ZOLASetelah meeting selesai orang-orang pun bubar, kembali ke ruangan maupun kubikel masing-masing, termasuk aku. Fx Media menempati lantai delapan sampai lantai sebelas. Dan aku sebagai asisten Ariq tentu saja diletakkan paling dekat dengannya, yaitu di lantai delapan. Ruanganku juga bersebelahan dengan ruangannya.Sambil duduk menyandarkan punggung, aku memijit pelipis yang terasa semakin berat. Mataku kemudian bertemu dengan kalender meja. Aku refleks menghitung hari. Hanya tinggal satu bulan lagi dan aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak bisa menghentikan Zach agar tidak ke sini. Ariq pasti akan curiga jika aku mendesak agar dia mengganti Zach dengan yang lain. Satu-satunya yang akan bisa menggagalkannya adalah Zach sendiri. Produser biasanya akan mengajukan nama kandidat untuk mengisi acara Gen Z. Jika tim setuju maka narasumber tersebut segera dihubungi sejak jauh-jauh hari. Apabila dia keberatan atau tidak bersedia, maka kami akan mencari orang baru untuk menggantika
ZOLAMalam ini kondisiku sudah membaik setelah menenggak dua butir anelgesik dalam sekali teguk.Aku ingat, dulu saat zaman kuliah dan masih tinggal di Semarang, Mama sering memasukkan air hangat ke dalam botol lalu menyuruhku meletakkan di atas perut setiap kali dysmenorrhea. Katanya agar nyerinya berkurang. Entah apa hubungannya. Kadang aku suka ketawa geli kalau ingat hal itu.“Jangan-jangan kamu kena kista, La,” pikir Mama waktu itu. Mama berkali-kali ingin mengajakku periksa ke dokter, tapi aku selalu menolak dan mengatakan aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mama khawatir, nanti kalau kamu sudah menikah kamu bakalan susah punya anak,” ucap Mama lagi dengan kerut keningnya yang khas.“Apa sih, Ma? Jauh banget mikirnya!” Waktu itu aku melotot. Aku masih terlalu muda. Sekali pun belum pernah berpikir mengenai pernikahan, rumah tangga, apalagi anak.Sekarang semua dugaan Mama terbukti sa
ZOLABoleh nggak sih marah sama Ariq?Aku belum menjawab apa-apa tapi dia sudah memutuskan sendiri. Dia menganggap diamnya aku adalah sebagai pertanda bahwa aku memberi kesempatan padanya untuk mendekatiku.Tapi kejadian malam minggu tersebut tidak lagi penting karena kini sudah hari senin dan aku sudah berada di kantor.Pagi-pagi sekali aku sudah datang. Senin adalah hari tersibukku, termasuk hari ini. Ariq menyuruhku menyiapkan materi presentasi dan membalas beberapa email dari kolega. Saat aku sedang berkutat dengan laptop, Ariq tampak sedang memeriksa daftar rating program unggulan kami.“Pagi, Pak.” Mbak Nia masuk ke ruangan.“Pagi,” jawab Ariq datar.“Pak, saya mau membicarakan mengenai narasumber Gen Z.”Sontak telingaku menajam mendengarnya. Please, jangan sampai Zach menerimanya.“Ya, gimana?” Ariq menegakkan duduk lalu memusatkan perhatian sepenuhnya pada Mbak Nia.
ZACHIt was amazing.Aku nggak nyangka ternyata syarat yang kuajukan dipenuhi oleh Fx Media. Padahal tadinya aku berpikir mereka akan menolak mentah-mentah. Permintaanku sangatlah sederhana. Aku nggak minta bayaranku ditambah, dijemput pakai Limosin ke bandara lalu disediakan karpet merah untuk menyambut kedatanganku. Aku hanya ingin Zola yang meng-interview. Aku mau menghabiskan satu malam untuk makan malam berdua dengannya. Nggak susah kan?Dan sekarang aku bisa tidur dengan tenang karena semua terpenuhi.Memeluk guling, aku memejamkan mata. Tapi aku nggak bisa langsung tidur. Pikiranku berkelana ke mana-mana. Aku memikirkan apa yang akan kulakukan jika sudah bertemu Zola nanti dan bagaimana reaksinya. Entah sambutan seperti apa yang akan kudapat. Apa sambutan yang baik atau mungkin reaksi denial?Rasa rinduku meluap sudah. Andai saja bisa kutambahkan, aku ingin Zola yang menjemputku ke bandara. Tapi pasti Fx Media akan mengan
ZOLASudah empat hari ini dimulai dari hari senin aku berlatih menjadi host. Gampang-gampang susah sih. Aku masih merasa grogi karena ini adalah pengalaman pertamaku tampil langsung di depan kamera. Selama ini aku hanyalah sosok di belakang layar. Pada hari pertama aku benar-benar nervous. Lidahku keseleo saat membaca materi. Gestur tubuhku kaku sejadinya. Tapi makin ke sini aku mulai terbiasa.“Lo santai aja, La, gue yakin Zach orangnya easy going, nggak usah terlalu dipikirin,” kata Mbak Nia memberi semangat.“Aku awalnya dulu gitu juga, La. Malah pernah sampai ngompol di celana.”Aku terbahak mendengar celetukan Gea, host andalan Fx Media, yang pada awalnya direncanakan untuk memandu program Gen Z bersama Zach.Practice makes perfect. Aku sudah jauh lebih baik dari hari Senin, Selasa, dan Rabu. Tinggal tiga hari lagi, maka aku akan bertemu dengan Zach. Bertatap muka dengannya dan bertukar pandang. Pasti aku tegang, tapi aku melarang keras diriku agar tidak terlihat grogi di depann
ZOLADekapan Ariq semakin erat di pinggangku. Tangannya itu kemudian menelusup pelan-pelan menuju punggungku.“Pak ...” Suaraku mencicit memberi peringatan. Ariq benar-benar memelukku saat ini. Tubuhku sepenuhnya berada di dalam dekapannya. “Saya serius Zola. Apa salahnya kita mencoba?” ucapnya dengan dagu bertumpu ke pundakku.“Lepasin saya, Pak. Bapak lagi mabuk makanya jadi bicara sembarangan.” Aku terus melakukan perlawanan agar Ariq membebaskan dari perangkapnya.“Saya nggak mabuk, Zola. Saya sadar apa yang saya ucapkan,” jawabnya membantah.“Kalau Bapak memang nggak lagi mabuk seharusnya Bapak nggak akan bicara seperti tadi. Ini artinya Bapak lagi mabuk.”“Sudahlah, Zola, jangan berkilah lagi. Kalau saya nggak gini kamu nggak pernah sadar kalau saya suka sama kamu.”Aku menelan saliva dalam-dalam saat Ariq mengecup pundakku bersama pengakuannya.“Pak, lepasin saya, Pak.” Aku mendorong dadanya, tapi kuncian Ariq di tubuhku terlalu kuat untuk kupatahkan.“Saya nggak akan melepask
ZOLAAriq memaksa untuk menyetir sendiri, tapi melihat keadaannya seperti sekarang yang katanya nggak mabuk, aku nggak mungkin tetap membiarkannya.“Saya bisa sendiri.” Dia menjauhkan kunci mobil dariku.“Bapak lagi mabuk, saya nggak mau mati sia-sia.” Aku merebut lagi kunci itu darinya.“Siapa bilang saya mabuk? Harus berapa kali saya katakan? Saya sadar betul dengan apa yang saya lakukan.” Meski Ariq sudah berkali-kali meyakinkanku, tapi aku tidak percaya begitu saja. Sama halnya dengan orang gila, mana ada orang gila yang mau mengaku. Pun dengan keadaan Ariq saat ini.“Bapak jangan bandel deh! Kalau selama ini saya yang dengerin Bapak, kali ini saya minta Bapak yang dengerin saya!” Aku berjingkat untuk menjangkau kunci mobil yang berada di tangan Ariq.Di luar prediksiku, Ariq menurunkan tangannya dengan tiba-tiba. Alhasil bibirku bertemu dengan pipinya. Aku menciumnya tidak sengaja.Tentu aku kaget, tapi Ariq malah senyum-senyum nggak jelas.“Ya udah, kalau memang kamu ngotot ka
ZACH“Makanya jangan ngerokok mulu. Disuruh makan nasi malah minum wiski. Kamu ini kapan sih mau berubah? Umurmu itu sekarang sudah dua puluh tujuh, Zach, bukan tujuh belas tahun lagi!”Omelan Mami terasa menusuk-nusuk di telingaku, padahal bukan itu yang aku butuhkan.Semalam, setelah menimbang-nimbangsegala baik dan buruknya, aku memutuskan untuk pergi dari apartemen Ariq dengan membawa rasa kecewa yang tidak akan cukup dijabarkan dengan kata-kata sepanjang apa pun.Lalu pagi ini kondisi fisikkku memburuk. Aku terbangun dengan kepala hampir pecah, badan panas dan muntah-muntah. Mami menginterogasiku tentang ke mana tujuanku dan apa yang kulakukan kemarin malam. Aku terpaksa mengaku. Namun tidak sepenuhnya. Aku hanya mengatakan pada Mami bahwa aku minum sedikit yang menuai omelan Mami.“Kapan kamu akan berubah, Zach? Anak-anak teman Mami di seumuran kamu bukan lagi mabuk nggak jelas. Mereka sudah menikah dan sibuk memikirkan masa depan bagaimana caranya memenuhi kebutuhan anak dan