Share

Bab 2

Australia, 10 Januari 2021

'Selamat tinggal Negeri Kanguru, aku pasti akan merindukanmu. Dan kamu yang tinggal di kawasan Wyndham, maaf aku tidak sempat pamitan.'

**

Dua hari sudah berlalu, kini pria berusia dua puluh empat tahun itu sudah tiba di rumah. Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari tujuh setengah jam, akhirnya ia bisa bernapas lega menyaksikan sendiri wajah bahagia keluarga dalam menyambutnya pulang.


Jelas terpancar kerinduan mendalam di mata bunda dan ayahnya, hingga Yori malu sendiri menjadi tontonan para assisten rumah tangga rumah karena sudah diperlakukan seperti anak kecil, dipeluk dan dijewer daun telinganya karena kesalahannya jarang memberi kabar.


Yori segera memeluk wanita yang telah melahirkannya dengan rasa haru. Bagaimana tidak, sebagai anak tunggal ia pun paham bahwa ke mana saja kakinya melangkah, pasti akan menjadi beban pikiran kedua orangtuanya.


Dengan mata berkaca-kaca dan bibir mencebik haru, ibunya segera memeluk tubuh jangkungnya hingga ia harus menunduk demi bisa meletakkan dagunya di pundak sang ibu.


"Maaf, ya, Nak. Bunda tidak bisa ikut menjemputmu di Bandara," sesal ibunya masih betah memeluk dan mengelus punggungnya.


"Tidak apa-apa, Bun. Lagipula ada Andi yang tadi jemput di Bandara," jelas Yori seraya menoleh ke arah sahabatnya yang kini sudah ikut bergabung setelah selesai memarkir kendaraannya.


"Terima kasih, ya, Sayang," ucap ibu melepas pelukan anaknya dan beralih menatap Andi yang mengangguk disertai senyuman.


"Sama-sama, Tante."


"Ayo masuk," ajak ayah segera menarik pundak sang istri yang terlihat kurang sehat agar berjalan beriringan masuk ke dalam ruang tengah.


"Kalian pasti capek, istirahat dulu, ya. Nanti malam kita makan bersama, ayah ingin membicarakan sesuatu sama kamu," ucap ayah menoleh kembali ke arah anaknya.


"Iya, Yah. Nanti kita ketemu makan malam," jawab Yori mengangguk.


Kedua pemuda berusia selisih lima bulan itu segera berjalan menyusuri tangga menuju ke kamar Yori yang berada di lantai dua. Tampak Andi berjalan pelan dengan menahan beban berat koper milik Yori yang kini di angkatnya.


Yori menyadari pasti Andi kerepotan membawakan kopernya ke lantai atas, diam-diam ia menjadi geli sendiri. Apa yang dilakukan Andi selama dirinya berada di Australia? Apa Kafenya berkembang dengan baik? Yori mengakui bahwa ia tidak begitu memedulikan itu semua, tapi setelah bertemu dengan sahabatnya itu ia malah menjadi sedikit penasaran.


"Makanya fitness," ejek Yori seraya iseng memukul perut sahabatnya sambil terbahak. "Lemah sekali ototmu. Padahal beratnya nggak sampai tiga puluh kilo."


"Sialan! Lagian bawa apa sih? Berat banget," keluh Andi sambil berusaha menghindar. Sambil tertawa kecil pula ia menanggapi keisengan sahabat baiknya itu.


"Isinya … boom!" gertak Yori menepuk kedua telapak tangan, ia segera berlari kecil setelah kelakuannya cukup mengagetkan Andi.


"Wah! Benar-benar!" decak Andi seraya tertawa sembari ikut berlari kecil mengejar Yori yang telah sampai di anak tangga bagian atas. Ia sampai geregetan saat wajah Yori lagi-lagi memberi tatapan meremehkan kemampuannya saat mengangkat beban berat.


Yori dan Andi segera merebahkan diri di kasur. Mereka berdua memilih segera masuk ke dalam kamar untuk melepas lelah. Yori juga tahu ibunya sedang tidak enak badan, jadi ia membiarkannya sejenak beristirahat di kamar sebelum mengobrol nantinya.


"Gimana kabar kamu di Aussie?" tanya Andi menoleh ke arah Yori yang kini tengah memejamkan mata.


Mereka berbaring terlentang saling berdampingan.


"Biasa, kerja. Aku jarang main keluar," jawab Yori menoleh seraya membuka mata. Ia segera mendengus saat melihat sahabatnya itu mencebikkan bibir.


"Jangan katakan kamu kuper, ya," lontar Andi tertawa.


"Sialan! Jelas iya," akunya seraya melemparkan tawa renyah. Tawa yang selalu disukai para sahabatnya, karena Yori seorang pria yang riang dan berjiwa iseng juga.


Yori melempar bantalnya ke arah Andi dan segera beralih duduk. Andi masih saja tertawa menerima timpukan benda empuk itu seraya ikut duduk juga. Andi masih menatap punggung Yori yang kini sudah beralih berjalan menuju ke tempat kopernya berada. Membuka dan mengeluarkan isinya dari dalam.


"Buat kamu sama Alan," ucap Yori sambil melempar beberapa pakaian dengan merk brand terkenal di Australia.


"Aku kira kamu cupu," ledek Andi seraya menangkap empat potong kemeja model terbaru seraya merentangkan lebar-lebar ke udara. "Terima kasih, ya?" ucapnya.


"Hmm." Yori mengangguk.


"Jadi kamu pulang karena apa? Ulang tahunmu masih dua minggu lagi, aku jadi penasaran dengan hadiahmu kali ini. Usiamu sudah dua puluh empat, kira-kira apa, ya?"


Andi membuka pembungkus berisi kemeja dan memilih warna favoritnya. Sesekali ia melirik ke arah Yori yang masih membongkar isi kopernya tanpa menyahut.


"Shhhh … kenapa orang tuamu pandai sekali menebak apa yang menjadi keinginanmu, ya? Keren banget." Andi masih antusias mempertanyakan keajaiban yang setiap tahun diperoleh sahabatnya sejak SMP itu.


"Mana aku tahu," sahut Yori menghentikan aktivitas dan sesaat memikirkannya juga. Ia tidak tahu hal apa yang membuat kedua orang tuanya begitu paham apa impiannya selama ini. "Ikatan batin mungkin," tebaknya pelan.


"Seperti peramal saja," ucap Andi lagi seraya mencoba satu buah kemeja dari Quicksilver dan juga RIPCURL hingga dia bingung memilih yang mana untuknya.


Yori menggeleng pelan dan kembali membongkar oleh-oleh untuk para sahabatnya nanti pas bertemu. Ia merasa sudah lama tidak saling menyapa dan membagi kekompakan setelah sibuk dengan dunianya di luar negeri.


"Kamu nggak punya pacar? Media sosialmu isinya kok punggungmu terus. Yang  memfoto kamu siapa?" celoteh Andi lagi masih penasaran dengan sosok yang sering mengambil foto seperti mencuri momen, terkadang ia merasa iri dengan ketampanan yang dimiliki Yori.


"Dasar, kepo!"


"Iyalah, jadi kepo sama tangan yang tertangkap kamera lagi jalan sama kamu," telisik Andi masih memandang Yori yang hanya melempar senyuman samar. Ia tidak mau berbagi cerita.


"Bodo, ah. Aku mau mandi, kamu tolong beresin kamarku, ya? Kalau pengen aku kasih izin numpang tidur di sini."


"Ogah banget, mendingan aku tidur di kafe. Aku cabut sekarang aja, ya. Alan tadi ngajak ketemu di kafe, padahal hari ini aku lagi jatah libur," oceh Andi sambil merapikan kembali baju baru itu dan memasukan ke dalam paper bag yang teronggok di lantai.


"Salam ya, besok aku main ke sana," sahut Yori sambil berjalan ke arah luar kamar, disusul Andi sambil berlari kecil di belakangnya.


"Ok, men. Kita tunggu, ya?"


"Ok. Aku capek, jadi mau istirahat dulu, besok aku baru bisa main." Yori mengangguk menoleh ke arah Andi yang kini sudah berjalan beriringan dengannya.


"Aku cabut, salam buat tante Ayu dan Om Harry," pamit Andi bergegas menuruni tangga.


"Sip. Aku sampaikan."


Yori melanjutkan perjalanan ke arah kamar mandi, segera membersihkan diri dan melepaskan kepenatan tubuh akibat perjalanan jauh.


Malam ini ia ingin sekali segera mengobrol dengan ibunya, rindu dengan ucapan lembut wanita yang menjadi idolanya itu. Bahkan ia ingin sekali nantinya bisa memiliki istri seorang wanita yang lembut seperti sosok sang ibu.


Tepat pukul delapan malam, lebih telat satu jam dari jadwal makan malam yang seharusnya, Yori turun dari lantai atas dan ikut gabung bersama keluarganya di ruang makan.


"Sayang, kamu terlambat makan?" tegur ibunya dengan suara bawel, ia segera meraih lengan Yori saat anaknya itu merangkul pundaknya.


"Capek, Bun. Males makan," sahut Yori masih memeluk ibunya enggan untuk melepaskan.


"Nanti kamu sakit. Ayo, makan dulu," perintah sang ibu sambil melepaskan pelukan anaknya dan beralih menarik lengan itu agar duduk di kursi.


"Good night, Ayah?" sapa Yori melepas senyuman kepada ayahnya.


"Jangan sering telat makan, nggak bagus buat kesehatan kamu," ucap Harry memberi nasihat juga sambil tersenyum. Yori hanya membalas senyum simpul.


Yori memandang ayahnya yang masih duduk dengan tatapan mata tidak biasa, terasa sekali ada hal yang mengusik pikirannya. Yori merasa kikuk juga, karena selama ini dirinya tidak terlalu dekat dengan sang ayah. Selain karena sibuk bekerja, ayahnya memiliki sifat yang aneh, yaitu cemburu saat dirinya bersama sang ibu.


Sebenarnya ia ingin menertawai kekonyolan ini, tetapi semakin bertambah dewasa ia menyadari bahwa apa yang dilakukan ayahnya merupakan sebuah cinta yang aneh, sifat buruk yaitu posesif. Ia berjanji tidak akan pernah menjadi seperti ayahnya.


"Temanmu sudah pulang?" tanya Ayu sambil menyerahkan sepiring nasi beserta lauknya ke hadapan Yori.


"Sudah, Bun. Katanya mau ketemu Alan di kafe," jawab Yori sambil mulai menyendok makanannya dan menyuap pelan ke dalam mulut. "Enak," tambahnya lagi memuji masakan ibunya. Ayu segera tersenyum cerah.


"Kamu tahu kenapa ayah menyuruh pulang?" tanya Harry sambil meneguk air putih di hadapannya seraya melirik Yori.


Yori masih sibuk mengunyah makanannya sembari sesekali menatap manik mata biru milik ayahnya, sayangnya warna indah itu tidak menurun kepadanya.


"Karena Bunda sakit," jawab Yori jujur.


Ia memang pulang setelah diberi kabar bahwa ibunya sedang sakit, dan ia sendiri belum diberi tahu ibunya sakit apa. Yori sangat bersyukur ibunya sudah membaik. Sungguh ia menyesal setelah jatah cuti tidak dia manfaatkan dengan baik untuk pulang menemui ibunya. Ah, semua sudah terlanjur, itulah mengapa ia bersedia resign demi memenuhi permintaan sang ibu.


"Dua minggu lagi ulang tahun kamu, Sayang," sela ibunya ikut duduk, kini wanita cantik itu meletakkan ujung lengan ke meja dan bertopang dagu mengamati jejak ketampanan yang menurun dari suaminya kepada anaknya.


"Aku sudah dewasa, Bunda. Please, jangan bikin Yori malu karena masih mendapat hadiah lagi, aku nggak mau dirayakan, pokoknya yang penting fokus sama kesehatan Bunda," ucap Yori dengan wajah serius.


"Oya? Anak bunda sudah ngaku dewasa, nih Ayah?" goda Ayu kepada Yori sambil melirik ke arah suaminya dengan senyuman, Harry segera melepas tawa bersama sang istri.


"Sungguh adegan dramanya romantis sekali," komentar Yori berniat membalas menggoda kedua orangtuanya. Tentu saja, kedua orangtuanya tertawa bersama menanggapi guyonan itu.


"Kado ulang tahun kamu tahun ini lebih spesial dari yang sudah-sudah," ujar ibu kini sudah kembali duduk memandang Yori dewan wajah sumringah.


"Kado lagi? Astaga, Bunda. Yori sudah mendapatkan segalanya, motor, mobil, kafe, sekolah di luar negeri, memangnya kalian berdua mau kasih Yori apalagi, sih?" Yori memandang kedua orang paling disayanginya itu bergantian, dalam hati ia gemas sendiri.


"Bagaimana kalau Bunda dan Ayah saja yang kasih Yori kado seorang adik yang lucu?" usul Yori yang malah diberi cubitan ibunya.


"Bunda sudah tua, kamu ini." Ayu tertawa lebar menanggapi permintaan anaknya.


"Kamu aja yang memberi kami cucu yang menggemaskan," lontar ayahnya membuat Yori menahan tawa.


"Apaan sih, Ayah." Yori melengos, ia kembali menyantap makan malamnya.


"Iya, karena kado tahun ini dari kami spesial, yaitu pertemuan, sebuah pernikahan."


Harry segera memberitahukan hal itu karena tidak mau berlama-lama menahan rencana yang persiapannya hanya tinggal dua minggu saja.


"Apa! Menikah? A-apa maksud Ayah?" Yori membelalak mata menatap kedua orang tuanya bergantian.

****

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Aryani Disa
Yook...kondngan......
goodnovel comment avatar
Tri Setyorini
Ceritamya bagus
goodnovel comment avatar
Novia aryani
apa yori akan dijodohkan?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status