MasukCahaya dengan bangga mengatakan kalau dia adalah anak yang sangat beruntung di dunia ini, dia punya ayah ibu yang sangat mencintainya juga otak yang cerdas, dia merasa hidupnya baik-baik saja hingga hari itu. Hari di mana dia pulang kembali ke rumah dengan rasa rindu yang menggunung. Rindu yang kemudian berubah menjadi amarah dan kepedihan. Tidak ada ayah dan ibu yang bercengkrama menunggunya, hanya ada sang ayah dan wanita asing yang menjadi ibu tirinya. Ayahnya berubah tak peduli, ibunya menghilang entah kemana. Dia merasa asing di rumahnya sendiri, apalagi saat sang ayah memperlakukan anak bawaan istri barunya seperti anak kandung menggantikan Cahaya. Hari-hari dia jalani seperti neraka sampai dia tahu, sang ibu menjadi penghuni rumah sakit jiwa...
Lihat lebih banyak“Hanya itu satu-satunya cara agar ibumu selamat, Cahaya.”
Cahaya menunduk menatap pahatan yang dibuat barista di kopi miliknya, begitu cantik, tapi suasana hatinya saat ini sama sekali tak sanggup untuk mengagumi kecantikan itu. Otaknya berpikir keras. Kemana lagi dia harus mencari biaya untuk pengobatan ibunya. Selama lima tahun ini, Cahaya sudah berusaha keras untuk melakukan pengobatan terbaik untuk ibunya. Dokter bilang ibunya mengalami depresi dan mentalnya tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit itu, meski sampai sekarang Cahaya tidak tahu apa penyebab depresi sang ibu. Cahaya bahkan rela menjadi pesuruh istri baru ayahnya agar bisa mendapatkan uang lebih, tapi sebulan yang lalu ibunya tiba-tiba mengalami sesak napas yang membuatnya harus diperiksa dokter spesialis jantung dan hasilnya sang ibu menderita penyumbatan pada arteri jantung. Pemasangan ring jantung adalah satu-satu solusi yang diberikan sang dokter. Tapi masalahnya... biaya yang mahal. “Saya akan mendapatkan uang itu,” gumam cahaya setelah meletakkan cangkir kopi di tempatnya semula. “Caranya?” Dokter spesialis kejiwaan berusia sepuluh tahun lebih tua darinya itu menatap Cahaya seksama, ada harap dalam nada suaranya, dokter Natasya memang yang selama ini menangani ibunya dan sudah berkoordinasi dengan dokter jantung sang ibu. Usia mereka yang terpaut jauh tak menghalangi keakraban keduanya, Cahaya bisa sangat cerewet bertanya ini itu tentang ibunya dan sang dokter dengan senyum kalem akan menjawab semua pertanyaannya. Bersama sang dokter Cahaya merasa menemukan kakak yang bisa dijadikan tempat berkeluh kesah. Cahaya terdiam sebentar, ayahnya sudah jelas menolak memberikan biaya operasi ibunya, bahkan sang ayah lebih memilih berbelanja barang mewah bersama istri baru dan anak tirinya. Kepalanya mendongak menatap wanita di depannya. “Akan saya pikirkan,” jawabnya pasrah. Otaknya memang sudah buntu. Seratus juta bukan uang yang sedikit untuknya. “Kenapa kamu tidak coba bicara dengan ayahmu, mungkin saja dia punya simpanan uang,” usul sang dokter. Cahaya hanya bisa tersenyum masam. “Ayah sedang berlibur bersama keluarga barunya, dan ponselnya mati.” “Operasi itu tak bisa ditunda, kamu harus memikirkan cara mendapatkan uangnya Aku bisa meminjami jika hanya untuk uang muka operasi-“ “Tidak, dok. Saya sudah sering merepotkan dokter, saya akan pikirkan caranya. Saya yakin meski ayah tak mau memberikan uang, ibu masih punya aset atau perhiasan yang bisa dijual,” kata Cahaya buru-buru memotong, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Dia tidak ingin makin malu pada sang dokter jika harus meminjam uang segala. Baginya kesedihan dan kesusahan bukan untu diumbar dia yakin akan menemukan cara untuk mengatasinya. “Kamu yakin?” Cahaya kembali terdiam, lalu meneguk kopinya sekali lagi. Tentu saja tidak, karena dia sama sekali tidak tahu dimana ibunya menyimpan perhiasan itu. “Tentu saja, itu milik mama sudah seharusnya dijual untuk kesembuhannya.” Senyum lega sang dokter begitu lebar membuat Cahaya ikut tersenyum juga. “Makanlah kue ini, mereka bilang ini varian baru,” kata sang dokter menyodorkan kue manis didepannya. “Aku permisi ke toilet dulu.” Cahaya tersenyum, sebagai pecinta kue dia tidak akan menolak hal ini. wanita itu mengambil garpu dan mulai memakan kuenya. Rasanya memang manis sangat pas di lidahnya. Dia suka dan berjanji akan membeli kue ini lagi jika datang ke sini. Tak butuh waktu lama untuknya menghabiskan kue itu, Cahaya melirik arlojinya sudah sepuluh menit dan sang dokter belum juga kembali dari toilet. Mungkin ada panggilan mendadak dan langsung pergi. Bosan duduk sendirian, Cahaya melangkah ke rooftop cafe menikmati indahnya cahaya matahari saat senja. Wanita itu berdiri di pinggir pagar pembatas, pagar yang hanya selututnya tak membuat Cahaya mundur. Kepalanya mendongak berusaha menghirup udara sore yang menyegarkan ini, siapa tahu dengan begitu otaknya lebih bisa berpikir jernih untuk bisa keluar dari semua masalahnya. Tapi... “Hei! Lepaskan apa-apaan ini!” Sebuah tangan tiba-tiba memeluk pinggangnya dengan erat dan menyeretnya menjauhi pagar pembatas. Cahaya meronta dengan keras, tapi sialnya tangan itu seperti besi yang mengikatnya dengan erat. Cahaya sudah memukul dan mencakar tangan itu tapi tak mampu mengendurkan cekalannya, eratnya pelukan membuat Cahaya tak bisa melihat wajah si kurang ajar ini. “Lepaskan atau aku akan berteriak! Di bawah banyak orang!” ancamnya dan... berhasil pegangan itu terlepas tiba-tiba, tubuh wanita itu sedikit terhuyung kehilangan keseimbangan tapi tangan yang sama langsung menangkapnya, Cahaya mengibaskan tangan itu dan berbalik menatap pemilknya. Pandangannya jatuh pada mata sehitam malam yang menatapnya dengan tajam. sejenak Cahaya membeku dibawah tatapan itu, kegugupan membentuk gelombang resah langsung menyerangnya dengan brutal, tidak dia tidak boleh terpengaruh hanya karena tatapan laki-laki ini. “Cahaya senja pasti tak sudi menjadi saksi kematian seseorang.” Cahaya menatap laki-laki di depannya dengan marah. Apa sih maksudnya? siapa orang aneh ini? “Dari mana kamu tahu namaku?” Cahaya menatap laki-laki di depannya sedikit mendongakkan kepalanya, bersikap sombong pada orang angkuh itu wajib hukumnya. Laki-laki itu hanya mengangkat alisnya dan tersenyum samar. “Jadi namamu Cahaya Senja, nama yang bagus untuk orang yang akan bunuh diri.” “Apa maksudmu? Siapa yang akan bunuh diri?” Niat hatinya ingin menenangkan diri di sini buyar sudah, dia harus cepat pergi sebelum menjadi pasien dokter Natasya, ayahnya pasti tak akan sudi untuk membayar biaya perawatannya. Cahaya melangkah dengan kesal menjauhi tempat itu tapi langkahnya berhenti saat mendengar mulut kurang ajar laki-laki itu. “Apapun masalahmu mati bukan solusi, kamu cukup cantik bagaimana kalau kamu menjadi wanitaku, sejak tadi aku tertarik untuk menidurimu.” Tangan cahaya mengepal erat, kakinya langsung melangkah cepat mendekati laki-laki itu dan sebuah tamparan dia hadiahkan untuk mulut lancangnya. “Bajingan mesum! Mulutmu mau aku robek!” Gadis itu begitu geram dengan laki-laki di depannya, tapi sialnya laki-laki itu seolah tak terpengaruh dengan tamparan Cahaya, justru tangannya yang terasa panas luar biasa seperti disengat lebah. Laki-laki itu tak bergeming. “Jadilah wanitaku dan kamu pasti tidak ingin mati lagi.” Cahaya melengos, dia bodoh. Untuk apa dia meledeni orang gila mesum ini, dia berjalan pergi tanpa menoleh lagi, dari kejauhan dilihatnya dokter Natasya yang berdiri membeku menatap mereka. Pantas saja. Buru-buru dia melangkah menghampiri sang dokter. “Kenapa dokter diam saja? bukankah dokter butuh perawat." “Apa? untuk apa?” Cahaya menatap sang dokter dengan gemas, kenapa dokter Natasya yang cerdas berubah menjadi lemot. “Tentu saja untuk menangkap orang itu, dia pasien anda bukan?” Mata sang dokter membelalak mendengar ucapan Cahaya. “A-Aya kamu tahu siapa dia?” “Untuk apa saya tahu pasien dokter?” tanya gadis itu kesal lalu melangkah kembali ke dalam cafe. Mata ketakutan sang dokter luput dari pandangan gadis itu.“Sudah siang. Bangunlah.” “Pergilahhh… aku masih ngantukkk” Ary menggelengkan kepalanya antara kasihan dan geli melihat sang istri yang kembali memeluk gulingnya erat. “Kamu tidak mau mengecewakan mama bukan.” Kembali Ary berbisik di telinga sang istri, sebenarnya dia tak tega juga melihat sang istri yang baru beberapa jam tidur karena melayaninya, tapi dia tahu Cahaya akan marah kalau dia tak membangunkannya. Entah kenapa dihadapan sang istri, Ary berubah menjadi laki-laki lemah yang gampang luluh, berbeda sekali dengannya saat berhadapan dengan anak buahnya. Apalagi saat tangannya menyentuh perut besar sang istri, dia merasa bisa menukar hidupnya dengan senyum sang istri. “Sayang, ayo mama pasti sudah menunggu,” kembali Ary berbisik di telinga istrinya. Kali ini mata indah itu mengerjap berusaha menghilangkan rasa kantuknya tangannya terangkat ke depan dan Ary tahu apa yang akan dikatakan istrinya. “Gendong.” Kan! “Dasar manja,” kata Ary sambil tertawa tapi tak ayal juga la
Selama hidupnya belum pernah Ary merasakan ketakutan seperti ini. Dia yang dianggap sebagai anjing penjaga yang tak pernah gagal menjalankan tugasnya, nyatanya sekarang harus duduk merosot di depan ruang operasi, merasa gagal menjaga istrinya sendiri. “Den, minum dulu.” Ary mendongak dan simbok berdiri di depannya sambil menyodorkan satu gelas teh hangat padanya. “Minuman ini mungkin bisa membantu, Non Aya butuh aden, jangan sampai ikut sakit.” Wanita tua itu menatap laki-laki muda di depannya dengan prihatin, awalnya dia memang agak kurang setuju saat gadis kecil yang dia asuh harus menikah dengan laki-laki ini, laki-laki yang terkenal dalam dunia malam. Simbok yakin kalau laki-laki seperti itu suka menyakiti istrinya, tapi apa yang dia lihat sekarang menghancurkan keyakinan itu. Ary tampak hancur dan merasa bersalah. “Selama ini insting saya tidak pernah salah, tapi bodohnya hari ini saya mengabaikannya. Kalau saja saya tidak pergi… semuanya tidak akan seperti ini…” Kengeria
“ Akhirnya pintu terbuka juga.”Harusnya suara itu membuatnya senang, tapi kali ini suara itu malah membuatnya takut. Bukankah Ary pernah bilang saat hatimu ragu untuk melakukan suatu hal percayailah instingmu.Kenapa dia tidak bias melupakan pesan suaminya itu. Pegangannya pada gagang pintu menguat, dia berusaha tersenyum pada orang di depannya. “Apa kami tidak dipersilahkan masuk.” “Boleh saja, tapi cuci dan tangan kalian dulu!” Memanfaatkan dua orang tamunya yang tertawa penuh ejekan, Cahaya berusaha menutup kembali pintu rumahnya sayang sekali gerakan mereka sangat terlatih dan cepat. “Tidak sopan menutup pintu saat ada tamu.” Cahaya sempat terdorong saat kedua orang itu merangsek masuk, tapi tentu saja tenaga satu orang wanita sama sekali tak sebanding dengan dua orang laki-laki tinggi besar yang sudah akrab dengan kekerasan.Jam segini perumahan ini sepi orang, kalaupun ada orang dia tak yakin mereka berani membantunya apalagi dengan reputusi Ary seperti itu, dia tak mau
"Kenapa belum pergi? Bukankah kamu bilang ada urusan penting?" Ary mendongak, wajahnya yang memang terbiasa datar itu agak pucat dan resah. Untuk pertama kalinya Cahaya khawatir pada keadaan laki-laki itu. Ary selalu kuat, dia bahkan menyaksikan langsung sang suami yang bertarung melawan beberapa orang juga saat dia harus berhadapan dengan senjata tajam maupun senjata api. Cahaya tak meragukan kemampuan fisik suaminya, itu jugalah yang membuatnya sering memukuli suaminya karena dia tahu pukulannya tak lebih dari gelitikan untuk laki-laki itu. Ary kuat dan cerdas tak dia ragukan lagi, tapi Cahaya juga tidak akan lupa kalau suaminya adalah manusia yang memiliki keterbatasan. "Kamu sakit?" Tanyan Cahaya menyentuh kening sang suami, tapi laki-laki itu malah menggenggam tangannya lembut. "Aku baik-baik saja, harusnya itu pertanyaan untukmu kamu pasti lelah dengan semua yang terjadi" Cahaya tertegun sejenak alu bibirnya tersenyum manis. "Jangan merasa bersalah selama kamu ada di s
"Kurang Ajar!!! Beraninya jalang sialan itu melawanku!!!" Gelas itu hancur berkeping-keping setelah membentur tembok dengan keras. Orang-orang yang ada di sana hanya bisa menunduk tak berani menatap wanita yang berdiri berkacak pinggang penuh amarah. "Di mana sekarang bukti-bukti itu?" Salah satu dari mereka mengangkat kepalanya lalu dengan suara bergetar menjawab, "Ka-kami tidak tahu nona, tapi kemungkinan besar ada pada Ary atau polisi." "Ary?! Dia tidak mungkin melakukannya, dia..." Napas wanita itu tercekat tanpa sadar air mata mengalir di pipinya, tapi dengan cepat dia menghapus air mata itu. Ary... Dia pernah sangat mencintai laki-laki itu dan rela melakukan apa saja agar bisa menjadi istrinya. Tapi setelah mereka bertunangan dengan seenaknya Ary membuangnya, memng pertunangan itu sendiri terjadi bukan karena inisiatif Ary tapi lebih kepada paksaan darinya dan juga pak Dewa. Dulu dia berpikir tidak masalah Ary tidak mencintainya, dia punya banyak uang untuk membuat Ar
"Kok jalannya makin pelan???"Cahaya menoleh pada suaminya yang sekarang menghentikan langkah. Lengannya bahkan di tahan oleh laki-laki itu."Tunggu dulu, biarkan mereka ketemu." "Hah!!! Maksudmu mereka mau nostalgia masa lalu gitu." "Bisa jadi kalau mereka memang ada niat." Cahaya menatap suaminya dengan seksama dan dibalas dengan tatapan yang sama tajamnya dengan sang istri. "Kamu bermaksud menguji papa?" Ary hanya mengangkat bahunya saat mama Tari sudah masuk dan menutup pintu ruangan perlahan Ary menggandeng tangan Cahaya untuk mendekat, sedikit dia buka pintu ruangan supaya tahu apa yang terjadi. "Aku rasa tante Rini menyesal berpisah dari ayahmu, dia kehilangan sumber uangnya. Aku hanya ingin tahu papamu kembali tergoda padanya atau tidak." Cahaya menggeleng, tidak setuju dengan ide mereka yang kembali bersatu. Wanita itu berbahaya, dan sangat licik ayahnya bisa saja menjadi korban tipu muslihatnya sekali lagi. "Mas kenapa tidak memberitahuku kalau kamu sakit?? Apa ini
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen