"Apa mungkin rambut Alina yang rontok, tapi kenapa sebanyak ini," gumamnya lagi. Menurut Wildan sangat tidak wajar.
***Selepas mencuci wajahnya, Wildan bergegas keluar dari kamar mandi. Ia cukup terkejut saat melihat jika istrinya sudah berada di kamar, terlihat jika Alina sedang mengambil pakaian kotor miliknya, dan menaruhnya ke dalam keranjang tempat pakaian kotor."Alina, itu di kamar mandi kenapa banyak rambut di lantai. Apa rambut kamu rontok?" tanya Wildan. Ia dapat melihat gelagat aneh dari istrinya itu."Oh iya, Mas. Itu rambut aku yang rontok," jawab Alina. Sebisa mungkin ia bersikap biasa, agar tidak menimbulkan rasa curiga."Rambut kamu rontok sebanyak itu, kok bisa." Wildan menatap mata istrinya, ia berusaha mencari kebenaran melalui sorot mata istrinya itu."Iya, Mas. Aku salah pakai vitamin rambut, oya makan malamnya sudah siap," ujar Alina."Iya, kamu turun saja dulu nanti aku nyusul," sahut Wildan."Iya, Mas." Alina mengangguk, setelah itu ia bergegas keluar dari kamar, sementara itu Wildan masih terdiam. Ia berusaha untuk mencari kebenaran dari ucapan istrinya itu, rasanya ia kurang yakin.Waktu terus bergulir, usai makan malam, Wildan kembali sibuk dengan pekerjaan kantornya. Dan seperti biasa, Alina sama sekali tidak protes, rasanya sangat janggal dengan perubahan istrinya itu."Kenapa aku tidak suka dengan perubahan Alina, seharusnya aku senang karena sekarang Alina tidak secerewet dulu. Sekarang aku bebas, bahkan pernah pulang sampai larut pun, Alina diam," gumamnya. Saat ini Wildan berada di ruang kerja untuk menyelesaikan pekerjaannya.Wildan mengusap wajahnya dengan gusar. "Alina, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku. Kenapa sekarang kamu jadi diam seperti ini."Selang lima menit, tiba-tiba ponsel Wildan berdering, ia meliriknya lalu tangan kanannya bergerak untuk mengambil benda pipih itu. Wildan tersenyum setelah melihat nama Rena tertera di layar ponselnya.[Halo ada apa][Mas, besok bisa temenin aku ke rumah sakit nggak. Besok waktunya aku periksa kehamilan][Boleh, jam berapa][Jam sembilan, Mas][Ya sudah, besok jam sembilan aku jemput][Iya, Mas. Kapan kamu nginep di sini, udah lama loh][Kapan-kapan ya, akhir-akhir ini aku sibuk dengan urusan kantor][Ok deh, ya udah aku mau tidur udah malam][Iya, selamat malam]Sambungan telepon terputus, setelah itu Wildan kembali meletakkan ponselnya itu. Wildan melirik jam yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Pekerjaan masih belum selesai, tetapi rasa kantuk sudah menyerang. Setelah itu Wildan memutuskan untuk kembali ke kamar.***Pagi menyapa, mentari pun sudah terbit daru ufuk timur. Cuaca hari ini begitu cerah, burung-burung yang berkicauan di atas sana menambah indahnya pagi. Dan seperti biasa pagi ini Alina sedang sibuk untuk menyiapkan sarapan.Selang beberapa menit, Wildan turun, penampilannya sudah rapi. Kemeja berwarna putih, dipadukan dengan setelan jas berwarna hitam, menambah ketampanan pada diri Wildan. Tidak dipungkiri jika banyak wanita yang tergila-gila olehnya."Sarapan dulu, Mas." Alina menarik kursi untuk duduk sang suami."Aku sarapan di kantor saja, soalnya pagi ini ada meeting," ucap Wildan, lalu menyeruput kopi yang sudah Alina siapkan."Ya sudah, aku bawakan bekal gimana." Alina menawarkan."Boleh." Wildan mengangguk, setelah itu Alina bergegas menyiapkannya.Wildan memperhatikan istrinya yang begitu cekatan dan juga telaten. Alina tidak pernah mengeluh dengan apa yang dilakukannya. Wanita terbaik yang pernah Wildan temui, beruntung ia yang memilikinya."Ini, Mas." Alina menyodorkan bekal yang telah disiapkannya."Terima kasih, ya sudah aku pergi sekarang ya, assalamu'alaikum," pamitnya seraya mencium kening istrinya itu."Wa'alaikumsalam." Alina mencium punggung tangan suaminya. Setelah itu ia mengantarkan sang suami sampai di teras depan.Perlahan mobil melaju meninggalkan halaman rumah, setelah itu Alina memutuskan untuk masuk ke dalam. Sementara itu, Wildan terus melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sebelum mengantarkan Rena ke rumah sakit, Wildan harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya di kantor.Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas, perjalanan yang cukup jauh memakan waktu tempuh yang cukup lama. Kini Wildan dan Rena baru saja tiba di rumah sakit, usai memarkirkan mobil, keduanya bergegas turun, setelah itu mereka segera masuk ke dalam gedung rumah sakit tersebut.Setibanya di dalam, Wildan langsung menuju ke tempat pendaftaran, sementara Rena menunggu di ruang tunggu. Usai mendaftar Wildan bergegas menyusul istrinya. Setelah menunggu cukup lama, kini giliran Rena dipanggil, untuk menjalankan pemeriksaan.Tidak butuh waktu lama, pemeriksaan selesai, setelah itu keduanya beranjak meninggalkan ruang pemeriksaan. Saat hendak menebus obat, Wildan dan Rena tidak sengaja berpapasan dengan seorang wanita berjilbab. Sontak keduanya terkejut, dan seketika mereka menghentikan langkahnya.Tidak butuh waktu lama, pemeriksaan selesai, setelah itu keduanya beranjak meninggalkan ruang pemeriksaan. Saat hendak menebus obat, Wildan dan Rena tidak sengaja berpapasan dengan seorang wanita berjilbab. Sontak keduanya terkejut, dan seketika mereka menghentikan langkahnya. ***"Mas Wildan," gumam Alina. Ia tidak menyangka kalau akan bertemu di saat yang tidak tepat. "Alina, kamu ... kamu ngapain di sini." Wildan nampak gugup, bahkan wajahnya sudah pucat pasi. Alina menatap suami serta Rena secara bergantian. "Aku mau jenguk teman, Mas sendiri ngapain di sini.""Aku .... ""Habis nemenin aku periksa kehamilan, memangnya kenapa." Rena memotong ucapan Wildan. Seketika pria berkemeja putih itu menoleh dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Alina aku .... ""Duluan ya, Mas. Bicara di rumah saja nanti." Alina memotong ucapan suaminya, setelah itu ia memilih untuk beranjak pergi meninggalkan mereka."Rena maksud kamu apa bicara seperti itu." Wildan menatap tajam wanita yang berdiri di
"Sayang baju aku di .... " Wildan menggantung ucapannya saat mengetahui siapa yang berdiri di hadapan Rena. Mendadak lidahnya terasa kelu, Wildan tidak tahu harus berkata apa. ***Suasana masih hening, terlihat raut wajah panik antara Rena dan juga Wildan. Tetapi tidak dengan Alina, wanita berjilbab itu terlihat tenang. Meski hatinya sejujurnya hancur, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar. "Alina." Wildan meraih tangan Alina, tetapi dengan lembut Alina melepasnya. "Mas aku ke sini untuk mengantar ini." Alina menyodorkan botol kecil yang berisi vitamin milik suaminya. Setiap akan tidur selalu Wildan minum. "Terima kasih." Wildan menerima botol kecil itu. "Kalau begitu aku pamit ya, maaf udah ganggu," ucap Alina. "Assalamu'alaikum.""Alina tunggu." Wildan mencekal pergelangan tangan istrinya itu. "Ada apa, Mas. Ini sudah malam, lebih baik sekarang kamu istirahat saja, agar besok tidak kesiangan." Alina melepas cekalan suaminya, setelah itu ia memilih untuk pulang. Alina sudah ikh
"Ya Allah perut aku," ucap Alina, rasa sakit di perut bagian bawah semakin kuat. ***Kini Wildan dan Rena sudah berada di rumah sakit, bahkan Erika, ibunda Wildan juga sudah ada di sana. Setibanya di rumah sakit, Rena langsung mendapatkan penanganan, tapi sayang. Rena tidak bisa melahirkan secara normal, tapi harus operasi. Setelah Wildan mengurus semuanya, kini operasi sedang berlangsung. Sementara Wildan dan ibunya tengah menunggu di depan ruangan operasi. Erika terus berdo'a agar operasi berjalan dengan lancar, lalu anak yang Rena lahirkan berjenis kelamin laki-laki, untuk bisa menjadi pewaris ayahnya kelak. "Alina, maafkan aku, aku janji setelah operasi selesai. Aku akan pulang menemui kamu dan menjelaskan semua ini," batin Wildan. Hatinya benar-benar tidak tenang, bayangan Alina terus berputar di benaknya. "Wildan kamu kenapa sih kaya orang bingung begitu. Kamu tidak perlu khawatir, operasinya pasti berjalan lancar," ucap Erika. "Iya, Bu. Aku kepikiran dengan Alina saja, soa
Sementara itu, Wildan masih berdiri mematung dengan berbagai pertanyaan. Untuk apa Alina menyuruh mang Asep mengantarkan koper miliknya. Apa mungkin Alina mengusir dirinya dari rumah itu, karena rumah yang mereka tinggali, atas nama Alina. ***"Maksud Alina apa, kenapa dia ... apa jangan-jangan Alina meminta cerai," gumamnya. Setelah itu, Wildan menaruh kopernya ke dalam, lalu ia bergegas keluar. Wildan berniat untuk ke rumah menemui Alina, sekaligus meminta penjelasan darinya. Karena sampai kapanpun Wildan tidak akan pernah rela berpisah dengan Alina. "Alina, sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan kamu." Wildan membatin. Saat ini ia dalam perjalanan pulang. Dalam perjalanan pikiran Wildan benar-benar tidak tenang. Ini memang salahnya, selama tiga hari Wildan tidak pulang, karena memang Rena tidak mengizinkannya. Wildan pikir Alina akan mengerti, tetapi ternyata dugaannya meleset. "Alina, maafkan aku. Maaf karena sudah membuat kamu marah, membuat kamu kecewa," batin Wil
Jika rahim Alina diangkat, itu artinya Alina tidak punya kesempatan untuk hamil. Wildan tidak menyangka jika kejadiannya akan seperti ini, apa ini yang membuat istrinya itu berubah. Apa ini arti diam yang Alina lakukan, diam yang pada akhirnya membuat luka. ***Alina menyeka air matanya yang sempat menetes, setelah itu ia bangkit dan berjalan menuju laci untuk mengambil map berwarna merah yang sebelumnya sudah Alina siapkan. Setelah itu Alina berjalan menghampiri Wildan, lalu duduk di sebelahnya. "Mas aku boleh minta tanda tangan kamu," ucap Alina. "Tanda tangan? Tanda tangan apa?" tanya Wildan. "Aku mau nyumbangin sebagian harta kita ke panti asuhan, Mas. Bukan itu saja, aku juga berniat menyumbangkan tanah kosong kita, agar dibangun sekolah untuk anak-anak yang menderita disabilitas, Mas." Alina menjelaskan. Wildan terdiam sejenak. "Ok, di mana aku harus tanda tangan.""Di sini, Mas." Alina menyodorkan map tersebut. Tanpa membacanya terlebih dahulu, Wildan langsung menanda tang
"Maaf ya, Mas. Tapi aku tidak rela jika harta yang kamu miliki jatuh semua ke tangan Rena. Aku yang menemani kamu mulai dari nol, jadi aku yang lebih berhak. Jika Rena ingin hidup bersama kamu, dia juga harus memulai dari nol juga, sama sepertiku dulu." Alina memotong ucapan suaminya. Seketika Rena terkejut mendengar hal tersebut. ***Suasana mendadak hening, Rena benar-benar tidak menyangka jika semua harta kekayaan Wildan sudah berpindah ke tangan Alina. Rena juga tidak menyangka kalau Alina ternyata juga licik. Ia pikir jika Alina hanya wanita lemah yang mudah untuk dibodohi. Wildan mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku tidak menyangka kalau kamu setega itu.""Apa aku tidak salah dengar, bukankah kamu yang lebih tega, Mas." Alina menatap pria yang sudah lima tahun bersamanya. "Kamu licik, bisa-bisanya kamu mengambil semua harta milik, Mas Wildan. Apa kamu tidak sadar, aku berhasil melahirkan seorang putra yang nantinya akan menjadi pewaris ayahnya. Tapi dengan licik kamu mengambi
"Aku tidak takut dengan tantangan kamu itu." Wildan menatap tajam pada wanita yang duduk di hadapannya itu. Suasana benar-benar tegang, bukan hanya Erika dan Wildan yang kecewa, tetapi juga dengan Rena. Kecewa dan kesal telah berubah menjadi satu. ***"Dikasih pilihan yang enak kok nggak mau," ucap Erika dengan sinis. Sementara Alina hanya tersenyum, sejak dulu ibu mertuanya memang seperti itu. "Rena, Bu lebih baik kita pulang saja, karena percuma bicara dengan perempuan keras kepala seperti dia," ucap Wildan. Setelah itu mereka bertiga segera berpamitan, tatapan sinis dari mereka kembali Alina dapatkan. Bahkan mungkin sekarang mereka bertambah benci terhadap Alina atas masalah tersebut. Namun bagi Alina itu tidak menjadi masalah. "Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah," gumamnya. Setelah itu Alina beranjak masuk ke dalam kamarnya. Setibanya di kamar, Alina meletakkan tasnya setelah itu ia berjalan menuju lemari untuk mengambil berkas penting yang akan ia jadikan satu. Alina jug
"Apa." Wildan terkejut saat tahu jika isi amplop itu adalah surat perceraian dari Alina. Wildan tidak menyangka jika diam-diam Alina menggugat cerai dirinya. Bahkan Alina juga menjual rumah yang sudah lima tahun mereka tempati bersama. ***"Alina kamu benar-benar tega, diam-diam kamu menceraikan aku," gumamnya. Wildan meremas kertas yang ia pegang. Setelah itu, Wildan mengambil ponselnya berniat untuk menghubungi nomor Alina. Namun, setelah dicoba, hasilnya nihil, nomor Alina sudah tidak aktif lagi. Wildan mengerang frustasi, setelah itu ia berlari ke dalam untuk mengambil sertifikat rumah miliknya itu. "Ada apa, Tuan?" tanya bi Inah. "Ada sesuatu yang akan saya ambil, Bi." Wildan berlari masuk ke dalam menuju ruang kerjanya yang berada di lantai dua. Setibanya di ruang kerja, Wildan langsung mencari yang ia butuhkan. Setelah cukup lama mencari, akhirnya yang ia butuhkan dapat ditemukan. Wildan langsung mengeceknya, beruntung sertifikat tersebut masih ada dan tidak ada yang berub