Ketika hidup berkisah tak menentu, merangkai kesedihan dan melukiskan kesunyian, meracik segala duka dan nestapa bagai tak bertepi di dalam sebuah tempayan. Hati yang kosong tanpa arah dan tujuan, hanya hembusan angin yang menjadi penopang lemahnya raga diantara deraan tangis yang tak berjeda. Dan baru ku sadari jika hidupku adalah hampa.
Erlangga menatap gedung kantor yang tingginya hanya sepuluh lantai, tidak sebesar kantor ayahnya memang, namun ini adalah hasil kerja keras dirinya bersama Dermawan, satu-satunya sepupu yang masih dianggapnya waras ketimbang saudara yang lain. Awan juga satu-satunya saudara yang selalu mendukungnya masuk pesantren kala itu, disaat semua keluarga mencibirnya namun tidak dengan awan, dia hanya diam tapi dengan kediamannya itu dia mampu menjadi embun penyejuk untuk Erlangga. Awan dididik sangat keras oleh ayahnya untuk menjadi penerus keluarga, walau tidak selaras dengan keinginannya, namun AwErlangga membuka berkas kantornya, lalu fokus mengerjakan pekerjaan yang dulu sering di handle oleh Awan. Hingga tak terasa jam menunjukkan pukul sebelas siang."Yoga, apa Awan belum juga datang?" Tanya Erlangga, yang justru heran melihat Yoga yang seperti kebingungan.Erlangga mengerutkan dahi, lalu mendekat pada Yoga yang berdiri mematung. "Ada apa sebenarnya dengan awan, aku lihat setiap aku menanyakan tentang keberadaan Awan, kamu selalu terlihat bingung untu menjawab." Kata Erlangga dengan menatap lekat Yoga.Yoga menelan salivanya kasar, haruskah Ia mengatakan pada bosnya tentang apa yang Ia ketahui mengenai saudara bosnya itu? Yoga terjerembab dalam dilemma, Ia tahu dengan benar permasalahan berat yang sedang dipikul oleh Erlangga, apa kah Ia tega menambah berat bebannya, namun jika Ia tidak mengatakannya, maka akan semakin berakibat buruk untuk Awan."Jadi?" Tanya Erlangga lagi, membuat Yoga semakin panas dingin di buatnya."Maaf
Hima duduk diatas motor besama sang ibu dalam boncenganya, seperti janjinya bahwa setelah selesai mengajar ia akan mengantarkan ibunya ke rumah salah satu sahabatnya."Rumahnya masih jauh ndak, Bu?" Tanya Hima pada sang Ibu."Ndak kok, sebentar lagi sampai, dipertigaan depan belok kiri, nanti ada rumah bercat hijau, Nah itu rumahnya." Kata Ibu."Njih, Bu."Hima lalu menancap gas motornya, lalu mengikuti arahan dari sang ibu, dan tak beberapa lama mereka sampai dirumah yang mereka tuju. Hima memarkirkan motornya di halaman rumah khas jawa dengan nuansa warna hijau yang mendominasi, disampingnya ada sebuah gazebo dan tempat parkir mobil, karena ada beberapa mobil yang terparkir disana."Orangnya kaya banget ya, Bu, mobilnya banyak banget." Tanya Hima pada ibunya."Teman ibu ini pemilik rental mobil, ya sudah tentu mobilnya banyak." Jawab sang ibu sambil melepas helm.Hima hanya mengangguk, setelah selesai mengambil barang pesanan yang akan di b
“Kak Erlangga.” Suara seorang gadis membuyarkan ia dari lamunan.Seorang gadis dengan celana belel dan kemeja flannel panjang berdiri di ambang pintu, ditangannya tergantung papper bag yang sudah bisa diterka oleh Erlangga apa isi di dalamnya.Erlangga merentangkan kedua tangannya, memaksa gadis itu untuk masuk ke dalam dekapan.“Apa kau baik-baik saja selama ini?” Tanya Erlangga pada gadis yang saat ini ada dalam pelukannya.Gadis itu mengurai pelukannya, lalu menatap kakak sepupunya dengan sendu. “Semua tak akan baik jika tak ada kakak disini, harusnya kau tahu itu.” Ucap Kaira, adik sepupu Erlangga dan juga sekaligus adik Awan.“Maafkan kakak, Kai. Kakak terlalu egois, kakak tidak memikirkan kalian yang selalu ada untuk kakak, tapi kakak seolah menutup mata dengan keadaan kalian.” Ucap Erlangga dengan raut sedih dan menyesal.“Sudahlah kak, yang jelas sekarang kakak telah
“Pak Bos, saya mending di suruh mengerjakan tugas kantor lembur dari pagi sampai ketemu pagi lagi, dari pada harus kembali menjat dinding balkon, hiii…” Yoga begidik ngeri mengingat apa yang baru saja Ia dan Erlangga lakukan, menyebarang antar balkon apartemen yang tingginya 15 lantai.Erlangga geleng-geleng kepala lalu meninggalkan Yoga di balkon kamar dan masuk menuju ke apartemen.“Kamu mau tetap berdiri disitu atau mau kesini dan makan bareng sama saya?” Tanya Erlangga pada Yoga yang masih melongok ke bawah balkon sambil memikirkan betapa berani dirinya melompat antar balkon, bagaimana jika Ia terpeleset dan… Yoga langsung berlari masuk ke dalam dapur dari pada harus membayangkan tubuhnya yang hancur menjadi remahan peyek di bawah sana.“Kamu itu, tidak ada bedanya sama Joko.” Cela Erlangga saat Yoga masuk ke dalam dapur dan langsung mengambil air minum dari dalam lemari pendingin.
Erlangga menatap rumah yang sedari kecil yang Ia tinggali, tatapan mata yang teriring senja mengiris hati yang sunyi dan sepi. Termenung mengalunkan memori tentang indahnya waktu dimasa kecil. Erlangga menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Dengan langkah gontai Ia mulai menapaki satu persatu langkah diatas marmer yang berkilau pancaran sinar lembut sang senja.“Assalamualaikum.” Erlangga mengucapkan salam saat Ia mendorong pintu besar yang terbuat dari kayu berukir.“Waalaikumsalam.” Jawab Bi Inah sambil terpaku melihat siapa yang datang.Erlangga tersenyum lebar, sudah hampir satu tahun Erlangga tak bertemu dengan Bi Inah sejak terakhir kali Bi Inah dan Pak Bowo menjenguknya di Jogja.Erlangga mencium tangan Bi Inah yang sudah dianggap sebagai orang tuanya sendiri, sedangkan Bi Inah hanya menangis, dan seperti itulah setiap kali mereka bertemu. Saling berpelukan dan menangis mengingat segala yang menyakitkan yang pernah Bi Inah lih
Hima menatap ke arah jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor, dia sedang berdiri di taman sekolah yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Entah mengapa akhir-akhir ini rasa rindunya semakin besar pada sosok laki-laki bernama Erlangga, tak dapat Ia pungkiri jika Ia memang menyukai laki-laki itu, Ia memang mencintainya. Salahkah? Tidak ada yang salah dalam hal cinta, karena cinta tak memandang status sosial atau kedudukan seseorang. Cinta adalah sebuah rasa yang kuat untuk menyayangi, melindungi dan rasa ingin memiliki.Desiran angin di siang itu menyibak rasa rindu yang kian menyeruak, Hima menarik nafas panjang, kedua lengannya bertumpu pada pagar pembatas antara sekolah dan jalan raya.“Hai, Nglamun aja.” Sapa Alfa dari belakang Hima.Hima menoleh ke belakang, dilihatnya sahabatnya, Alfa. Yang juga ikut berdiri dipinggir pagar .“Kamu kenapa, Him. Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun, dan lebih banyak diam.” Kata Alfa
Masih dengan rindu yang sama, masih dengan tatapan cinta yang sama. Merengkuh detik-detik yang terasa hampa tanpa hadirnya sosok yang Ia rindu hadir memeluk jiwa yang mengersang. Mengukir waktu yang kian berdebu, tak terjamah kehangatan bercumbu. Impian yang tergantung di ujung malam, melabuh angan dan harapan di penghujung doa disepertiga malam. Erlangga duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, setelah melihat wajah Hima dari ponsel, membuat rindu yang menggunung sedikit terobati, walau ada keresahan dank e khawatiran yang mendalam akibat melihat sang pujaan merintih sakit. “Ya Allah, jagalah dia selalu, berilah dia keselamatan dimanapun dia berada, dan dekatkan hati kami jika memang kami berjodoh ya Allah, namun jauhkan lah jika memang kami tidak berjodoh.” Doa Erlangga di setiap sholatnya. “Pak Bos.” Panggil Yoga saat melihat Erlangga sedang melipat sajadahnya. “Ada apa Yoga?” Tanya Erlangga sambil menoleh pada asisten set
Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in