Share

Diam-Diam Menikahi Miliarder
Diam-Diam Menikahi Miliarder
Penulis: shimizudani

Bab 1

Apakah memang begini rasanya patah hati? 

Gita merasakan kesedihan tak berujung dan kemauan menjalani hari-hari yang hampir tak ada. Belum lagi air mata yang seperti hujan, tak tertahan untuk turun. Namun, itu tak sebanding dengan kenyataan yang memaksanya untuk terus bertemu sumber sakitnya. Rasa-rasanya, dia ingin menghilang saja. 

Kalau bisa, dia pasti akan melakukannya. Sayangnya, dia tidak dapat melakukannya begitu saja. Menyerah cuma karena pria rasa-rasanya tidak benar. Nyatanya, dia mampu bertahan selama ini. Ini hanyalah bagian lain dari fase patah hatinya. 

Tetapi, benarkah? Kenapa ini terasa sangat sakit? 

"Kamu nggak makan?" 

Sebuah suara samar memasuki telinganya. Dia mendengarnya, atau dia rasa dia mendengarnya. Itu agak membingungkan karena otak dan tubuhnya sedang tidak sinkron. Dia bahkan tidak yakin sungguh-sungguh mendengarnya. Suara-suara di sekitarnya terdengar sama. Tak jelas. 

"Gita." 

Jika yang pertama adalah suara pria, yang kedua adalah suara wanita. Dua orang yang duduk bersebelahan itu menatap heran kepadanya, Gita, yang sedari tadi tak mengubah aktivitasnya. Pisau di tangan kanan serta garpu di tangan kiri dan bersiap memotong makanan di piringnya, namun tak menghasilkan apapun. 

"Git," panggil sang wanita, agak menaikkan suaranya. Dia harus melakukannya demi menarik kembali perhatian lawan bicaranya. 

Dan itu berhasil. Akhirnya, lamunan panjang Gita atas patah hatinya rusak. Dia dipaksa untuk kembali pada kenyataan. Kenyataan pahit bahwa dia sedang bersama pasangan bahagia yang mengharuskannya berakting bahagia sepanjang makan malam ini. 

"Oh, Del." Otomatis dia memanggil nama orang yang memanggilnya. "Kamu bilang apa?" tanyanya setelah sempat mengira-ngira alasan Dela memanggilnya dan tidak bisa menemukannya. Tentu saja. Dia akan menjadi manusia super apabila mampu berfokus pada dua hal secara bersamaan. 

"Bukan aku yang bertanya, tapi Lukman. Dia bertanya kenapa kamu nggak makan." Dela terdengar gemas kala mengulang adegan yang terlewatkan. Bagaimana bisa Gita melamun di tengah makan malam mereka? Terlebih, ini di restoran dan sedang ramai pengunjung. 

Napas Gita berhenti sesaat ketika Dela menyebutkan nama Lukman. Tetapi, kalimat lanjutannya menyadarkannya bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bereaksi demikian. Dia harus menghentikan kebodohannya sendiri. "Benar, aku sedang makan malam," gumamnya yang hanya bisa didengarnya. Ya, seceroboh itulah dirinya hingga dia membiarkan benaknya berkelana ke tempat lain setelah dia memahami resikonya saat mengiakan ajakan makan malam mereka. 

"Kenapa? Ada yang mengganggumu?" Kali ini, Lukman yang bertanya. Dia menatap Gita dengan kekhawatiran tergambar di wajahnya. Pertemanan lama mereka sudah cukup memberitahukan kebiasaan Gita. Dia tidak biasanya begini. Gita yang dikenalnya adalah orang yang banyak bicara. 

"Hanya pekerjaanku. Mereka memindahkanku untuk mengurus artis baru." Entah ide dari mana, kebohongan itu lancar keluar dari bibir Gita. Tapi, sebenarnya, dia tidak sepenuhnya berbohong. Itu kenyataan. Dia mendapatkan tugas baru. Bagian bohongnya cuma dia tidak sungguh-sungguh sedang memikirkan hal tersebut tadi. 

"Siapa?" Dela langsung bergabung dalam pembahasan baru mereka. Tampaknya, kekesalannya telah hilang. 

"Ada dua artis baru yang masuk ke agensi. Tapi, aku masih belum tahu siapa yang akan ditugaskan kepadaku." Gita berkata seraya meneruskan makannya. Dimasukkannya potongan steak ke dalam mulutnya. 

"Siapa?" Rupanya, Dela masih tertarik pada sang artis. Maklum, pekerjaannya sebagai pekerja kantoran nyaris tak memungkinkannya bertemu selebritas. Berbeda dengan Gita yang bekerja di agensi hiburan sebagai manajer untuk artis yang pasti terbiasa bertemu mereka. 

"Farah Kusuma dan Gilang Ismawan." 

"Gilang Ismawan?" Dela mengulang satu nama yang disebutkan sahabatnya. "Dia Gilang Ismawan di Tetap Setia, kan?" Hati-hati dia bertanya dengan antusiasme tersembunyi di baliknya. 

"Iya. Menjadi manajernya akan sangat sibuk sekali karena dia mulai populer setelah-" Mendadak, ucapan Gita terhenti saat sebuah kesadaran menderanya. "Ah, aku lupa kamu mengidolakannya." Dia teringat percakapan mereka dua minggu yang lalu ketika dia menemani sahabatnya menonton semalaman. Tidak. Seharusnya, dia dipaksa melakukannya karena bagaimana dia bisa tidur saat televisi masih menyala di kamarnya?

Beginilah rasanya hidup di apatemen sederhananya. Tidak ada pembatas antara satu area dan area lainnya yang membuatnya mesti bersabar menerima kehadiran Dela yang menginvasi waktu istirahat berharganya. 

"Jadi, benar dia?" Dela seperti akan melompat dari kursinya bila tidak mengingat itu tempat umum. 

Gita mengangguk yakin. Dia beberapa kali melihat Gilang Ismawan di agensinya. Dan dengan menyebarnya kabar bergabungnya Gilang ke perusahaannya, kunjungannya pasti berhubungan dengan diskusi mengenai kontrak kerjasama. 

Setelah berhasil menguasai diri, Dela mengubah cara bicaranya. "Boleh aku mampir ke kantormu?" Dia bertanya dengan penuh harap. Jika pekerjaannya tidak memungkinkan dia bertemu artis idolanya, dia akan menggunakan kesempatan lain yang ada. Dan kebetulan, itu berasal dari sahabatnya. 

"Gita di sana untuk bekerja, Del. Bukan untuk membawamu tur." Lukman menimpali cepat. Dia heran dengan para wanita. Apakah sebegitunya mengidolakan seorang aktor? 

"Tenang, aku nggak akan mengganggunya. Aku hanya akan melihat dari jauh." 

"Tetap saja, kamu nggak bisa di sana. Itu kantor." 

"Kubilang aku nggak akan mengganggu pekerjaan Gita. Kalau nggak percaya, kamu boleh ikut bersamaku." 

Kekehan kecil keluar dari bibir Gita mendengar perdebatan mereka. Dela memang begitu. Wanita itu akan mencari kesempatan untuk melihat selebriti idolanya dari dekat, dan Lukman akan selalu menunjukkan reaksi serupa. Pria yang jengah mendengar antusiasme kekasihnya pada selebritas. 

Mungkin, keinginan itu belum hilang, untuk bergabung dalam gemerlapnya dunia hiburan. Oh, Dela dulunya pernah bermain dalam beberapa proyek film. Dengan tubuh proporsional dan wajah wanita campur Indonesia-latin--ibunya dari Brazil, dia berhasil masuk di dunia hiburan meski bukan menjadi pemain utama, melainkan figuran. Namun itu tidak berlangsung lama sebab sahabatnya berhenti usai menyadari persaingan keras di dunia ini. 

"Oke, oke." Di akhir, Gita akan menengahi mereka. Dia bingung bagaimana Lukman dan Dela mampu mempertahankan hubungan mereka selama enam tahun terakhir bila mereka masih sering berdebat untuk hal-hal sepele begini. Terlebih, mereka akan menikah dalam dua hari. "Aku masih belum tahu untuk siapa aku akan bekerja. Tapi, kalau benar itu Gilang, aku akan mencari cara supaya kamu bisa bertemu dengannya." Dia mengakhirinya dengan keputusan diplomatis. 

"Oh, Git." Dela menampilkan ekspresi terharu berlebihannya. Jelas, itu adalah akting. "Makasih. Kamu memang yang terbaik." Tapi, ucapannya tulus. 

Gita tersenyum melihat tingkah Dela yang sebenarnya tak berbeda jauh darinya. Seperti yang sering Lukman katakan, wanita terkadang antusias berlebihan pada artis favoritnya. Begitupun dirinya. Bertahun-tahun terjun di dunia hiburan, rupanya tak membuatnya kebal. Buktinya, ketika dia dan Dela sedang tergila-gila pada seorang aktor, Lukman sampai tak tahan dan memilih untuk diam. 

"Kamu terlalu baik." 

Dan komentar terakhir Lukman perlahan menghilangkan senyum lebar Gita. Agaknya, Lukman kembali benar. Gita terlalu baik hingga dia sanggup tersenyum kala seharusnya dia menangis. Idolanya, pria yang dicintainya selama bertahun-tahun, Lukman akan menikahi Dela. Kabar bahagia sekaligus sumber kesedihannya. Dia mesti mengakhiri seluruh perasaannya kepada pria itu, atau dia akan tenggelam dalam pusara patah hatinya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status