Gita tidak langsung pulang setelahnya.
Dia memutuskan untuk mendatangi bar terdekat usai dirinya menolak untuk naik mobil mereka--Lukman dan Dela. Tentu saja. Mereka mengajaknya menonton di bioskop, dan jelas dia tidak mau menjadi pengganggu. Lebih tepatnya, dia tidak bisa melihat kemesraan mereka berdua. Itu sungguh akan sangat keterlaluan. Lagi pula, dia mesti mempersiapkan hatinya untuk patah hati yang sesungguhnya.
Jadi, dia berbohong tentang ingin langsung pulang. Dia hendak menikmati waktu liburnya sebelum tumpukan jadwal merusak kehidupannya. Satu hal lagi. Dia butuh untuk merawat tubuhnya untuk hari bahagia mereka. Ya, dia akan menjadi bridesmaid sang pengantin wanita. Dan sebagai sahabat Dela, dia juga harus menyampaikan kesan tentang sahabatnya itu. Sungguh, tugas yang berat.
Untungnya, mereka tidak memaksanya. Dia harus berterima kasih kepada Lukman karena mencegah dirinya mengiringi pengantin wanita sebelum hari pernikahan. Sialnya, aksi itu semakin memantik rasa hangat di hatinya, bukannya mematikannya.
Maka, di sinilah dirinya sekarang. Di lounge hotel Adiwijaya yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari restoran di mana mereka makan malam.
Kenapa dia memilih tempat ini alih-alih bar terdekat?
Karena dia pernah ke sini dan dia menyukai suasanya. Barnya terletak di lantai sepuluh sehingga memiliki pemandangan yang luar biasa.
Gita meletakkan gelas wiskinya yang tinggal separuh ke meja panjang dekat dinding kaca yang menampilkan pemandangan malam. Sebenarnya, dia ingin mengambil meja privat yang membuatnya dapat bebas menikmati kesendiriannya. Tetapi, semua sudut dekat dinding kaca sudah penuh. Mau tak mau, dia harus duduk di sini bersama beberapa orang lain yang tampaknya bernasib serupa dengannya.
Dia menarik napas dalam, lantas menghembuskannya perlahan. Benaknya masih dipenuhi acara besar yang akan datang dua hari lagi. Apa yang harus dilakukannya? Dia takut lepas kendali dan berakhir menghancurkan pesta pernikahan kedua sahabatnya.
Namun, sepertinya, itu tidak mungkin terjadi. Sejak kapan dia tidak bisa mengendalikan dirinya? Kecuali mabuk, dia yakin bisa sepenuhnya menguasai diri. Masalahnya, ekspresinya. Dia tidak yakin sanggup tersenyum sepanjang waktu. Bagaimana jika dia tiba-tiba menangis? Meskipun dia tangguh, dia tetaplah wanita yang memiliki bagian sensitif. Dia akan kesulitan menahan tangisnya apabila itu terlanjur keluar.
"Boleh aku duduk di sini?"
Sebuah suara berat memasuki telinga Gita. Tidak seperti sebelumnya, dia meresponsnya dengan cepat. "Tentu." Bibirnya berujar cepat. Dia bahkan belum melihat rupa sang pria yang secara tak langsung telah merusak lamunannya.
"Makasih."
Barulah saat sebuah gelas yang mirip dengan miliknya muncul di meja, matanya bergerak dari sana menuju sosok orang tersebut. Yang ditemukannya adalah pria rupawan berpenampilan santai, mengenakan kaos putih dan celana pendek hitam. Walau demikian, dia masih dapat menangkap kharismanya. Laki-laki itu pastilah bukan orang biasa.
Lalu Gita tersadar. Dia menggelengkan kepalanya cukup keras. Ini bukan waktunya berpikir begitu. Dia tidak boleh terpesona pada pria di pertemuan pertama. Ini hanya sebatas ketertarikan fisik. Oh, apakah itu artinya dia mengharapkan pertemuan lainnya?
"Ada apa?"
Itu pertanyaan retoris. Dia yakin pria itu telah mengetahui jawabannya. Sebagai pria yang mempunyai pesona di atas lelaki kebanyakan, dia pasti sering mendapati reaksi begini dari wanita. "Nggak. Aku cuma mikir kamu ganteng banget." Ini lebih buruk. Bibirnya lancang mengungkapkan pemikiran jujurnya.
Oleh sebab itu, wajar jika sang pria tertawa. Wanita yang baru ditemuinya memuji--terkesan menggodanya. "Kamu yang pertama bilang selantang ini."
"Oh ya?"
"Iya. Wanita lain biasanya cuma kasih kode atau malu-malu bilangnya, bahkan bertingkah menggodaku." Dia menjawab setelah menyamankan posisinya.
"Jadi, kamu sering dengar yang seperti ini," gumam Gita lebih kepada dirinya sendiri. Tidak heran karena laki-laki itu memang tipe ideal para wanita. Lihatlah tubuh kekar di balik kaosnya. Dia bisa melihat otot-otot di kedua lengannya.
Kemudian, tawa kecil keluar dari bibirnya yang menandakan si pria mendengar perkataannya. Gita jadi merasa buruk. Bagaimana tidak? Dia terdengar seperti meremehkan lelaki itu. Atau tidak?
"Maaf." Gita memilih mengujarkan maafnya. Siapa tahu perkataannya benar-benar menyinggungnya? Bagaimanapun mereka baru saja bertemu. Kesan baik penting diperlihatkannya saat ini.
"It's okay." Laki-laki itu mulai mengurangi tawanya. "Kamu benar sekali. Aku mungkin kelihatan sombong di matamu."
"Nggak!" tolak Gita cepat. Dia tidak pernah berkata begitu. "Aku cuma merasa seperti orang bodoh karena mikir seseorang seperti kamu nggak pernah menerima pujian seperti itu." Dia berusaha menjelaskan maksudnya sebaik mungkin.
Senyum diukirkan sang pria saat melihat kegagapan yang ditunjukkan Gita. "Aku bercanda." Lalu, dia mengangkat gelasnya. "Cheers?"
Gita mengikuti gerakan si lelaki dan mengangkat gelasnya kemudian saling menjentikkannya sehingga menimbulkan bunyi ting. "Cheers." Setelahnya, mereka meminum minuman masing-masing.
"Kamu sendirian di sini?" Gita bertanya setelah keheningan beberapa detik. Sejujurnya, dia tidak ahli dalam hal ini, memulai pembicaraan. Tetapi, dia perlu tahu apakah pria di sampingnya membutuhkan teman bicara atau tak mau diganggu. "Oh, aku nggak bermaksud merayumu," imbuhnya kala dia teringat ucapan lelaki itu soal wanita yang menggodanya.
Laki-laki itu kembali mengeluarkan tawanya. Agaknya, Gita berubah menjadi penghibur di matanya. "Lalu kenapa bertanya begitu?" Dia balik bertanya.
"Well," Gita sedikit menggantung kalimatnya seraya memainkan telunjuknya di pinggiran gelas. Dia sedikit malu karena terang-terangan menyuarakan tuduhannya. "Aku perlu tahu apakah kamu butuh teman atau hanya ingin sendiri." Seharusnya, dia mengatakan ini alih-alih soal menggoda. Lelaki itu pasti berpikir dirinya aneh.
"Hm," Sang pria menggumam pelan, memikirkan jawabannya. "Aku nggak masalah memiliki teman. Tapi, aku nggak jago ngobrol."
"Aku juga."
"Jadi, kita cuma akan diam-diaman?"
Gita terdiam sesaat. Namun, telunjuknya masih terus bergerak, seperti benaknya bekerja merangkai bayangan pertemuan mereka selanjutnya. "Gimana menurutmu?"
Lelaki itu sedikit terkejut mendengarnya. Kebanyakan wanita yang ditemuinya akan menggunakan kesempatan ini untuk berbicara apa pun kepadanya. Mereka akan berusaha menciptakan image 'mudah akrab'. "Diam juga nggak masalah kalau kamu memang mau begitu."
Gerakan di gelas Gita terhenti saat mendengar kalimat tersebut. Tampaknya pria itu seperti dirinya yang terbuka pada obrolan, tapi tak masalah sendiri dan diam. "Pertemuan pertama yang membosankan, kan?" Dia meringis kala mengatakannya. Justru karena niat mereka sama, itu membuatnya terlihat lebih buruk.
"Nggak juga." Si pria menanggapi cepat. "Senang bisa bertemu seseorang sepertimu."
"Seseorang sepertiku?" Gita membeo dengan nada heran. "Memangnya aku bagaimana?"
"Mengatakan apa pun di kepalamu." Si pria mengatakan sesuatu yang tepat sasaran hingga Gita hanya bisa menanggapinya dengan cengiran. Dan lagi, dia tersenyum kecil.
"Aku pasti kelihatan lucu di matamu." Gita tidak tahu mesti tertawa atau merengut mengujarkannya. Hal ini bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakannya.
"Sedikit."
Gita melirik tajam ke arah si pria, lantas ikut tertawa. "Tapi, ini lebih baik daripada membuatmu marah atau sedih."
"Yeah." Sang pria mengangguk setuju. "Namaku Rangga. Siapa namamu?"
Gita menyunggingkan senyumnya lalu menyodorkan tangannya. "Aku Gita." Dia menyebutkan namanya setelah pria itu menyambut jabatan tangannya. Kemudian mereka saling tersenyum.
Sepertinya ini akan menjadi malam yang menyenangkan bagi keduanya.
Gita merasakan sebuah tangan terselip di bawah tubuhnya, lalu tangan lain berlabuh di atas perutnya. Selanjutnya, dia merasakan tubuhnya bergerak seolah-olah ditarik ke arah sang pemilik tangan, membuat tubuh mereka kembali saling bersentuhan erat. Meski matanya masih terpejam, tapi pergerakan itu berhasil membangunkannya dan menyadarkannya akan di mana dirinya. Dia dalam pelukan Rangga, pria yang baru ditemuinya semalam. Gita tersenyum tipis kala ingatan semalam memasuki benaknya. Obrolan panjang ditemani wiski dan berakhir dengan tidur bersama. Yeah, bukan akhir yang aneh, sebenarnya. Kenyamanan memunculkan keinginan. Itu hal yang lumrah bagi sesama dewasa. Gita menggerakkan tubuhnya ke belakang agar semakin menempel dengan tubuh liat di belakangnya. Namun, baru saja kenyamanan diperolehnya, tiba-tiba pintu kamar mereka terbuka. "Apa yang kalian lakukan?" Bak gelegar petir, pertanyaan itu mengagetkan dua orang yang masih bergumul di atas kasur dan memaksa mata mereka terbuka
Hari ini mungkin menjadi hari tersibuk bagi Gita. Bagaimana tidak? Ini hari pernikahannya! Siapa yang tak sibuk mempersiapkan hari spesial seperti ini? Tak terkecuali Gita. Apalagi, pernikahannya dilaksanakan secara mendadak. Oh, dia hebat karena masih sanggup menjaga kewarasannya. "Selesai." Suara itu seolah-olah memerintahkan kedua matanya untuk membuka setelah beberapa saat hanya memandang kegelapan. Dan saat dia perlahan menggerakkan kelopak matanya, sesosok wanita cantik menyapanya. Wanita itu berambut hitam sedagu yang ditata sedemikian rupa sehingga tampak ikal dan ber-volume. Bagian kiri rambutnya sengaja disematkan ke belakang telinga untuk kemudian diberikan hairpin cantik di sana. Sedangkan sisi kanan dibiarkan begitu saja sehingga memberikan kesan dewasa dan elegan. Hal itu didukung dengan pemilihan makeup yang simple dan natural. Riasannya cuma menonjolkan fitur wajahnya dan menunjukkan versi terbaik darinya tanpa kesan berlebihan. Yang terlihat paling bold, mung
"Ya, saya berjanji." Gita mengujarkannya sembari menatap lurus mata cokelat Rangga. Itu merupakan kalimat yang sama yang juga Rangga ucapkan sebelumnya. Sebuah janji dalam ketenangan yang berusaha mereka tunjukkan meski mata mereka tidak mampu menutupi kegugupan masing-masing. Tetapi, tatapan mereka seolah-olah saling menenangkan dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, hal itulah yang memang dibutuhkan Gita saat ini. "Sekarang, saya telah meresmikan kalian berdua sebagai sepasang suami dan istri. Semoga pernikahan kalian selalu diberkahi dengan kebahagiaan hingga kalian menua." Sang penghulu mengakhiri akad pernikahan dengan sebuah peresmian. Itulah akhir dari proses sakral dalam pernikahan, yang akhirnya, selesai mereka lalui. "Pengantin pria diperbolehkan untuk mencium pengantin wanita." Dan sebuah penutup manis. Ciuman. Rangga tampak ragu. Dalam situasi seperti ini, biasanya, pengantin pria akan mencium bibir si pengantin wanita, bukan? Tapi entah kenapa, dia meras
Sialan! Tidak ada kata lain yang tepat untuk menggambarkan apa yang Gita rasakan selain itu. Sialan! Dia harus merutuki dirinya sendiri akibat bangun hampir kesiangan. Atau sesungguhnya, dia sudah kesiangan. Dia bangun setengah jam setelah alarm-nya berbunyi meski dia telah dengan sengaja menyetelnya lebih awal. Dia seharusnya sudah sampai di hotel pukul enam pagi. Dia menuliskan sesuatu di kertas lalu menempelkannya di sebuah gaun ungu. Sementara itu, dia segera mengambil gaun abu-abu yang tergantung di sebelahnya, sepatu heels berwarna senada, dan tasnya kemudian melesat keluar dari apartemennya. Dia bahkan berlari menuruni tangga. "Makasih sudah mau mengantarkanku," ujarnya setelah duduk di mobil dan menutup pintunya. "Pakai dulu sabuk pengamannya," perintah pria di sampingnya yang tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Dia melihat Gita selesai memasang sabuk pengaman lantas mulai menjalankan sedannya. "Makasih sudah mau mengantarkanku." Gita membuka obrolan dengan kalimat yang
"Mereka berdua merupakan sahabatku, dan aku berharap kebahagiaan mereka akan berlangsung selamanya." Gita menutup pernyataannya dengan sebuah senyum tulus kepada dua sahabatnya yang berada di depan dan menjadi pusat perhatian pesta ini. Dia mengangkat gelasnya, menunjukkan gestur untuk mengajak mereka bersulang."Makasih banyak, Git. Aku juga berharap kamu akan bertemu seseorang yang bisa buat kamu bahagia," balas Dela lalu mengangkat gelasnya. Mereka meminum minuman mereka dalam posisinya masing-masing. Gita kembali duduk setelah menyelesaikan tugas pentingnya. Hembusan napas lega keluar dari bibirnya mengingat semua berjalan sesuai rencana. "Kamu beneran nggak apa-apa, Kak?" bisik Andin di sebelah Gita seraya menggenggam tangannya. Ya, dia tahu mengenai perasaan kakak satu-satunya itu kepada Lukman. Dan dia sangat tahu kegugupan Gita bukan hanya soal acara pernikahan mereka melainkan juga ketakutannya untuk menghadapi Dela dan Lukman. Karena itulah dia selalu memperhatikan Gita da
"Kamu suka macaron?" Gita, yang hendak menggigit macaron pink di tangannya, terpaksa membatalkan kegiatannya tersebut. Entah kenapa pertanyaan itu terdengar seperti seseorang yang sedang keheranan melihat dirinya. Padahal, apa salahnya dengan memakan macaron? "Iya. Ini kue favoritku," balasnya lalu melahap macaronnya. Oh, makanan manis memang sangat enak. Selain itu, makanan manis juga membuat perasaan jadi lebih baik. Setidaknya, itu bisa mengubah fokusnya untuk hanya merasakan manisnya. Dan karena itulah, dia suka menikmatinya ketika sedang stress. Makanan manis seperti sebuah obat baginya. Dewa melihat cara Gita memakan macaron dan seluruh perubahan di wajah cantiknya. "Kamu pasti suka banget macaron," simpulnya usai menemukan sesuatu yang terlihat seperti kedamaian di wajah Gita. Gita sudah mengatakannya, jadi Dewa tidak perlu membenarkan kalimatnya."Kamu nggak mau cobain?" tawarnya kepada pria itu. Gita-lah orang yang merekomendasikan macaron dalam daftar menu pernikahan sah
Gita memeluk erat ibunya sebelum mereka berpisah. Ya, keluarganya mesti kembali ke Yogyakarta. "Jaga diri baik-baik ya." Sang Ibu berpesan seraya mengelus lembut punggung putri sulungnya. Perpisahan memang tidak pernah terasa baik-baik saja, terutama perpisahan antara keluarga terdekat. Tetapi, mereka tidak bisa selamanya di Jakarta. Suaminya memiliki pekerjaan di Yogyakarta dan putrinya yang lain mempunyai jadwal kuliah keesokan harinya. Sementara itu, dia perlu kembali ke perannya semula. Menjadi ibu rumah tangga. Oh, dia sempat terpikir untuk kembali bekerja setelah kedua putrinya dewasa. Tapi, suaminya mencegahnya dan mengatakan kepadanya untuk menjadi penulis saja. Jadi, dia melakukannya sejak sepuluh tahun terakhir ini. Dan kemampuannya, sepertinya, menurun kepada Gita. Gita mempelajari sastra dan bermimpi menjadi seorang penulis skenario. Walaupun kenyataan tak seindah keinginan dan tak bisa memberikan jalan yang mudah kepada putrinya. Gita mesti menjadi manajer artis sembar
Setelah melewati hari-hari yang melelahkan--pernikahannya dan pernikahan sahabatnya--akhirnya, Gita kembali dengan rutinitas membosankannya. Dia harus kembali bekerja, dan ini hari pertamanya bertemu dengan Farah Kusuma, artis yang akan dia urus. Tentu, dia tidak sendiri. Ada dua orang lain yang bersamanya untuk menjadi asistennya. Dan pertemuan ini selain mengenai perkenalan juga akan membahas tentang job desk untuk tiap-tiap asistennya. "Gita akan menjadi manager yang mengurus pekerjaan Farah dan kontrak dengan rekanan." Jenny, sang CEO, mulai membagikan tugas-tugas para asisten setelah perkenalan dan basa-basi singkat. "Sedangkan yang lain akan membantu Gita dengan tugas-tugas yang lain," lanjutnya. Dia memutuskan demikian sebab Gita yang paling berpengalaman dibandingkan dua orang lainnya. Farah hanya melihat sekilas tiga asisten barunya, Gita, Raya, dan Bagas, lalu kembali pada Jenny. "Kamu yakin mereka pantas dipekerjakan?" Dia terdengar ragu-ragu dan meremehkan mereka bertiga