“Non pikirkan lagi. Non bisa pakai tabungan dan perhiasan mbok dulu. Itu terlalu berbahaya.”
Cahaya butuh bantuan simbok untuk memuluskan rencananya, karena itu pagi ini dia mengatakan apa rencananya pada wanita tua itu. Tentu saja setelah memastikan kalau ayahnya dan para benalu itu masih tenggelam dalam mimpi. “Saya tidak yakin papa akan memberikan uang itu, kalaupun papa mau para benalu itu pasti akan mengagalkannya,” sinis sekali ucapan gadis itu. “Kali ini bapak pasti memberikan uang itu,” kata simbok yakim membuat Cahaya mengernyit curiga. Cahaya meletakkan ayam goreng yang sejak tadi dia makan dan menghampiri simbok yang sibuk memindahkan hasil masakannya ke piring saji. “Mbok tahu apa rencana papa?” tanyanya menatap wanita tua itu dengan seksama. Simbok tak menjawab dia memilih meletakkan hasil masakannya di atas meja makan, dan kembali sibuk dengan masakannya tapi Cahaya tentu saja tak membiarkan itu. “Apa rencana papa?” tanyanya lagi mengambil piring yang ada di tangan simbok dan meletakkannya di meja makan secepatnya. Simbok menghela napas dan menatap Cahaya dengan sendu. “Simbok tak sengaja mendengar kalau bapak ingin menjodohkan non Aya dan katanya laki-laki itu kaya raya.” Wanita tua itu terdiam menatap anak majikannya itu, sungguh dia menyayangi gadis di depannya ini. Cahaya anak yang sangat berbakti sebenarnya dan tentu saja itu karena didikan baik kedua orang tuanya. Kedua majikannya sangat menyayangi Cahaya dulu, kalau saja simbok tidak melihat sendiri perlakuan majikan laki-lakinya pada sang putri tentu dia akan bilang orang itu gila. Keluarga harmonis majikannya kini hanya tinggal kenangan indah yang menyakitkan. Cahaya hanya diam, dia hanya menatap simbok dengan tatapan tak percaya. “Simbok pikir jika laki-laki itu bisa memberi non kehidupan yang lebih baik, non Aya lebih baik menerimanya, non Aya tak perlu pusing dengan biaya perawatan ibu.” Cahaya menatap wanita tua di depannya dengan tatapan kosong, ini terlalu mengejutkan untuknya. Selama ini hidupnya penuh dengan permasalahan, jangankan memikirkan tentang laki-laki, teman dekat saja Cahaya tak punya. Kondisi rumah tangga orang tuanya meninggalkan trauma tersendiri untuknya. Dia tidak percaya lagi dengan pernikahan, karena apa yang kelihatan harmonis saja bisa hancur berantakan dalam sekejap. “Siapa?” tanya Cahaya setelah lama dia terdiam, meski sejujurnya dia tidak terlalu penasaran dengan siapa yang akan dijodohkan dengannya. “Maaf, Non. Bibi kurang tahu soal itu. Bapak hanya bilang minggu depan untuk menyiapkan hidangan untuk orang yang akan melamar non Aya.” Cahaya baru saja ingin membuka mulut untuk bertanya lebih jauh tapi simbok buru-buru mendorongnya pelan. “Ini hampir jam enam, non Aya tidak siap-siap untuk kerja?” sambil memberikan kode supaya Aya cepat pergi. “Mbok, apa sarapannya sudah siap!” Cahaya menoleh dan melihat wanita yang menjadi istri muda ayahnya itu menatap mbok yang sedang ngobrol dengannya dengan tak suka. “Mamaku dulu selalu menyiapkan sarapan untuk aku dan papa bukan main perintah saja,” sindir Cahaya saat melewati istri baru ayahnya itu. Cahaya langsung berlari setelah mengatakan itu, dia tidak berniat adu mulut dengan wanita itu. Setidaknya tidak untuk hari ini. dia punya hal yang lebih penting untuk dipikirkan. Satu jam kemudian Cahaya turun ke bawah dengan pakaian rapi. Dia melangkah ke ruang makan. dia berharap semua orang sudah berangkat jadi dia tidak perlu menahan sakit hati karena bertemu dengan mereka, tapi perkiraannya salah ketiganya masih duduk tenang di sana. “Mau jadi apa kamu, jam segini baru bangun. Lihat Tari dia sudah membantu simbok membuat sarapan,” katanya saat meihat Cahaya baru keluar kamar. Sejujurnya sejak mamanya tak ada di rumah ini dia lebih suka makan bersama simbok di dapur dari pada makan bersama ayahnya di meja makan, tapi hari ini dia harus bersikap manis dan tidak memancing amarah sang ayah. Cahaya hanya mengangkat bahu dengan tak acuh, andai saja ayahnya tahu kalau kedua wanita ini juga baru bangun, tapi sekali lagi dia tidak akan memulai konfrontasi, dia hanya berjalan lurus menuju meja dapur tempat dia makan bersama simbok. “Banyak kursi kosong kenapa kamu suka sekali makan di dapur.” Cahaya menghentikan langkahnya dan menatap ketiga orang itu. “Aku suka makan dengan simbok,” jawabnya kemudian. “Makanlah di sini papa ingin bicara setelah ini.” Cahaya terdiam sejenak, lalu memutuskan untuk menuruti papanya. Cahaya duduk di kursi yang dulu biasa dia duduki di sebelah kiri sang ayah, menghadap dua orang wanita itu. “Papa sudah menerima lamaran seorang laki-laki untukmu, hari ini dia akan datang ke toko untuk menemuimu, pastikan kamu memperlakukannya dengan baik,” kata sang ayah setelah mereka selesai makan. “Siapa laki-laki itu kenapa papa main terima saja,” kata Cahaya tak terima. “Dia laki-laki yang baik dan mapan, Aya. Dan tentunya dia akan bisa membantu perekonomian keluarga kita,” kata istri baru ayahnya dengan lembut. Cahaya menatap istri baru ayahnya dengan tajam, dia berusaha keras untuk tidak menampar wajah wanita itu, jadi dia hanya melengos dan kembali menatap ayahnya. “Siapa?” tanyanya lagi dengan tatapan lurus pada sang ayah. “Nak... dia sudah lama menyukaimu. Dia juga laki-laki yang bertanggung jawab. Papa tidak mungkin menerima lamaran orang sembarangan. Dan yang lebih penting dia berjanji akan membayar semua pengobatan mamamu” Cahaya menatap tajam sang ayah, seolah menegaskan dia tak peduli dengan semua itu, dia hanya ingin tahu siapa orangnya. Sang ayah menghela napas perlahan lalu menjawab lirih. ”Agung Hartawan.” Mata Cahaya membulat, tubuhnya gemetar karena rasa marah. Dia pikir ada sedikit saja kepedulian sang ayah padanya. Cahaya memang pernah mendengar nama itu, salah satu konglomerat yang ada di kota ini tapi yang jadi masalah adalah usianya hampir sebaya dengan ayahnya dan dia sudah memiliki tiga orang istri. “Aku tidak menyangka demi uang papa tega menjualku.” Cahaya berdiri dan tanpa menoleh lagi menuju kamarnya, tekadnya sudah bulat untuk menjalankan rencananya hari ini juga. Pukul sepuluh pagi Cahaya membuka pintu kamarnya, dia sudah memastikan kalau ayahnya dan kedua benalu itu sudah tak ada di rumah. Perlahan dia berjalan menuju kamar yang kini di huni sang ayah dan istri barunya. Cahaya menghela napas lega saat kunci kamar itu masih sama seperti dulu, perlahan Cahaya masuk dan tanpa membuang waktu lagi dia menuju lemari besi tempat biasa mamanya menyimpan semua perhiasan juga surat-surat penting mereka. Untunglah sang mama pernah memberi tahu sandinya dan ternyata tidak diganti. Cahaya berdecak kesal saat beberapa perhiasan sang mama tak ada di sana, tapi sebagai gantinya ada beberapa perhiasan baru yang dia yakini milik istri baru ayahnya. Tak ingin membuang wkatu Cahaya mengambil semua perhiasan ibunya, dia rasa perhiasan ini lebih dari cukup untuk pengobatan ibunya, tak lupa semua surat penting atas nama sang ibu. Cahaya mendekap hasil curiannya erat di dada, perlahan dia membuka pintu tapi jantungnya hampir copot saat simbok sudah berdiri di sana menunggunya. “Apa yang Mbok lakukan di sini, bukankah aku sudah bilang untuk pergi!” katanya yang tanpa sadar meninggikan suara. Simbok malah tersenyum lebar melihat kepanikan anak majikannya. “Tenang saja, bapak dan yang lain tahunya saya belanja bulanan tapi saya sudah meminta keponakan saya melakukannya.” Cahaya menggeleng tak habis pikir. “Untuk apa simbok melakukannya, saya tidak butuh bantuan.” Simbok menyodorkan rantang besar yang sejak tadi ada dalam dekapannya. “Mbok cuma mau buatkan non Aya ini. Bekal untuk menunggui ibu di rumah sakit, setelah ini saya juga akan pergi.” Cahaya menatap simbok dengan mata berkaca-kaca. “Simbok benar, ternyata jadi maling juga butuh banyak tenaga,” katanya mencoba bercanda.“Kenapa papa setuju Cahaya menikah dengan Ary?” Cahaya yang akan masuk ke dalam rumah langsung menghentikan langkahnya. Itu suara Tari, dan pasti sang ayah sudah menceritakan semuanya pada istri dan anak barunya, tapi yang membuat Cahaya penasaran adalah kenapa Tari yang katanya anak rumahan yang baik hati dan lemah lembut sampai tahu tentang laki-laki itu, sedangkan dia yang hobi nongkrong sampai malam sama sekali tidak tahu?Cahaya tadinya berharap menemui dokter Natasya supaya bisa membawa Ary ke RSJ kembali tapi kenyataan yang dia dapat malah lebih mengerikan dari pada mempunyai calon suami gila. Laki-laki itu kejam dan tanpa ampun, itulah yang dia simpulkan dari keterangan sang dokter, meski dia dua kali pertemuan mereka Ary tidak menunjukkan sikap itu, atau karena laki-laki itu cukup tertarik padanya. Pikiran terakhir itu bahkan tak membuatnya lebih baik. Cahaya tanpa sadar menggigil ketakutan dia ingat betul kondisi anak buah
“Kamu gila Aya! Seharusnya kamu juga pasienku!” Cahaya menatap cemberut dokter cantik di depannya, biasanya dokter Natasya yang sangat lembut dan pengertian tiba-tiba membentaknya hanya karena dia tahu ada satu pasien wanita itu yang belum berhasil ditangkap. “Kok dokter malah ngebentak saya,” protesnya tak suka. Dokter Natasya memang baik padanya, Cahaya juga merasa dia banyak punya hutang budi pada wanita cantik ini, tapi dia bukan orang yang akan mau saja menerima semua perbuatan orang lain meski dia telah berjasa padanya, pengalaman hidupnya selama ini mengajarkan demikian.“Astaga!” Bukannya menjawab Cahaya dokter Natasya malah lebih terlihat bingung dan takut. “Dok ada apa sih? Kemarin kenapa dokter tidak datang ke tempat yang aku tunjukkan,” protes Cahaya tak terima, wajah cantik gadis itu merengut membuat snag dokter menghela napas panjang dengan kepolosannya. “Kamu benar-benar tak tahu siapa dia?” tanya s
Cahaya menatap ayahnya dan laki-laki yang dijodohkan dengannya itu bergantian. Rasa kecewa langsung menyergapnya tanpa bisa dibendung lagi. “Bagaimana ayah tega melakukan semua ini padaku, aku anak kandung ayah.” Satu hal yang selama ini dia tahu meski berusaha dia tolak. Keluarganya sudah hancur tak bersisa, harapan untuk bisa menyelamatkan sisa-sisanya musnah sudah. Tawa kebahagiaan yang dulu mewarnai kehidupan keluarga kecil mereka kini hanya tinggal kenangan yang menyakitkan. Ayah yang dia sayang bahkan rela menjualnya pada laki-laki seperti ini. Tak adakah setitik saja rasa sayang sang ayah yang tersisa untuknya? Apa semua ini akan lebih baik kalau sang ibu dalam kondisi normal dan bisa membelanya? Agung Hartawan memang masih gagah diusia yang hampir sebaya dengan ayah Cahaya, tak ada tanda-tanda tubuh yang mulai gendut atau kepala yang botak, tentu saja dengan uang sebanyak itu laki-laki
Marah. Wanita itu langsung menginjak kaki orang yang memeluknya. “Awwh! Sial!” Cahaya langsung melotot tak percaya saat dia melihat siapa yang tadi memeluknya erat. “Kalau sampai tertangkap aku akan buat perhitungan denganmu!” gertak gadis itu sambil mengangkat dagu. Cahaya lalu mengeluarkan ponsel bututnya dan menghubungi dokter Natasya, sambil sesekali menoleh ke belakang, tapi syukurlah para pengerjarnya tadi belum kelihatan. “Dok, dokter masih mencari pasien yang waktu itu kan, dia ada di belakang rumah sakit,” Cahaya menyebutkan titik lokasi dia berada saat ini dan berharap sang dokter segera datang untuk membawa kembali pasiennya ke rumah sakit jiwa. Dia menatap laki-laki sesaat lalu membalikkan badan tapi belum juga dia melangkah pergi tangannya kembali ditarik kali ini sedikit mendorong tubuh wanita itu supaya ada di belakang tubuhnya, tubuh tinggi besar laki-laki itu membuatnya serasa ada di bawah pohon b
“Yakin mau kos ditempat aku?” “Yakinlah, kok kayaknya nggak percaya gitu.” “Jelas nggak percayalah, anak mama kayak kamu kok ngekos ditempat kumuh lagi.” Entah sial atau beruntung dalam pelariannya ini Cahaya bertemu dengan teman SMAnya dulu, atau lebih tepat disebut saingan, karena mereka dulu selalu bersaing dalam prestasi.“Ya iyalah aku anak mama bukan anak tetangga, ngaco saja kamu. Jadi bagaimana ada nggak?” tanya Cahaya lagi. Meski berniat pergi dari rumah, dia tidak ingin pergi jauh dari kota ini, apalagi dengan kondisi sang ibu yang baru saja menjalani operasi jantung. “Bentar aku hubungi ibu kosku aku tanyakan, memangnya kamu butuh kapan?” “Sekarang,” jawab cahaya tanpa ragu. “Iya aku butuh sekarang, Lis.” Apa wajahnya kurang meyakinkan kalau butuh tempat tinggal saat ini? “Eh? Kamu kerja dekat kantorku?” “Nggak aku nggak kerja, cuma pingin kos saja nanti masalah kerja gampanglah,” jawab Cahaya sambil meringis. Wanita muda yang dipanggil Lis, oleh Cahaya itu hany
“Ini terlalu tinggi. Sial!” Cahaya tidak ada waktu untuk belajar bela diri apalagi terbang dari lantai dua rumahnya tanpa terluka. Apalagi kamar yang dia tempati sekarang terletak di belakang dan tak memiliki balkon. Jika dia nekad keluar langsung dengan tali bisa dipastikan akan terjun bebas ke dalam kolam di bawah sana, apalagi jendela kecil itu terlalu tinggi untuknya. Andai saja dia masih ada di kamarnya yang dulu tentu akan lebih mudah. Tari sialan itu telah mengambil alih kamarnya saat datang dulu, bagaimanapun dia mengusir Tari dari kamarnya gadis itu tetap kembali ke sana apalagi saat mendapat dukungan dari ayah dan istri barunya. Sialan! Sekarang bagaimana dia harus kabur?Rasa lelah membuatnya tidur seperti orang mati dan dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Padahal dia sadar betul rumahnya telah menjadi sarang musuh. Cahaya membuka jendela kamar dan dia menggeleng karena mustahil keluar dari sana tanpa dia tercebur kolam dan membentur dasarnya. Satu-satunya