Apakah memang begini rasanya patah hati?
Gita merasakan kesedihan tak berujung dan kemauan menjalani hari-hari yang hampir tak ada. Belum lagi air mata yang seperti hujan, tak tertahan untuk turun. Namun, itu tak sebanding dengan kenyataan yang memaksanya untuk terus bertemu sumber sakitnya. Rasa-rasanya, dia ingin menghilang saja.
Kalau bisa, dia pasti akan melakukannya. Sayangnya, dia tidak dapat melakukannya begitu saja. Menyerah cuma karena pria rasa-rasanya tidak benar. Nyatanya, dia mampu bertahan selama ini. Ini hanyalah bagian lain dari fase patah hatinya.
Tetapi, benarkah? Kenapa ini terasa sangat sakit?
"Kamu nggak makan?"
Sebuah suara samar memasuki telinganya. Dia mendengarnya, atau dia rasa dia mendengarnya. Itu agak membingungkan karena otak dan tubuhnya sedang tidak sinkron. Dia bahkan tidak yakin sungguh-sungguh mendengarnya. Suara-suara di sekitarnya terdengar sama. Tak jelas.
"Gita."
Jika yang pertama adalah suara pria, yang kedua adalah suara wanita. Dua orang yang duduk bersebelahan itu menatap heran kepadanya, Gita, yang sedari tadi tak mengubah aktivitasnya. Pisau di tangan kanan serta garpu di tangan kiri dan bersiap memotong makanan di piringnya, namun tak menghasilkan apapun.
"Git," panggil sang wanita, agak menaikkan suaranya. Dia harus melakukannya demi menarik kembali perhatian lawan bicaranya.
Dan itu berhasil. Akhirnya, lamunan panjang Gita atas patah hatinya rusak. Dia dipaksa untuk kembali pada kenyataan. Kenyataan pahit bahwa dia sedang bersama pasangan bahagia yang mengharuskannya berakting bahagia sepanjang makan malam ini.
"Oh, Del." Otomatis dia memanggil nama orang yang memanggilnya. "Kamu bilang apa?" tanyanya setelah sempat mengira-ngira alasan Dela memanggilnya dan tidak bisa menemukannya. Tentu saja. Dia akan menjadi manusia super apabila mampu berfokus pada dua hal secara bersamaan.
"Bukan aku yang bertanya, tapi Lukman. Dia bertanya kenapa kamu nggak makan." Dela terdengar gemas kala mengulang adegan yang terlewatkan. Bagaimana bisa Gita melamun di tengah makan malam mereka? Terlebih, ini di restoran dan sedang ramai pengunjung.
Napas Gita berhenti sesaat ketika Dela menyebutkan nama Lukman. Tetapi, kalimat lanjutannya menyadarkannya bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bereaksi demikian. Dia harus menghentikan kebodohannya sendiri. "Benar, aku sedang makan malam," gumamnya yang hanya bisa didengarnya. Ya, seceroboh itulah dirinya hingga dia membiarkan benaknya berkelana ke tempat lain setelah dia memahami resikonya saat mengiakan ajakan makan malam mereka.
"Kenapa? Ada yang mengganggumu?" Kali ini, Lukman yang bertanya. Dia menatap Gita dengan kekhawatiran tergambar di wajahnya. Pertemanan lama mereka sudah cukup memberitahukan kebiasaan Gita. Dia tidak biasanya begini. Gita yang dikenalnya adalah orang yang banyak bicara.
"Hanya pekerjaanku. Mereka memindahkanku untuk mengurus artis baru." Entah ide dari mana, kebohongan itu lancar keluar dari bibir Gita. Tapi, sebenarnya, dia tidak sepenuhnya berbohong. Itu kenyataan. Dia mendapatkan tugas baru. Bagian bohongnya cuma dia tidak sungguh-sungguh sedang memikirkan hal tersebut tadi.
"Siapa?" Dela langsung bergabung dalam pembahasan baru mereka. Tampaknya, kekesalannya telah hilang.
"Ada dua artis baru yang masuk ke agensi. Tapi, aku masih belum tahu siapa yang akan ditugaskan kepadaku." Gita berkata seraya meneruskan makannya. Dimasukkannya potongan steak ke dalam mulutnya.
"Siapa?" Rupanya, Dela masih tertarik pada sang artis. Maklum, pekerjaannya sebagai pekerja kantoran nyaris tak memungkinkannya bertemu selebritas. Berbeda dengan Gita yang bekerja di agensi hiburan sebagai manajer untuk artis yang pasti terbiasa bertemu mereka.
"Farah Kusuma dan Gilang Ismawan."
"Gilang Ismawan?" Dela mengulang satu nama yang disebutkan sahabatnya. "Dia Gilang Ismawan di Tetap Setia, kan?" Hati-hati dia bertanya dengan antusiasme tersembunyi di baliknya.
"Iya. Menjadi manajernya akan sangat sibuk sekali karena dia mulai populer setelah-" Mendadak, ucapan Gita terhenti saat sebuah kesadaran menderanya. "Ah, aku lupa kamu mengidolakannya." Dia teringat percakapan mereka dua minggu yang lalu ketika dia menemani sahabatnya menonton semalaman. Tidak. Seharusnya, dia dipaksa melakukannya karena bagaimana dia bisa tidur saat televisi masih menyala di kamarnya?
Beginilah rasanya hidup di apatemen sederhananya. Tidak ada pembatas antara satu area dan area lainnya yang membuatnya mesti bersabar menerima kehadiran Dela yang menginvasi waktu istirahat berharganya.
"Jadi, benar dia?" Dela seperti akan melompat dari kursinya bila tidak mengingat itu tempat umum.
Gita mengangguk yakin. Dia beberapa kali melihat Gilang Ismawan di agensinya. Dan dengan menyebarnya kabar bergabungnya Gilang ke perusahaannya, kunjungannya pasti berhubungan dengan diskusi mengenai kontrak kerjasama.
Setelah berhasil menguasai diri, Dela mengubah cara bicaranya. "Boleh aku mampir ke kantormu?" Dia bertanya dengan penuh harap. Jika pekerjaannya tidak memungkinkan dia bertemu artis idolanya, dia akan menggunakan kesempatan lain yang ada. Dan kebetulan, itu berasal dari sahabatnya.
"Gita di sana untuk bekerja, Del. Bukan untuk membawamu tur." Lukman menimpali cepat. Dia heran dengan para wanita. Apakah sebegitunya mengidolakan seorang aktor?
"Tenang, aku nggak akan mengganggunya. Aku hanya akan melihat dari jauh."
"Tetap saja, kamu nggak bisa di sana. Itu kantor."
"Kubilang aku nggak akan mengganggu pekerjaan Gita. Kalau nggak percaya, kamu boleh ikut bersamaku."
Kekehan kecil keluar dari bibir Gita mendengar perdebatan mereka. Dela memang begitu. Wanita itu akan mencari kesempatan untuk melihat selebriti idolanya dari dekat, dan Lukman akan selalu menunjukkan reaksi serupa. Pria yang jengah mendengar antusiasme kekasihnya pada selebritas.
Mungkin, keinginan itu belum hilang, untuk bergabung dalam gemerlapnya dunia hiburan. Oh, Dela dulunya pernah bermain dalam beberapa proyek film. Dengan tubuh proporsional dan wajah wanita campur Indonesia-latin--ibunya dari Brazil, dia berhasil masuk di dunia hiburan meski bukan menjadi pemain utama, melainkan figuran. Namun itu tidak berlangsung lama sebab sahabatnya berhenti usai menyadari persaingan keras di dunia ini.
"Oke, oke." Di akhir, Gita akan menengahi mereka. Dia bingung bagaimana Lukman dan Dela mampu mempertahankan hubungan mereka selama enam tahun terakhir bila mereka masih sering berdebat untuk hal-hal sepele begini. Terlebih, mereka akan menikah dalam dua hari. "Aku masih belum tahu untuk siapa aku akan bekerja. Tapi, kalau benar itu Gilang, aku akan mencari cara supaya kamu bisa bertemu dengannya." Dia mengakhirinya dengan keputusan diplomatis.
"Oh, Git." Dela menampilkan ekspresi terharu berlebihannya. Jelas, itu adalah akting. "Makasih. Kamu memang yang terbaik." Tapi, ucapannya tulus.
Gita tersenyum melihat tingkah Dela yang sebenarnya tak berbeda jauh darinya. Seperti yang sering Lukman katakan, wanita terkadang antusias berlebihan pada artis favoritnya. Begitupun dirinya. Bertahun-tahun terjun di dunia hiburan, rupanya tak membuatnya kebal. Buktinya, ketika dia dan Dela sedang tergila-gila pada seorang aktor, Lukman sampai tak tahan dan memilih untuk diam.
"Kamu terlalu baik."
Dan komentar terakhir Lukman perlahan menghilangkan senyum lebar Gita. Agaknya, Lukman kembali benar. Gita terlalu baik hingga dia sanggup tersenyum kala seharusnya dia menangis. Idolanya, pria yang dicintainya selama bertahun-tahun, Lukman akan menikahi Dela. Kabar bahagia sekaligus sumber kesedihannya. Dia mesti mengakhiri seluruh perasaannya kepada pria itu, atau dia akan tenggelam dalam pusara patah hatinya.
Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d
Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d
"Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di
Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid
"Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b