Share

Bab 2

Gita tidak langsung pulang setelahnya.

Dia memutuskan untuk mendatangi bar terdekat usai dirinya menolak untuk naik mobil mereka--Lukman dan Dela. Tentu saja. Mereka mengajaknya menonton di bioskop, dan jelas dia tidak mau menjadi pengganggu. Lebih tepatnya, dia tidak bisa melihat kemesraan mereka berdua. Itu sungguh akan sangat keterlaluan. Lagi pula, dia mesti mempersiapkan hatinya untuk patah hati yang sesungguhnya. 

Jadi, dia berbohong tentang ingin langsung pulang. Dia hendak menikmati waktu liburnya sebelum tumpukan jadwal merusak kehidupannya. Satu hal lagi. Dia butuh untuk merawat tubuhnya untuk hari bahagia mereka. Ya, dia akan menjadi bridesmaid sang pengantin wanita. Dan sebagai sahabat Dela, dia juga harus menyampaikan kesan tentang sahabatnya itu. Sungguh, tugas yang berat. 

Untungnya, mereka tidak memaksanya. Dia harus berterima kasih kepada Lukman karena mencegah dirinya mengiringi pengantin wanita sebelum hari pernikahan. Sialnya, aksi itu semakin memantik rasa hangat di hatinya, bukannya mematikannya. 

Maka, di sinilah dirinya sekarang. Di lounge hotel Adiwijaya yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari restoran di mana mereka makan malam. 

Kenapa dia memilih tempat ini alih-alih bar terdekat? 

Karena dia pernah ke sini dan dia menyukai suasanya. Barnya terletak di lantai sepuluh sehingga memiliki pemandangan yang luar biasa. 

Gita meletakkan gelas wiskinya yang tinggal separuh ke meja panjang dekat dinding kaca yang menampilkan pemandangan malam. Sebenarnya, dia ingin mengambil meja privat yang membuatnya dapat bebas menikmati kesendiriannya. Tetapi, semua sudut dekat dinding kaca sudah penuh. Mau tak mau, dia harus duduk di sini bersama beberapa orang lain yang tampaknya bernasib serupa dengannya. 

Dia menarik napas dalam, lantas menghembuskannya perlahan. Benaknya masih dipenuhi acara besar yang akan datang dua hari lagi. Apa yang harus dilakukannya? Dia takut lepas kendali dan berakhir menghancurkan pesta pernikahan kedua sahabatnya. 

Namun, sepertinya, itu tidak mungkin terjadi. Sejak kapan dia tidak bisa mengendalikan dirinya? Kecuali mabuk, dia yakin bisa sepenuhnya menguasai diri. Masalahnya, ekspresinya. Dia tidak yakin sanggup tersenyum sepanjang waktu. Bagaimana jika dia tiba-tiba menangis? Meskipun dia tangguh, dia tetaplah wanita yang memiliki bagian sensitif. Dia akan kesulitan menahan tangisnya apabila itu terlanjur keluar. 

"Boleh aku duduk di sini?" 

Sebuah suara berat memasuki telinga Gita. Tidak seperti sebelumnya, dia meresponsnya dengan cepat. "Tentu." Bibirnya berujar cepat. Dia bahkan belum melihat rupa sang pria yang secara tak langsung telah merusak lamunannya. 

"Makasih." 

Barulah saat sebuah gelas yang mirip dengan miliknya muncul di meja, matanya bergerak dari sana menuju sosok orang tersebut. Yang ditemukannya adalah pria rupawan berpenampilan santai, mengenakan kaos putih dan celana pendek hitam. Walau demikian, dia masih dapat menangkap kharismanya. Laki-laki itu pastilah bukan orang biasa. 

Lalu Gita tersadar. Dia menggelengkan kepalanya cukup keras. Ini bukan waktunya berpikir begitu. Dia tidak boleh terpesona pada pria di pertemuan pertama. Ini hanya sebatas ketertarikan fisik. Oh, apakah itu artinya dia mengharapkan pertemuan lainnya? 

"Ada apa?" 

Itu pertanyaan retoris. Dia yakin pria itu telah mengetahui jawabannya. Sebagai pria yang mempunyai pesona di atas lelaki kebanyakan, dia pasti sering mendapati reaksi begini dari wanita. "Nggak. Aku cuma mikir kamu ganteng banget." Ini lebih buruk. Bibirnya lancang mengungkapkan pemikiran jujurnya. 

Oleh sebab itu, wajar jika sang pria tertawa. Wanita yang baru ditemuinya memuji--terkesan menggodanya. "Kamu yang pertama bilang selantang ini." 

"Oh ya?" 

"Iya. Wanita lain biasanya cuma kasih kode atau malu-malu bilangnya, bahkan bertingkah menggodaku." Dia menjawab setelah menyamankan posisinya. 

"Jadi, kamu sering dengar yang seperti ini," gumam Gita lebih kepada dirinya sendiri. Tidak heran karena laki-laki itu memang tipe ideal para wanita. Lihatlah tubuh kekar di balik kaosnya. Dia bisa melihat otot-otot di kedua lengannya. 

Kemudian, tawa kecil keluar dari bibirnya yang menandakan si pria mendengar perkataannya. Gita jadi merasa buruk. Bagaimana tidak? Dia terdengar seperti meremehkan lelaki itu. Atau tidak? 

"Maaf." Gita memilih mengujarkan maafnya. Siapa tahu perkataannya benar-benar menyinggungnya? Bagaimanapun mereka baru saja bertemu. Kesan baik penting diperlihatkannya saat ini. 

"It's okay." Laki-laki itu mulai mengurangi tawanya. "Kamu benar sekali. Aku mungkin kelihatan sombong di matamu." 

"Nggak!" tolak Gita cepat. Dia tidak pernah berkata begitu. "Aku cuma merasa seperti orang bodoh karena mikir seseorang seperti kamu nggak pernah menerima pujian seperti itu." Dia berusaha menjelaskan maksudnya sebaik mungkin. 

Senyum diukirkan sang pria saat melihat kegagapan yang ditunjukkan Gita. "Aku bercanda." Lalu, dia mengangkat gelasnya. "Cheers?" 

Gita mengikuti gerakan si lelaki dan mengangkat gelasnya kemudian saling menjentikkannya sehingga menimbulkan bunyi ting. "Cheers." Setelahnya, mereka meminum minuman masing-masing. 

"Kamu sendirian di sini?" Gita bertanya setelah keheningan beberapa detik. Sejujurnya, dia tidak ahli dalam hal ini, memulai pembicaraan. Tetapi, dia perlu tahu apakah pria di sampingnya membutuhkan teman bicara atau tak mau diganggu. "Oh, aku nggak bermaksud merayumu," imbuhnya kala dia teringat ucapan lelaki itu soal wanita yang menggodanya. 

Laki-laki itu kembali mengeluarkan tawanya. Agaknya, Gita berubah menjadi penghibur di matanya. "Lalu kenapa bertanya begitu?" Dia balik bertanya. 

"Well," Gita sedikit menggantung kalimatnya seraya memainkan telunjuknya di pinggiran gelas. Dia sedikit malu karena terang-terangan menyuarakan tuduhannya. "Aku perlu tahu apakah kamu butuh teman atau hanya ingin sendiri." Seharusnya, dia mengatakan ini alih-alih soal menggoda. Lelaki itu pasti berpikir dirinya aneh. 

"Hm," Sang pria menggumam pelan, memikirkan jawabannya. "Aku nggak masalah memiliki teman. Tapi, aku nggak jago ngobrol." 

"Aku juga." 

"Jadi, kita cuma akan diam-diaman?" 

Gita terdiam sesaat. Namun, telunjuknya masih terus bergerak, seperti benaknya bekerja merangkai bayangan pertemuan mereka selanjutnya. "Gimana menurutmu?" 

Lelaki itu sedikit terkejut mendengarnya. Kebanyakan wanita yang ditemuinya akan menggunakan kesempatan ini untuk berbicara apa pun kepadanya. Mereka akan berusaha menciptakan image 'mudah akrab'. "Diam juga nggak masalah kalau kamu memang mau begitu." 

Gerakan di gelas Gita terhenti saat mendengar kalimat tersebut. Tampaknya pria itu seperti dirinya yang terbuka pada obrolan, tapi tak masalah sendiri dan diam. "Pertemuan pertama yang membosankan, kan?" Dia meringis kala mengatakannya. Justru karena niat mereka sama, itu membuatnya terlihat lebih buruk. 

"Nggak juga." Si pria menanggapi cepat. "Senang bisa bertemu seseorang sepertimu." 

"Seseorang sepertiku?" Gita membeo dengan nada heran. "Memangnya aku bagaimana?" 

"Mengatakan apa pun di kepalamu." Si pria mengatakan sesuatu yang tepat sasaran hingga Gita hanya bisa menanggapinya dengan cengiran. Dan lagi, dia tersenyum kecil. 

"Aku pasti kelihatan lucu di matamu." Gita tidak tahu mesti tertawa atau merengut mengujarkannya. Hal ini bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakannya. 

"Sedikit." 

Gita melirik tajam ke arah si pria, lantas ikut tertawa. "Tapi, ini lebih baik daripada membuatmu marah atau sedih." 

"Yeah." Sang pria mengangguk setuju. "Namaku Rangga. Siapa namamu?" 

Gita menyunggingkan senyumnya lalu menyodorkan tangannya. "Aku Gita." Dia menyebutkan namanya setelah pria itu menyambut jabatan tangannya. Kemudian mereka saling tersenyum.

Sepertinya ini akan menjadi malam yang menyenangkan bagi keduanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status