Share

Bab 6

'Aku tidak pernah merasakan nervous seperti ini sebelumnya. Ah, aku harus banyak belajar untuk bersabar.'

(Yori Kristian Hirata)

***

Yori duduk termangu di kursi kemudi mobil, memandang orang-orang yang berlalu-lalang di parkiran hendak meninggalkan area perkebunan. Terdengar embusan napasnya yang seolah menyiratkan sebuah rasa lelah dalam menunggu.


Sudah lebih dari satu jam ia mengirimkan sebuah pesan. Itu pun lebih dari sepuluh kali pula setelah ia meyakinkan diri untuk melakukannya, tetapi entah mengapa si pemilik akun bernama 'Bunga Matahari' belum juga membalas pesannya. Ia menjadi kesal sendiri karena merasa sudah diabaikan.


"Cabut, ah!" putusnya kemudian.


Yori segera memasukkan ponselnya ke dalam tas dan segera menjalankan mobil meninggalkan area parkiran. Menyetir dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan penuh kenangan selama masa remaja sebelum dirinya kuliah di luar negeri.


Beberapa kali ponselnya berdering, nada panggilan dengan notifikasi khusus untuk para sahabat baiknya, Alan dan Andi. Akan tetapi, ia sedang malas untuk menjawabnya. Ia mengabaikan panggilan itu dan fokus kembali menyetir.


Hanya berjarak seratus meter dari mobilnya berada saat ini terlihat kendaraan bermerk Honda Jazz berwarna silver menepi dan parkir di bahu jalan, semua penumpangnya berhambur turun kemudian menunduk di sisi kanan bagian belakang mobil itu. Mobil Yori yang semakin mendekat akhirnya bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi dengan mobil di depannya tersebut.


"Permisi, tolong bantu kami!" teriak orang itu melambaikan tangan ke arah mobil Yori.


"Ck, membuatku malas aja, sih," keluh Yori enggan berhenti.


Yori berlalu begitu saja melewati mobil itu. Dirinya sangat malas sekali berbuat baik, lagi pula ia sendiri juga punya kesulitan, batinnya mencoba mencari alasan.


Hanya berselang beberapa meter dari mobil itu terlihat wanita jutek yang ia temui di area kebun bunga matahari tadi, sedang berjalan pelan dengan membawa tiga botol air mineral menuju ke arah mobil ban bocor yang baru saja ia lewati.


Seketika Yori menghentikan laju kendaraannya, lalu menengok ke belakang, memandang sejenak dari kaca spion. Benar saja, wanita itu mendekat ke arah teman-temannya seraya menyerahkan botol minuman kepada mereka.


"Ahh! Kenapa aku harus peduli, sih? Dasar pria baik hati," rutuknya mengomentari dirinya yang tidak tega melihat para wanita itu dilanda kesusahan --lebih tepatnya wanita jutek itu.


Dengan embusan napas, ia segera memundurkan mobilnya hingga tepat berada di depan mobil silver itu. Kepalanya melongok keluar jendela mobil bagian penumpang serta memberi isyarat pertanyaan dengan gerakan mengangkat dagu.


"Mobilmu kenapa?" tanya Yori memandang mereka bertiga. Yori pura-pura belum tahu keadaan mobil mereka.


"Wah, kebetulan. Kamu cowok yang tadi di kebun bunga, kan?"


Salah satu dari mereka bertiga segera mendekat dengan wajah berseri, seolah telah hadir malaikat penolong yang datang menghampiri untuk mengurai kesialan mereka.


"Eh, iya," sahut Yori singkat. "Jadi mobilnya kenapa?"


"Ban-nya kempes karena bocor," jawabnya sambil menatap mobil kesayangannya itu dengan raut wajah sedih.


Yori segera turun dari mobil dan berjalan mendekat. Wanita yang tadi berbicara dengannya sangat antusias, berjalan mengekor di belakang Yori yang kini berjongkok melihat keadaan ban mobil itu.


"Ada ban cadangan?" tanya Yori sambil mendongak menatap wanita itu.


"Ada, di bagasi."


Wanita itu segera membuka bagasi untuk memperlihatkan ban mobilnya, Yori segera bangkit lalu mengangguk mengerti. Pria itu kemudian mengambil ban itu dari dalam, menjatuhkan ke aspal dan segera beralih ke bagian mobil yang bannya kempes.


"Punya alat?" tanyanya tanpa menoleh.


"Nggak punya," jawab wanita itu menggeleng sambil mengembus napas.


"Bisa kamu ambilkan alatku yang ada di dalam bagasi mobilku?" Yori menoleh ke arah wanita jutek yang terlihat berdiri mematung di samping mobil yang kini memandangnya dengan kedua tangan bersedekap. Wanita itu menanggapi Yori dengan kernyitan di dahi dan tidak bergerak dari tempatnya, tentu saja Yori merasa kesal mendapatkan reaksi seperti itu.


"Aku sedang membantumu, bisa tidak wajahmu tidak seram seperti itu!" Yori berdiri dengan bersedekap tangan pula memandang wanita itu dengan kesal, suaranya juga ketus.


"Wah!" Wanita itu berdecak, tertawa sinis menanggapi kekonyolan pria asing yang sangat sok pahlawan baginya itu.


"Udah deh, biar aku aja yang ngambil," sela wanita yang berada di samping Yori menengahi suasana yang mengarah pada pertengkaran.


"Lagian, kurang aja bener. Ngatain wajahku seram, apa kamu pikir wajahmu ada bagus-bagusnya? Hem!" balas wanita jutek itu berjalan mendekat.


"Aku? Jelas aku tampan. Ck! Wanita jutek sepertimu jelas saja tidak bisa membedakan mana tampan mana enggak," adu Yori masih memandang wanita itu dengan kekesalan.


Entah kenapa, ia ingin sekali wanita itu bersikap baik padanya. Susahnya apa? Padahal ia sudah susah-susah mau membantu, tetapi wanita itu benar-benar tidak tahu berterima kasih. Benar 'kan, kalau ia menuntut diberi sikap yang ramah dan senyuman? Yori memandang tajam saking geramnya.


"Sudah, kalian jangan bertengkar. Na, kamu jangan gitu dong, dia bantuin kita, loh," bujuk sahabatnya menepuk pundak wanita jutek itu agar mau mengalah.


"Mana tahu temanmu bagaimana cara berterima kasih," sungut Yori kembali berjongkok.


"Ish! Sini, biar aku saja. Minggir!" decak wanita itu sudah kesal bukan kepalang mendengar ocehan Yori mengomentari tentang dirinya. Ia merasa tersinggung dengan ucapan Yori barusan.


Dengan kasar pula ia mendorong tubuh Yori ke samping hingga pria itu terduduk di aspal. Wanita itu tidak peduli sama sekali, bahkan ia dengan sengaja menyeret ban cadangan itu ke arah Yori agar pria itu menjauh.


"Peralatan datang!" teriak wanita yang tadi mengambil alat dari mobil Yori berlari mendekat. Sambil menyerahkan satu box peralatan mesin itu ke samping Yori, ia masih saja menyunggingkan senyuman.


"Temen kamu, tuh, yang mau benerin sendiri," ucap Yori sambil menggeser box itu ke arah wanita di sampingnya.


"Kamu yakin, Na?" tanya temannya.


"Dari bayi aku melakukannya," jawab wanita itu masih bernada jutek.


Yori memendam sungut emosi, ingin sekali ia menjitak kepala perempuan jutek itu saking kesalnya. Sifat wanita itu menurutnya sangat menyebalkan, tetapi ia tahan sekuat tenaga. Ia mengamati begitu terampilnya tangan kecil wanita itu dalam mencungkil penutup baut dengan obeng dan memutar baut berlawanan arah jarum jam. Wanita itu kini telah mengendurkan baut ban mobilnya.


"Dongkrak?" tanya wanita itu kini menoleh ke arah Yori.


"Ok, tunggu," jawab Yori gelagapan, ia segera meraih benda kecil nan kuat itu dan bergerak membantu wanita itu dengan meletakkan dongkrak dan mengaturnya tepat di bagian cekungan dekat roda.


"Angkat," perintah wanita itu pelan sambil mengamati posisi dongkrak yang sudah tegak lurus.


Ok," jawab Yori segera melakukan sesuai instruksi wanita yang duduk berjongkok di sampingnya. Ia mulai menekan tuas hingga terlihat ban mobil terangkat sempurna dengan posisi bagus.


"Kamu biasa benerin mobil sendiri?" tanya wanita itu tanpa menoleh ke arah Yori. Tangannya dengan cekatan pula mulai melepaskan baut ban mobil yang kempes.


"Sesekali kalau ke bengkel teman," jawab Yori masih membantu wanita itu mengumpulkan baut yang mulai terlepas satu persatu dari tempatnya.


"Kamu orang kaya, kenapa melakukan hal kotor seperti itu?" ejek wanita itu membuat Yori mengembus napas.


"Tahu dari mana kalau aku kaya?"


"Dari gaya kamu," ucapnya sembari tertawa meledek.


Saat ini ban itu benar-benar terlepas, keduanya segera mengangkat bersamaan dan meletakkannya dengan posisi tidur agar ban itu tidak menggelinding dan membuat kekacauan pengguna jalan raya di belakang mereka. Tampak kedua teman yang lain mengamankan posisi mereka dari pengguna jalan lain.


Wanita itu segera menggeser tubuhnya hendak mengambil ban cadangan, Yori segera ikut bergerak berniat membantu wanita itu dan mereka kompak bekerja sama untuk memasang ban itu dengan sedikit menggoyang-goyangkan ban tersebut agar pas terpasang. Tanpa ada sepatah kata pun terucap dari keduanya akhirnya pekerjaan mereka selesai dengan sempurna.


Yori segera beralih merapikan peralatannya kembali ke dalam wadah, menenteng box di tangan kanannya dan berjalan menjauhi wanita jutek itu.


"Wah, kalian benar-benar pasangan yang keren," puji salah satu dari wanita itu.


"Cih, pasangan? Menggelikan," lontar wanita jutek itu sambil menepuk tangan kotor penuh oli dan berjalan menjauh. Yori juga mendengus tidak setuju dengan pujian wanita berambut pirang itu.


"Mau kemana, Woi?" teriak satu temannya melihat wanita yang memiliki sepasang mata indah itu berjalan pergi.


"Aku pergi dulu, masih ada pekerjaan!" teriaknya membalas sambil melambai tangan. Wanita itu kini berjalan dan segera membonceng seorang pria yang sudah menunggunya di kedai tempatnya membeli air minum.


"Pokoknya terima kasih, ya?" ucap wanita berambut pirang itu kembali beralih menatap Yori yang meletakkan kembali peralatannya di bagasi mobilnya sendiri.


"Sama-sama. Temanmu yang memasang ban mobil, bukan aku," jawab Yori beralih berjalan untuk mengambil dan meletakkan ban bocor itu ke dalam bagasi wanita itu.


"Tetap saja, tanpa bantuan peralatanmu kami tidak bisa mengganti ban mobil. Oya, kenalkan, namaku Lusi dan dia Nia."


Yori dan Lusi juga Nia kemudian saling berjabat tangan.


"Maaf, tanganku kotor penuh oli," ucap Yori tersenyum tipis.


"Itu jelas gara-gara kami," jawab Lusi sambil tertawa.


"Yang jutek tadi?" tanya Yori kini mulai berjalan diikuti Lusi dan Nia untuk mengantar kepergiannya.


"Cewek tadi? Hahaha … maaf, ucapannya memang sering ketus seperti itu, tapi dia baik kok sebenarnya." Lusi menjelaskan masih sambil tertawa karena merasa tidak enak atas kelakuan sahabatnya yang tadi.


"Oh, iya, baiklah. Oya, namanya siapa?" tanya Yori lagi masih penasaran dengan si jutek itu.


"Temanku yang tadi?"


"Hem," jawab Yori mengangguk.


"Namanya Hana," jawab Lusi membuat Yori yang hendak membuka pintu mobilnya mendadak berhenti dan kembali membalik badan, menatap wanita itu dengan mata membelalak. Ia merasa terhenyak dengan nama yang diberikan.


"H-Hana?" tanyanya ingin mendengar lagi nama itu terucap.


"Iya, namanya Hana."


Yori memandang Lusi dan Nia bergantian, ingin sekali ia menanyakan lebih jauh mengenai wanita tadi. Apa dia wanita bernama Hana yang akan menjadi istrinya dua minggu lagi atau bukan, tetapi lidahnya menjadi kelu. Ia bingung, tidak tahu bagaimana cara yang sopan untuk menanyakannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status