Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban.
Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi.
Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
“Bukan, Sva. Bukan begitu ceritanya!” Ini sudah ketiga kalinya Arkana berteriak tentang hal yang sama. Kalau bukan begitu cerita yang sebenarnya, yang terjadi semalam.Menurut Arkana, Svaha ada benarnya. Tapi tidak sepenuhnya. Kemudian dalam kepalanya reka ulang adegan semalam muncul kembali.Malam kemarin Arkana datang, mengetuk pintu kamar sewa Svaha. Dia ingat, pada waktu itu langit sudah mulai gelap. Angin bertiup pelan-pelan, menjilat tengkuknya yang berkeringat dan kepanasan. Tanpa rasa malu ia membiarkan suara tangisnya menggelegar. Bisa saja membangunkan penghuni kamar yang lain. Mungkin mereka sempat berpikir kalau Arkana adalah sekelebat hantu penasaran yang konon menghuni area dekat sini. Yang pada malam tertentu berpatroli keliling desa sambil menangis minta dicarikan kepalanya yang hilang.Tapi, gadis itu tidak perduli. Dadanya sesak, kepalanya sudah terlalu pening karena minum setengah botol arak sendirian dalam waktu yang cepat. Arkana
Svaha dan Arkana berteman sejak kecil. Mereka berteman sejak keduanya tahu bahwa teman semestinya tidak saling membelakangi. Teman harus saling membela. Teman adalah yang paling bisa mengingatkan, mana perbuatan salah, mana perbuatan yang benar. Teman harusnya ada di saat susah dan tidak keberatan ketika kita ingin senang-senang sendiri. Teman adalah yang sepenanggungan. Svaha menanggung keluh sahabatnya, Arkana akan menanggung kesah milik Svaha.Teman yang harus selalu tahu bahwa manusia tidak terlahir baik saja, atau buruk saja. Teman tahu kalau kebaikan adalah sebuah tujuan, karena semua orang ingin diperlakukan dengan baik.Dan temannya, Arkana. Tidak pernah jadi orang lain. Perempuan itu tidak pernah menjadi Svaha, dan begitu juga sebaliknya. Arkana selalu menjadi dirinya sendiri.Pertemuan mereka bermula ketika Svaha sudah tidak ingat lagi sejak kapan mereka bermain bersama. Mungkin di sekolah dasar. Atau sekolah menengah. Entah. Tapi ibu keduanya juga ber
(Flashback)Laung baru saja masuk ke dalam mobil. Ia menutup pintunya dengan kasar. Lalu berpaling pada Arkana. Ia meneliti wajah pacarnya. Menelan ludahnya sekali, untuk menyembunyikan marah. Ia mencobanya. Tapi Arkana melihat mata yang tajam itu bersinar seperti akan memakan dirinya sebentar lagi. “Ke mana saja kamu?” Laung bertanya dengan nada suara yang rendah. Terlalu rendah untuk bisa dipastikan tujuannya. Arkana mengira-ngira apa si lelaki hanya sedang mengambil ancang-ancang untuk menerkamnya? Ia menghela nafas, menghadap ke depan. “Aku di rumah ibuku,” kata perempuan itu. “Tiba-tiba saja, kamu pergi ke rumah ibumu? Enam jam perjalanan? Bolak-balik?”“Tiba-tiba saja aku kangen ibuku. Lalu aku ke sana.”Laung memberi jeda sebentar sebelum mengangguk. Seperti sedang mendistraksi dirinya sendiri, ia menyalakan me
Yang barusan itu hampir saja, pikir Svaha. Setelah mobil Laung menghilang dari pekarangan kamar sewanya, Svaha mendudukkan diri di sofa dengan tarikan dan helaan nafas luar biasa panjang yang sepertinya cukup untuk menghabiskan kadar oksigen di dalam kamar itu. Diam-diam jemarinya yang terlalu lentik untuk seorang lelaki iseng menyentuh pipi—di sana, tempat Arkana biasa menciumnya sebelum mereka berpisah. Svaha bertanya-tanya kenapa hari ini jadi beda ketika sebelum pergi. Jangan-jangan ia sedang berharap pada Arkana. Svaha mungkin terlalu menganggap serius apa yang terjadi semalam. Saat mereka mabuk. Oh, tapi itu tidak boleh. “Mungkin aku hanya belum terbiasa. Belum? Berarti aku akan terbiasa? Aku tidak boleh berharap begitu. Bagaimana pun juga ada banyak sekali pengorbanan yang harus aku lakukan jika membiarkan perasaan ini hidup,” gumam Svaha pada dirinya sendiri. Svaha mengibaskan kepala. Ingat akan bajunya yang terbalik,
“Boo...” Arkana meniup telinga Svaha dari belakang ketika ia sedang membungkuk dengan tindak-tanduk mencurigakan di belakang pilar lorong kelasnya.Tidak. Ia tidak tersentak, atau kaget. Svaha hanya memberi jarak satu atau dua detik untuk menyadari keberadaan Arkana. Kemudian menegakkan tubuhnya dengan anggun. Berbalik dan menghadapi temannya.“Kaget?” tanya Arkana dengan nada riang.Svaha menggeleng. Tapi, wajahnya ketakutan—pucat seperti maniak yang baru saja kepergok mencuri celana dalam.“Siapa yang kamu hindari?” Arkana ikut menengok dari posisinya.“Tidak ada.”Arkana merasa curiga, ia memincingkan mata. Terbiasa memaklumi sikap Svaha yang aneh. Mereka berteman lama sekali. Jadi Arkana tahu kalau Svaha sedang ‘begini’, artinya sahabatnya itu sedang menghindarinya. Tentu saja.Sama seperti dulu itu. Ketika Arkana memergokinya bersikap mencurigakan.
Sayup-sayup gurau mahasiswa membaur bersama suara serangga musim panas. Pohon-pohon muda menari di luar jendela kelas mata kuliah Estetika. Burung-burung terbang dari atap ke dahan mencari-curi hangat di bawah terik matahari. Di bawahnya, di pojokan sebelah luar gedung, kucing liar mengais biji nasi yang tertinggal di kertas minyak. Sampah sarapan mahasiswa terpelajar miskin kesadaran. Yang mengira hanya dengan membayar uang SPP bersubsidi silang, maka mereka akan terbebas dari tanggung jawab soal kebersihan lingkungan. Svaha duduk terpekur dalam kotak kaca. Sebuah akuarium akademis, memikirkan dunia yang dinamis seperti jarum jam yang terus bergerak. “Ck, ck, ck,” bunyi konstan yang relatif. Kadang terasa cepat, seringnya terlalu lambat. Tarik menarik bersama kebosanan masal penghuni kelas. Sekali lagi Svaha mencoba memusatkan perhatian pada ibu dosen bertubuh pendek gemuk (tapi cantik dan terlihat baik) di depan kelas. Ia tangkupkan kedua tangan di pipi, lalu denga
Arkana sudah setengah mabuk ketika jari-jari panjang yang super dingin itu menancap di bahunya. Gadis itu reflek berbalik, hampir berteriak. Ia menginjak sepatu penangkapnya. Mereka terjungkal ke belakang. Lalu keduanya cekikikan.“Sva, kamu membuatku kaget,” omel Arkana ketika tubuh jangkung Svaha masih melintang di atasnya. Rambut hitam yang biasa ia sisir ke belakang terurai. Ujungnya hampir menyentuh wajah Arkana. Kedua tangan lelaki itu bertumpu di tanah membentuk penjara berpilar dua. Mengurung Arkana di antaranya. Lalu Svaha cepat-cepat berdiri sambil menepuk-nepuk paha celananya dengan dua tangan.“Aku sudah merasa keren tadi, tapi adegan jatuh benar-benar tidak ada di sekenario.” Svaha berkelakar, menunggu Arkana berdiri. Sekali lagi ia menangkap lengan Arkana dan memojokkan tubuh gadis di depannya ke batang pohon terdekat.“Tertangkap,” kata lelaki itu.“Haha.” Arkana menggumamkan tawa lalu menghel
Tumpukan kayu dalam api unggun berkeretak. Remah-remah api memercik terbawa angin ke udara. Bulan purnama tergambar di langit biru tua. Sementara permukaan danau berkilau, airnya bergulung lembut. Menghantar sejuk yang menggigit. Para pelaku permainan Buronan berkumpul membentuk koloni seperti sejumput semut yang sedang rapat kalau dilihat dari atas. Cahaya merah memantul di wajah mereka. Memberi kesan misterius yang menyenangkan. Menggairahkan. Cantra duduk di sebelah Svaha, mulutnya berbau asam alkohol, bibirnya mengkilat. Ia tidak banyak bicara. Ia menikmati situasi pesta sambil sesekali mengisi gelas kekasihnya dengan minuman yang sulit dieja namanya. “Apa kamu menikmati pestanya?” Ia memastikan Svaha masih nyaman berada di tempat ini. Svaha mengangguk, mengelus punggung telanjang Cantra agar gadis itu percaya. Punggung itu kering dan dingin. “Aku memikirkan apa yang terjadi di hutan tadi,” gumam Cantra. Cahaya api dan bintang terefleksi d