Share

Part 10 - Berkecamuk

Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu.  

Hening. 

Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. 

Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. 

"Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. 

Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki diriku sendiri yang tidak bisa bersikap tegas dan justru melemah. 

Memori-memori luka masa lalu membombardir diriku seketika itu juga. 

"Rain, kamu harus kuat! Biar ibu yang menghadapinya. Kamu segera keluar rumah, ya begitu ibu menariknya masuk. Kamu paham, kan?"

Rain kecil hanya mengangguk.

Setelahnya, ibunya dengan sikap tegar membuka pintu yang sedari tadi diketuk dengan kerasnya. Di baliknya, terlihat seorang pria berusia 40 tahunan dengan tampilan lusuh dan wajah garang langsung menggertak ibu Rain keras.

Rain tidak mau melihatnya. Ia membuang muka.

Sambil menangis, ia lari ke luar rumah, sesuai permintaan ibunya.

Tak lama, teriakan seorang wanita terdengar meraung-raung. Rain kecil mendengarnya dengan samar-samar. Hatinya perih, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Ia terus melangkah pergi, bersama rintik hujan yang terus turun membasahi dunia manusia.

Aku masih sangat ingat bagaimana pria yang kusebut ayah itu melakukan kekerasan pada ibuku belasan tahun lalu. Dan sekarang aku bahkan masih teringat pada kisah kelam masa lalu itu. 

Sungguh tragis. 

Setelah beberapa menit aku mencoba menenangkan diri, akhirnya aku memutuskan untuk mandi. Meski tadi pagi aku sudah mandi, tapi mandi lagi tidak akan menjadi masalah. 

'Mungkin saja mandi akan menyegarkan otakku kembali.' Batinku. 

Segera aku mengambil handuk dan beberapa potong pakaian, lalu aku bergegas menuju kamar mandi. 

Tepat sebelum kakiku masuk ke kamar mandi, samar-samar aku mendengar suara nyanyian. 

Lirik lagu yang bahkan sangat kukenali. Suara yang juga sepertinya tidak asing di telingaku. 

~Sesi Lagu~ 

Kapan lagi kutulis untukmu 

Tulisan-tulisan indahku yang dulu 

Pernah warnai dunia 

Puisi terindahku hanya untukmu 

Mungkinkah kau kan kembali lagi 

Menemaniku menulis lagi 

Kita arungi bersama 

Puisi terindahku hanya untukmu 

-Jikustik, Puisi- 

~Sesi Lagu Berakhir~ 

Seketika tubuhku membeku. Pikiranku langsung melayang. 

Suara itu seperti berada tak jauh dari rumahku.

Aku langsung menoleh ke arah jendela kamar. Segera aku berlari dan membukanya dengan tidak sabar. 

Dan aku tidak kalah terkejutnya. 

Tepat di seberang jalan, di sebuah rumah putih minimalis tetapi nampak mewah dan berkelas, aku melihat seorang pria muda dengan mobil sport birunya terparkir di halaman depan. 

Hatiku terasa sesak. Keringat dingin membasahi dahiku. Baju yang kupegang beserta handuknya jatuh. Aku bahkan tidak sanggup menguasai logikaku lagi. 

Segera aku berlari ke pintu rumahku. Kubuka dengan cepat dan tanpa pikir panjang aku lari ke seberang jalan, tepat di depan rumah pria yang kulihat itu. 

Napasku terengah-engah. 

Mataku melihat ke arah pria itu lekat. Tidak, lebih tepatnya sangat lekat. Jantungku berdebar tidak karuan, hatiku merasakan berbagai perasaan campur aduk. 

Tak berselang lama, dia menyadari keberadaanku dan berbalik menghadapku. 

Jantungku seakan mencelos. Dan lagu yang samar-samar kudengar tadi berasal dari mobilnya. Dia memutar lagu itu cukup keras hingga aku bisa mendengarnya. 

"Hai! Kita bertemu lagi." Dia menyapaku sambil tersenyum ramah. 

"Berapa lama, ya? Empat bulan, kalau nggak salah. Betul?" Sambungnya. 

Bulir-bulir air mata seketika lolos dari kedua sudut mataku. 

"Zev." Balasku dengan suara lirih dan tercekat. 

Zevran kembali tersenyum. Mata hazelnya benar-benar menarik. Tulus. Teduh. Lesung pipitnya semakin membuat senyumannya terlihat berkharisma dan menghipnotis. 

"Bagaimana kabarmu, Rain? Sehat?" 

Aku mengangguk cepat. "Ya. Aku baik-baik saja." 

'Tapi hatiku tidak, Zev.' Sambungku dalam hati. 

"Syukurlah. Kamu sehat selalu, ya! Jaga diri baik-baik." Ucapnya tulus. 

"Kamu mau kemana, Zev? Apakah kamu hanya mampir? Apakah kamu akan pergi lagi?" Tanyaku dengan suara bergetar. 

Pikiranku saat ini dipenuhi dengan berbagai spekulasi tidak jelas dan berlebihan. Hatiku semakin tidak karuan juga mendengar pernyataannya yang sangat mengkhawatirkan.

Zevran perlahan mendekatiku. Ia menatap kedua mataku lekat, seakan-akan mencari sesuatu di dalam mataku. 

Ia menghela napas panjang, kemudian menarikku ke dalam pelukannya. Didekapnya tubuhku erat. Aku juga membalas pelukannya. Erat. Seakan-akan kami berdua tidak ingin dipisahkan. 

Namun, tidak berselang lama. Hanya beberapa saat sebelum akhirnya Zevran melepaskan pelukannya dariku. 

"Kenapa, Zev?" Tanyaku. 

Dia tersenyum. Tetapi kali ini berbeda. Senyumnya seakan dipaksakan. Aku bisa menebak ada sesuatu yang tidak biasa. 

"Rain, aku akan pindah ke Jerman, ke tempat di mana perusahaanku berkembang pesat. Dan hari ini, aku akan berkemas." 

Duniaku serasa runtuh seketika itu . 

"Mungkin, ini juga yang terbaik untuk kita, Rain. Kita tetap menjaga utuh persahabatan kita selama 14 tahun ini. Dan kita tetap bisa terhubung. Aku bahkan akan meneleponmu setiap hari, jika itu yang kamu mau." 

"Bahkan, hapeku juga sudah kunyalakan lagi." Sambungnya sambil menunjukkan gawai hitam dari saku celananya. 

Plak!!! 

Aku mendaratkan tamparan di pipinya. 

Dia memegangi pipinya. Aku menatap ke arahnya tajam. 

"Kamu pulang hanya untuk ini? Kamu bahkan tidak pernah bertanya kembali bagaimana jawabanku atas pertanyaanmu waktu di pesta dulu. Kamu bahkan tidak berjuang untukku dan memilih menghilang selama empat bulan. Apakah ini yang kamu katakan kalau kamu mencintaiku, Zev?" Aku berteriak keras di depannya. 

Zevran terdiam. Ditatapnya diriku. Seakan-akan ada yang ingin diucapkannya, tetapi ditahan. 

"Zev, apakah kamu juga tidak tahu bahwa aku bahkan memikirkanmu di setiap malamku? Pernahkah kamu memikirkannya juga? Apakah kamu hanya fokus pada perasaanmu sendiri tanpa memikirkan perasaanku?" Tanyaku sambil terisak. Pertahananku telah runtuh demi mendengar dia akan menetap di Jerman. 

"Rain." Ucapnya lirih. 

"Bukankah aku pernah bilang bahwa aku tidak akan meninggalkanmu? Bukankah kamu juga tahu lebih dari siapapun tentang cara bertemu denganku?" 

"Aku tahu, kisah kita mungkin saja berakhir tanpa pernah dimulai. Aku juga sangat tahu, bahwa kamu dilema antara memilihku atau dia. Aku juga tahu, kamu mungkin saja memikirkanku sebatas pada bahwa aku adalah sahabat terbaikmu sejak 14 tahun lalu. Tapi bagiku, semua ini tidak mudah. Memendam sebuah rasa tanpa balas padahal aku harus bertemu kamu setiap hari saja aku sudah sangat tersiksa, apalagi setelah mengungkapkannya padamu dan ternyata kamu justru memberi kesempatan pada orang kain." Jelasnya. 

"Rain, bahkan jika bunga mekar sebelum kuncupnya berkembang sempurna, maka layu adalah jawabannya. Dan bahkan ketika hujanmu telah reda bersama kedatangannya, rela adalah satu-satunya jalan berdamai dan paling bahagia. Maka biarkanlah kisah ini cukup sampai di sini saja. Biarkan kamu dan aku berjalan masing-masing tanpa gundah. Semoga setelah denganku, akan kau temui pelangi indah selepas hujan malam panjang. Dan semoga, kamu menemukan cinta yang membahagiakan selepas purnama kelabu tanpa undangan. Jika memang kita berjodoh, semesta akan selalu punya cara untuk mempertemukan dan mempersatukan kita lagi. Percayalah! Jika memang kamu jodohku, saat kita bertemu kembali, maka aku akan memperjuangkanmu lagi dengan jauh lebih. Tetapi untuk sekarang, tanyakanlah lagi pada hatimu. Siapa sebenarnya yang berada di sana. Sahabatmu ini, Zevran, akan tetap ada sebagai sahabatmu sampai mati." Ungkapnya panjang lebar. 

Saat ini aku bahkan kehilangan kata-kata. 

~Sesi Lagu~ 

With December comes the glimmer on her face

And I get a bit nervous

I get a bit nervous now

In the twelve months on

I won't make friends with change

When everyone's perfect can we start over again?

The playgrounds they get rusty and your

Heart beats another ten thousand times before

I got the chance to say

I miss you

When it gets hard

I get a little stronger now

I get a little braver now

And when it gets dark

I get a little brighter now

I get a little wiser now

Before I give my heart away

Well we met each other at the house of runaways

I remember it perfectly

We were running on honesty

We moved together like a silver lock and key

But now that your lock has changed

I know I can't fit that way

The playgrounds they get rusty and your

Heart beats another ten thousand times before

I got the chance to say

I want you

When it gets hard

I get a little stronger now

I get a little braver now

And when it gets dark

I get a little brighter now

I get a little wiser now

Before I give my heart away

When it gets hard

I get a little stronger now

I get a little braver now

And when it gets dark

I get a little brighter now

I get a little wiser now

Before I give my heart away

 

-New Empire, A Little Braver- 

 

~Sesi Lagu Berakhir~ 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status