"Ibu!" teriakku yang langsung menghambur mendekati Ibu.
Perasaanku hancur melihat Mama Aa tergeletak tak sadarkan diri di depan pintu kamar Ibu. Di sisi lain aku masih bersyukur pada Tuhan yang telah menyelamatkan Ibu dari Rania, namun di sisi lain lambat laun aku semakin geram dengan tingkah anak bandel itu. Mau bagaimana lagi, hampir setiap hari gadis itu melakukan hal di luar nalar.
Saat ini korbannya adalah orang tua Marcel. Bagaimana jika dia tahu Ibunya terkena tusukan benda tajam? Dia mungkin tidak akan mengampuninya. Istrinya sendiri dikejar sampai sekarang belum tahu di mana keberadaannya. Apalagi nanti Rania?
Tidak! Sekarang aku tidak boleh lemah, mau dengan cara apapun aku harus menyadarkan gadis itu. Aku tidak peduli walau nyawa sebagai taruhann
Hingga pagi menjelang, kami berdua baru selesai mendengarkan kisah dari Ibu. Aku sungguh tak menyangka dengan semua yang terjadi. Ku pikir selama ini Ibu tidak pernah menyayangiku, makanya beliau menaruhku di Panti Asuhan. Akan tetapi, setelah mendengar ceritanya. Begitu banyak penderitaan yang telah dirasakan oleh Ibu juga adikku.Karena bapak dan keluarganya yang membawa pengaruh buruk pada Rania, gadis malang itu kini berakhir di penjara.Lalu, di mana keluarganya sekarang? Di mana keluarga Bapak sekarang? Semenjak kecil sampai usiaku 20 tahun ini, tak pernah kulihat batang hidungnya sama sekali."Yang. Kamu ngantuk, ya?" tanya Jo seraya membuka ponselnya."Huum. Kejadian semalam membuatku bener
"Kesana yuk!" seruku mengajak sang kekasih ke sana.Terlihat seorang pria kurus dengan bentuk wajah bulat sedang menyiapkan sesuatu ke atas nampan. Namun, ketika aku melihat lebih dekat lagi. Barang-barang yang di letakkan olehnya adalah seperti benda untuk sesajen.Benarkah semua benda-benda di atas nampan itu merupakan benda yang digunakan orang untuk sesajen?"Ssstt … sini," kataku mencoba tidak terlalu mengeraskan suara.Lantaran khawatir jika pria kurus itu mengetahuiku lebih dulu sebelum aku mengetahui apa yang dia lakukan. Jo berlari kecil ke arahku, kemudian mendekatkanku mengarahkan pandangannya ke pria di depan kuburan.
Setiba di rumah."Yang. Mending kamu makan dulu deh, takut sakit. Biar aku yang cari adek kamu," katanya.Sudah tiga hari Jo berada di kampungku, tetapi dia memginap di rumah pamannya di Tasik kota. Dia selalu membantuku dalam hal kesulitan apapun. Dia rela melakukan hal berat dwmi membantuku. Ya. Seperti sekarang ini. Mencari Rania yang entah di mana sekarang keberadaannya.Meski aku tahu, terkadang aku hampir melupakan kesehatanku sendiri hanya demi Rania. Akan tetapi, kehilangannya jauh lebih menyakitkan dibanding luka yang kuterima selama ini. Diana dan Marcel saja belum ditemukan. Sekarang, Rania kabur dari penjara.Mungkin, orang akan beranggapan bahwa aku adalah gadis bodoh yang selalu
Mentari bersinar sangat terang, pagi ini terasa ada yang berbeda dari sebelumnya. Suara ayam berkokok sangat nyaring dan terdengar lembut bagiku meski semakin lama semakin banyak ayam yang berkokok. Ya. Di rumahku Ibu memelihara begitu banyak ayam, tapi satu pun aku enggan untuk mengurusnya.Alhasil Ibu lagi yang terus mengurusnya.Ketika aku dan Jo sedangenikmati suasana pagi di pinggir sawah sambil menikmati pemandangan yang indah. Mataku tertuju pada sebuah kemdaraan beroda dua yang memasuki pekarangan rumahku. Siapa dia? Dari bentuk pakaiannya, dia bukan seperti manusia pada umumnya."Yang. Liat itu deh!" Aku meminta Jo dan menunjukkan tanganku ke arah depan rumah."Bukannya itu bapak kam
"Buat apa maneh mempertahankan wanita yang jelas-jelas cacat seperti dia? Mending jadiin tumbal, mati-mati sekalian!" sungut si Pemuda itu.Perkataannya mepebihi petir yang menggelegar di siang bolong. Aku mencari akan supaya terlepas dari cengkraman tangannya. Tak tahu mengapa, antara tanganku dengan tangan si pemuda bertubuh sama-sama agak kurus seperti Bapak ini terasa seperti sudah terkena lem. Sulit untuk dilepaskan."Tante Mama," gumam Jo.Tante Mama adalah sebutan Jo untuk Ibu. Semenjak kami berpacaran dia selalu memanggil Ibu dengan sebutan seperti tadi. Aku menoleh padanya, lantaran penasaran dengan tingkahnya yang tiba-tiba menyebut Tante Mama. Mungkinkah Ibu su
Dua minggu kemudian …Tepat pada tanggal 22 Oktober 2019, aku bersama Jo memutuskan untuk menemui Kiai atau bisa di sebut sesepuh di kampungku. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku, tapi detik ini juga, di malam hari kami langsung pergi ke sana tanpa sepengetahuan ibu."Pak! Mohon maaf pisan, kalau kedatangan kami teh ke sini mengganggu waktu Bapak sekeluarga," ucapku, sebelum pada inti dari percakapan kami.Bersyukur Kiai itu sangat ramah, sehingga dia menyambut kedatangan kami dengan tangan terbuka. "Tidak apa-apa, Nak Via. Boleh Bapak tau ada apa, Nak Via malam-malam ke sini?" tanya
"Rania, Rania! Kamu sadar, Nak!" seru Ibu."Yang, liatin ibu gih! Dia kenapa?" titahku pada Jo.Malam itu aku belum bisa untuk terbangun, seluruh tubuhku lunglai, lemah tak berdaya. Aku bisa berdiri, tapi dengan bantuan orang lain. Jo, misalnya.Dia menurutiku, berdiri lalu beranjak beberapa langkah menuju kamar Rania. Aku tidak tahu apa yang dilihat oleh Jo, hanya saja samar-samar ku dengar seperti ada perdebatan di dalam ruangan kecil itu.Duh, kok aku jadi penasaran, ya? Apa bangun aja, tapi lemes banget, gusti, batinku.Orang-orang yang semula mengerumuni termasuk Kiai Aris lambat laun me
Keberangkatan Jo harus tertunda lagi, sehingga dia memutuskan untuk dini hari saja pulang ke Surabaya.Senja telah berlalu dan usai melaksanakan salat magrib berjamaah di ruang tengah. Samar-samar aku mendengar suara anak gadis menangis. Pikiranku membuyar, aku menyudahi mengaji lalu beranjak keluar melihat keadaan di kamar depan."Siapa yang nangis, ya? Jo di mana dia?" tanyaku seorang diri.Aku mengangkat bawahan mukenaku, lantaran kesulitan berjalan kaki. Bagiku tidak masalah sih, selama tidak buka-bukaan di depan lelaki yang bukan muhrim. Lagian aku memakai celana panjang. So, tidak ada masalah bukan?D