ZACHAku bertahan di tempat walaupun Javas sudah berkali-kali membentak, mengata-ngatai dengan kata-kata kasar demi mengusirku pergi. Aku nggak akan angkat kaki sebelum berhasil menemui Zola.“Apa lagi yang lo tunggu bangsat? Mau gue panggilin satpam komplek? Atau lo mau gue yang nyeret lo langsung?” “Izinin gue masuk sebentar dan ketemu sama Zola, gue janji nggak bakal lama. Lima menit aja please …” Aku memohon-mohon tanpa malu pada Javas seperti gembel yang mendatangi rumah penduduk agar diberi makan.“Lo budeg ya? Nggak dengar apa udah dari tadi gue bilang Zola nggak ada di sini?”“Jadi dia di mana kalo bukan di sini? Dia sendiri yang bilang ke gue bakalan kerja di kantor Zoia,” kataku tidak percaya. Jika dugaanku benar, aku yakin seratus persen Zola pasti tinggal di sini. Zola nggak mungkin ngekost atau tinggal di tempat lain. Zoia nggak akan kasih izin.“Makanya jadi orang jangan sotoy. Zola nggak kerja di kantor Zoia apalagi tinggal di sini.”“Jadi dia di mana, Jav? Di Semarang
ZACHBisa dikatakan aku hampir tidak pernah ke Semarang. Ya, pernah sih tapi itu saat aku kecil dulu. Jadi bisa dipastikan aku nyaris buta tentang apa pun yang berhubungan dengan kota itu. Dulu satu-satunya yang menarik di Jawa Tengah bagiku adalah Dieng dengan pemandangan milky way-nya. Aku pernah berjanji akan mengajak Zola ke sana suatu saat nanti. Tapi entah akan terwujud atau tidak karena nyatanya hampir dipastikan aku sudah kehilangan Zola.Dengan bermodalkan alamat orang tuanya yang pernah diberikan Zola, aku nekat terbang sendiri ke Semarang. Tanpa makan, tanpa istirahat.Selepas dari rumah Javas aku langsung ke bandara dan mendapat penerbangan siang ini. Aku tidak tahu apa sambutan Zola dan orang tuanya nanti jika melihatku muncul tiba-tiba. Yang penting aku datang dulu.Rumah Zola terletak tidak jauh dari Simpang Lima. Dan aku rasa supir taksi tidak akan kesulitan menemukannya.“Yang ini rumahnya, Mas.” Baru saja aku berpikir, supir yang membawaku berhenti tepat di depan
ZACHBadanku terasa mengawang-ngawang tidak menginjak tanah setelah keluar dari rumah orang tua Zola. Penolakan dan pengusiran secara halus oleh orang tua Zola sama sekali tidak membuatku tersinggung dan sakit hati. Yang kurasakan adalah perasaan sedih yang tidak terjabarkan dengan kata-kata. Hatiku patah sepatah-patahnya.Wow, baru kali ini ada perempuan yang mampu membuatku hancur. Zola namanya. Dia memang bukan yang pertama, tapi dia wanita pertama yang membuatku seluka ini.Cukup lama aku berdiri di depan pagar rumah orang tua Zola sambil berpikir apa yang akan aku lakukan berikutnya. Sempat melintas ide untuk mencari Zola ke Kaltara. Namun, setelah kupikir lagi menggunakan logika yang lebih jernih, hal tersebut adalah tindakan konyol yang mungkin akan sia-sia. Masalahnya, aku tidak punya pegangan apa-apa. Aku nggak punya alamat Zola yang akan kutuju. Itu sama saja halnya dengan orang buta yang mencoba berjalan tanpa tongkat.Pada akhi
ZOLASejak kemunculan Zach yang terjadi secara tiba-tiba kemarin, mendadak aku jadi paranoid. Aku khawatir jika tiba-tiba Zach akan nekat datang ke sini di saat Mas Javas dan Mbak Zoia sedang tidak berada di rumah seperti sekarang. Aku merasa hidupku tidak lagi seaman sebelumnya.Tok … Tok … Tok …Jantungku menghentak kencang ketika mendengar ketukan di pintu kamar. Entah siapa lagi yang datang.Dengan gerakan pelan aku membawa langkah menuju pintu. Begitu terbuka bukan Mbak Zoi atau Mas Javas ataupun pembantu rumah ini yang kulihat, melainkan Tante Rosella.“Boleh Tante masuk?” tanyanya.“Silakan, Tante.” Aku menyingkap pintu lebih lebar dan menggeser posisi agar dia bisa lewat. Tante Rosella lalu masuk ke kamarku dan mengamati Fai yang tidur sejak tadi. Tidak sepatah kata pun terucap dari bibirnya begitu memandangi wajah anakku. Entah apa yang saat ini dipikirkan Tante Rosella mengenai cucunya.
ZACHCassandra memelukku sangat erat seakan kami tidak pernah bertemu sekian tahun. Aku tidak membalas pelukannya, karena sejujurnya aku masih nge-blank, tidak hanya karena kedatangannya yang mendadak, tapi juga karena segenap pikiranku tertumpu pada Zola.Kalau bukan aku duluan yang mengurainya aku pastikan dia masih mendekap erat tubuhku.“Kenapa ke sini, Ra?” tanyaku padanya.“Kan kangen kamu.” Dia tersenyum lebar hingga menampakkan sedikit giginya.“Becanda mulu,” jawabku tak percaya. Tidak mungkin Cassandra merindukanku sedangkan kami bertemu tiap hari dan tinggal di bawah atap yang sama.Aku ingat sebelum aku pulang Cassandra juga mengatakan ingin pulang ke Indonesia tapi aku tidak bisa menunggunya untuk pulang bersama. Mungkin itulah sebabnya dia ada di sini sekarang.“Beneran! Sepi banget nggak ada kamu, bawaannya bengong nggak tahu mau ngapain.” Cassandra mencoba meyakinkanku. Senyum tipisku mengembang. Cassandra ini adalah tipe perempuan yang pandai menyenangkan hati ora
ZACHDari dulu aku memang tidak dekat dengan Mami. Tidak pernah ada interaksi fisik yang berlebihan dengannya. Mami terbilang jarang memelukku. Bukan seperti Javas yang tiap bertemu mendapat dekapan. Tapi lihatlah yang terjadi sekarang. Kejanggalannya tidak hanya pada pelukan Mami, tapi juga pada kata-katanya.Nggak perlu dilarang pun aku nggak akan cari pengganti Zola. Tapi kenapa sepertinya Mami sangat peduli? Mami tidak pernah mau tahu siapa mantan-mantanku sebelumnya alih-alih akan berekspektasi lebih.Ya, aku tahu jawabannya. Mami bersikap begini pasti karena hubungan kekerabatan Zola dengan Zoia. Itu satu-satunya alasan paling masuk akal yang kutemukan.Mami merenggangkan pelukannya, dan di saat itulah aku melepaskan diri dari dekapannya.“Sampai kapan aku harus nunggu Zola, Mi? Sedangkan aku nggak tahu Zola ada di mana sekarang. Dia juga udah nggak mau lagi sama aku.”Mami tidak mampu menjawab pertanyaanku. Hanya tatapannya yang masih berlabuh di wajahku.“Apa Mami tahu alamat
ZACHSi Bibi ikut mengarahkan matanya searah tatapanku. Mulutnya setengah terbuka, tapi tidak sepatah kata pun terlontar dari sana.“Bi, itu kamar siapa?” Aku mengulangi pertanyaanku yang belum terjawab.“Oh yang itu ya, Mas Zach?”“Iya, Bi, yang itu.”“Itu kamar Bjorka, Mas.”Ternyata dugaanku tidak meleset. Hanya saja sedikit janggal, kenapa kamar Bjorka berada di belakang? Menurutku kamar tersebut lebih cocok disebut sebagai kamar pembantu sebagaimana umumnya. “Tapi kenapa letaknya di belakang, Bi?” Aku menyuarakan keherananku.“Hmm …” Bibi menggaruk-garuk kepalanya. “Kamar Bjorka ada dua, Mas. Yang ini hanya cadangan. Tapi yang sering dipakai yang di depan, yang di sebelah kamar Mas Javas.” Bibi tersenyum menerangkan padaku.Aku memandang ke arah kamar tersebut begitu lama sedangkan Bibi masih berdiri di dekatku sampai akhirnya terdengar suara seperti gelegar petir.“Zach! Lo ngapain ke sini?”Pandanganku beralih pada Javas yang baru saja muncul disusul Zoia di belakangnya sambil
ZACHAku tidak bisa mencegah ketika Khanza keluar dari mobil. Mau dipanggil juga percuma. Akhirnya aku pergi meninggalkan kantor Zoia dan kembali ke rumah. Mami keheranan karena aku pergi hanya sebentar. Setahunya mana pernah ada kata sebentar kalau aku sudah main ke luar.“Kenapa udah pulang aja? Nggak jadi jalan?” tanyanya setelah aku keluar dari mobil.“Udah, Mi,” jawabku lesu lalu langsung masuk ke dalam rumah.Mami mengikutiku sampai ke kamar termasuk duduk di ranjang saat aku menghempaskan tubuh di sana.Aku berbaring membelakangi Mami sambil memeluk guling dan memejamkan mata.“Zach …” Mami mengusap punggungku lembut.Aku tidak menyahut dan mengatupkan mata lebih rapat.“Tadi itu kamu jalannya ke mana kalau Mami boleh tahu?” Mami masih bertanya meski tidak kuladeni.“Tolong tinggalin aku sendiri, Mi,” pintaku bukan bermaksud tidak sopan.“Kamu masih mencari Zola?”Pertanyaan Mami berikutnya membuat mataku terbuka tapi tubuhku tetap membelakangi Mami.“Tadinya iya, aku udah