Bab 24
Sangat mustahil, sangat, sangat mustahil! perasaan baru kemarin Remon mengakui kesalahannya, tapi sekarang ia sudah pergi menghadap pangkuan ilahi.
"Lalu dimana, dia dimakamkan, Pak" tanyaku pada seorang petugas.
"Di Kamboja Indahxx" jawab petugas berseragam coklat. Jadi, dekat sini. Aku akan mengunjunginya nanti. Sebelum pergi aku ada hal penting yang perlu kutanyakan.
"Bapak ada waktu sebentar" pintaku lirih, tapi petugas itu masih bersikap acuh.
"Aku mohon, Pak. Ini penting! Sekedar beberapa pertayaan saja" Aku memepet petugas itu, sambil memberikan beberapa lembar uang merah ditangannya. Mencuri pandang sekitar jangan sampai terlihat yang lain!
"Baiklah. Cuma pertayaan, kan," Aku mengangguk, lelaki berseragam coklat menyanggupi permintaanku.
----
"Bagaimana kejadian Remon meninggal, Pak. Apa sebelumnya Remon mempuyai masalah dengan tahanan lain? Lantas apa benar meninggalnya Remon karena perkelahian atau ada pihak lainBab 25Aku membeli seikat bunga, kemudian meletakkan disebuah batu nisan, tanahnya masih merah. hatiku menangis, sedangkan mata dan logikaku terus merasa puas."Kamu pergi lebih cepat. Padahal kamu ingin aku mati dulu, tapi lihatlah aku menghadiri kuburanmu! Kamu tahu aku sudah lepas dari maut berkali-kali, tapi tuhan masih ingin aku hidup dan terbukti mellihatmu dalam keadaan ini! Selamat menikmati neraka" Aku pergi dari makam itu, ada rasa senang ada rasa sedih, Meski aku tersenyum, tapi hati? Hatiku tidak nyaman, tidak bisa menerima ini.Kemudian aku mendatangi Rumah Tia, aku menghubungi Mas Indra, tapi diabaikan terpaksa aku datang ke rumahnya.------"Hai! Ya ampun, Mega, kamu enggak ngomong kalau kamu kesini. Harusnya biar aku jemput" sambut Tia, dengan perasaan hangat seperti biasa, sedangkan Mas Indra tampak kikuk, glagapan, aku tiba-tiba datang."Aku kangen sama kamu, Tia. Pengen makan masakanmu" ucapku seolah aku berkunju
Bab 26Mas Indra sudah berpaikan rapih ketika aku membuka mata."Selamat pagi, Sayang" sambut Mas Indra, duduk ditempat tidur sambil memberikan segelas air putih."Kamu enggak pulang?" tanyaku. Bukankah tadi malam Mas Indra akan pulang."Tadinya aku mau pulang, tapi ninggal kamu sendirian enggak tega. Jadi kubatalkan" ujarnya sambil membelai pipiku."Kepalaku sakit banget, Mas. Pusing" aku memegangi kepalaku terasa penat, sakit rasanya tidak karuan."Nanti kita ke dokter, ya" ucap Mas Indra, mengecup keningku seperti biasanya.Aku mendadak ingat dengan peristiwa semalam "Mas, kita ke kantor polisi""Hm, tapi kamu enggak papa""Aku nanti aja priksanya! Oh, iya. Kamu pake baju ini" aku berjalan, membuka lemari, lalu melemparkan pakaian, jaket, topi dan kacamata.Mas Indra hendak menolak, tapi aku menghentikannya sebelum Mas Indra mulai berbicara " Pokoknya, Mas pakai aja. Dari sini nanti kita tahu. Karsono ber
Bab 27"Ngumpet, Mas. Cepetan! Ngumpet!" aku meyuruh Mas Indra, menggiring ke kamar, ke dapur, mengitariSaking lamanya kami mencari tempat ngumpet sampai bel pintu tak berbunyi lagi, aku dan Mas Indra berjalan pelan menuju pintu, ya dari tadi Mas Indra tidak bisa bersembunyi. Aku mengintip celah pintu lagi, Tia sudah beranjak pergi.Nada dring ponsel bergetar, aku melihat panggilan dari Tia, akupun mengangkatnya."Halo""Halo, Meg, kamu dimana" sahut suara sahabatku"A--ku, " belum menyahut Mas Indra memperagakan kode dengan tanganya."Aku lagi, pergi""Ke mana?""Eee," Aku melihat kode Mas Indra, karena bingung aku langsung sentuh kata akhiri panggilan."Apa sih, Mas, aku enggak ngerti!" sewotku, kode Mas Indra, membuat otakku lemot mencari alasan."Bilang aja, sibuk. Kalau Tia telepon lagi, bilang aja sibuk!""Hm" aku telanjur jengkel malas meladeni. Terpenting, Tia tidak j
Bab 28Hari ini aku dan Mas Indra mendatabgi alamat peneror itu bersembunyi. berbekal aplikasi ponsel, Kami tidak akan kehilangan arah atau nyasar.-----Sebuah kota kecil, ramai, tapi tak terlalu ramai, tenang dan udaranya tidak seperti dikota besar masih cenderung asri.Sebuah toko kecil bernama Andrian Shoess mencuri perhatianku, "Mas, tunggu bentar," titahku pada Mas Indra. Menyuruh menghentikan mobilnya yang sedari tadi berjalan pelan."Ada apa?" tanyanya seraya menepikan mobil di pinggir jalan."Itu" Telunjukku menunjuk " Kita awasi toko itu" Mas Indra melirik toko yang kutunjuk."Andrian Shoess. Toko sepatu. Apa itu andrian yang kita cari?" Mas Indra sedikit heran."Kita tunggu aja. Lihat ada lelaki disana, tapi mukanya tidak jelas" Aku dan Mas Indra memeperhatikan dari mobil, terlihat seorang lelaki dengan kemeja duduk di kasir."Lebih baik kamu dekati aja, Meg" suruhnya. Aku langsung menoleh menatap mukany
Bab 29"Kalian dapat darimana foto itu" Andrian nampak begitu serius, matanya menahan amarah."Sekarang kamu sudah terciduk, tidak usah membangkang" kata Mas Indra sambil terus menodongkan pistol."Kamu tidak usah berpura bodoh lagi. Permainannya berakhir. Jadi, kamu tinggal pilih atau kamu..." Aku melirik pada pistol Mas Indra, tidak perku dijelaskan pasti Andrian mengerti maksudku."Aku mengerti sekarang. Kalian adalah korban atau sedang dalam masa diburu oleh foto yang kalian kira adalah aku. Kalian salah mengenali orang" ucap Andrian dengan nada biasa datar."Maksudmu" Mas Indra bingung.Aku menyela bicaranya "Aku tidak salah mengenali orang, mataku belum rabun. Tiap hari kamu berdiri memandangi jendela apartemenku. Jangan bohong!""Aku benar-benar tidak berbohong. Jika, kalian membiarkan aku menjelaskan, aku akan membantu kalian. Kebetulan sekali aku akan menangkap dia" ujar Andria menahan sedikit amarah saat mengatak
Bab 30Mas Indra, ingin segera mebarik pelatuk pistol...."Itu adalah Ardi" ucap Andraian, aku dan Mas Indra dibuat semakin bingung."Aku mohon lepaskan ibuku. Yang kalian ambil fotonya itu adalah Ardi. Bukan aku" Andrian memohon sembari memberikan penjelasan."Maksudmu?" aku semakin bingung dibuatnya. Mas Indra juga kebingungan."Aku sudah katakan biarkan aku menjelaskan" titah Andrian. Sementara ibu Andrian jatuh dari kursi roda, lalu kejang-kejang."Ibu..." gadis remaja itu menghampiri ibunya, Mas Indra mundur selangkah sedangkan aku merasa iba melihat pemandangan ini."Ini gara-gara kalian" Gadis itu menangis, menyalahkan kami.Andrian langsung membopong ibunya "Aku akan menjelaskan, tapi tolong jangan sakiti ibu dan adikku" Andrian pergi menggendong ibunya pergi, mungkin menuju kamar.Aku dan Mas Indra memilih percaya, apalagi Ardi? Siapa dia? Aku dan Mas Indra semakin penasaran dengan ini. Siapa sih, di
Bab 31Aksi kejar-kejaran terjadi, kami layaknya pembalap berkeliaran di jalan. Kemampuan Andrian tidak bisa diragukan. Meski aku terpental-pental Andrian berhasil melewati beberapa mobil yang menghalangi."kamu tidak papa, Nona?" tanya Andrian. Saat kami sudah agak jauh dari pengejar."A-ku ti-dak pap-pa" ujarku menahan rasa sakit diperutku."Kamu tidak papa? Kamu sepertinya sakit" ucap Andrian bernada khawatir."Fokus saja pada kemudimu. Aku tidak papa" ungkapku berusaha tegar."Kamu sedang tidak baik-baik saja! Kamu kesakitan! Aku akan membawamu ke rumah sakit!" tegasnya lagi."Jangan!" ucapku tak kalah tegas. Jalan yang sedang kami lewati rumah sakit terdekat adalag dimana Tia bekerja. Apa yang harus ku katakan? Kalau Tia memergoki dalam keadaan seperti ini."Pokoknya kamu aku antar ke rumah sakit!" paksa Andrian. Dia terus memaksaku, aku tetap menolak sampai aku menemukan klinik saja."Andrian... Awas!" Teriaku saat
Bab 32Melihat ekspresi mereka seperti singa siap saling mencengkram, aku bertambah kesal."Bisa kalian hentikan. Mas Indra ini bukan salahnya, siapa yang tahu peneror itu akan melakukan hal ini. Dan kamu Andrian! Mas Indra bukan tidak bertanggung jawab, dia memang tidak bisa datang menjengukku!" tegasku. Membuat mereka merenung.Beberapa menit saling diam, suasana menjadi canggung aku berdehem mencairkan suasana. "Ehem.""Oh, iya, aku pergi dulu" Andrian mengacir pergi. Padahal aku memberi kode pada Mas Indra untuk berbicara bukan untuk mengusirnya."Meg, Maafin aku tidak bisa nemenin kamu saat di rawat" sesal Mas Indra."Tidak papa, Mas. Ini bukan salahmu. Aku mengerti keadaannya" ungkapku tak menyalahkan."Makasih udah maafin aku" Aku tersenyum mengangguk melihat ketulusan Mas Indra."Lalu bagaimana kamu disana. Apa kamu bertemu Tia" tanya Mas Indra lirih."Bukan cuma bertemu, Mas. Tia juga yang merawatku" jawabku.