ZOLATidurku begitu nyenyak sampai-sampai untuk kesekian kalinya Zach bangun lebih awal dariku. Sedangkan aku masih meringkuk malas. Selain udara dingin yang menggigit di luar sana, aku juga merasa lelah karena bercinta semalam. Ini adalah hari kelima aku berada di sini, dan hampir setiap malam Zach menggempurku.Aku terkejut ketika membuka mata lebih lebar dan menyaksikan Zach dengan kameranya. Dia asyik memotretku entah sejak kapan. “Zach, kamu ngapain?” tanyaku sambil menaikkan selimut menutupi dadaku yang terbuka.“Lagi moto kamu,” jawabnya santai lalu kembali melanjutkan aktivitasnya memotretku. “Zach, udah dong, jangan foto-foto mulu.” Aku langsung panik membayangkan entah sebanyak apa Zach mengabadikan tubuhku dalam keadaan tanpa busana.“Tenang aja, La, foto ini nggak bakal kesebar. Ini koleksi pribadiku,” katanya seakan mengerti kekhawatiranku.Zach kemudian mendekat padaku lalu menurunkan selimut yang menutupi dadaku hingga aku terpekik. Tapi dia malah tertawa nakal sambil
ZOLA“Nanti aku chat Jevin minta bantuan dia buat jemput kamu ke bandara.”“Nggak usah, nanti biar aku pake taksi.” Aku menolak ide Zach karena tidak ingin merepotkan siapa pun, apalagi kakak ipar yang belum pernah kutemui.“Nggak apa-apa, kamu nggak usah sungkan. Lebih aman pulang sama dia ketimbang sama taksi.”Yang dikatakan Zach ada benarnya juga. Apalagi aku berangkat malam dari sini. Itu artinya aku juga akan sampai malam di Indonesia kalau pesawat nggak delay saat transit nanti.“Terus nanti aku harus panggil apa sama dia?” tanyaku lagi mengingat Zach hanya memanggil nama tanpa embel-embel apa pun pada kakaknya.“Terserah kamu, tapi Jevin lebih tua dari Javas, by the way.”“Berarti nanti aku harus panggil dia Mas Jevin?”“Sebaiknya sih gitu.”“Kamu sendiri sama Mas Javas dan Mas Jevin kenapa cuma panggil nama?” kataku memprotes. Apalagi dengan Mas Jevin selisih umur Zach cukup jauh.Zach menderaikan tawanya sebelum menjawab pertanyaanku. “Aku dari kecil memang memanggil mereka
ZOLASetelah sepuluh hari tidak bertemu Mami melampiaskan kerinduannya pada Fai.Pagi ini Mami yang mengurus Fai, mulai dari memandikan, memasangkan bajunya sampai memberi makan. Mungkin aku harus bersyukur banyak-banyak karena memiliki mertua yang baik seperti Mami. Juga karena saat menikah dengan anaknya Mami sudah berubah jauh lebih baik. Kalau saja Mami masih seperti dulu—saat pernikahan Mbak Zoi dan Mas Javas yang pertama, mungkin aku nggak akan betah tinggal di sini.“La, coba deh kamu panggil Jevin ke kamarnya biar kita bisa sarapan bareng,” suruh Mami padaku.Aku melaksanakan instruksi Mami dengan langsung pergi ke kamar kakak iparku itu. Kemarin malam setelah tiba di rumah, aku dan Mas Jevin tidak terlalu banyak berinteraksi. Mas Jevin mengobrol dan melepas rasa rindu dengan Mami dan Papi, sedangkan aku langsung masuk ke kamar lantaran Fai merengek ingin menelepon Papanya.Tok ... Tok ... Tok ...Pintu kamar kuketuk. Hanya menunggu beberapa detik daun pintu terbuka bersama
ZOLA“Mbak, kok diem aja sih?” Zeline menggoyangkan tanganku agar segera menjawab pertanyaannya.“Apa nggak sebaiknya di rumah Mbak Zoi aja dulu, Zel?” Aku menjawab setelah menimbang-nimbang.“Duh, Mbak, kan udah aku bilang aku digangguin Bjorka mulu. Mana nakalnya minta ampun.”“Namanya juga anak-anak, ya kamu ngertiin lah.”“Udah, Mbak, tapi dia tuh beda banget sama Fai. Aku udah kunci pintu kamar malah dia ngetok-ngetok mulu. Beneran deh aku nggak nyaman di sana.”Aku nggak tahu apa ini alasan Zeline saja. Masalahnya dulu saat aku masih tinggal sama Mbak Zoi, Bjorka nggak banyak tingkah. Apa mungkin karena usianya semakin bertambah? Atau karena Zeline dilihatnya berbeda dari yang lain makanya Bjorka jadi suka mengganggu?“Ya udah nggak apa-apa kalau kamu mau di rumah Mbak. Tapi ada Mas Jevin sih.”“Terus kenapa kalau ada dia?”“Ya nggak apa-apa sih sebenernya. Tapi kemarin-kemarin kamu kan tidur di kamar dia.”“Kamar di sana kan banyak. Ntar aku bisa tidur di kamar tamu.”“Tapi kam
ZOLAAku mengajak Zeline turun dari mobil setelah menasehatinya bermacam-macam. Aku harap Zeline memegang kata-katanya akan menjaga sikap dan tingkah laku di depan Mas Jevin.“Mamaaa!!!” Fai berteriak saat melihatku datang, kemudian bergerak-gerak gelisah dalam gendongan Mas Jevin.Fai mengayun langkah kecilnya mendekatiku setelah Mas Jevin menurunkannya.Aku menyambut Fai dengan pelukan. Lalu kukecup puncak kepalanya yang menguarkan aroma yang begitu wangi.Zeline juga mencuri kecupan di pipi Fai.“Sini yuk sama Aunty.”Aku memindahkan Fai dan membiarkan Zeline menggendongnya sendiri. Kami bersama-sama berjalan mendekati Mas Jevin. Aku bermaksud mengenalkan Zeline, tapi Mas Jevin sudah buru-buru pergi.“Kok dia kabur, Mbak?” tanya Zeline padaku.Aku mengangkat bahu. “Mbak juga nggak tahu.”Zeline mengendus-endus seperti anjing pelacak membaui mangsanya.“Mana parfumnya wangi pake banget,” ujarnya berkomentar. “Dia straight kan, Mbak?” Pertanyaannya mengejutkanku.“Kok nanyanya gitu
ZACHJevin menyetir pelan di sebelahku sedangkan aku duduk sambil merokok. Sudah sepertiga perjalanan tapi tak satu pun kata yang terlontar dari bibirnya.“Jev, lo nggak ngerokok?” Aku menyodorkan Parliament Night Blue-ku padanya.“Lo aja.” Jevin menolak.“Jadi ceritanya lo udah berhenti?” tanyaku sekalian meledeknya. Kenapa aku bilang meledek? Karena untuk berhenti merokok tidaklah segampang itu.“Sayang aja capek-capek nyari duit tapi ujung-ujungnya buat dibakar.”Tawaku lepas seketika mendengar jawaban Jevin. Sebagai seorang arkeolog bergaji hingga delapan ratus juta apalah artinya sebungkus Parliament yang harganya hanya 120k buat Jevin.Iya, Jevin memang seorang arkeolog. Di Indonesia pekerjaan tersebut kurang diminati, karena selain gajinya yang standar, biasanya seorang arkeolog akan dikirim ke tempat-tempat terpencil untuk menyelidiki sejarah di daerah tersebut. Tidak hanya satu atau dua bulan, biasanya arkeolog harus menetap tahunan di sebuah tempat hanya untuk menguak sejara
ZOLAKapan terakhir aku mendapat kejutan? Sepanjang ingatan di kepala, kejutan paling besar yang pernah kuterima bukanlah hadiah di saat ulang tahun, melainkan pada saat mengetahui aku hamil tanpa menikah.Lalu setelahnya hidupku benar-benar begitu penuh dengan kejutan. Tanpa harus diberi pun hidupku sudah cukup mengejutkan. Namun, kejutan yang satu ini begitu manis. Aku baru saja berniat untuk menelepon Zach. Tapi tiba-tiba dia muncul bagaikan sulap di hadapanku. Dia sampai seniat itu bersembunyi di dalam walk in closet—hal yang satu kali pun tidak pernah terpikirkan olehku.Now i know, selain mesyum dia juga sweet.Aku baru akan mengambil handuk ketika Zach lebih dulu membekap bibirku dengan ciumannya. Ini bukan ciuman nafsu, tapi ungkapan kerinduan yang begitu dalam.Aku mendorong dadanya pelan sebagai isyarat untuk memisahkan bibir kami.“Kenapa, Sayang?” tanyanya heran. Dia masih ingin menciumku.“Rasa rokok. Tadi berapa batang sih ngerokoknya?” keluhku sambil mengibas-ngibaska
ZOLAUsapan lembutku di kepala Zach terhenti begitu saja ketika mendengar kata-katanya.Aku mengerti dan sangat paham kalau itu adalah acara makan malam keluarga, tapi masalahnya aku nggak mungkin terang-terangan mengatakan pada Zeline bahwa dia nggak boleh ikut. Apalagi Zeline juga menginap di sini. Dia pasti akan curiga jika aku tiba-tiba menyuruhnya menginap di rumah Mbak Zoi.Aku mulai merasa ada yang aneh dengan Maminya Zach a.k.a mertuaku. Memangnya kenapa kalau Zeline ikut? Apa menurut Mami Zeline bukan keluarga? Apa kehadiran Zeline akan mengacaukan acara tersebut?Kenapa Mami terkesan nggak menyukai Zeline? Aku masih ingat ucapan Mami yang mengatakan bahwa ibu-ibu suka yang seperti Zeline. Lantas kenapa sikap dan perkataannya seperti bertolak belakang?“La ….” Zach menggoyangkan tanganku, yang membuatku terbangun dari ketermanguan panjang.“Buat aku nggak masalah, tapi boleh aku tahu kenapa Zeline nggak boleh ikut?”“Bukan nggak boleh, La, tapi Zeline kan belum menikah, se