Share

Bab 4

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2025-07-29 15:10:13

“Ma... ini Cahaya, anak mama. Mama harus sehat ya maaa... Aya kangen masakan mama.” 

Cahaya berusaha keras menahan air mata yang ingin menetes di pelupuk matanya, dia tidak ingin menangis. 

Dia dulu anak yang manja pada kedua orang tuanya, tapi  dalam lima tahun ini semuanya berubah, dia dituntut untuk bisa berdiri sendiri. 

Dia lelah untuk menjadi gadis yang kuat memikul semua beban di pundaknya. 

Operasi ibunya baru saja dilaksanakan dan dia juga sudah melunasi sisa pembayarannya. 

Bukan dari uang tabungannya lagi karena sudah tak ada lagi tabungan. 

Bukan pula dari ayahnya, tapi dari penjualan semua perhiasan emas simpanan  sang ibu yang ada di kamar yang sekarang dihuni ayah dan istri barunya. 

Dengan kata lain  Cahaya memang mencurinya. Mencuri perhiasan milik sang ibu yang dikuasai ayah dan istri barunya. 

Cahaya menunduk, bagaimanapun dia merasa bersalah sekarang. 

Sejak kecil ibunya selalu mengajarkan budi pekerti yang luhur padanya, dan sang ayah yang mengajarkan kedisiplinan, karena menjadi pencuri meski untuk mengembalikan pada yang berhak tetap saja namanya mencuri.

Cahaya mencium tangan ibunya dengan sayang, tak ada jawaban memang karena sang ibu masih dalam pengaruh bius. 

Hanya saat seperti ini Cahaya bisa mendekati ibunya, tanpa perlu takut dia akan melihat penolakan dari sang ibu. 

Andai bisa Cahaya ingin memeluk ibunya, dia tidak keberatan meski sang ibu belum bisa mengenalinya, tapi nyatanya sang ibu mengenalinya tapi sayangnya bukan sebagai putri kesayangannya tapi sebagai... pembunuh. 

Tapi yang paling membuatnya ketakutan adalah sorot mata penuh kebencian dari mata yang dulu menatapnya penuh kasih. 

Cahaya sudah berusaha keras mengingat apa yang sudah dia lakukan hingga sang ibu begitu trauma padanya. Sampai pusing kepalanya dia masih tak sanggup mengingat, pernah juga dia bertanya pada sang ayah, tapi ayahnya yang dulu bukan yang sekarang yang bisa dia tanya baik-baik apalagi soal ibunya. 

“Mbak Cahaya, jam kunjung sudah habis, biarkan ibunya istirahat,” tegur sang dokter. 

Cahaya menoleh dan menatap sang dokter penuh harap, dia masih ingin di sini. Masih ingin menemani ibunya, tapi dengan tegas sang dokter menggeleng. 

“Mbak sudah di sini hampir empat jam,” kata sang dokter sambil mengetuk arlojinya. 

Cahaya menoleh pada jam dinding dan menghela napas, kenapa waktu cepat sekali berlalu  padahal dia masih ingin di sini. 

“Baik, dokter. Titip mama saya.” 

Cahaya mengecup kening sang ibu sebelum melangkah pergi keluar kamar. 

Meski ada rasa tak rela tapi dia bersyukur ibunya baik-baik saja. Operasi ibunya sukses dan dia sudah menjual semua perhiasan sang ibu dan uangnya sudah dia depositokan untuk perawatan sang ibu. Dia hanya tinggal menata hidupnya saja, supaya nanti jika sang ibu sudah sembuh mereka bisa hidup bersama. 

Cahaya menghela napas panjang, kakinya yang jenjang melangkah ke sebuah kedai es krim langganannya. 

Satu cup besar es krim rasa strawberry dan beberapa potong kue coklat  menarik perhatiannya. Hari memang akan memasuki malam tapi tidak masalah bukan makan-makanan manis. 

Cahaya butuh makanan manis yang bisa membuatnya lupa pada hidupnya yang pahit. 

***

Setelah apa yang terjadi hari ini rasa lega membuat tubuh Cahaya bisa merasakan letih. Langkahnya sedikit goyah. Dia ingin segera masuk ke kamarnya dan membersihkan diri lalu tidur. 

Pulang ke rumah ini memang tidak lagi menjadi tempat favoritnya.

“Dari mana saja kamu!” 

Langkahnya langsung terhenti mendengar suara itu. 

Memangnya ada yang peduli apa yang dia lakukan? 

Memangnya ada yang akan khawatir saat dia pulang terlambat. Tidak ada bukan. 

Dia punya ayah dan ibu tapi serasa yatim piatu. 

Rumah yang dulunya hangat kini berubah menjadi sepanas neraka. Bahkan tak ada lagi foto-foto keluarganya yang dulu memenuhi dinding. Semuanya diganti dengan foto sang ayah dan keluarga barunya tanpa Cahaya. 

Ini rumah orang tuanya tapi dia seperti anak tiri yang menumpang. 

Cahaya akan melanjutnya langkahnya tapi melihat sorot mata ketiga orang yang ada di hadapannya, dia tahu kalau aksinya telah ketahuan. 

Cahaya takut tentu saja, dia tidak pernah mencuri dan berbohong sebelum ini, meski begitu dia masih berusaha keras memupuk rasa percaya dirinya. 

Itu milik mamanya, meski caranya salah tapi dia tidak sudi perhiasan itu jatuh ke tangan ibu tirinya. 

Cahaya berjalan dengan penuh percaya diri. “Papa mencariku? Tumben?” tanyanya tak peduli. 

Hubungan mereka sudah terlalu lama terpecah, papanya yang dulu seolah sudah mati. Dia bahkan tak bisa mengenalinya lagi. 

Plak!

Bukan jawaban yang Cahaya dapat tapi sebuah tamparan. Gadis itu merasakan panas di pipinya dan terasa cairan asin membasahi bibirnya.  

“Wah aku tidak tahu kalau papa yang dulu aku banggakan sekarang suka main tangan.” Cahaya tertawa pelan, tawa miris tanpa kebahagiaan. 

“Ini karena papa tak pernah mengajarimu menjadi maling. Di mana perhiasan ibumu!” 

“Maling? Jadi perhiasan mamaku hilang? Kenapa aku yang papa tuduh bukankah ada dia dikamar itu.” 

Cahaya menunjuk dua orang yang langsung melotot tak terima atas tuduhannya. 

“Aya, jangan tidak sopan. Mana mungkin mama Rini dan Tari yang melakukannya.” Meski terlihat amarah di wajahnya tapi istri ayahnya itu berusaha bersikap tenang. Cahaya sampai kagum... kagum dengan kelicikan wanita itu memanipulasi ayahnya. 

“Mas sudah, tanya pada Cahaya baik-baik. Mama dan Tari tidak mungkin mengambilnya, Aya.” 

“Benar mereka tak mungkin melakukannya, mereka tahu sopan santun tidak sepertimu.” 

“Tentu saja karena mereka sudah kenyang makan harta papa bahkan sampai bangkrut, tidak seperti aku anak kandung yang harus mengemis dulu,” jawab Cahaya tenang. 

Wajah sang ayah langsung memerah. “Jadi benar kamu yang mengambil perhiasan itu?” tanyanya dengan geram. 

“Aku hanya mengembalikannya pada mama. Dia memang pemiliknya.” Bibirnya tersenyum dengan pipi memar dan bibir berdarah, Cahaya tak akan menunjukkan rasa gentarnya. 

Dia tidak sudi kehilangan ibunya hanya karena sang ayah lebih mementingkan keluarga barunya. Apalagi jelas-jelas itu milik ibunya. 

“Sikapmu benar-benar makin kurang ajar. Berani sekali kamu mencuri di rumah ini!” 

Tangan sang ayah kembali melayang tapi dengan sigap Cahaya menangkapnya. Orang  yang dulu sangat dia hormati dan sayangi memang tak ada lagi, dan dia tidak sudi jadi samsak ayahnya apalagi untuk memuaskan dua orang wanita yang melihat dengan wajah puas. 

“Cukup sekali papa menamparku. Memangnya kenapa kalau aku mengambil perhiasan mamaku toh aku memberikannya pada orang yang berhak. Itu bukan milik papa,” kata Cahaya berani dia menghempaskan tangan sang ayah membuat laki-laki itu semakin murka. 

“Sejak kapan kamu menjadi liar seperti ini!” 

“Sejak papa lebih mengutamakan istri dan anak tiri papa dari pada mama dan anak kandung papa,” jawab Cahaya dengan dada yang bergemuruh. Dia tidak pernah bermimpi untuk melawan ayahnya. Selama ini dia hanya membangkang dengan membuat masalah kecil dan pulang malam, tapi hari ini dia tidak akan tinggal diam.

Wajah sang ayah sudah memerah dengan tangan terkepal erat, Cahaya menghela napas dia tidak akan mengkonfrontasi sang ayah lebih jauh lagi. Bagaimanapun dia tidak ingin sang ayah terkena serangan jantung. 

“Sudahlah aku ke kamar dulu,” kata Cahaya tak peduli.

Cahaya naik ke kamarnya tak peduli lagi dengan sang ayah yang menatapnya penuh kemarahan. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 113

    “Sudah siang. Bangunlah.” “Pergilahhh… aku masih ngantukkk” Ary menggelengkan kepalanya antara kasihan dan geli melihat sang istri yang kembali memeluk gulingnya erat. “Kamu tidak mau mengecewakan mama bukan.” Kembali Ary berbisik di telinga sang istri, sebenarnya dia tak tega juga melihat sang istri yang baru beberapa jam tidur karena melayaninya, tapi dia tahu Cahaya akan marah kalau dia tak membangunkannya. Entah kenapa dihadapan sang istri, Ary berubah menjadi laki-laki lemah yang gampang luluh, berbeda sekali dengannya saat berhadapan dengan anak buahnya. Apalagi saat tangannya menyentuh perut besar sang istri, dia merasa bisa menukar hidupnya dengan senyum sang istri. “Sayang, ayo mama pasti sudah menunggu,” kembali Ary berbisik di telinga istrinya. Kali ini mata indah itu mengerjap berusaha menghilangkan rasa kantuknya tangannya terangkat ke depan dan Ary tahu apa yang akan dikatakan istrinya. “Gendong.” Kan! “Dasar manja,” kata Ary sambil tertawa tapi tak ayal juga la

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 112

    Selama hidupnya belum pernah Ary merasakan ketakutan seperti ini. Dia yang dianggap sebagai anjing penjaga yang tak pernah gagal menjalankan tugasnya, nyatanya sekarang harus duduk merosot di depan ruang operasi, merasa gagal menjaga istrinya sendiri. “Den, minum dulu.” Ary mendongak dan simbok berdiri di depannya sambil menyodorkan satu gelas teh hangat padanya. “Minuman ini mungkin bisa membantu, Non Aya butuh aden, jangan sampai ikut sakit.” Wanita tua itu menatap laki-laki muda di depannya dengan prihatin, awalnya dia memang agak kurang setuju saat gadis kecil yang dia asuh harus menikah dengan laki-laki ini, laki-laki yang terkenal dalam dunia malam. Simbok yakin kalau laki-laki seperti itu suka menyakiti istrinya, tapi apa yang dia lihat sekarang menghancurkan keyakinan itu. Ary tampak hancur dan merasa bersalah. “Selama ini insting saya tidak pernah salah, tapi bodohnya hari ini saya mengabaikannya. Kalau saja saya tidak pergi… semuanya tidak akan seperti ini…” Kengeria

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 111

    “ Akhirnya pintu terbuka juga.”Harusnya suara itu membuatnya senang, tapi kali ini suara itu malah membuatnya takut. Bukankah Ary pernah bilang saat hatimu ragu untuk melakukan suatu hal percayailah instingmu.Kenapa dia tidak bias melupakan pesan suaminya itu. Pegangannya pada gagang pintu menguat, dia berusaha tersenyum pada orang di depannya. “Apa kami tidak dipersilahkan masuk.” “Boleh saja, tapi cuci dan tangan kalian dulu!” Memanfaatkan dua orang tamunya yang tertawa penuh ejekan, Cahaya berusaha menutup kembali pintu rumahnya sayang sekali gerakan mereka sangat terlatih dan cepat. “Tidak sopan menutup pintu saat ada tamu.” Cahaya sempat terdorong saat kedua orang itu merangsek masuk, tapi tentu saja tenaga satu orang wanita sama sekali tak sebanding dengan dua orang laki-laki tinggi besar yang sudah akrab dengan kekerasan.Jam segini perumahan ini sepi orang, kalaupun ada orang dia tak yakin mereka berani membantunya apalagi dengan reputusi Ary seperti itu, dia tak mau

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 110

    "Kenapa belum pergi? Bukankah kamu bilang ada urusan penting?" Ary mendongak, wajahnya yang memang terbiasa datar itu agak pucat dan resah. Untuk pertama kalinya Cahaya khawatir pada keadaan laki-laki itu. Ary selalu kuat, dia bahkan menyaksikan langsung sang suami yang bertarung melawan beberapa orang juga saat dia harus berhadapan dengan senjata tajam maupun senjata api. Cahaya tak meragukan kemampuan fisik suaminya, itu jugalah yang membuatnya sering memukuli suaminya karena dia tahu pukulannya tak lebih dari gelitikan untuk laki-laki itu. Ary kuat dan cerdas tak dia ragukan lagi, tapi Cahaya juga tidak akan lupa kalau suaminya adalah manusia yang memiliki keterbatasan. "Kamu sakit?" Tanyan Cahaya menyentuh kening sang suami, tapi laki-laki itu malah menggenggam tangannya lembut. "Aku baik-baik saja, harusnya itu pertanyaan untukmu kamu pasti lelah dengan semua yang terjadi" Cahaya tertegun sejenak alu bibirnya tersenyum manis. "Jangan merasa bersalah selama kamu ada di s

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 109

    "Kurang Ajar!!! Beraninya jalang sialan itu melawanku!!!" Gelas itu hancur berkeping-keping setelah membentur tembok dengan keras. Orang-orang yang ada di sana hanya bisa menunduk tak berani menatap wanita yang berdiri berkacak pinggang penuh amarah. "Di mana sekarang bukti-bukti itu?" Salah satu dari mereka mengangkat kepalanya lalu dengan suara bergetar menjawab, "Ka-kami tidak tahu nona, tapi kemungkinan besar ada pada Ary atau polisi." "Ary?! Dia tidak mungkin melakukannya, dia..." Napas wanita itu tercekat tanpa sadar air mata mengalir di pipinya, tapi dengan cepat dia menghapus air mata itu. Ary... Dia pernah sangat mencintai laki-laki itu dan rela melakukan apa saja agar bisa menjadi istrinya. Tapi setelah mereka bertunangan dengan seenaknya Ary membuangnya, memng pertunangan itu sendiri terjadi bukan karena inisiatif Ary tapi lebih kepada paksaan darinya dan juga pak Dewa. Dulu dia berpikir tidak masalah Ary tidak mencintainya, dia punya banyak uang untuk membuat Ar

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 108

    "Kok jalannya makin pelan???"Cahaya menoleh pada suaminya yang sekarang menghentikan langkah. Lengannya bahkan di tahan oleh laki-laki itu."Tunggu dulu, biarkan mereka ketemu." "Hah!!! Maksudmu mereka mau nostalgia masa lalu gitu." "Bisa jadi kalau mereka memang ada niat." Cahaya menatap suaminya dengan seksama dan dibalas dengan tatapan yang sama tajamnya dengan sang istri. "Kamu bermaksud menguji papa?" Ary hanya mengangkat bahunya saat mama Tari sudah masuk dan menutup pintu ruangan perlahan Ary menggandeng tangan Cahaya untuk mendekat, sedikit dia buka pintu ruangan supaya tahu apa yang terjadi. "Aku rasa tante Rini menyesal berpisah dari ayahmu, dia kehilangan sumber uangnya. Aku hanya ingin tahu papamu kembali tergoda padanya atau tidak." Cahaya menggeleng, tidak setuju dengan ide mereka yang kembali bersatu. Wanita itu berbahaya, dan sangat licik ayahnya bisa saja menjadi korban tipu muslihatnya sekali lagi. "Mas kenapa tidak memberitahuku kalau kamu sakit?? Apa ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status