“Ma... ini Cahaya, anak mama. Mama harus sehat ya maaa... Aya kangen masakan mama.”
Cahaya berusaha keras menahan air mata yang ingin menetes di pelupuk matanya, dia tidak ingin menangis. Dia dulu anak yang manja pada kedua orang tuanya, tapi dalam lima tahun ini semuanya berubah, dia dituntut untuk bisa berdiri sendiri. Dia lelah untuk menjadi gadis yang kuat memikul semua beban di pundaknya. Operasi ibunya baru saja dilaksanakan dan dia juga sudah melunasi sisa pembayarannya. Bukan dari uang tabungannya lagi karena sudah tak ada lagi tabungan. Bukan pula dari ayahnya, tapi dari penjualan semua perhiasan emas simpanan sang ibu yang ada di kamar yang sekarang dihuni ayah dan istri barunya. Dengan kata lain Cahaya memang mencurinya. Mencuri perhiasan milik sang ibu yang dikuasai ayah dan istri barunya. Cahaya menunduk, bagaimanapun dia merasa bersalah sekarang. Sejak kecil ibunya selalu mengajarkan budi pekerti yang luhur padanya, dan sang ayah yang mengajarkan kedisiplinan, karena menjadi pencuri meski untuk mengembalikan pada yang berhak tetap saja namanya mencuri. Cahaya mencium tangan ibunya dengan sayang, tak ada jawaban memang karena sang ibu masih dalam pengaruh bius. Hanya saat seperti ini Cahaya bisa mendekati ibunya, tanpa perlu takut dia akan melihat penolakan dari sang ibu. Andai bisa Cahaya ingin memeluk ibunya, dia tidak keberatan meski sang ibu belum bisa mengenalinya, tapi nyatanya sang ibu mengenalinya tapi sayangnya bukan sebagai putri kesayangannya tapi sebagai... pembunuh. Tapi yang paling membuatnya ketakutan adalah sorot mata penuh kebencian dari mata yang dulu menatapnya penuh kasih. Cahaya sudah berusaha keras mengingat apa yang sudah dia lakukan hingga sang ibu begitu trauma padanya. Sampai pusing kepalanya dia masih tak sanggup mengingat, pernah juga dia bertanya pada sang ayah, tapi ayahnya yang dulu bukan yang sekarang yang bisa dia tanya baik-baik apalagi soal ibunya. “Mbak Cahaya, jam kunjung sudah habis, biarkan ibunya istirahat,” tegur sang dokter. Cahaya menoleh dan menatap sang dokter penuh harap, dia masih ingin di sini. Masih ingin menemani ibunya, tapi dengan tegas sang dokter menggeleng. “Mbak sudah di sini hampir empat jam,” kata sang dokter sambil mengetuk arlojinya. Cahaya menoleh pada jam dinding dan menghela napas, kenapa waktu cepat sekali berlalu padahal dia masih ingin di sini. “Baik, dokter. Titip mama saya.” Cahaya mengecup kening sang ibu sebelum melangkah pergi keluar kamar. Meski ada rasa tak rela tapi dia bersyukur ibunya baik-baik saja. Operasi ibunya sukses dan dia sudah menjual semua perhiasan sang ibu dan uangnya sudah dia depositokan untuk perawatan sang ibu. Dia hanya tinggal menata hidupnya saja, supaya nanti jika sang ibu sudah sembuh mereka bisa hidup bersama. Cahaya menghela napas panjang, kakinya yang jenjang melangkah ke sebuah kedai es krim langganannya. Satu cup besar es krim rasa strawberry dan beberapa potong kue coklat menarik perhatiannya. Hari memang akan memasuki malam tapi tidak masalah bukan makan-makanan manis. Cahaya butuh makanan manis yang bisa membuatnya lupa pada hidupnya yang pahit. *** Setelah apa yang terjadi hari ini rasa lega membuat tubuh Cahaya bisa merasakan letih. Langkahnya sedikit goyah. Dia ingin segera masuk ke kamarnya dan membersihkan diri lalu tidur. Pulang ke rumah ini memang tidak lagi menjadi tempat favoritnya. “Dari mana saja kamu!” Langkahnya langsung terhenti mendengar suara itu. Memangnya ada yang peduli apa yang dia lakukan? Memangnya ada yang akan khawatir saat dia pulang terlambat. Tidak ada bukan. Dia punya ayah dan ibu tapi serasa yatim piatu. Rumah yang dulunya hangat kini berubah menjadi sepanas neraka. Bahkan tak ada lagi foto-foto keluarganya yang dulu memenuhi dinding. Semuanya diganti dengan foto sang ayah dan keluarga barunya tanpa Cahaya. Ini rumah orang tuanya tapi dia seperti anak tiri yang menumpang. Cahaya akan melanjutnya langkahnya tapi melihat sorot mata ketiga orang yang ada di hadapannya, dia tahu kalau aksinya telah ketahuan. Cahaya takut tentu saja, dia tidak pernah mencuri dan berbohong sebelum ini, meski begitu dia masih berusaha keras memupuk rasa percaya dirinya. Itu milik mamanya, meski caranya salah tapi dia tidak sudi perhiasan itu jatuh ke tangan ibu tirinya. Cahaya berjalan dengan penuh percaya diri. “Papa mencariku? Tumben?” tanyanya tak peduli. Hubungan mereka sudah terlalu lama terpecah, papanya yang dulu seolah sudah mati. Dia bahkan tak bisa mengenalinya lagi. Plak! Bukan jawaban yang Cahaya dapat tapi sebuah tamparan. Gadis itu merasakan panas di pipinya dan terasa cairan asin membasahi bibirnya. “Wah aku tidak tahu kalau papa yang dulu aku banggakan sekarang suka main tangan.” Cahaya tertawa pelan, tawa miris tanpa kebahagiaan. “Ini karena papa tak pernah mengajarimu menjadi maling. Di mana perhiasan ibumu!” “Maling? Jadi perhiasan mamaku hilang? Kenapa aku yang papa tuduh bukankah ada dia dikamar itu.” Cahaya menunjuk dua orang yang langsung melotot tak terima atas tuduhannya. “Aya, jangan tidak sopan. Mana mungkin mama Rini dan Tari yang melakukannya.” Meski terlihat amarah di wajahnya tapi istri ayahnya itu berusaha bersikap tenang. Cahaya sampai kagum... kagum dengan kelicikan wanita itu memanipulasi ayahnya. “Mas sudah, tanya pada Cahaya baik-baik. Mama dan Tari tidak mungkin mengambilnya, Aya.” “Benar mereka tak mungkin melakukannya, mereka tahu sopan santun tidak sepertimu.” “Tentu saja karena mereka sudah kenyang makan harta papa bahkan sampai bangkrut, tidak seperti aku anak kandung yang harus mengemis dulu,” jawab Cahaya tenang. Wajah sang ayah langsung memerah. “Jadi benar kamu yang mengambil perhiasan itu?” tanyanya dengan geram. “Aku hanya mengembalikannya pada mama. Dia memang pemiliknya.” Bibirnya tersenyum dengan pipi memar dan bibir berdarah, Cahaya tak akan menunjukkan rasa gentarnya. Dia tidak sudi kehilangan ibunya hanya karena sang ayah lebih mementingkan keluarga barunya. Apalagi jelas-jelas itu milik ibunya. “Sikapmu benar-benar makin kurang ajar. Berani sekali kamu mencuri di rumah ini!” Tangan sang ayah kembali melayang tapi dengan sigap Cahaya menangkapnya. Orang yang dulu sangat dia hormati dan sayangi memang tak ada lagi, dan dia tidak sudi jadi samsak ayahnya apalagi untuk memuaskan dua orang wanita yang melihat dengan wajah puas. “Cukup sekali papa menamparku. Memangnya kenapa kalau aku mengambil perhiasan mamaku toh aku memberikannya pada orang yang berhak. Itu bukan milik papa,” kata Cahaya berani dia menghempaskan tangan sang ayah membuat laki-laki itu semakin murka. “Sejak kapan kamu menjadi liar seperti ini!” “Sejak papa lebih mengutamakan istri dan anak tiri papa dari pada mama dan anak kandung papa,” jawab Cahaya dengan dada yang bergemuruh. Dia tidak pernah bermimpi untuk melawan ayahnya. Selama ini dia hanya membangkang dengan membuat masalah kecil dan pulang malam, tapi hari ini dia tidak akan tinggal diam. Wajah sang ayah sudah memerah dengan tangan terkepal erat, Cahaya menghela napas dia tidak akan mengkonfrontasi sang ayah lebih jauh lagi. Bagaimanapun dia tidak ingin sang ayah terkena serangan jantung. “Sudahlah aku ke kamar dulu,” kata Cahaya tak peduli. Cahaya naik ke kamarnya tak peduli lagi dengan sang ayah yang menatapnya penuh kemarahan.“Kenapa papa setuju Cahaya menikah dengan Ary?” Cahaya yang akan masuk ke dalam rumah langsung menghentikan langkahnya. Itu suara Tari, dan pasti sang ayah sudah menceritakan semuanya pada istri dan anak barunya, tapi yang membuat Cahaya penasaran adalah kenapa Tari yang katanya anak rumahan yang baik hati dan lemah lembut sampai tahu tentang laki-laki itu, sedangkan dia yang hobi nongkrong sampai malam sama sekali tidak tahu?Cahaya tadinya berharap menemui dokter Natasya supaya bisa membawa Ary ke RSJ kembali tapi kenyataan yang dia dapat malah lebih mengerikan dari pada mempunyai calon suami gila. Laki-laki itu kejam dan tanpa ampun, itulah yang dia simpulkan dari keterangan sang dokter, meski dia dua kali pertemuan mereka Ary tidak menunjukkan sikap itu, atau karena laki-laki itu cukup tertarik padanya. Pikiran terakhir itu bahkan tak membuatnya lebih baik. Cahaya tanpa sadar menggigil ketakutan dia ingat betul kondisi anak buah
“Kamu gila Aya! Seharusnya kamu juga pasienku!” Cahaya menatap cemberut dokter cantik di depannya, biasanya dokter Natasya yang sangat lembut dan pengertian tiba-tiba membentaknya hanya karena dia tahu ada satu pasien wanita itu yang belum berhasil ditangkap. “Kok dokter malah ngebentak saya,” protesnya tak suka. Dokter Natasya memang baik padanya, Cahaya juga merasa dia banyak punya hutang budi pada wanita cantik ini, tapi dia bukan orang yang akan mau saja menerima semua perbuatan orang lain meski dia telah berjasa padanya, pengalaman hidupnya selama ini mengajarkan demikian.“Astaga!” Bukannya menjawab Cahaya dokter Natasya malah lebih terlihat bingung dan takut. “Dok ada apa sih? Kemarin kenapa dokter tidak datang ke tempat yang aku tunjukkan,” protes Cahaya tak terima, wajah cantik gadis itu merengut membuat snag dokter menghela napas panjang dengan kepolosannya. “Kamu benar-benar tak tahu siapa dia?” tanya s
Cahaya menatap ayahnya dan laki-laki yang dijodohkan dengannya itu bergantian. Rasa kecewa langsung menyergapnya tanpa bisa dibendung lagi. “Bagaimana ayah tega melakukan semua ini padaku, aku anak kandung ayah.” Satu hal yang selama ini dia tahu meski berusaha dia tolak. Keluarganya sudah hancur tak bersisa, harapan untuk bisa menyelamatkan sisa-sisanya musnah sudah. Tawa kebahagiaan yang dulu mewarnai kehidupan keluarga kecil mereka kini hanya tinggal kenangan yang menyakitkan. Ayah yang dia sayang bahkan rela menjualnya pada laki-laki seperti ini. Tak adakah setitik saja rasa sayang sang ayah yang tersisa untuknya? Apa semua ini akan lebih baik kalau sang ibu dalam kondisi normal dan bisa membelanya? Agung Hartawan memang masih gagah diusia yang hampir sebaya dengan ayah Cahaya, tak ada tanda-tanda tubuh yang mulai gendut atau kepala yang botak, tentu saja dengan uang sebanyak itu laki-laki
Marah. Wanita itu langsung menginjak kaki orang yang memeluknya. “Awwh! Sial!” Cahaya langsung melotot tak percaya saat dia melihat siapa yang tadi memeluknya erat. “Kalau sampai tertangkap aku akan buat perhitungan denganmu!” gertak gadis itu sambil mengangkat dagu. Cahaya lalu mengeluarkan ponsel bututnya dan menghubungi dokter Natasya, sambil sesekali menoleh ke belakang, tapi syukurlah para pengerjarnya tadi belum kelihatan. “Dok, dokter masih mencari pasien yang waktu itu kan, dia ada di belakang rumah sakit,” Cahaya menyebutkan titik lokasi dia berada saat ini dan berharap sang dokter segera datang untuk membawa kembali pasiennya ke rumah sakit jiwa. Dia menatap laki-laki sesaat lalu membalikkan badan tapi belum juga dia melangkah pergi tangannya kembali ditarik kali ini sedikit mendorong tubuh wanita itu supaya ada di belakang tubuhnya, tubuh tinggi besar laki-laki itu membuatnya serasa ada di bawah pohon b
“Yakin mau kos ditempat aku?” “Yakinlah, kok kayaknya nggak percaya gitu.” “Jelas nggak percayalah, anak mama kayak kamu kok ngekos ditempat kumuh lagi.” Entah sial atau beruntung dalam pelariannya ini Cahaya bertemu dengan teman SMAnya dulu, atau lebih tepat disebut saingan, karena mereka dulu selalu bersaing dalam prestasi.“Ya iyalah aku anak mama bukan anak tetangga, ngaco saja kamu. Jadi bagaimana ada nggak?” tanya Cahaya lagi. Meski berniat pergi dari rumah, dia tidak ingin pergi jauh dari kota ini, apalagi dengan kondisi sang ibu yang baru saja menjalani operasi jantung. “Bentar aku hubungi ibu kosku aku tanyakan, memangnya kamu butuh kapan?” “Sekarang,” jawab cahaya tanpa ragu. “Iya aku butuh sekarang, Lis.” Apa wajahnya kurang meyakinkan kalau butuh tempat tinggal saat ini? “Eh? Kamu kerja dekat kantorku?” “Nggak aku nggak kerja, cuma pingin kos saja nanti masalah kerja gampanglah,” jawab Cahaya sambil meringis. Wanita muda yang dipanggil Lis, oleh Cahaya itu hany
“Ini terlalu tinggi. Sial!” Cahaya tidak ada waktu untuk belajar bela diri apalagi terbang dari lantai dua rumahnya tanpa terluka. Apalagi kamar yang dia tempati sekarang terletak di belakang dan tak memiliki balkon. Jika dia nekad keluar langsung dengan tali bisa dipastikan akan terjun bebas ke dalam kolam di bawah sana, apalagi jendela kecil itu terlalu tinggi untuknya. Andai saja dia masih ada di kamarnya yang dulu tentu akan lebih mudah. Tari sialan itu telah mengambil alih kamarnya saat datang dulu, bagaimanapun dia mengusir Tari dari kamarnya gadis itu tetap kembali ke sana apalagi saat mendapat dukungan dari ayah dan istri barunya. Sialan! Sekarang bagaimana dia harus kabur?Rasa lelah membuatnya tidur seperti orang mati dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Padahal dia sadar betul rumahnya telah menjadi sarang musuh. Cahaya membuka jendela kamar dan dia menggeleng karena mustahil keluar dari sana tanpa dia tercebur kolam dan membentur dasarnya. Satu-satunya