Svaha sempat khawatir kalau lorong dan lekuk dalam rumah Cantra akan membuatnya tersesat ketika jalan sendiri di dalamnya. Rumah ini terlihat seperti sebuah kapel dari luar. Atapnya tinggi, terkesan kokoh dengan tekstur bata merah, rimbun tanaman jalar, pintu besar berdaun dua dan gagang besi tembaga.
Ketika Svaha masuk, interiornya semakin membuat lelaki itu terkesima. Terkesima sampai ia tidak menyangka kalau ruang tamu rumah tersebut akan menggunakan nuansa periode pertengahan. Svaha tidak berhenti memandang pada lampu gantung, pada hiasan-hiasan berbahan logam yang memaksanya memikirkan naskah Romeo dan Juliet dari penyair Shakespare.
Berkali-kali Svaha menelan ludah, saat langkah Cantra menuntunnya dalam lorong sedingin batu pualam, lukisan-lukisan misterius dualisme menyerang pikirannya—lukisan yang memiliki dua bentuk jika dipandang dari sisi dan jarak pandang tertentu. Membawa lelaki itu tiba-tiba ke dalam sebuah jembatan peradaban. Pada hal-hal yang se
“Ding! Dong!” Arkana terkesiap bangun karena suara jam dinding berpendulum milik Cantra menggema dalam telinganya sampai menembus ke dalam mimpi. Sekali lagi hidungnya segera menangkap aroma nirvana dari kayu gaharu di setiap jengkal dinding kamar ini. Beberapa kali Arkana percaya kalau ruang ini memang bisa membuat tidurnya lebih nyenyak dari biasanya. Tapi, malam ini berbeda rasanya. Ini pertama kalinya Arkana mendengar suara jam dinding. Atau, memang kemarin dirinya cukup nyenyak sampai tidak terbangun. Atau, ya. Arkana tiba setelah tengah malam di sini. Tunggu, sudah berapa malam ia menginap di sini? Kaget mungkin bisa membikin linglung. Arkana mendekatkan diri pada meja di samping tempat tidur, menyalakan layar ponselnya, mengabaikan seluruh pesan singkat dari Svaha dan Laung. Membaca angka digital di ujung kiri. Tengah malam hari ke dua. Masih hari yang sama ketika Banu membawakan ayam bakar buatan Cantra ke dalam kamar. Masih hari yang sama dengan kunj
Selain pandai menyimpan masalah dan berakting seolah tak tahu apa-apa, Swan Nirmala adalah wanita yang pandai memaksa. Ia gunakan wajah Savanna yang manis untuk membujuk anak lelakinya setelah Svaha menolak panggilan videonya sebanyak lima kali. Swan mengirim foto Savanna, menulis pesan ‘Savanna rindu kakaknya’ lalu mengancam akan membuat Savanna membenci Svaha di kalimat kedua. Benar-benar kontradiktif. Meski Svaha tahu itu ide yang mustahil. Pada menit ketiga, akhirnya Svaha menyerah. “Mana Savanna?” tanya lelaki itu ketika Swan mengangkat teleponnya. Wajahnya menutupi hampir seluruh permukaan layar. “Dia masih terlalu kecil untuk terpapar radiasi cahaya ponsel. Dia bahkan belum bisa membedakan mana rasa lapar atau sakit perut.” Svaha mencibir, “Apalagi untuk merasa kangen padaku.” “Nah, itu kamu mengerti.” “Tidakkah ibu pikir ini masih terlalu pagi untuk menelepon seorang mahasiswa yang sedang liburan semester?” tanya Svaha dengan n
Meski hanya bertemu beberapa kali dan baru mengenalnya, Arkana belum pernah melihat Banu Bhuana menunjukkan diri tanpa setelan jas atau kemeja hitamnya. Bisa dibilang sekarang mereka tinggal dalam satu rumah yang sama. Di luar letak kamar mereka yang berjauhan, namun melihatnya bersikap terlalu formal setiap saat membuat Arkana agak gerah. Banu berparas tampan, umurnya mungkin sebaya dengan Cantra, atau lebih dewasa dari Cantra. Ia tidak terlihat terlalu tua. Ia seharusnya bersikap seperti anak orang kaya yang lain. Seperti Cantra yang anggun, atau seperti Laung yang sombong. Tapi, ia malah memilih jadi sopir, bukankah ini hal yang aneh? Seperti sekarang ini, si lelaki berbadan tegap sedang menyusun gelas plastik dan botol minuman di atas meja. Arkana segera mendekat karena penasaran. “Boleh aku minta satu?” tanya Arkana pada Banu. Mencoba untuk menyapa dengan cara biasa akan membuatnya bersikap terlalu sopan. Arkana ingin melakukan pendekatan dengan cara yan
Svaha sedang mandi sambil meninjau ulang perasaannya pada Cantra ketika seorang mengetuk pintu kamar sewa. Suaranya bersilangan dengan gemuruh air dari rain shower. Sempat Svaha mengira bunyi itu berasal dari tetangga sebelah, seperti waktu Arkana datang ke sana dulu dan mengacaukan semuanya. Mengacaukan perasaan Svaha, membuatnya terjebak dalam limbo—batas dunia lain yang menyesatkan. Kalau saja waktu itu Svaha bisa menahan diri dan tidak membuka pintu itu, kesengsaraan ini tidak akan terjadi. Tapi, seperti halnya Arkana yang sedang dalam keadaan mabuk waktu itu, orang ini juga tidak menyerah. Ia terus mengetuk dan suaranya semakin keras. Dengan kegusaran Svaha memutuskan untuk mematikan kran air, mengeringkan badannya. “Tunggu sebentar!” teriaknya. Svaha memakai celana dan baju tidur, lalu berjalan cepat ke pintu. “Svaha, bukalah pintunya,” ujar lelaki di belakang pintu. Svaha mendengus malas ketika mendengar suara Laung.
Arkana butuh waktu setidaknya lima sampai enam puluh menit penuh untuk mandi, memakai gaun yang dipilihkan Cantra termasuk proses berdandan. Lima menit sebelum Arkana memberi sentuhan terakhir pada wajahnya, Banu menjemputnya ke kamar. Lelaki itu mengoleskan parfum beraroma lavender di sisi kanan dan kiri leher Arkana. Menuntunnya ke area ruang tamu. Banu memakai jas dan kemeja yang sama hitam dengan terakhir kali Arkana melihatnya. Gadis itu sempat iseng bertanya apa Banu sudah mandi, berapa banyak kemeja dan setelan hitam yang ia miliki, juga seberapa sering ia mengganti baju. Tapi, Banu hanya diam. Ia mungkin terburu-buru atau suasana hatinya sedang tak bagus. Ia tidak mengacuhkan ocehan Arkana dan bersikap seolah dia tidak mengerti dengan bahasa yang dipakai Arkana. Pelataran ruang sudah dijejal manusia. Semua berpenampilan menarik dan mahal. Semua menggunakan parfum yang berbau impor. Semua bercampur jadi satu di dalam lubang hidung Arkana dan mulai membuat peni
Svaha tidak punya waktu untuk mendeskripsikan semua pemandangan yang ada di depannya. Tentang bagaimana keadaan rumah Cantra ketika ia memasuki ruang tamu, hiasan dinding, minuman apa saja yang disajikan, cemilan apa yang paling menggugah selera. Atau, mengklasifikasikan siapa saja yang diundang pada pesta prematur ini. Semuanya diundang. Kecuali dirinya. Dan, Svaha benci ketika mendengar orang-orang mulai bergunjing tentang pakaiannya yang kurang pantas untuk pesta ini, bagaimana mungkin Cantra memilih seseorang sepertinya. Terlebih, Svaha benci mengakui kalau apa yang dikatakan Laung padanya adalah benar. Tapi, ini pesta Cantra, mengundang siapa pun adalah haknya. Sambil membelah kerumunan tamu Svaha memusatkan pikirannya hanya pada perempuan itu saja. Cantra. Ia berjalan ke arah Svaha. Senyum ia pasang sewajar mungkin. Dikiranya itu masih mempan pada kekasihnya. “Svaha.” Cantra menyapa. Svaha susah payah berusaha untuk tidak terbujuk oleh gau
“Arkana… Sayangku, kamu pikir bisa terus-terusan lari dariku?” suara Laung bergema dalam lorong pualam yang dingin. Arkana terseok-seok dalam rencana pelarian yang mustahil. Pandangannya semakin kabur. Spektrum warna-warni muncul dalam bayang-bayang anomali. Membagi tiap garis di depannya menjadi tiga. Semua tepian konkrit berdenyut. Perempuan itu mengibaskan kepala untuk membuat dirinya lebih baik, tapi kepalanya jadi semakin pening dan sakitnya tidak tertahankan. Arkana bahkan tidak bisa merasakan punggungnya sendiri. Kaki dan tangannya melemah. Sebaiknya lain kali ia harus lebih waspada dan tidak langsung menerima jika seseorang memberinya sesuatu. Atau setidaknya mulai hari ini Arkana akan bertekad untuk berhenti minum alkohol. “Arkana…” suara itu semakin dekat. Nadanya meninggi dan terkesan mengejek. Gaungnya semakin dekat. Ketika pintu taman sudah kelihatan, Arkana mempercepat langkahnya. Arkana menggapai gagangnya. Membukanya. Ia masuk ke dalam t
Sementara undangan yang hadir berdiri di sekitar rumpun bunga lavender kesayangan Cantra, hal pertama yang mereka lakukan pada Svaha ketika bantuan tiba adalah memisahkan Svaha dari tubuh kekasihnya. Enam orang berseragam medis membagi diri mereka menjadi dua kelompok. Masing-masing terdiri dari tiga untuk menangani Cantra dan Arkana. Mereka melakukan pertolongan pertama, menggunting gaun Cantra yang basah dan sudah berubah warna. Sedang Banu berdiri di sana dan menceritakan bagaimana luka itu terjadi. “Hanya satu luka tusuk,” katanya. Lalu mereka berdiskusi dengan kalimat-kalimat yang cepat dan gawat. Seorang menekan pinggang Cantra, tempat luka itu bersarang dengan dua tangan untuk menghentikan darahnya, seorang lagi memeriksa denyut nadi juga tekanan darah dan mungkin kadar oksigen dalam tubuhnya. Pada saat itu terjadi, Cantra tidak bergerak sama sekali. Matanya tertutup. Svaha memasang telinga, karena mungkin ada satu atau dua hal yang dapat ia mengerti.