“Ini terlalu tinggi. Sial!”
Cahaya tidak ada waktu untuk belajar bela diri apalagi terbang dari lantai dua rumahnya tanpa terluka. Apalagi kamar yang dia tempati sekarang terletak di belakang dan tak memiliki balkon. Jika dia nekad keluar langsung dengan tali bisa dipastikan akan terjun bebas ke dalam kolam di bawah sana, apalagi jendela kecil itu terlalu tinggi untuknya. Andai saja dia masih ada di kamarnya yang dulu tentu akan lebih mudah. Tari sialan itu telah mengambil alih kamarnya saat datang dulu, bagaimanapun dia mengusir Tari dari kamarnya gadis itu tetap kembali ke sana apalagi saat mendapat dukungan dari ayah dan istri barunya. Sialan! Sekarang bagaimana dia harus kabur? Rasa lelah membuatnya tidur seperti orang mati dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Padahal dia sadar betul rumahnya telah menjadi sarang musuh. Cahaya membuka jendela kamar dan dia menggeleng karena mustahil keluar dari sana tanpa dia tercebur kolam dan membentur dasarnya. Satu-satunya jalan adalah pintu masuk kamarnya, tapi pintu itu pasti dikunci. Ayahnya pasti sudah mengambil kuncinya. Bisa saja dia menghubungi pembantu yang masih setia mengabdi di rumah ini sejak dulu, wanita tua itu pasti mau menolongnya. Cahaya menatap sekeliling kamarnya yang berantakan. Laci-laci menjulur keluar, baju dalam almari porak-poranda bahkan ranjangnya juga tak luput dari sasaran. Cahaya tersenyum sinis. Dia tidak akan sebodoh itu menyimpan perhiasan ibunya di kamar ini juga beberapa benda atas nama ibunya yang sudah dia ambil. Tadi malam dia tak menyadarinya karena terlalu marah dan lelah. “Non.” Senyum gadis itu langsung merekah saat mendengar suara pintu terbuka dan siapa yang membuka pintu, tapi senyum itu langsung sirna saat melihat siapa yang ada di belakang simbok. Bahkan bau harum masakan simbok tak membuatnya bisa mengalihkan rasa marah di hatinya. “Mulai sekarang kamu tetap di kamar, mbok akan mengirim makanan kemari.” “Baik,” kata gadis itu datar. Hubungan mereka sekarang memang seperti ini, kaku dan datar. Ayah yang dulu selalu menggendongnya, mengelus rambutnya kini tak ada lagi dan yang lebih menyakitkan adalah tak ada lagi tatapan penuh kasih untuknya. “Minggu depan kamu akan menikah dengan pak Agung, gunakan waktumu untuk mempercantik diri, papa sudah minta Tari untuk membelikan alat-alat kecantikan. Ingat ini kesempatanmu untuk menyelamatkan keluarga kita jangan buat kesalahan.” Keluarga yang mana yang ayahnya maksud? Ayahnya bahkan hanya menganggapnya beban dalam keluarga ini. “Astaga wajah non kenapa bengkak begitu biar mbok ambilkan obat dulu.” Wanita tua itu buru-buru keluar kamar untuk mengambil kotak obat. Lihatlah bahkan simbok yang hanya pembantu di rumah ini lebih memiliki rasa kepedulian dari pada ayahnya yang hanya berdiri di pintu. “Saat aku terluka dulu papa yang paling ribut membawaku ke dokter, ternyata waktu bisa menghapus kasih sayang seorang ayah,” gumam Cahaya lirih yang tentu saja masih dapat didengar sang ayah. “Ayah menghukummu karena kamu sudah lancang mengambil perhiasan itu.” “Itu perhiasan mama, apa papa marah karena istri papa menginginkannya.” “Sudah benar papa mengurungmu di sini, renungkan semua kesalahanmu, lukamu tidak terlalu parah jangan manja.” Pintu itu dibanting dengan keras. “Tuan, tolong buka pintunya, mbok ingin mengobati luka Non Aya.” “Nanti juga sembuh. Mbok tidak perlu berlebihan.” “Benar nanti bisa sembuh tapi akan berbekas, tuan bilang non Aya akan menikah, saya hanya khawatir luka itu berbekas dan membuat calon suami non Aya membatalkannya.” Cahaya hanya diam mendengarkan dari balik pintu kamar percakapan itu, ada rasa perih yang menghujam hatinya saat pintu terbuka. Bukan karena dia tidak ingin diobati, tapi alasan kenapa lukanya harus diobati. “Non biar mbok obati lukanya dulu,” kata simbok sambil menatapnya prihatin. “Mbok tidak perlu-“ Simbok menekan tangan Aya kuat memberi isyarat wanita muda itu untuk diam, lalu menuntun gadis itu untuk duduk di ranjang dan mengobati lukanya. “Mbok sudah bersihkan dan diolesi obat.” Cahaya hanya diam, tapi matanya yang awas memperhatikan kertas kecil yang simbok selipkan di dalam kotak kardus salep. “Terima kasih, mbok.” Wanita tua itu hanya mengangguk dan pintu tertutup dengan kencang lagi. Cahaya masih diam ditempatnya hingga beberapa menit, menunggu langkah kaki menjauh dari depan kamarnya. Setelah yakin tak ada orang lain yang akan mengganggunya lagi, Cahaya langsung berdiri dan mengganjal pintu dengan kursi. Buru-buru dia mengambil salep itu dan mengambil kertas kecil yang diselipkan simbok. “Mbok meletakkan kunci kamar di dalam kuah sop, hati-hati mbok hanya bisa membantu sampai di sini, tuan biasanya berangkat ke kantor jam 9 sedangkan nyonya dan anaknya akan keluar setelahnya.” Cahaya merobek kertas itu menjadi tak berbentuk lagi, lalu buru-buru membuangnya ke dalam kloset. Kuah sop? Cahaya mengambil sendok dan mengaduk-aduk kuah itu, senyumnya tersungging saat menemukan kunci yang dimaksud lalu menyembunyikannya. Jam dinding memang masih menunjukkan pukul tujuh pagi, dua jam lagi ayahnya ke kantor. Sial karena kamar ini terletak di belakang dia sama sekali tidak bisa memastikan hal itu. Dua jam dihabiskan Cahaya untuk mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia harus pergi dari rumah ini sebelum terlambat. Seharusnya tadi dia memang tidak pulang. Sialan kenapa dia bisa sebodoh ini. Tapi dia harus kemana? Dia tidak punya teman dekat yang bisa dia mintai tolong. Bekerja di salah satu toko mebel sang ayah membuatnya tak bisa meminta tolong pada rekan kerjanya. Padahal dengan kecerdasannya seharusnya dia bisa mendapat pekerjaan lebih baik. Cahaya menggeleng, itu urusan nanti yang penting dia harus bisa keluar dari rumah ini dulu. Untung saja rumahnya ada di kompleks menengah dan papanya tidak mempekerjakan satpam. Jadi dia bisa bebas keluar masuk. Tapi bagaimana kalau papanya menyalahkan simbok? Cahaya tersenyum saat sebuah ide melintas di otaknya. Tepat pukul sepuluh pagi dia membuka jendela kecil di kamarnya dan memecahkan kacanya, menjalin sprei menjadi panjang untuk mengesankan dia lari lewat jendela itu. Tak ada yang datang artinya aman. Mungkin mereka semua sudah pergi. Perlahan Cahaya membuka pintu kamarnya dan setelah dirasa semua aman mengunci kembali pintu kamarnya dan berlari keluar rumah. Saat keluar pagar Cahaya sengaja menyapa beberapa tetangganya yang ada di depan rumah dengan ramah dan seolah tidak terjadi apapun dia berjalan cepat untuk mencari taksi dan pergi dari sini. Dia hanya membawa tas kecil yang berisi dompet dan beberapa surat penting, untung saja sebelumnya dia sudah mengamankan ijasah dan surat berharga lainnya di safety box miliknya. Sejenak gadis itu menoleh ke arah rumah yang baru saja dia tinggalkan. Rumah yang tak lagi menginginkan dirinya. Hati Cahaya luar biasa hancur saat ini, tapi dia tidak bisa kembali setelah memutuskan untuk pergi. Dia tidak bisa membiarkan masa depannya dihancurkan oleh ayahnya karena uang.Bahkan sampai hari kedua papanya dirawat kedua orang itu sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Cahaya tak tahu kalau mereka benar-benar manusia tak punya hati. Apa sekarang sang ayah bisa membela lagi keluarga barunya itu. Bukannya Cahaya keberatan menunggui ayahnya di rumah sakit, tidak sama sekali. Dia malah senang, paling tidak dia bisa mengobati rasa rindunya selama ini dia bisa memeluk dan mencium ayahnya seperti dulu tanpa takut sang ayah tiba-tiba bangun dan memergoki kelakuannya. Dan satu jam yang lalu sang ayah sudah terbangun dalam keadaan kebingungan dan nama Cahaya dan mamanya yang dipanggil. Membuat wnaita itu bertanya-tanya apa sebenarnya sang ayah masih sangat mencintai ibunya dan mulai menyesali keputusannya menikahi wanita itu. "Kenapa papa nekad menemui mama?" Tanya Cahaya setelah sang ayah bangun sadar. Sang ayah hanya diam saja dengan kepala menunduk. "Pa aku bertanya pada papa?" Desak wanita itu lagi. "Papa hanya ingin minta maaf pada mama. Mama
Cahaya sakit. Badannya tiba-tiba saja demam saat mereka akan mengunjungi rumah keluarga ayahnya. Terpaksa Ary menunda kepergian mereka ke sana, dan segera membawa Cahaya ke rumah sakit meski wanita itu bersikeras kalau dia baik-baik saja dan akan sembuh dengan sendirinya jika tidur nyenyak. Ary merasa bersalah tentu saja. Padahal Cahaya sudah menolak awalnya tapi dia terus memaksa. "Jadi istri saya tidak perlu rawat inap, dok?" Tanya Ary. "Tidak, ibu Cahaya bisa pulang dan beristirahat di rumah saja." Sepanjang perjalanan pulang wanita itu menampilkan wajah masam, Ary yang merasa bersalah memilih menutup mulutnya. "Makanya kalau aku bilang aku nggak mau ya nggak mau, kamu ngeyel banget yang tahu kondisiku ya aku sendiri," omel Cahaya. Seperti biasa Ary hanya meringis menerima omelannya. Wanita itu segera minum obat yang diberikan dokter dan naik ke atas ranjang. Ary meninggalkan wanita itu sendiri dan menuju ruang tengah ada hal yang harus dia kerjakan, sebenarnya bukan pe
Entah apa yang terjadi pada suami baru ibunya itu, Tari tak tahu. Dia bahkan memotong uang bulanan untuknya, dan tidak ada lagi acara liburan keluarga seperti biasanya. "Pa, minggu depan ulang tahunku. Aku ingin merayakannya di bali." "Pergilah," kata sang ayah entah maksudnya pergilah ke bali atau pergi dari sini. Tari menghentakkan kakinya kesal, dia lalu menyusul ibunya di dapur, sedang mengawasi simbok yang membuat makan malam. "Ma!" Teriak Tari kesal saat melihat ibunya sama sekali tak mendengar panggilannya dan malah lebih fokus memarahi simbok. Memang pembantu tua itu sama sekali tidak becus lagi kerjanya, apalagi dia juga antek Cahaya. Ingin sekali Tari memecat wanita tua itu dan menggantikannya dengan yang lebih muda dan sudah pasti akan nurut apapun ucapannya. Sayangnya ayah tirinya itu mengancam akan menghapus uang bulannya jika dia sampai berani mengganggu simbok apalagi sampai memecatnya. "Ada apa, kenapa kamu berteriak seperti itu mama tidak tuli," kata sang
"Apa tadi malam papa pulang dengan selamat sampai rumahnya?" Tanya Cahaya. Wanita itu masih betah bergelung dalam pelukan suaminya, padahal ini sudah jam sembilan lewat. "Kamu mengkhawatirkannya setelah apa yang dia katakan tadi malam." "Ri, please," kata Cahaya dengan nada memohon. "Aku minta pak Joko membuntutinya dan dia pulang dengan selamat, seharusnya papamu bersyukur kamu masih peduli padanya." "Dia papaku, ok." "Baiklah trserah kamu saja," kata Ary setengah jengkel, laki-laki itu ingin bangun tapi Cahaya memeluk tubuhnya erat sampai dia tak bisa bergerak. Awalnya tentu saja dia sangat senang Cahaya mau memeluknya seperti ini, dia bahkan sudah berharap melakukan apapun yang ada di kepalanya bersama sang istri tapi sialnya dia baru ingat kalau Cahaya sedang datang bulan. "Sekarang lepaskan aku, ini sudah siang." Cahaya langsung melepaskan pelukannya pada Ary dengan dengan malu, kenapa sejak tadi dia tidak sadar kalau Ary risih dengan perbuatannya. Otaknya pasti sudah m
"Pa-pa, ehm... Sudah lama di sini kenapa tidak menghubungiku?" Tanya Cahaya sediikit terbata. Ary menatap istrinya, sebenarnya dia merasa kasihan karena Cahaya terlihat sekali seperti akan pingsan karena lelah, tapi dia tidak mungkin mengusir mertuanya. Meski sudah lama hidup dan besar dijalanan dengan kehidupan yang penuh kekerasan tapi Ary juga tahu sopan santun. "Silahkan masuk," kata Ary sambil merangkul bahu istrinya. Lidahnya masih kelu saat akan memanggil laki-laki ini dengan panggilan papa secara langsung, apalagi saat dia tahu apa yang laki-laki ini lakukan pada istrinya, makin hilanglah respeknya, tapi dia tidak ingin istrinya kecewa padanya. Cahaya memang sering kali bertengkar dengan ayahnya tapi dia tahu sang istri sangat menyayangi laki-laki yang menjadi penyebabnya ada di dunia ini. "Bersihkan diri dulu, biar aku temani papamu sebentar," bisik Ary pada istrinya. Cahaya menatap suaminya sejenak lalu mengangguk. "Bentar, pa. Aya mau mandi dulu," katanya yang diang
“Apa yang akan kamu lakukan setelah tahu semua ini?” tanya Ary. Cahaya menoleh sebentar pada rumah sederhana yang baru saja dia tinggalkan, rumah yang membuat hatinya sesak sekaligus lega. “Apa lagi? Seperti katamu, membantu papaku yang sedang dibutakan oleh cinta itu untuk bisa melihat lebih jelas.” Cahaya langsung masuk ke dalam mobil dan menggunakan sabuk pengaman siap untuk kembali ke rumah. Malam memang belum terlalu tua, tapi desa kecil ini sudah dilanda kegelapan total, pohon-pohon yang besar mendominasi, rumah-rumah penduduk bahkan bisa dihitung dengan jari. Pantas saja kalau orang sulit ditemukan, desa ini seolah tak berpenghuni, hanya orang dengan nyali besar yang mau datang ke sini Jika bukan takut pada yang hidup tentu akan takut pada yang mati. Keluarganya hanya ingin hidup dengan baik dan tidak pernah mencari musuh, kenapa mereka menjadikan keluarganya sasaran yang tak berperikemanusiaan. Bukankah masih banyak orang yang memiliki banyak uang di luar sana yang bi