Share

Segumpal Rambut

Penulis: Bintang Senja
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-11 12:50:47

Wanita berjilbab yang memakai seragam kerja di restoran itu menoleh. Seketika Wildan terkejut setelah melihat siapa wanita yang bekerja sebagai pelayan restoran di mana ia akan makan siang. Bukan hanya Wildan saja yang terkejut, tetapi pelayan itu juga tak kalah terkejut.

***

Sorot mata Wildan menyiratkan rasa amarah, bagaimana bisa seorang istri pengusaha bekerja sebagai pelayan restoran. Iya wanita berjilbab itu  adalah Alina, istri Wildan. Jika orang tahu siapa Alina yang sebenarnya, mau ditaruh di mana wajah Wildan.

"Mas, itu bukannya Alina?" tanya Rena. Wildan hanya diam, matanya tak lepas dari sang istri.

Sementara itu, Alina masih berdiri mematung, ia tidak menyangka jika suaminya akan datang ke resto di mana Alina bekerja. Alina berusaha untuk tetap bersikap tenang, hatinya memang sakit saat melihat suaminya sendiri makan berdua dengan seorang wanita, terlebih wanita itu tengah berbadan dua.

Entah itu anak siapa, dan mereka memiliki hubungan apa. Alina terpaksa bekerja sebagai pelayan restoran karena suatu hal. Mungkin yang utama memang karena uang bulanan yang tidak sepadan. Wildan hanya memberinya dua juta, untuk kebutuhan pribadi dan dapur.

"Jadi ini yang kamu lakukan jika berada di luar, Mas. Kamu benar-benar tega," batin Alina. Sebisa mungkin ia bersikap biasa, bahkan tak peduli dengan suaminya yang bersama wanita lain. Meskipun hatinya terasa amat perih.

Saat Alina hendak menghampiri suaminya untuk menanyakan ingin pesan apa. Tiba-tiba salah satu pengunjung lain memanggilnya, dengan terpaksa Alina memutuskan untuk melayani pelanggan tersebut. Sementara itu, Wildan memilih untuk pergi dari resto itu.

"Kita makan di tempat lain saja," ujar Wildan. Dengan terpaksa Rena mengikuti kemauan Wildan.

"Kamu nggak marah lihat Alina bekerja jadi pelayan restoran?" tanya Rena. Saat ini mereka sudah dalam perjalanan untuk ke resto lainnya.

"Kalau aku marah tadi, sama saja mempermalukan diri sendiri," jawab Wildan, ia berusaha untuk fokus menyetir.

"Alina, apa alasan kamu bekerja di resto itu. Apa uang yang aku kasih kurang, jika iya seharusnya kamu bilang, bukan seperti ini caranya," batin Wildan. Tak habis pikir jika Alina berani berbuat tanpa persetujuan darinya.

Sesekali Wildan mengusap wajahnya dengan gusar, ingin rasanya ia pulang dan bicara langsung dengan Alina. Apa alasannya bekerja sebagai pelayan restoran. Wildan akui, memang sudah hama setahun ini ia mengacuhkan istrinya, sementara akhir-akhir ini sikap Alina berubah.

***

Matahari sudah tenggelam di ufuk barat, seperti biasa pukul lima sore Alina sudah berada di rumah. Sementara setengah enam Wildan pulang, dan kini waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Selepas shalat isya Alina memutuskan untuk menyiapkan makan malam.

"Alina kita perlu bicara." Wildan menarik tangan Alina dan membawanya menuju ruang tengah.

"Ada apa, Mas?" tanya Alina.

"Tolong jawab dengan jujur, untuk apa kamu bekerja sebagai pelayan di restoran itu?" tanya Wildan. Matanya menatap tajam pada wanita yang berada di hadapannya.

"Apa mungkin aku harus jujur," batin Alina.

"Alina." Wildan memegang tangan istrinya.

Alina menghembuskan napasnya. "Aku bosan berada di rumah terus, Mas. Itu sebabnya aku cari kegiatan dengan bekerja di resto. Tapi kaku jangan khawatir, mereka tidak tahu kok kalau aku istri kamu."

Wildan menyipitkan matanya. "Bosan berada di rumah terus, tapi bukan berarti kamu harus bekerja jadi pelayan."

Alina menyeka sudut matanya yang sudah berembun. "Maaf, Mas. Kalau saja kita punya anak mungkin aku tidak akan melakukan ini."

Wildan mengusap wajahnya dengan gusar, ada rasa bersalah dalam hatinya. Terlebih mengingat tentang Rena, wanita yang kini sedang mengandung benihnya. Wildan menikahi Rena tanpa sepengetahuan Alina.

"Kita sudah berusaha, tapi mungkin belum waktunya," ucap Wildan.

"Kita juga sudah mencoba bayi tabung, tapi memang mungkin belum waktunya," lanjut Wildan.

"Aku takut kalau nanti kamu menikah lagi, Mas. Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikan kamu keturunan," ungkap Alina. Mendengar itu, seketika Wildan bungkam.

"Oya, wanita yang bersamamu tadi siapa, Mas?" tanya Alina.

"Oh, itu. Dia Rena, temen sekolah aku dulu," jawab Wildan dengan gugup. Sementara Alina hanya mengangguk.

"Aku minta besok kamu berhenti bekerja, sekarang memang mereka tidak tahu. Tapi suatu saat rahasia pasti akan terbongkar, jadi aku minta kamu berhentilah bekerja di resto itu," pinta Wildan. Ia tidak ingin jika orang-orang tahu, kalau Alina adalah istrinya.

"Tapi, Mas .... "

"Tidak ada tapi-tapian, mengerti." Wildan memotong ucapan istrinya, setelah itu ia bangkit dari duduknya dan beranjak naik ke lantai atas.

Setibanya di lantai atas, Wildan bergegas masuk ke dalam kamar. Pria berkaos putih itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Namun tiba-tiba mata Wildan menangkap  segumpal rambut di lantai.

"Rambut siapa ini," gumamnya.

"Apa mungkin rambut Alina yang rontok, tapi kenapa sebanyak ini," gumamnya lagi. Menurut Wildan sangat tidak wajar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
terlalu banyak menahan luka batin sama aja dg mengundang maut pelan2. kenapa banyak drama sih nyet. emangnya bohong itu g dosa ya. kenapa mati aja sekalian daripada bicara g jelas
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Diamnya Seorang Istri   Ending

    "Syukurlah, mudah-mudahan ini awal yang baik," gumamnya. Amara ikut bahagia melihat mantan ibu mertua dan suami yang kini sudah berbaikan. ***Tidak terasa lima tahun telah berlalu, kini Asha tumbuh menjadi anak yang cantik dan juga cerdas, tak beda dengan Nafisa. Sementara Iqbal juga semakin dewasa, bahkan kini Iqbal tengah melanjutkan kuliahnya di Jakarta, awalnya di Bandung, tetapi Adam memintanya untuk pindah ke Jakarta. Iqbal mengambil fakultas kedokteran, karena memang cita-citanya ingin menjadi dokter. Lima tahun lebih Alina membina rumah tangga bersama dengan Adam. Perbedaan usia tak menjadi masalah, justru Alina merasa lebih nyaman jika bersanding dengan suaminya yang sekarang. "Sayang dasinya di mana," teriak Adam dari dalam kamar. "Masih di laci, Mas." Alina pun ikut berteriak. Saat ini wanita berjilbab itu sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. "Sayang nggak ketemu." Adam kembali beteriak, hal itu membuat Alina menghela napas. "Sayang sebentar ya, bunda ke atas dulu,"

  • Diamnya Seorang Istri   Menuju Ending

    "Iya, mas Wildan mengira jika ibu adalah kamu," ucap Amara. Sejak saat itu, ibu mertuanya trauma dan memilih untuk mengurung diri di kamar.***Sejak pulang dari rumah Wildan, Arina sering melamun, jujur Alina merasa kasihan melihat mantan suaminya itu. Sejahat apapun Wildan, tetapi pria itu pernah menjadi bagian dari hifup Alina. Pernah menjadi imam dalam bahtera rumah tangganya dulu. "Sayang kamu kenapa? Kok ngelamun gitu, apa yang kamu pikirkan." Adam duduk di sebelah istrinya. Alina menghela napas. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Cuma masih kepikiran tentang ... keadaan mas Wildan yang sekarang. Maaf, Mas aku nggak bermaksud untuk .... ""Iya, nggak apa-apa, aku ngerti bagaimana perasaan kamu. Bagaimanapun juga, kalian pernah hidup bersama, kamu do'akan saja semoga Wildan bisa sembuh seperti dulu." Adam memotong ucapan istrinya, lalu merengkuhnya. "Mas, Nafisa di mana?" tanya Alina. "Masih di rumah mama, memangnya kenapa." Adam balik bertanya. "Memangnya belum pulang ya, kok tad

  • Diamnya Seorang Istri   Karma Telah Berlaku

    "Janji kamu untuk menikahi Sindy," jawab Mila, seketika Alina terkejut mendengar hal itu. Bukan hanya Alina, Adam pun demikian. ***Suasana menjadi tegang, khawatir terjadi kesalah pahaman terhadap sang istri. Adam berjalan mendekati Alina. Adam tidak pernah merasa berjanji untuk menikahi Sindy, adik kandung Winda mendiang istrinya. Namun kenapa tiba-tiba mereka datang dan menagih janji. "Maaf, tapi aku tidak pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," ucap Adam. "Adam, mbak itu nggak lupa, kalau kamu pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," kekehnya. Mila tetap bersikeras untuk meminta agar Adam menikah dengan Sindy. Adam menggelengkan kepala. "Enggak, Mbak. Kalau, Embak tidak percaya, kita tanya langsung ke mama sama papa!" tegasnya. Adam tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba kakak iparnya datang dan bicara omong kosong seperti itu. "Apa alasan kamu, tidak mau menikah dengan Sindy?" tanya Mila. "Karena aku sudah menikah dengan perempuan kini berdiri di sampingku," jawab Ada

  • Diamnya Seorang Istri   Tamu Tak Diundang

    "Aku nggak mau, lepas, Boby aku nggak mau." Rena terus berteriak agar Boby mengurungkan niatnya itu, tetapi Boby tidak peduli dengan teriakan Rena. Ia tersenyum karena rencananya telah berhasil. ***Kini kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Adam, Alina berhasil melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik. Meski harus melalui operasi, kini bayi mungil itu tengah menjadi rebutan oleh kakek serta neneknya. Sementara Adam memilih untuk menemani istrinya, yang kondisi masih lemah. "Terima kasih ya, Sayang." Adam mencium kening istrinya dengan lembut. Kebahagiaan itu kembali Adam rasakan, meski bukan dengan wanita yang sama. Namun Adam beruntung bisa memiliki istri seperti Alina. "Sama-sama, Mas." Alina menganggukkan kepalanya. Bagi Alina, kebahagiaan yang ia rasakan saat ini bahagia yang tidak ada duanya. Kini Alina bisa merasakan menjadi istri yang sesungguhnya, menjadi ibu dari anak yang ia lahirkan, meski bukan dari rahimnya sendiri. "Mas kapan aku boleh pulang?" tanya Alina. Ju

  • Diamnya Seorang Istri   Karma untuk Rena

    Tiba-tiba bug, tubuh Wildan ambruk dan jatuh tersungkur. Alina yang melihat itu seketika terkejut, lalu ia menoleh ke arah belakang. Alina kembali terkejut saat melihat siapa yang menolongnya. ***"Iqbal, kamu .... ""Ma, Mama nggak apa-apa kan?" tanya Iqbal dengan raut wajah khawatir. "Iya, dari mana kamu tahu kalau .... ""Ayah yang kasih tahu, ayah nggak bisa jemput, lalu nyuruh aku untuk jemput, Mama." Iqbal kembali memotong ucapan Alina. Alina benar-benar bahagia, mungkinkah jika Iqbal telah menerimanya. Wildan memegang tengkuknya yang masih terasa sakit, perlahan pria itu bangun. Melihat Wildan bangun, Alina berjalan menghampiri Iqbal dan berdiri di belakangnya. Wildan meringis seraya memijit tengkuknya. "Dasar bocah bau kencur, jangan sok jadi pahlawan kamu," ujar Wildan. Sesekali ia memijit tengkuknya. "Lebih baik sekarang, Om pergi saja, sebelum aku panggil temen-temen untuk menghajar, Om." Iqbal menyuruh Wildan untuk mundur dan pergi. "Kamu yang harus pergi dari sini,

  • Diamnya Seorang Istri   Permintaan Gila Wildan

    "Kami suruhan, Tuan Burhan. Kami bertugas untuk mengosongkan rumah ini, karena Tuan Burhan telah menyitanya sebagai pelunas hutang Rena," jelasnya. Mendengar itu, jantung Wildan serasa ingin loncat. Rena benar-benar keterlaluan, sudah membohonginya, dan sekarang membuatnya sengsara. ***Setelah membereskan pakaian, Wildan memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut. Rumah yang sengaja ia beli untuk Rena dulu, tapi dengan gampang Rena melenyapkan rumah itu. Kini Wildan memilih untuk pulang ke rumah ibunya. "Apa?! Jadi Alva itu bukan anak kamu! Dan sekarang Rena pergi dengan laki-laki lain." Erika terkejut mendengar cerita Wildan. "Iya, Bu." Wildan mengangguk. "Terus kalau sudah seperti ini, kita mau bagaimana?" tanya Erika. "Aku nggak tahu, Bu." Wildan menggelengkan kepalanya, lalu menyenderkannya di sandaran sofa. "Alina sekarang sudah bahagia dengan orang lain, sementara kamu. Diusir Amara dan diselingkuhin Rena," ujar Erika, mendengar itu kepala Wildan bertambah pusing. "Ter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status