Share

Part 9 - Bertemu Kembali

Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu.

~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~

Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. 

Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. 

Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan mataku. 

Tertulis nama Sean di layar, yang kemudian membuatku seketika terlonjak kaget. 

Aku segera menekan tombol hijau dan merapatkan handphone tersebut ke telingaku. 

"Halo." Ucapku bersemangat. 

"Halo. Kamu di rumah, kan? Aku mau ke rumahmu." sahutnya dari seberang telepon. 

Dahiku mengkerut. "Ngapain?" 

"Ini hari Minggu. Aku bahkan tidak bisa ke kantor karena diminta ibu untuk libur. Jadi, aku mau ngajak kamu jalan. Minggu pagi berkeliling kota bukanlah sebuah ide buruk." Jawab Sean. Suaranya terdengar sangat bersemangat. 

Mendengar hal itu, hatiku mendadak berbunga-bunga. Aku mulai tersenyum-senyum sendiri. Sungguh. Ini bahkan bukan diriku yang biasanya. 

"Kamu yakin mengajakku keluar? Kalau ketemu orang kantor bagaimana?" Tanyaku ragu-ragu. 

Aku mendengar dia mendesis. "Udah, jangan dipikirkan. Kamu kan tahu aku tidak peduli dengan itu semua." 

Aku tersenyum lagi. 

"Yes. Aku akan segera mandi dan bersiap." Jawabku cepat. Aku langsung turun dari tempat tidur dan lari ke kamar mandi, meski panggilan masih belum berakhir. 

"Cepetan. Aku udah di depan." 

Seketika mataku membelalak tepat di depan pintu kamar mandi. 

"Apa?! Eh, aku bahkan baru mau mandi. Kamu sejak kapan di depan rumahku?" 

Aku refleks langsung berbalik menuju ke jendela kamarku. Begitu kubuka, kulihat Sean dengan Mini Cooper birunya sudah di pinggir jalan depan rumahku. 

Sean yang menyadari aku membuka jendela langsung tertawa dan melambaikan tangan ke arahku. 

"Yaudah aku tunggu. Aku tunggu di depan." Teriaknya di ujung telepon sedetik sebelum panggilan telepon ia matikan. 

Aku pun ikut tertawa melihat tingkahnya. 

"Tungguin, ya! Mandiku lama." sahutku dari jendela. 

"No problemo. Yang penting wangi." 

Aku lagi-lagi hanya menggeleng melihat kelakuannya hari ini. 

*** 

Mengelilingi kota di hari Minggu pagi memang bukanlah ide yang buruk. Aku juga sepakat dengan Sean. 

Pagi ini, di car free day, kami berdua membeli banyak sekali es krim dan makanan, mulai dari nasi kuning, lontong balap, hingga ayam geprek. Sebenarnya bukan ideku membeli sekian banyak makanan ditambah 2 kotak besar es krim. Tetapi aku pun tidak mempermasalahkannya. Pagi ini aku belum sarapan dan aku rasa aku bahkan sanggup menghabiskan 2 kotak nasi kuning dan ayam geprek sekaligus. 

"Kamu tidak berniat berhenti sejenak?" Sean tiba-tiba bertanya. 

Aku menoleh ke arahnya. Nampak dia sedang kesusahan membawa dua kantong kresek besar ditambah keringatnya sudah bercucuran ke mana-mana. 

Aku tertawa geli melihat tingkahnya. "Kalau gak kuat, bilang aja. Bagiku jalan 1 kilometer itu bukanlah apa-apa." 

"Oh, tidak. Aku cuma menawarimu tadi. Karena makanan ini juga kalau tidak keburu dimakan akan dingin. Gak enak nanti rasanya." Jawabnya cepat. Tingkahnya seketika berubah seakan-akan kuat membawa banyak barang. 

Aku tersenyum. 

"Di bawah pohon itu tampaknya enak untuk makan. Mari kita makan di sana." Tunjukku cepat saat kami berdua sama-sama melihat ke arah yang sama. 

Dia mengangguk. 

Aku segera melangkahkan kakiku ke tempat itu. Sean menguntitku dari belakang. Sesekali aku meliriknya dari ekor mataku, menyaksikan lengkungan bibirnya yang bagiku terlihat sangat manis.

"Mari kita makan bersama-sama." Ajaknya begitu kami sampai. 

Aku mengangguk. 

Sean langsung duduk dan membuka bungkusan-bungkusan makanan itu. Sementara aku duduk di hadapannya, menyaksikannya membuka bungkusan demi bungkusan. Beberapa kali ia nampak kesusahan, tetapi tak berselang lama. Ia bisa mengatasinya dengan cepat. Dapat kusimpulkan ia cukup cerdas dalam menyelesaikan masalah. 

Aku tersenyum lagi. Entah ke berapa kali hari ini. Yang jelas sudah sangat banyak. Sean yang kukenal hari ini berbeda dengan Sean yang memberiku makan di hari pertama kami bertemu, Sean yang menggelandangku makan ke kantin, dan Sean yang kutemui menarikku secara paksa di pesta koleganya. 

"Kamu yakin akan menghabiskan semuanya?" Tanya Sean melihatku membuka dua bungkus nasi sekaligus. 

Aku tersenyum miring. "Aku makannya banyak, sih. Kenapa? Kamu baru tahu? Gak suka?" 

"Eh, siapa bilang? Cuma kaget aja, sih." Jawab Sean cepat. 

Aku hanya tertawa ringan. 

Aku menyendokkan sesuap penuh nasi kuning dengan lauknya. Sementara Sean hanya memandang ke sekeliling sembari makan es krim. 

Setelah beberapa bulan mengenalnya, aku mulai tahu banyak tentang dia, mulai dari kapan dia bangun tidur, makanannya, hingga jadwal rapatnya. Semuanya dia ceritakan padaku. Tanpa tersisa. 

Sekarang, aku melihat wajahnya yang diterpa angin sepoi-sepoi. Rambutnya yang memang dibiarkan jatuh bergerak ke sana ke mari tertiup angin. 

Cukup manis. Aku juga tidak bosan memandangnya. 

Pandanganku kemudian beralih kepada lalu lalang manusia yang semakin ramai di car free day hari ini. Ada banyak ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, hingga lansia semuanya ada. 

Namun, belum sempat aku mengakhiri melihat-lihat lalu lalang orang-orang, mataku terpaku pada sesosok pria yang tengah melakukan senam kecil dengan hoodie biru lautnya. 

Mataku langsung membulat. Sendok yang kupegang langsung jatuh. 

Sean melihatku dengan tatapan bertanya-tanya. 

Belum sempat ia melontarkan pertanyaan, aku dengan cepat berdiri dan berlari menyibak kerumunan orang di car free day. Aku merasakan bahwa ia mengejarku, tetapi aku tidak mempedulikannya.

Mata dan pikiranku hanya tepat tertuju pada sesosok pria berhoodie biru. 

Beberapa detik kemudian aku sampai di tempat di mana pria tersebut kulihat. 

Kosong! 

Aku langsung mengedarkan pandangan ke segala penjuru, mencari-cari sosoknya yang mungkin saja berada di suatu tempat di sekitarku.

Tapi hasilnya nihil. Aku tetap tidak menemukannya. 

Tak berapa lama, Sean muncul di depanku dengan terengah-engah. 

"Kamu kenapa, Rain? Apa yang kamu lihat? Kenapa lari-lari kayak orang dikejar hantu, sih?" Tanya Sean sambil berusaha mengatur napasnya. 

Reflek aku memeluk Sean. 

"Sean, ayo kita pulang. Aku tidak mau berada di sini lagi." Ucapku terenyuh. 

Sean menepuk-nepuk punggungku berusaha untuk menenangkanku. Aku yakin dia tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik, terdengar dari nada bicaraku. 

Sean melepaskan pelukanku dan memegang kedua tanganku mantap. "Yok, kita pulang sekarang." 

Sambil berkata demikian, kami berlalu menuju tempat kami duduk tadi, mengambil barang-barang yang tertinggal di sana dan bergegas kembali ke mobil. 

Pikiranku masih menerawang melihat sosok pria tadi. 

'Zev, itukah kamu?' Batinku perih. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status