Share

Bab 5

Penulis: Ajeng padmi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 15:10:48

“Ini terlalu tinggi. Sial!” 

Cahaya tidak ada waktu untuk belajar bela diri apalagi terbang dari lantai dua rumahnya tanpa terluka. Apalagi kamar yang dia tempati sekarang terletak di belakang dan tak memiliki balkon. 

Jika dia nekad keluar langsung dengan tali bisa dipastikan akan terjun bebas ke dalam kolam di bawah sana, apalagi jendela kecil itu terlalu tinggi untuknya. 

Andai saja dia masih ada di kamarnya yang dulu tentu akan lebih mudah. 

Tari sialan itu telah mengambil alih kamarnya saat datang dulu, bagaimanapun dia mengusir Tari dari kamarnya gadis itu tetap kembali ke sana apalagi saat mendapat dukungan dari ayah dan istri barunya. 

Sialan! Sekarang bagaimana dia harus kabur?

Rasa lelah membuatnya tidur seperti orang mati dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. 

Padahal dia sadar betul rumahnya telah menjadi sarang musuh. 

Cahaya membuka jendela kamar dan dia menggeleng karena mustahil keluar dari sana tanpa dia tercebur kolam dan membentur dasarnya. 

Satu-satunya jalan adalah pintu masuk kamarnya, tapi pintu itu pasti dikunci. Ayahnya pasti sudah mengambil kuncinya. 

Bisa saja dia menghubungi pembantu yang masih setia mengabdi di rumah ini sejak dulu, wanita tua itu pasti mau menolongnya. 

Cahaya menatap sekeliling kamarnya yang berantakan. Laci-laci menjulur keluar, baju dalam almari porak-poranda bahkan ranjangnya juga tak luput dari sasaran. 

Cahaya tersenyum sinis. Dia tidak akan sebodoh itu menyimpan perhiasan ibunya di kamar ini juga beberapa benda atas nama ibunya yang sudah dia ambil. 

Tadi malam dia tak menyadarinya karena terlalu marah dan lelah. 

“Non.” 

Senyum gadis itu langsung merekah saat mendengar suara pintu terbuka dan siapa yang membuka pintu, tapi senyum itu langsung sirna saat melihat siapa yang ada di belakang simbok. 

Bahkan bau harum masakan simbok tak membuatnya bisa mengalihkan rasa marah di hatinya. 

“Mulai sekarang kamu tetap di kamar, mbok akan mengirim makanan kemari.” 

“Baik,” kata gadis itu datar. 

Hubungan mereka sekarang memang seperti ini, kaku dan datar. Ayah yang dulu selalu menggendongnya, mengelus rambutnya kini tak ada lagi dan yang lebih menyakitkan adalah tak ada lagi tatapan penuh kasih untuknya. 

“Minggu depan kamu akan menikah dengan pak Agung, gunakan waktumu untuk mempercantik diri, papa sudah minta Tari untuk membelikan alat-alat kecantikan. Ingat ini kesempatanmu untuk menyelamatkan keluarga kita jangan buat kesalahan.” 

Keluarga yang mana yang ayahnya maksud? Ayahnya bahkan hanya menganggapnya beban dalam keluarga ini. 

“Astaga wajah non kenapa bengkak begitu biar mbok ambilkan obat dulu.” 

Wanita tua itu buru-buru keluar kamar untuk mengambil kotak obat. 

Lihatlah bahkan simbok yang hanya pembantu di rumah ini lebih memiliki rasa kepedulian dari pada ayahnya yang hanya berdiri di pintu. 

“Saat aku terluka dulu papa yang paling ribut membawaku ke dokter, ternyata waktu bisa menghapus kasih sayang seorang ayah,” gumam Cahaya lirih yang tentu saja masih dapat didengar sang ayah. 

“Ayah menghukummu karena kamu sudah lancang mengambil perhiasan itu.” 

“Itu perhiasan mama, apa papa marah karena istri papa menginginkannya.” 

“Sudah benar papa mengurungmu di sini, renungkan semua kesalahanmu, lukamu tidak terlalu parah jangan manja.” 

Pintu itu dibanting dengan keras. 

“Tuan, tolong buka pintunya, mbok ingin mengobati luka Non Aya.” 

“Nanti juga sembuh. Mbok tidak perlu berlebihan.” 

“Benar nanti bisa sembuh tapi akan berbekas, tuan bilang non Aya akan menikah, saya hanya khawatir luka itu berbekas dan membuat calon suami non Aya membatalkannya.” 

Cahaya hanya diam mendengarkan dari balik pintu kamar percakapan itu, ada rasa perih yang menghujam hatinya saat pintu terbuka. 

Bukan karena dia tidak ingin diobati, tapi alasan kenapa lukanya harus diobati. 

“Non biar mbok obati lukanya dulu,” kata simbok sambil menatapnya prihatin. 

“Mbok tidak perlu-“

Simbok menekan tangan Aya kuat memberi isyarat wanita muda itu untuk diam, lalu menuntun gadis itu untuk duduk di ranjang dan mengobati lukanya. 

“Mbok sudah bersihkan dan diolesi obat.” 

Cahaya hanya diam, tapi matanya yang awas memperhatikan kertas kecil yang simbok selipkan di dalam kotak kardus salep.

“Terima kasih, mbok.” 

Wanita tua itu hanya mengangguk dan pintu tertutup dengan kencang lagi. 

Cahaya masih diam ditempatnya hingga beberapa menit, menunggu langkah kaki menjauh dari depan kamarnya. 

Setelah yakin tak ada orang lain yang akan mengganggunya lagi, Cahaya langsung berdiri dan mengganjal pintu dengan kursi. 

Buru-buru dia mengambil salep itu dan mengambil kertas kecil yang diselipkan simbok. 

“Mbok meletakkan kunci kamar di dalam kuah sop, hati-hati mbok hanya bisa membantu sampai di sini, tuan biasanya berangkat ke kantor jam 9 sedangkan nyonya dan anaknya akan keluar setelahnya.” 

Cahaya merobek kertas itu menjadi tak berbentuk lagi, lalu buru-buru membuangnya ke dalam kloset. 

Kuah sop? 

Cahaya mengambil sendok dan mengaduk-aduk kuah itu, senyumnya tersungging saat menemukan kunci yang dimaksud lalu menyembunyikannya. 

Jam dinding memang masih menunjukkan pukul tujuh pagi, dua jam lagi ayahnya ke kantor. 

Sial karena kamar ini terletak di belakang dia sama sekali tidak bisa memastikan hal itu. 

Dua jam dihabiskan Cahaya untuk mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia harus pergi dari rumah ini sebelum terlambat. 

Seharusnya tadi dia memang tidak pulang. Sialan kenapa dia bisa sebodoh ini. 

Tapi dia harus kemana? Dia tidak punya teman dekat yang bisa dia mintai tolong. Bekerja di salah satu toko mebel sang ayah membuatnya tak bisa meminta tolong pada rekan kerjanya. 

Padahal dengan  kecerdasannya seharusnya dia bisa mendapat pekerjaan lebih baik. 

Cahaya menggeleng, itu urusan nanti yang penting dia harus bisa keluar dari rumah ini dulu. Untung saja rumahnya ada di kompleks menengah dan papanya tidak mempekerjakan satpam. Jadi dia bisa bebas keluar masuk. 

Tapi bagaimana kalau papanya menyalahkan simbok? 

Cahaya tersenyum saat sebuah ide melintas di otaknya. 

Tepat pukul sepuluh pagi dia membuka jendela kecil di kamarnya dan memecahkan kacanya, menjalin sprei menjadi panjang untuk mengesankan dia lari lewat jendela itu. 

Tak ada yang datang artinya aman. Mungkin mereka semua sudah pergi. 

Perlahan Cahaya membuka pintu kamarnya dan setelah dirasa semua aman mengunci kembali pintu kamarnya dan berlari keluar rumah. 

Saat keluar pagar Cahaya sengaja menyapa beberapa tetangganya yang ada di depan rumah dengan ramah dan seolah tidak terjadi apapun dia berjalan cepat untuk mencari taksi dan pergi dari sini. 

Dia hanya membawa tas kecil yang berisi dompet dan beberapa surat penting, untung saja sebelumnya dia sudah mengamankan ijasah dan surat berharga lainnya di safety box miliknya.  

Sejenak gadis itu menoleh ke arah rumah yang baru saja dia tinggalkan. Rumah yang  tak lagi menginginkan dirinya.

Hati Cahaya luar biasa hancur saat ini, tapi dia tidak bisa kembali setelah memutuskan untuk pergi. Dia tidak bisa membiarkan masa depannya dihancurkan oleh ayahnya karena uang. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 10

    “Kenapa papa setuju Cahaya menikah dengan Ary?” Cahaya yang akan masuk ke dalam rumah langsung menghentikan langkahnya. Itu suara Tari, dan pasti sang ayah sudah menceritakan semuanya pada istri dan anak barunya, tapi yang membuat Cahaya penasaran adalah kenapa Tari yang katanya anak rumahan yang baik hati dan  lemah lembut sampai tahu tentang laki-laki itu, sedangkan dia yang hobi nongkrong sampai malam sama sekali tidak tahu?Cahaya tadinya berharap menemui dokter Natasya supaya bisa membawa Ary ke RSJ kembali tapi kenyataan yang dia dapat malah lebih mengerikan dari pada mempunyai calon suami gila. Laki-laki itu kejam dan tanpa ampun, itulah yang dia simpulkan dari keterangan sang dokter, meski dia dua kali pertemuan mereka Ary tidak menunjukkan sikap itu, atau karena laki-laki itu cukup tertarik padanya. Pikiran terakhir itu bahkan tak membuatnya lebih baik. Cahaya tanpa sadar menggigil ketakutan dia ingat betul kondisi anak buah

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 9

    “Kamu gila Aya! Seharusnya kamu juga pasienku!” Cahaya menatap cemberut dokter cantik di depannya, biasanya dokter Natasya yang sangat lembut dan pengertian tiba-tiba membentaknya hanya karena dia tahu ada satu pasien wanita itu yang belum berhasil ditangkap. “Kok dokter malah ngebentak saya,” protesnya tak suka. Dokter Natasya memang baik padanya, Cahaya juga merasa dia banyak punya hutang budi pada wanita cantik ini, tapi dia bukan orang yang akan mau saja menerima semua perbuatan orang lain meski dia telah berjasa padanya, pengalaman hidupnya selama ini mengajarkan demikian.“Astaga!” Bukannya menjawab Cahaya dokter Natasya malah lebih terlihat bingung dan takut. “Dok ada apa sih? Kemarin kenapa dokter tidak datang ke  tempat yang aku tunjukkan,” protes Cahaya tak terima, wajah cantik gadis itu merengut membuat snag dokter menghela napas panjang dengan kepolosannya. “Kamu benar-benar tak tahu siapa dia?” tanya s

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 8

    Cahaya menatap ayahnya dan laki-laki yang dijodohkan dengannya itu bergantian. Rasa kecewa langsung menyergapnya tanpa bisa dibendung lagi. “Bagaimana ayah tega melakukan semua ini padaku, aku anak kandung ayah.” Satu hal yang selama ini dia tahu meski berusaha dia tolak. Keluarganya sudah hancur tak bersisa, harapan untuk bisa menyelamatkan sisa-sisanya musnah sudah. Tawa kebahagiaan yang dulu mewarnai kehidupan keluarga kecil mereka kini hanya tinggal kenangan yang menyakitkan. Ayah yang dia sayang bahkan rela menjualnya pada laki-laki seperti ini. Tak adakah setitik saja rasa sayang sang ayah yang tersisa untuknya? Apa semua ini akan lebih baik kalau sang ibu dalam kondisi normal dan bisa membelanya? Agung Hartawan memang masih gagah diusia yang hampir sebaya dengan ayah Cahaya, tak ada tanda-tanda tubuh yang mulai gendut atau kepala yang botak, tentu saja dengan uang sebanyak itu laki-laki

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 7

    Marah. Wanita itu langsung menginjak kaki orang yang memeluknya. “Awwh! Sial!” Cahaya langsung melotot tak percaya saat dia melihat siapa yang tadi memeluknya erat. “Kalau sampai tertangkap aku akan buat perhitungan denganmu!” gertak gadis itu sambil mengangkat dagu. Cahaya lalu mengeluarkan ponsel bututnya dan menghubungi dokter Natasya, sambil sesekali menoleh ke belakang, tapi syukurlah para pengerjarnya tadi belum kelihatan. “Dok, dokter masih mencari pasien yang waktu itu kan, dia ada di belakang rumah sakit,” Cahaya menyebutkan titik lokasi dia berada saat ini dan berharap sang dokter segera datang untuk membawa kembali pasiennya ke rumah sakit jiwa. Dia menatap laki-laki sesaat lalu membalikkan badan tapi belum juga dia melangkah pergi tangannya kembali ditarik kali ini sedikit mendorong tubuh wanita itu supaya ada di belakang tubuhnya, tubuh tinggi besar laki-laki itu membuatnya serasa ada di bawah pohon b

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 6

    “Yakin mau kos ditempat aku?” “Yakinlah, kok kayaknya nggak percaya gitu.” “Jelas nggak percayalah, anak mama kayak kamu kok ngekos ditempat kumuh lagi.” Entah sial atau beruntung dalam pelariannya ini Cahaya bertemu dengan teman SMAnya dulu, atau lebih tepat disebut saingan, karena mereka dulu selalu bersaing dalam prestasi.“Ya iyalah aku anak mama bukan anak tetangga, ngaco saja kamu. Jadi bagaimana ada nggak?” tanya Cahaya lagi. Meski berniat pergi dari rumah, dia tidak ingin pergi jauh dari kota ini, apalagi dengan kondisi sang ibu yang baru saja menjalani operasi jantung. “Bentar aku hubungi ibu kosku aku tanyakan, memangnya kamu butuh kapan?” “Sekarang,” jawab cahaya tanpa ragu. “Iya aku butuh sekarang, Lis.” Apa wajahnya kurang meyakinkan kalau butuh tempat tinggal saat ini? “Eh? Kamu kerja dekat kantorku?” “Nggak aku nggak kerja, cuma pingin kos saja nanti masalah kerja gampanglah,” jawab Cahaya sambil meringis. Wanita muda yang dipanggil Lis, oleh Cahaya itu hany

  • Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila   Bab 5

    “Ini terlalu tinggi. Sial!” Cahaya tidak ada waktu untuk belajar bela diri apalagi terbang dari lantai dua rumahnya tanpa terluka. Apalagi kamar yang dia tempati sekarang terletak di belakang dan tak memiliki balkon. Jika dia nekad keluar langsung dengan tali bisa dipastikan akan terjun bebas ke dalam kolam di bawah sana, apalagi jendela kecil itu terlalu tinggi untuknya. Andai saja dia masih ada di kamarnya yang dulu tentu akan lebih mudah. Tari sialan itu telah mengambil alih kamarnya saat datang dulu, bagaimanapun dia mengusir Tari dari kamarnya gadis itu tetap kembali ke sana apalagi saat mendapat dukungan dari ayah dan istri barunya. Sialan! Sekarang bagaimana dia harus kabur?Rasa lelah membuatnya tidur seperti orang mati dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Padahal dia sadar betul rumahnya telah menjadi sarang musuh. Cahaya membuka jendela kamar dan dia menggeleng karena mustahil keluar dari sana tanpa dia tercebur kolam dan membentur dasarnya. Satu-satunya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status