Home / Romansa / Diary Rain / Part 9 - Bertemu Kembali

Share

Part 9 - Bertemu Kembali

Author: Pyp Raesland
last update Last Updated: 2021-06-06 14:23:43

Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu.

~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~

Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. 

Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. 

Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan mataku. 

Tertulis nama Sean di layar, yang kemudian membuatku seketika terlonjak kaget. 

Aku segera menekan tombol hijau dan merapatkan handphone tersebut ke telingaku. 

"Halo." Ucapku bersemangat. 

"Halo. Kamu di rumah, kan? Aku mau ke rumahmu." sahutnya dari seberang telepon. 

Dahiku mengkerut. "Ngapain?" 

"Ini hari Minggu. Aku bahkan tidak bisa ke kantor karena diminta ibu untuk libur. Jadi, aku mau ngajak kamu jalan. Minggu pagi berkeliling kota bukanlah sebuah ide buruk." Jawab Sean. Suaranya terdengar sangat bersemangat. 

Mendengar hal itu, hatiku mendadak berbunga-bunga. Aku mulai tersenyum-senyum sendiri. Sungguh. Ini bahkan bukan diriku yang biasanya. 

"Kamu yakin mengajakku keluar? Kalau ketemu orang kantor bagaimana?" Tanyaku ragu-ragu. 

Aku mendengar dia mendesis. "Udah, jangan dipikirkan. Kamu kan tahu aku tidak peduli dengan itu semua." 

Aku tersenyum lagi. 

"Yes. Aku akan segera mandi dan bersiap." Jawabku cepat. Aku langsung turun dari tempat tidur dan lari ke kamar mandi, meski panggilan masih belum berakhir. 

"Cepetan. Aku udah di depan." 

Seketika mataku membelalak tepat di depan pintu kamar mandi. 

"Apa?! Eh, aku bahkan baru mau mandi. Kamu sejak kapan di depan rumahku?" 

Aku refleks langsung berbalik menuju ke jendela kamarku. Begitu kubuka, kulihat Sean dengan Mini Cooper birunya sudah di pinggir jalan depan rumahku. 

Sean yang menyadari aku membuka jendela langsung tertawa dan melambaikan tangan ke arahku. 

"Yaudah aku tunggu. Aku tunggu di depan." Teriaknya di ujung telepon sedetik sebelum panggilan telepon ia matikan. 

Aku pun ikut tertawa melihat tingkahnya. 

"Tungguin, ya! Mandiku lama." sahutku dari jendela. 

"No problemo. Yang penting wangi." 

Aku lagi-lagi hanya menggeleng melihat kelakuannya hari ini. 

*** 

Mengelilingi kota di hari Minggu pagi memang bukanlah ide yang buruk. Aku juga sepakat dengan Sean. 

Pagi ini, di car free day, kami berdua membeli banyak sekali es krim dan makanan, mulai dari nasi kuning, lontong balap, hingga ayam geprek. Sebenarnya bukan ideku membeli sekian banyak makanan ditambah 2 kotak besar es krim. Tetapi aku pun tidak mempermasalahkannya. Pagi ini aku belum sarapan dan aku rasa aku bahkan sanggup menghabiskan 2 kotak nasi kuning dan ayam geprek sekaligus. 

"Kamu tidak berniat berhenti sejenak?" Sean tiba-tiba bertanya. 

Aku menoleh ke arahnya. Nampak dia sedang kesusahan membawa dua kantong kresek besar ditambah keringatnya sudah bercucuran ke mana-mana. 

Aku tertawa geli melihat tingkahnya. "Kalau gak kuat, bilang aja. Bagiku jalan 1 kilometer itu bukanlah apa-apa." 

"Oh, tidak. Aku cuma menawarimu tadi. Karena makanan ini juga kalau tidak keburu dimakan akan dingin. Gak enak nanti rasanya." Jawabnya cepat. Tingkahnya seketika berubah seakan-akan kuat membawa banyak barang. 

Aku tersenyum. 

"Di bawah pohon itu tampaknya enak untuk makan. Mari kita makan di sana." Tunjukku cepat saat kami berdua sama-sama melihat ke arah yang sama. 

Dia mengangguk. 

Aku segera melangkahkan kakiku ke tempat itu. Sean menguntitku dari belakang. Sesekali aku meliriknya dari ekor mataku, menyaksikan lengkungan bibirnya yang bagiku terlihat sangat manis.

"Mari kita makan bersama-sama." Ajaknya begitu kami sampai. 

Aku mengangguk. 

Sean langsung duduk dan membuka bungkusan-bungkusan makanan itu. Sementara aku duduk di hadapannya, menyaksikannya membuka bungkusan demi bungkusan. Beberapa kali ia nampak kesusahan, tetapi tak berselang lama. Ia bisa mengatasinya dengan cepat. Dapat kusimpulkan ia cukup cerdas dalam menyelesaikan masalah. 

Aku tersenyum lagi. Entah ke berapa kali hari ini. Yang jelas sudah sangat banyak. Sean yang kukenal hari ini berbeda dengan Sean yang memberiku makan di hari pertama kami bertemu, Sean yang menggelandangku makan ke kantin, dan Sean yang kutemui menarikku secara paksa di pesta koleganya. 

"Kamu yakin akan menghabiskan semuanya?" Tanya Sean melihatku membuka dua bungkus nasi sekaligus. 

Aku tersenyum miring. "Aku makannya banyak, sih. Kenapa? Kamu baru tahu? Gak suka?" 

"Eh, siapa bilang? Cuma kaget aja, sih." Jawab Sean cepat. 

Aku hanya tertawa ringan. 

Aku menyendokkan sesuap penuh nasi kuning dengan lauknya. Sementara Sean hanya memandang ke sekeliling sembari makan es krim. 

Setelah beberapa bulan mengenalnya, aku mulai tahu banyak tentang dia, mulai dari kapan dia bangun tidur, makanannya, hingga jadwal rapatnya. Semuanya dia ceritakan padaku. Tanpa tersisa. 

Sekarang, aku melihat wajahnya yang diterpa angin sepoi-sepoi. Rambutnya yang memang dibiarkan jatuh bergerak ke sana ke mari tertiup angin. 

Cukup manis. Aku juga tidak bosan memandangnya. 

Pandanganku kemudian beralih kepada lalu lalang manusia yang semakin ramai di car free day hari ini. Ada banyak ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, hingga lansia semuanya ada. 

Namun, belum sempat aku mengakhiri melihat-lihat lalu lalang orang-orang, mataku terpaku pada sesosok pria yang tengah melakukan senam kecil dengan hoodie biru lautnya. 

Mataku langsung membulat. Sendok yang kupegang langsung jatuh. 

Sean melihatku dengan tatapan bertanya-tanya. 

Belum sempat ia melontarkan pertanyaan, aku dengan cepat berdiri dan berlari menyibak kerumunan orang di car free day. Aku merasakan bahwa ia mengejarku, tetapi aku tidak mempedulikannya.

Mata dan pikiranku hanya tepat tertuju pada sesosok pria berhoodie biru. 

Beberapa detik kemudian aku sampai di tempat di mana pria tersebut kulihat. 

Kosong! 

Aku langsung mengedarkan pandangan ke segala penjuru, mencari-cari sosoknya yang mungkin saja berada di suatu tempat di sekitarku.

Tapi hasilnya nihil. Aku tetap tidak menemukannya. 

Tak berapa lama, Sean muncul di depanku dengan terengah-engah. 

"Kamu kenapa, Rain? Apa yang kamu lihat? Kenapa lari-lari kayak orang dikejar hantu, sih?" Tanya Sean sambil berusaha mengatur napasnya. 

Reflek aku memeluk Sean. 

"Sean, ayo kita pulang. Aku tidak mau berada di sini lagi." Ucapku terenyuh. 

Sean menepuk-nepuk punggungku berusaha untuk menenangkanku. Aku yakin dia tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik, terdengar dari nada bicaraku. 

Sean melepaskan pelukanku dan memegang kedua tanganku mantap. "Yok, kita pulang sekarang." 

Sambil berkata demikian, kami berlalu menuju tempat kami duduk tadi, mengambil barang-barang yang tertinggal di sana dan bergegas kembali ke mobil. 

Pikiranku masih menerawang melihat sosok pria tadi. 

'Zev, itukah kamu?' Batinku perih. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diary Rain   Part 32 - Neraka (2)

    Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan

  • Diary Rain   Part 31 - Neraka (1)

    Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.

  • Diary Rain   Part 30 - Bangkit

    Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber

  • Diary Rain   Part 29 - Persiapan

    "Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.

  • Diary Rain   Part 28 - Dua Hati yang Kembali

    Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men

  • Diary Rain   Part 27 - Masih Ragu

    Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status