura sedang berbicara dengannya. Saya ngobrol sampai 18 menit. Setelah itu, saya matikan. Kemudian mengirim email pada Mbak Nay bertanya ikhwal keadaan Zahrah. Katanya, setelah mendengar suara saya ada respon. Meskipun responnya airmata yang ia teteskan dalam ketidaksadaran. Ah, saya taktahu itu pertanda baik atau buruk. Saya semakin kacau.
<Bertemu, penasaran, rindu, dan berakhir pada perpisahan. Siklus cinta yang selalu saja membuatku terjatuh berkali-kali dan anehnya aku tidak pernah takut terjatuh. Sampai detik ini, aku pun belum bisa menemukan titik paling absurd yang sulit dijamah. Titik yang mempertemukan dua belah jiwa. * Mbak Lila, perempuan manis penunggu ruang tamu. Yah, aku lebih suka menyebutnya dengan perempuan penunggu ruang tamu daripada resepsionis. Tapi, jangan menganggap tempat kerjaku di sebuah hotel. Aku bekerja di sebuah kantor penerbitan. Mbak Lila, inilah yang dengan telaten dan piawai mengatur jadwal pertemuan antara para penulis, distributor, dan para tamu. Dan entah, ia rasanya tak pernah kehabisan bekal senyuman. Aku diam-diam sering mengamatinya, bukan hanya karena waj
Hidupku serupa pelangi.Rasanya indah. Tiba-tiba muncul nuansa baru. Aku jadi begitu cerah dan penuh semangat, sehingga aku selalu mendendangkan lagu-lagu cinta. Teman-teman di kantor pun ikut merasakan pancaran energi bahagia itu, membuat suasana kantor menjadi riuh. Penuh kebahagiaan. Inilah surga. Surga dunia. Surga yang turun di kantorku pagi ini.“Wah, ada yang sedang jatuh cinta rupanya.” ucap Pak Tarman sembari menaruh kopi di meja kerjaku. Aku membalas dengan senyuman, “dunia menjadi indah ketika sedang jatuh cinta. Selamat jatuh cinta, tapi awas patah nanti hatinya.” lanjut Pak Tarman sembari meninggalkan ruanganku.Omongan Pak Tarman tiba-tiba begitu menancap di pikiranku. Apakah aku benar-benar telah jatuh cinta? Jatuh cinta kepada Sally. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Orang yang baru kukenal, bahkan perangainya pun aku taktahu. Ia memang cantik, tapi pandangan matanya itu benar-benar membunuh. Apakah aku terbunuh dengan p
Aroma hujan masih terasa. Bau tanah menyeruak dan membuat suasana menjadi terasa segar. Hujan mengguyur semalaman. Hujan selalu saja menyisakan ingatan dalam benakku. Hujan membuatku terlelap sejak sore. Kedatangannya serupa dongeng yang selalu membuatku selalu ingin melingkarkan tubuh, mirip kucing yang sedang kedinginan. Itulah yang membuatku selalu menggagumi hujan. Hujan selalu membuatku merasa teduh, serupa hangatnya pelukan ibu. Namun, hujan semalam telah membuatku mengecewakan Sally. Semoga hujan tidak membuatmu menjauh dariku Sally.“Maaf Sally, semalam hujan mengguyur. Aku teramat payah, hingga tertidur. Dan maaf, aku tidak bisa datang menemanimu semalam.” Pesan itu langsung kukirim kepada Sally.“Sekarang hari Sabtu, nanti aku pulang lebih awal. Bisakah nanti kita ngopi, mengganti pertemuan semalam.” Sekali lagi aku mengirimkan pesan kepada Sally.Aku tahu, Sally tidak akan membalas pesanku. Biasanya jam segini ia ma
“Terimakasih telah menemaniku menikmati hujan.”Pesan singkat itu kukirim kepada Sally. Entah kenapa aku selalu merasa ingin terus berkomunikasi dengan dia. Walaupun seharian aku sudah bersamanya, rasanya rindu ini selalu tumbuh dan tumbuh. Apakah setiap orang yang jatuh cinta selalu merasakan seperti ini?“Terimakasih juga telah berkenan memotret motor adikku.”“Oh iya, besok malam ada acara? Ngopi yuk!”“Di mana?”“Tempat dan waktu, kamu yang tentukan.”“Oke. Di Café Lilo ya, pukul 19.00.”“Oke”“Semoga tidak hujan.”Aku ingin tidur lebih awal, agar waktu lebih cepat berlalu. Aku tidak sabar untuk segera bertemu dengan Sally. Rasanya aku menemukan semangat baru dalam menjalani hidup sejak bertemu dengannya, bahkan aku kini sudah mulai berani melonggarkan pekerjaan. Tidak seperti dulu yang selalu membenamkan diri dalam
Pertemuan dengan Sally di Lilo benar-benar membuat hidupku berubah. Aku ingin segera bisa mewujudkan mimpi itu bersama. Menikah dan memiliki sebuah café. Ah, rasanya aku ingin menceritakan ini semua kepada sahabatku. Aku ingin mendengar bagaimana pendapatnya. Aku berusaha mengirim pesan kepada Alex. “Sedang di mana? Nongkrong yuk.” “Wih, tumben amat orang yang sok sibuk sekarang ngajak nongkrong?” “Ah, kamu selalu saja menyindirku. Sudahlah, terserah apa katamu. Pokoknya aku ingin ketemu kamu. Aku ingin banyak bercerita kepadamu.” “Wah, mau cerita apa ini?” “Ada deh. Nanti aku ceritakan.” “Siap, tapi ditraktir ya?” “Oke. Ketemu di Monami ya.” “86, Ndan.” “Oke, ketemu di sana ya. Aku sekarang meluncur.” Ketika sampai di Monami aku berusaha mencari Alex, mungkin ia sudah datang terlebih dahulu. Namun setelah aku cari, tidak kutemukan. Aku langsung memesan kopi sambil menunggu dia datang. “S
Cobalah sesekali, dari atas kamu akan melihat betapa besarnya keagungan Tuhan. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membedakan ajakan atau suruhan. Namun aku tetap tidak ingin dan pasti tidak mau. Walau itu Sally yang memaksa. Mungkin aku seseorang yang keras. Entah kerasnya seperti apa, kadang aku juga tidak mampu mendefinisikannya dengan baik. Sebab kadang aku menjadi lembut melebihi sutra. Aku bisa tahu yang tidak diketahui orang. Indra keenam. Entahlah, aku tidak pernah merisaukan itu. Namun kenyataannya aku aneh. Aku menyukai yang tidak disukai orang. Aku suka dengan buku-buku dan tenggelam di dalamnya. Kadang aku berbicara sendiri, kata mereka. Tidak denganku, sebab aku sedang dialog dengan sesuatu yang tidak pernah bisa diajak orang dialog. Hingga orang-orang berbondong-bondong datang untuk menonton dan menyebutnya monolog. Sebenarnya yang aneh siapa? Mereka yang menonton orang aneh atau aku? Bukan berarti aku tidak percaya atau tidak menyukai pilihan
Sejak percakapan di Coffe Shop itu, aku dengannya sering bertengkar. Entah hal-hal sepele pun bisa menjadi pemantik emosi di antara kita. Aku jadi merindukan saat pertama dulu. Kita selalu melontarkan kata-kata manis. Sampai akhirnya kita menuliskan puisi untuk mengikat janji. Dan kita saling merindu dan bercakap tiap malam melalui telpon, seolah sedang bercakap secara langsung. Aku benar-benar merindukan masa itu. “Kok belum tidur?” “Aku tidak terbiasa tidur sore. Entah rasanya aku lupa cara untuk tidur lebih awal.” “Berarti kamu insomnia.” “Tidak. Sebab kepalaku tidak pernah sakit bila tidak bisa tidur. Orang pengidap insomnia kepalanya selalu sakit. Sedangkan aku tidak pernah merasakan sakit. Jam tidurku bergeser.” “Bergeser? Maksudnya?” “Aku baru bisa tidur bila ayam sudah mulai berkokok. Di mana orang-orang mulai bangun tidur. Hal itulah yang membuatku selalu tidak bisa menikmati matahari terbit. Dan mungkin itulah aku be
Tiba-tiba ada sebuah pesan dari inbok facebook.“Saya ambil buku Ziarah Cinta Mas. Bagaimana pembayarannya?”Pesan yang amat singkat. Yah, memang unik. Terkadang ada orang yang bertanya panjang lebar. Ada yang sekadar basa-basi dan akhirnya tidak jadi beli. Bahkan ada yang seolah tidak membeli tapi akhirnya memborong begitu banyak buku.“Anda tinggal di mana?” Balasku singkat.“Saya tinggal di Jakarta.”“Pembayaran via transfer.”“Panggil saya Zahrah saja, biar lebih akrab. Berapa yang harus saya bayar?”“Ziarah Cinta, 35 ribu Mbak. Jadi dengan ongkos kirim, total yang harus dibayar 50 ribu. Tidak pesan buku yang lain?”“Jangan panggil Mbak, Zahrah saja. Ada buku lain yang serupa dengan Ziarah Cinta?”“Iya Zahrah.”Setelah membaca pesan terakhir itu, aku lalu melihat koleksi jualan bukuku. Mencari novel religi serupa Zi