Share

2

"Hari ini bahasanya campuran, Bang: Batak dan Indonesia," kata Sondang pada Idris, ketika mereka berada di mobil Idris, di perjalanan menuju gereja.

 "Iya, Bang Sihol sudah memberitahu semalam," jawab Idris kepadanya.

 Idris bukan orang Batak, dan biasanya mengikuti ibadah di gereja protestan berbahasa Indonesia. Tapi keluarga Sondang semuanya pergi ke gereja Batak. Dan karena dia baru tiba di kota ini kemarin sore, mereka belum sempat untuk  mencari tahu di mana gereja yang bisa dikunjunginya secara rutin.

 "Nanti sepulang gereja, saya tunjukkan kepada Abang, ya. Ada 3 yang saya tahu cukup besar di sini," kata Sondang. Idris mengangguk, sambil berusaha berkonsentrasi mengemudi.

 Kota 'baru'nya ini terlihat cukup sepi di hari Minggu pagi. Jalanan terlihat bersih. Di sepanjang trotoar, terlihat pepohonan yang mengeluarkan bunga-bunga cantik berwarna kuning, merah dan oranye. Bahkan ada beberapa Bougenville yang terlihat tumbuh 'meraksasa'.

 "Kota kalian ini cantik, ya?" katanya pada Sondang.

 "Iya. Rapi dan bersih memang. Apalagi sejak Bupati yang sekarang. Makin hijau di mana-mana. Kalinya juga makin bersih.."

“Lebih panas mana, di sini atau Surabaya?”

Sondang berpikir sejenak, “Nggak terlalu jauhlah bedanya.”

Idris mengangguk, lalu mengalihkan percakapan kepada topik lainnya.

 "Berapa lama biasanya kebaktiannya?" Tanya Idris.

 " Satu setengah sampai dua jam," jawab Sondang.

"Tapi setelah kebaktian, biasanya kami enggak langsung pulang. Ada ngobrol-ngobrol dulu dengan jemaat yang lain. Kadang-kadang latihan paduan suara atau diskusi Alkitab."

 "Oh, ada diskusi Alkitab?" Tanya Idris antusias.

 "Ada. Satu atau dua kali sebulan. Hari ini kayaknya, deh. Diskusi ringan, sih.. Ada thema khusus yang dipilih. Tapi bisa juga terjadi insidentil, misalnya kalau ada seorang Jemaat yang ingin bertanya tentang sesuatu kepada pendeta. Lalu akhirnya semua jemaat yang lain ikut mendengarkan dan memberikan pendapat. "

 Idris takjub mendengar penjelasan Sondang.

 "Gerejamu mengagumkan juga.. Belum pernah kutahu, ada gereja yang jemaatnya seantusias itu untuk berbicara mengenai Alkitab."

 "Ya, enggak semua jemaat, sih, yang berminat. Tapi yang berminat biasanya cukup jumlahnya, untuk membuat diskusi tetap menarik." Sondang menjelaskan, lalu menyambung bicara lagi.

 "Nah, sudah sampai kita.. Parkir di dekat halte saja, Bang."

 Saat memasuki gedung gereja, Idris menatap heran. Jemaatnya tidak sebanyak yang dibayangkannya. Atau memang belum semuanya hadir?

 "Mau duduk di mana?" Tanya Idris pada Sondang.

 "Saya duduk di kiri. Itu Mama dan Eda, duduk di depan. Bang Sihol sedang bertugas hari ini, jadi pasti duduk di samping Altar. Kalau Abang mau berkumpul dengan para pemuda, duduk saja di sebelah kiri juga. Tapi kalau Abang mau duduk di dekat saya, boleh saja,” kata Sondang.

 Idris mengangguk, memutuskan menerima usul Sondang yang terakhir. Dia belum pernah berada di antara orang Batak sebanyak ini. Jadi, untuk saat pertama, lebih baik duduk di samping orang yang sudah dikenalnya.

"Mana buku nyanyiannya?" Tanya Idris. Sondang melihatnya dengan geli. Dia merasakan kecanggungan Idris.

 "Nanti lagu-lagunya, ditampilkan di layar - di depan. Tapi kalau memang mau pakai buku, itu disediakan di pintu masuk tadi. "

 Musik mulai dimainkan, bunyi organ yang terdengar tua dan terasa kuno.. Terasa aneh awalnya bagi telinga Idris. Tapi dia tahu nada lagu yang dimainkan itu. Membuat dia merasa lega, karena ada juga sesuatu yang dikenalnya..

Usai Doa Saat Teduh untuk membuka Ibadah dimulai, lagu-lagu mulai dinyanyikan.

Semua lagu ternyata dinyanyikan dalam bahasa Batak. Lagi-lagi dia tahu nada dari beberapa lagu-lagu itu, tapi tentu saja dalam bahasa Indonesia. Karena sangat ingin ikut bernyanyi, dengan suara pelan, Idris mencoba menyanyikan lagu tersebut. Namun lidahnya malah seperti ‘keseleo’, berkenalan dengan lagu dalam bahasa yang tak dikenalnya. Sulit sekali mengucapkannya. Dia hampir tertawa ketika menyadari betapa kerasnya dia berjuang, agar bisa terlibat dalam ibadah tersebut. Sesekali dilihatnya Sondang juga tersenyum-senyum mendengar suaranya yang timbul tenggelam. 

"Belum pernah aku selelah ini, mengikuti kebaktian minggu," bisiknya pada Sondang, ketika Penatua sedang membacakan Warta Jemaat dalam bahasa Indonesia. Sondang menahan tawa mendengar ucapan Idris. Pastilah memang kesal, ketika sepanjang acara ibadah, kita ternyata tak bisa ikut bernyanyi.

 Untunglah khotbah dalam Bahasa Indonesia. Kalau tidak, entah apa lagi yang bisa didapat Idris, dari kebaktian minggu ini..

 Usai kebaktian, dilihatnya Diana dan Andi Silitonga, yang mereka temui semalam, ternyata duduk 2 baris di belakang mereka.

 "Bisa mengerti, Bang?" Andi bertanya sambil tersenyum menggoda.

 Idris tertawa mendengar godaan Andi tersebut.

 "Lidahku sampai salah tempat, sepertinya. Nggak semudah makan sangsang," jawab Idris. Sondang dan Diana tertawa mendengar jawabannya.

 "Tahu juga rupanya Abang soal sangsang, ya? Suka, Bang? Bolehlah kita coba kapan-kapan. Ada di sini, kan, Di?" kata Andi pada Diana, sepupunya. Diana mengangguk bersemangat.

 "Nggak usah kapan-kapan. Siang ini bolehlah, selesai acara diskusi. Cukup dekat kok, dari sini," kata Diana.

 "Ayolah," kata Idris pada mereka. Sondang melirik pada Diana dan Andi. Mereka terlihat begitu antusias untuk pergi makan sangsang. Tak tega dia menolak, walaupun sebenarnya dia tak ingin pergi, karena masih malas pada misi Diana dan seluruh keluarganya, untuk mendekatkan dia dengan Andi.

 Usia diskusi yang memakan waktu sekitar satu jam, setelah bertegur sapa ke sana ke mari, lalu bersalaman dengan Amang A, Ompung B, dan Inang C, kemudian pamit kepada Mama dan keluarga Bang Sihol, akhirnya mereka ke luar juga dari gedung gereja.

"Apa selalu begitu setiap minggu? Enggak langsung pulang, tapi mengobrol dulu satu sama lain?" Tanya Idris di tengah perjalanan.

 "Iya. Dari dulu sudah begitu. Mungkin karena tinggalnya terpencar-pencar, dan belum sebanyak di tempat lain, jadi rasa persaudaraannya lebih kental."

 "Benar juga yang kudengar, katanya persaudaraan orang Batak itu kuat ya."

 "Enggak tahu juga, ya. Sepertinya tergantung tempat dan situasi juga. Aku pernah mengunjungi satu gereja Batak yang besar di Jakarta. Ternyata di sana, begitu selesai kebaktian, jemaat sudah langsung pulang saja. Enggak ada bersalam-salaman antar jemaat seperti di sini. Di sana, jemaat cuma bersalaman dengan pendeta dan penatua yang menunggu di pintu ke luar," ujar Sondang.

 Saat mereka tiba, Diana dan Andi sudah tiba lebih dahulu di sana. Mereka duduk di sudut ruangan, sambil menikmati kue berbungkus daun pisang.

 "Kue apa ini?" Tanya Idrus sambil ikut mengambil satu, setelah mencuci tangannya di wastafel.

 "Lampet, Bang. Ada 2 jenis: berbahan ketan atau beras. Yang Abang buka itu, Lampet beras. Abang suka apa?" kata Diana menjelaskan.

 "Kucoba dululah keduanya, baru ini juga memakannya." Kata Idrus sambil mulai mengunyah lampetnya. Lembut, terasa lembab oleh campuran tepung beras dan kelapa, dan manis oleh gula aren. Kue yang begitu sederhana, tapi dia merasa suka.

 "Nah, ini apa lagi?" tanyanya ketika melihat kue berbentuk remasan tangan di atas piring kecil.

 "Itu Itak Pohul-Pohul, artinya kue yang dibuat dengan cara digenggam atau dikepal. Lebih sering disebut Pohul-Pohul. Rasanya sama saja dengan Lampet beras, Cuma beda di bentuk dan bungkusnya saja."

 Idris merasa lucu melihat bentuk kue itu. "Ini pembuatnya pasti gemuk ya, bentuk remasannya besar sekali," katanya geli, setelah mengamati ukuran Itak dan ‘cap’ 5 jari yang terlihat jelas di permukaannya. Yang lain tertawa mendengarnya.

 "Tapi itu higienis, kok. Itu diremas dulu, baru dikukus sampai matang," kata Andi menjelaskan, sambil mengambil satu buah Itak. Idris akhirnya mengikutinya, memasukkan sepotong ke mulutnya.

“Dulu kue ini disajikan saat ada acara persiapan untuk melamar, marhusip. Kenapa dia diremas, dan bukan dibungkus daun, itu ada artinya,” kata Andi lagi. Nampaknya dia memang tahu cukup banyak mengenai makanan khas Batak yang satu ini.

“Apa artinya. Ndi?” Diana akhirnya jadi penasaran.

“Remasan yang kuat itu melambangkan perdebatan, dan perbedaan pendapat yang terjadi saat perundingan, yang setelah ada kata sepakat, akan menghasilkan keputusan yang tidak berubah dan konsisten.  5 bekas jari itu, mewakili 5 waktu dalam budaya Batak,”  Andi menjelaskan.

Sondang melihat kepada  Itak Pohu-pohul tersebut dengan takjub.

“Wah, kupikir ini cuma kue yang dibuat untuk sekedar dimakan saja. Ada filosofinya rupanya,” kata Sondang. Meski begitu, dia tak ikut memakan Itak tersebut.

Idris mendengarkan sambil terus memakan kuenya sampai habis.

 "Enak. Aku suka.." katanya. Begitu selesai dengan yang di mulutnya, diambilnya lagi sebuah Lampet Ketan, setelah Diana memberitahunya, cara mengenali perbedaan bungkus Lampet Ketan dan Lampet Beras.

 "Ini juga enak. Cuma lengket saja di tangan. Kalau yang beras, tangan tetap bersih." Kata Idrus, sambil beranjak mencari wastafel untuk mencuci tangan.

 Sebentar kemudian, di depan mereka sudah terhidang semua pesanan mereka.

 Nasi panas, sayur daung singkong dan sayur pahit. Sangsang margota dan tidak margota. Ikan dan Babi Arsik, dan tak ketinggalan favorit keluarga Sondang: Babi Panggang.

 Mereka makan sambil berbincang. Di tengah percakapan, Sondang merasa, Diana sedang membantu Andi untuk membuatnya mengenal Sondang lebih jauh. Sebab sebentar-sebentar, Diana akan bertanya sesuatu tentang Sondang, yang mau tidak mau, Sondang harus menjawabnya, demi sopan santun.

“Kamu lahir di sini juga, ya, Ndang? Sudah berapa lama kamu kerja di kantormu yang sekarang? Kapan terakhir kali kalian pulang kampung, Ndang?” Bla bla bla.. Sondang menjawab semuanya sesingkat yang dia bisa.

Kontras dengan Sondang, Andi sendiri terlihat begitu ramah dan antusias, mendengar jawaban dari Sondang.  Sikapnya membuat Sondang bertanya-tanya, apakah dia memang setulus itu menjadi pendengar yang baik, atau itu dilakukannya, semata hanya untuk bersopan santun? 

"Bang Idris berapa lama akan tinggal di sini?" Tanya Andi mengalihkan topik pada Idris.

"Setahun setengah atau dua tahun, mungkin.”

 "Nanti pergi pulang ke tempat kerja, dari rumah Sondang?" Tanya Diana.

 "Enggak. Di lapangan sebenarnya ada Mess. Cuma kalau tinggal di situ terus, saya bosan. Jadi kalau pekerjaan sedang bisa ditinggal, misalnya di hari Sabtu dan Minggu, saya datang ke rumah Bang Sihol," Idris menjelaskan.

 Kenyang makan, mereka berbincang ngalor-ngidul selama satu jam lebih, ditemani lampet dan kopi pahit, seolah tak kenyang-kenyang juga.

 Saat akan membayar, Idris berkata, dia yang akan membayar.

 "Wah, jangan begitu, Bang. Jadi senang kami," kata Andi mencandainya.

 "Tanda perkenalan," kata Idris.

 Mereka berpisah di tempat parkir. Diana pulang naik motor dengan Andi.

 "Kita cari gereja, ya?" kata Sondang mengingatkan. Idris mengangguk.

 Mereka menyusuri perlahan, jalanan kota yang tidak terlalu ramai. Kata Sondang, biasanya di jam kerja wilayah ini agak macet.

“Itu ada gereja GKJW. Tapi mereka juga memakai bahasa Jawa dalam kebaktiannya. Mau lihat?” tanya Sondang, saat mereka melewati sebuah gereja di seberang jalan.

Idris menggeleng sambil tertawa, “Aku nggak bisa berbahasa Jawa, Ndang. Kamu bisa?”

Sondang ikut tertawa, lalu menyahut: “Kalau yang ngoko – bahasa sehari-hari, aku bisa, Bang. Tapi kalau yang kromo, nggak lancar. Itu cuma jadi bahan pelajaran waktu sekolah saja dulu.”

Setelah melihat ketiga gereja yang dimaksud, yang semuanya hanya memakai bahasa Indonesia, akhirnya mereka sampai juga di rumah.

 Untunglah Mama dan Iparnya tidak bertanya macam-macam, tentang pertemuan kembali dengan Andi tadi. Sondang merasa capek juga. Ingin tidur sore rasanya.

                                                                 .**********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status