Hati yang Tak Pernah Siap

Hati yang Tak Pernah Siap

last updateLast Updated : 2025-07-11
By:  FaelelfaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
11views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Zea percaya dirinya sudah menemukan cinta sejati dalam diri Rayan. Namun, semuanya hancur ketika orang tuanya memaksanya menikah dengan Adrian, seorang pria yang bahkan tidak ia kenal. Bagi Zea, itu bukan pernikahan itu hukuman. Adrian tidak meminta apapun dari Zea. Ia hanya menjalankan peran yang telah ditulis untuknya sebagai pewaris keluarga terpandang. Namun di balik sikapnya yang dingin, Adrian menyimpan luka dan kesepian yang tak jauh berbeda dari Zea. Mereka dua jiwa yang terluka, dipaksa bersatu oleh keadaan. Waktu berjalan, dan batas antara benci dan butuh mulai mengabur. Tapi ketika Rayan muncul kembali, membawa harapan akan kehidupan yang pernah dijanjikan, Zea harus memilih kembali ke cinta lama yang penuh kenangan, atau menerima cinta baru yang lahir dari keterpaksaan. Tapi mungkinkah seseorang benar-benar bisa mencintai jika hatinya tak pernah siap sejak awal?

View More

Chapter 1

Janji yang Direbut

Jakarta, malam hari. Langit menumpahkan hujan seolah sedang ikut merasakan gundahnya hati seorang gadis bernama Zea.

Dari balik kaca mobil yang buram oleh embun, lampu-lampu kota terlihat redup dan jauh. Seperti harapannya. Seperti cintanya.

Zea menunduk dalam diam, jemarinya bermain dengan ujung lengan baju, menggenggam dan melepas seolah mencari pegangan dari sesuatu yang tak lagi utuh.

Di sampingnya, Rayyan menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras. Tangan kirinya masih menggenggam setir, tapi tangan kanannya terulur, menggenggam tangan Zea yang dingin dan gemetar.

“Zea,” suara Rayyan akhirnya pecah, dalam dan berat. “Katakan kalau ini cuma mimpi buruk. Katakan kalau kamu nggak akan ninggalin aku demi orang asing itu.”

Zea memejamkan mata. Hatinya mencelos setiap kali mendengar nada terluka dalam suara Rayyan. Ini bukan salahnya. Ini bukan keputusannya. Tapi kenyataan tak butuh siapa yang salah, hanya siapa yang akan hancur lebih dulu.

“Aku nggak punya pilihan, Yan...” suaranya nyaris tak terdengar. “Papa butuh bantuan keluarga Adrian untuk menyelamatkan bisnis. Kalau aku nolak... semua bisa hancur.”

Rayyan menggeleng keras. “Kamu bukan barter, Zea! Bukan alat tukar buat utang keluarga!”

Zea menahan air mata yang mulai menggenang. “Tapi aku anak mereka. Kalau aku bisa bantu, kenapa aku harus diam?”

Rayyan menarik napas tajam, berusaha menahan kemarahannya. “Dengan mengorbankan hidup kamu sendiri? Cinta kita? Janji-janji yang kita bangun selama lima tahun?”

Sunyi menyelimuti mereka. Hanya suara hujan yang terus mengetuk kaca, seolah waktu sedang mengulur simpati yang tak berarti.

“Aku tahu kamu marah. Aku juga. Tapi apa kamu pikir aku nggak hancur ngelakuin ini?” Zea menoleh, menatap Rayyan dengan mata yang basah. “Aku mencintaimu, tapi hidup ini nggak cuma soal cinta. Ada tanggung jawab. Ada keluarga.”

Rayan menatap gadis itu. Perempuan yang ia cintai lebih dari apapun. Ia tahu Zea bukan penakut. Ia tahu Zea tidak akan memilih jalan ini jika tidak benar-benar terdesak. Tapi tetap saja, hatinya tidak bisa menerima.

“Aku bisa bawa kamu pergi sekarang. Kita bisa mulai dari nol. Aku rela kehilangan segalanya, asal nggak kehilangan kamu,” ucapnya lirih.

Zea tersenyum miris. “Dan aku... nggak bisa meninggalkan keluargaku, mereka memberikan semuanya padaku. Aku nggak bisa jadi alasan kenapa keluargaku jatuh.”

Air mata akhirnya jatuh di pipinya, bercampur dengan hujan yang merembes dari celah pintu mobil yang terbuka. Zea tahu ini bukan kisah cinta yang ia impikan. Tidak ada akhir bahagia dalam perpisahan. Tapi terkadang, hidup meminta kita memilih luka yang paling bisa ditanggung.

Ia membuka pintu mobil perlahan, menahan napas sejenak sebelum keluar. Dingin langsung menyergap tubuhnya begitu hujan menyentuh kulit.

“Zea!” Rayyan memanggil, suaranya tercekat.

Zea menoleh, lalu berkata dengan suara gemetar. “Jangan tunggu aku, Yan... Karena aku sendiri belum tahu, apa hatiku akan pernah siap menjalani semua ini.”

Dan dengan itu, ia melangkah pergi, membiarkan hujan menelan suaranya, dan malam menjadi saksi cinta yang harus dikorbankan demi sesuatu yang lebih besar — atau setidaknya, itulah yang dia yakini.

Langkah kakinya berhenti di depan rumah mewah, rumah yang dulunya penuh tawa dan kehangatan, kini berubah menjadi rumah yang penuh dengan ketakutan.

Rasa dingin menyelimuti dirinya, tangannya bergerak menggenggam gagang pintu di depannya.

"Zea! Dari mana saja kamu!" Suara tegas dari pria yang ia panggil papa.

Matanya terpejam beberapa menit. "Bertemu Rayyan," jawabnya lantang.

Ia terkejut ketika sebuah vas bunga dilemparkan ke arahnya. "Dua hari lagi kamu akan menikah dengan Adrian, jangan pernah bertemu dengan dia lagi, paham!"

Zea menunduk, napasnya memburu. Pecahan vas berserakan di lantai, dan serpihannya sempat menggores ujung kakinya. Tapi rasa perih itu tak sebanding dengan luka yang mencuat di dadanya.

"Papa nggak tahu apa-apa tentang aku..." ucap Zea, suaranya bergetar namun tetap berusaha tegar. "Tentang apa yang harus aku tanggung, tentang siapa yang aku cintai..."

Pak Arman mendekat, langkahnya berat, wajahnya merah karena amarah. "Kamu pikir cinta bisa bayar utang? Kamu pikir perasaan bisa selamatkan perusahaan kita dari kebangkrutan?"

Zea mendongak, menatap ayahnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, bukan karena takut tapi karena kecewa.

"Aku bukan alat, Pa..." katanya lirih. "Aku anak Papa. Tapi setiap kali aku mencoba bicara, yang Papa lihat cuma angka. Cuma nama besar keluarga. Bukan aku."

Pak Arman terdiam sejenak. Dadanya naik turun menahan emosi. Tapi matanya tidak melembut. Justru makin tajam.

"Kalau kamu keluar dari pernikahan ini, Zea... jangan pernah anggap rumah ini rumah kamu lagi."

Ucapan itu menghantam lebih keras dari benda apa pun. Zea menggeleng pelan, seolah ingin menyangkal kenyataan yang ia sudah tahu akan datang.

Zea berlari masuk ke dalam kamar, menutup pintunya dan menangis terduduk lemas dilantai yang dingin.

Di meja kecil di sudut, masih ada bingkai foto kecil berisi potret dirinya dan Rayyan saat mereka liburan ke Yogyakarta dua tahun lalu. Mereka tertawa dalam gambar itu, seperti tak ada beban hidup, seperti masa depan milik mereka sepenuhnya.

Kini foto itu nyaris tak sanggup ia pandang. Ia menunduk dan untuk kesekian kalinya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.

Pernikahannya dengan Adrian dijadwalkan dua hari lagi. Pria itu, tampan dan berpendidikan, anak keluarga kaya yang punya saham besar di perusahaan ayahnya. Tapi bagi Zea, ia hanya wajah asing yang memiliki tatapan dingin dan tajam.

Malam semakin larut. Zea sudah menggantikan pakaiannya, kakinya melangkah ke arah jendela dan menatap rintihan hujan yang masih terjatuh.

"Kenapa Rayyan tidak bisa memperjuangkan hubungan ini di depan keluargaku."

Lamunannya terbuyarkan dengan bunyi ponsel yang terus berdering. ["Aku di depan rumahmu, keluarlah!]

Dengan pelan ia membuka pintu kamar dan melangkah menuju ke pintu depan. Zea berdiri di ambang, mengenakan sweater lusuh dan wajah pucat yang tak lagi bisa menyembunyikan lelah. Matanya membelalak kecil saat melihat siapa yang berdiri di depan rumahnya.

“Rayyan...?” suaranya nyaris berbisik, seperti takut jika menyebut nama itu terlalu keras akan membangunkan luka yang ia paksa tidur.

Rayyan menatapnya. Sekilas saja. Karena lebih dari itu akan membuatnya goyah.

“Aku cuma mau ngomong sebentar. Nggak akan lama.”

Zea ragu. Tapi akhirnya mengangguk dan melangkah ke luar. Mereka berdiri di bawah lampu teras yang remang, dengan suara malam dan sisa-sisa hujan yang masih menetes dari talang sebagai latar.

“Aku nggak datang buat maksa kamu batalin semuanya,” ucap Rayan pelan. “Aku tahu kamu nggak main-main waktu bilang kamu harus lakuin ini buat keluargamu.”

Zea menunduk. Jemarinya kembali bermain di ujung lengan baju, kebiasaan lama yang muncul tiap ia cemas.

“Tapi ada satu hal yang belum sempat aku bilang waktu itu,” lanjut Rayyan, menatap langit gelap sejenak sebelum kembali menatap Zea. “Kamu tetap rumah buatku, Zea. Bahkan kalau rumah itu udah dijual, dibongkar, atau dibangun ulang... aku masih akan ingat setiap sudutnya.”

Sebelum Rayuan pergi dan menghilang di hadapannya, Zea mengatakan sesuatu yang membuat Rayyan tercengang.

"Datanglah ke rumah besok, aku mohon perjuangkan aku sekali lagi, aku benar-benar tidak ingin kehilangan kamu."

Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Zea tubuh Rayyan benar-benar langsung menghilang dari pandangannya.

Ia hanya menunggu besok pagi dan melihat kembali keputusan kedua orang tuanya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status