Almara termenung. Hari ini bukan hari yang sibuk. Dia memiliki banyak waktu untuk melakukan hobinya seperti membaca novel misteri di perpustakaan kota, berkutat di dapur mencoba resep kue terbaru atau sekedar duduk di kamarnya yang lapang menonton drama korea secara maraton.
Biasanya siang hari seperti saat ini, dia pasti sedang sibuk - sibuknya menyunting video dari kliennya. Jika antriannya panjang, sampai malam tiba pun dia tetap berjibaku duduk di depan laptop miliknya, mengedit dengan penuh gairah setiap video dari kliennya.
Pekerjaannya sebagai penyunting video lepas lumayan menghasilkan juga. Walaupun jumlah klien setiap bulannya naik turun tapi dalam sebulan Almara belum pernah menghasilkan uang di bawah 6 juta.
Uang 6 juta mungkin jumlah yang sedikit baginya sekarang. Semenjak menikahi seorang pengusaha muda yang sukses, hidup Almara menjadi terjamin dan serba cukup. Namun pekerjaan ini sudah menjadi hobi yang tidak bisa dia tinggalkan.
Baru semalam Almara menyelesaikan tiga video sekaligus dan menyetorkannya ke klien. Sekarang tidak ada video lagi yang harus dia kerjakan, artinya ini akan jadi hari libur baginya sampai dia mendapat klien lagi.
Sebetulnya ada banyak daftar buku yang ingin Almara baca, juga daftar resep yang menunggu untuk dipraktikkan. Namun hari ini dia memilih untuk berjalan seorang diri menikmati suasana di taman kota. Setelah selesai mengunjungi Tante Weni bersama Mamanya, Almara menolak diantar pulang ke rumah. Hatinya galau, pikirannya kalut memikirkan pernikahan tanpa cintanya dengan Rangga.
Sudah lebih dari 40 menit Almara duduk di bangku taman, mengamati sekumpulan burung dara yang sibuk mematuk biji jagung yang dilemparkan oleh seorang kakek - kakek berpenampilan nyentrik.
Sesekali Almara memejamkan matanya, berusaha keras membangunkan sesuatu dalam hatinya yang entah selama ini bersembunyi di mana, cinta. Ingatan kejadian pagi ini dia putar kembali dalam otaknya, ketika Rangga mengelus rambutnya dengan lembut tepat saat dia baru saja terbangun dari tidur malamnya yang nyenyak.
Sosok lelaki yang penuh kelembutan itu, senyumnya sebetulnya manis, bisa dikatakan dia tampan, kata orang - orang dia berkharisma, pengusaha muda idaman banyak wanita. Almara beruntung menjadi istrinya, setidaknya itulah yang selalu almara dengar dari kawan dan keluarganya. Namun orang - orang itu tidak tahu, bahkan Rangga pun tidak tahu, bahwa sejak awal pernikahan hingga sekarang Almara tidak memiliki cinta untuk Rangga.
Diri yang penuh penyesalan, barangkali itulah yang tepat menggambarkan diri Almara sekarang. Seandainya dulu dia tidak terlalu lemah dan mau sedikit saja memperjuangkan cintanya dengan Ardan, mungkin Ardan lah yang saat ini menjadi suaminya. Suami yang dia cintai. Pun dia tak perlu melalui pernikahannya yang penuh kehampaan bagi hatinya. Almara sejatinya lelah, hampir satu tahun terus menerus berpura - pura mencintai Rangga.
Namun sekarang sudah terlambat. Saat ini Almara benar - benar telah terjebak oleh sederet keputusan bodohnya di masa lalu. Ingin berpisah dari Rangga pun tak mungkin. Laki - laki itu terlalu baik. Almara tak sampai hati menyakitinya.
Di sisi lain, Almara dibuat galau karena beberapa minggu ke belakang cinta masa lalunya tiba - tiba kembali dalam hidupnya, menawarkan masa depan yang Almara impikan selama ini.
Almara membuka ponselnya, membaca kembali pesan dari Ardan yang dia terima semalam.
[Kita masih bisa memperbaiki semuanya sekarang sebelum semakin terlambat Almara.
Kita bisa menceraikan pasangan kita masing - masing lalu membangun rumah tangga kita sendiri.]
Almara menghela nafas. Membaca pesan dari Ardan membuat ingatannya kembali pada masa itu, 7 tahun lalu saat dia masih menjadi kekasih Ardan dan belum mengenal Rangga, suaminya sekarang.
Saat itu Almara sedang berdiri di sebuah ballroom dari hotel termewah di Kota Surabaya. Gaunnya menjuntai indah sampai ke lutut. Sederhana, polos namun elegan. Itu adalah gaun satin berkelas buatan Sandy Anggoro, seorang desainer terkenal kala itu. Hadiah dari kekasihnya, Ardan, seorang anak bungsu dari konglomerat pemilik pabrik tas kulit ternama yang sekarang menjadi seorang artis papan atas.
Tangan Almara menggenggam sebuah gelas kaca ramping berisi minuman bersoda. Jantungnya berdebar, tangannya mengeluarkan keringat dingin, alunan musik klasik yang dimainkan secara langsung oleh orkestra di ballroom itupun tak sanggup menghilangkan rasa kawatir yang memenuhi dadanya.
Bagaimana tidak, saat itu adalah acara ulang tahun Ardan. Kekasihnya itu sebetulnya telah dijodohkan dengan seorang puteri konglomerat. Pada puncak pesta hari itu, orang tua Ardan berencana mengumumkan pertunangan anaknya dengan sang putri konglomerat. Namun Ardan tidak menginginkan Sang Putri, karena hatinya telah tertambat pada sosok Almara. Gadis biasa yang bahkan untuk kuliah pun harus mengandalkan beasiswa dari pemerintah.
Malam itu dia dan Ardan merencanakan sebuah ‘pemberontakan’. Ardan bermaksud memperkenalkan Almara sebagai kekasih yang dia cintai di depan orang tuanya beserta seluruh tamu undangan dan wartawan.
Tindakan tersebut bukannya tanpa resiko. Orang tua calon tunangan Ardan bisa sangat merasa dipermalukan sehingga pasti akan merusak hubungan kedua keluarga. Orang tua Ardan pun mungkin tidak akan merestua hubungan mereka karena perbedaan status sosial yang terlampau jauh.
Almara pun bisa saja menjadi korban bullying para penggemar Ardan ataupun teman kuliahnya. Belum lagi kalau orang tua Ardan nekad menggunakan segala cara untuk memisahkan mereka seperti misalnya saja menyakiti keluarga Almara. Bukankah memang seperti itu kisah cinta si kaya dan si miskin di film dan novel yang dia baca ?
Dada Almara semakin bergejolak memikirkan segala kemungkinan itu, dirinya benar - benar tidak siap. Dia hanya ingin menjalani kehidupan normal yang biasa, yang baik - baik saja, tanpa banyak drama di dalamnya.
"Sayang, habis ini acaranya mulai, yuk ikut aku ke depan!" ucap Ardan sambil menggandeng tangan Almara.
Tak disangka oleh Ardan, almara justru menghentakan tanggannya hingga terlepas dari genggamannya. Ardan yang kaget otomatis menoleh ke arah Almara hendak meminta konfirmasi atas perlakuan tersebut.
"Kita putus aja Ar. Kita akhiri hubungan kita sekarang juga."
Almara tahu Ardan akan menolak, karenanya, tanpa menunggu respon apapun dari Ardan, Almara langsung berlari meninggalkan Ardan. Almara berlari sekencang yang dia bisa sekalipun sepatu hak tinggi yang dia kenakan sedikit menyulitkannya. Tanpa menoleh ke belakang, Almara meninggalkan ballroom mewah itu.
Dddrrrttt.... Dddrrrrttt....
Getaran ponsel menyadarkan Almara dari lamunannya. Membawanya kembali ke masa kini, di sebuah bangku taman di hadapan sekelompok burung dara yang asik mematuk jagung.
Almara memeriksa ponselnya dan ternyata Rangga yang mengirim pesan.
[Sayang, kamu di mana? Mau pulang jam brp?]
Ah benar, dia harus pulang sekarang. Kembali ke kehidupannya sekarang. Kepada suaminya.
[Ini aku otw pulang Sayang. 30 menit lagi aku sampai rumah.]
Setelah membalas pesan dari rangga, Almara bangkit dari bangku dan pergi meninggalkan taman. Dia memesan taksi online dan berjalan menuju pintu masuk taman, tempat titik penjemputan taksi onlinenya.
Almara berjalan perlahan karena toh lokasi taksi onlinenya masih agak jauh. Dia masih memikirkan langkah apa yang akan dia pilih selanjutnya. Apakah menerima Rangga sebagai jodohnya dan memutus semua pintu komunikasi dengan Ardan ? Ataukah mengambil langkah ekstrim yaitu bercerai dengan Rangga dan menjalani mimpinya sebagai istri Ardan ?
Di tengah pikirannya yang kalut menyusun berbagai skenario, tiba - tiba dia merasa sensasi hangat di perutnya. Sensasi hangat yang menyesakkan dan semakin lama menjadi semakin nyeri, sakit yang tidak tertahankan. Seorang pria yang tak dia kenal menikamnya dengan sebuah pisau, lalu dengan cepat melarikan diri.
Almara tak bisa berkata - kata, seketika otot kakinya menjadi lemah, memaksanya untuk berlutut. Air mata keluar dari sudut matanya tanpa bisa dia kontrol. Almara merasakan kemampuan panca inderanya sedang melemah. Suara hiruk pikuk mobil di jalan raya dan teriak histeris orang - orang disekitarnya terdengar semakin samar, semakin lama suara - suara tersebut mengecil dan mengecil. Pandangannya menjadi kabur, kemudian hanya kesunyian dan kegelapan saja yang bisa dia rasakan. Almara jatuh pingsan, tersungkur di jalan taman.
“Gimana kabar kamu Fi? Lama banget deh gak ketemu. Seru jalan – jalan ke Eropanya?” tanya Sharon saat Fiolina baru datang dan duduk di hadapannya dan Almara. “Seru dong. Maaf ya telat, aku bangun kesiangan,” jawab Fiolina sambil merapikan make up nya. Mereka bertiga berjanji untuk bertemu di sebuah cafe setelah 2 bulan Fiolina berlibur di Eropa. “Eh Fi, jadi kamu sama sekali gak denger kabar apapun dari perkembangan kasus Nayra, Mama Kinanti dan Billy?” tanya Almara. “Iya lah. Aku kan ngelarang kalian cerita apapun soal itu selama aku healing di Eropa dan aku juga ngelarang semua orang untuk kasih tahu aku supaya aku gak terganggu sama masalah mereka lagi selama di sana,” jawab Fiolina. Memang benar, tiga bulan sudah berlalu semenjak penangkapan Billy, Fiolina memutuskan untuk berjalan – jalan dan tidak mendengar kabar apa pun soal kasus itu selama dua bulan terakhir. “Emangnya ada kabar apa?” tanya Fiolina kepada Almara dan Sharon yang terlihat sedikit tegang. “Billy bunuh diri
Almara menjalani kehidupan barunya sebagai seorang ibu dengan ceria. Sekalipun banyak hal yang membuatnya kaget bahkan kelelahan namun dia tetap menikmati prosesnya. Dia dibantu oleh Hardian dan juga Rangga yang super semangat merawat Rama sekalipun mereka berdua banyak melakukan kesalahan konyol.Saat Rama genap berusia satu bulan, Rangga dengan antusias memiliki ide untuk merayakan. Almara bersikeras menolak, “Gak gak buat apa sih. Namanya ulang tahun itu ya setiap tahun, tunggu umur satu tahun. Lagian emangnya kamu mau merayakan setiap bulan?”“ya gak papa dong,” kekeh Rangga.“Gak usah, pemborosan. Dan gak wajar juga jadinya.”“Hm... oke oke ya udah, aku nurut bundanya Rama aja deh,” ujar Rangga.“It’s okay. Papa dulu juga terlampau semangat gitu kok waktu baru pertama kali jadi ayah pas Almara lahir hehe,” Hardian kali ini maju untuk membela Rangga karena merasakan kesamaan nasib sebagai ayah.“Tuh kan, berarti gak cuma aku,” saut Rangga.Di tengah kecerian mereka, ponsel Rangga
“Apa kabar Fi?” tanya Rangga kepada sosok mungil di hadapannya.Fiolina menyempatkan menyeruput minumannya sebelum menjawab pertanyaan basa – basi Rangga. Hari ini, tiga hari setelah sidang pertama kasus penikaman Almara, Rangga dan Fiolina berjanji untuk bertemu di sebuah cafe.“Aku dalam keadaan yang super baik,” jawab Fiolina, “Almara tahu kamu ketemu sama aku?”Rangga mengangguk, “Tahu dong.”“Dia gak masalah kita ketemu berdua? Gak cemburu?”“Aku sempat berpikir kalau dia mungkin bakal ngelarang aku ketemu berdua aja sama kamu, tapi waktu aku minta ijin ternyata dia gak keberatan. Dia bilang, dia yakin kamu orang baik jadi dia gfak khawatir.”Fiolina tertawa ringan, “Itu karena dia gak tahu aja dulu aku cinta banget sama kamu. Kalau dia tahu, dia pasti cemburu dan berpikir kalau aku mungkin berniat merebut kamu dari dia.”“Gak kok. Dia tahu.”“Kamu yang cerita?”“Sedikit detailnya iya. Tapi dia udah tahu sebelum aku cerita?”“Tahu dari mana?”“Hm... itu agak panjang dan kompleks
Billy menghilang. Sebagaimana Hardian, Melissa juga tinggal di rumah Ardan dan Sharon karena tak ingin sendirian. Hari – harinya diisi dengan tidur dan menangis. Ardan nyaris putus asa tak tahu harus bagaimana menghibur mamanya gar bangkit dari keterpurukan.Sidang Sharon terus berlanjut. Julio bahkan menghadirkan Frans dan istrinya sebagai saksi. Pengacara itu dengan brilian membalikkan keadaan, membuat Sharon terlepas dari segala tuduhan dan berganti status sebagai saksi.Sidang – sidang selanjutnya berubah menjadi Nayra dan Kinanti yang sudah menjadi terdakwa. Namun Billy masih menjadi buronan.“Mama, gimana kalau kita jalan – jalan? Kita bisa menikmati puncak atau pantai buat refreshing,” bujuk Sharon kepada mama mertuanya.“Yuk Ma, bagus tuh idenya Sharon. Sekalian kita rayain kebebasannya Sharon karena dia udah lepas dari fitnah dan bukan tahanan rumah lagi,” tambah Ardan.Melissa hanya tersenyum dan mengangguk, “Ya udah ayok besok kita jalan – jalan.”“Yey.... gitu dong Ma,” s
Kinanti bergegas keluar dari mobil begitu Hardian memarkir mobilnya di depan rumah. Sepanjang perjalanan, tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir wanita itu sekalipun Hardian berjuta kali meminta penjelasan padanya.Almara dan Rangga yang berhenti tepat di belakang mobil Hardian menyaksikan bagaimana Kinanti keluar dari mobil dan bergegas masuk ke rumah lalu disusul Hardian yang mengikutinya dari belakang.“Ayo,” Rangga meraih tangan Almara untuk turun dari mobil setelah dia membukakan pintu.“Aku takut Rangga,” ucap Almara terbata – bata sembari menghapus air matanya sendiri.“Apa yang kamu takutin? Kan ada aku. Aku akan lindungi kamu. Mama Kinanti gak akan bisa sakitin kamu.”Almara menggeleng, “Bukan itu. Aku takut dengan kenyataan yang akan aku denger nanti. Aku terlalu gak siap.”Rangga berlutut lalu menggenggam tangan Almara, “Tapi ini harus dihadapi. Gak ada gunanya bertahan dalam keindahan tapi semuanya bohong Almara. Seperti...”“Seperti apa?”“Seperti saat dulu kamu pu
Fiolina datang bersama seorang pria muda tampan di sisinya. Dia dengan anggun berjalan ke kursi saksi. Saat melewati Rangga, dia menoleh dan menyempatkan memberikan senyuman kecil untuk lelaki itu.Julio mengernyitkan dahinya menatap Fiolina. Memang langkah wanita itu terlihat tenang dan anggun, tapi Julio merasa pakaian dan dandanannya berlebihan untuk sebuah acara sidang.Julio menghela nafas, tidak mau ambil pusing mengenai hal itu. Bagaimanapun dia paham, Fiolina adalah seorang model internasional, jadi di mana pun dia berada, dia mungkin harus mempertahankan citranya.“Ehem,” deham Julio seperti biasa memulai pertanyaan kepada Fiolina, “Saudari Fiolina, apakah benarFairy Tale Karaoke adalah salah satu bisnis milik keluarga Anda?”“Tidak benar. Fairy Tale adalah milik saya. Keluarga saya tidak memiliki bagian apapun dalam pembangunan dan bisnisnya,” jawab Fiolina dengan santai.“Begitu rupanya. Anda sering ke luar negeri untuk pekerjaan Anda sebagai model, seberapa sering Anda men