Home / Romansa / Diary Rain / Part 11 - Antara Pergi dan Mencari

Share

Part 11 - Antara Pergi dan Mencari

Author: Pyp Raesland
last update Last Updated: 2021-06-08 19:51:49

Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. 

Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. 

Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. 

Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, seperti yang biasanya kulakukan. 

Hari ini benar-benar aku tidak ingin melakukan apapun. Hingga ... 

Brrt! Brrrrrrttttt! 

Gawaiku bergetar selama beberapa saat. 

Dengan malas, aku meraihnya dari meja kecil di samping tempat tidurku. 

Tertera nama Mila di sana. Ia mengirimiku sebuah foto lewat aplikasi pesan daring. 

'Tumben Mila ngirim foto. Biasanya pesan suara kalau memang penting banget.' Tanyaku dalam hati. 

Kemudian gawaiku bergetar lagi. Mila mengirim banyak sekali foto. Belum sempat aku mengunduh foto-foto yang dikirimnya, ia menuliskan sebuah pesan. 

From : Milanda Revalido Sulistya 

To : Rainisa Soedibjo Tunggal 

ELU BURUAN KE SINI! ATAU ELU BAKAL NYESEL KEHILANGAN DIA, RAIN! ELU BAKAL NYESEL SELAMANYA!

Aku yang membacanya terperanjat. Capslock jebol dan dia mengisyaratkan penyesalan. Aku cepat-cepat mengunduh semua foto yang dikirimkan. 

Bola mataku membulat seketika. Aku melongo selama beberapa detik. 

Beberapa saat kemudian, otakku mulai mencerna apa yang terjadi. Seketika itu juga aku sadar dan langsung loncat berlari ke kamar mandi. 

*** 

Hanya dalam 10 menit aku sudah berada di tempat yang Mila maksud dalam pesannya. Mataku berputar ke sekeliling, menyapu seluruh tempat itu untuk menemukan tempat yang dimaksud oleh Mila dan keberadaannya. 

Sejurus kemudian, mataku menangkap keberadaan Mila. 

Aku kemudian berlari menghampirinya. Aku berharap dan berdoa terus sejak berangkat dari rumah tadi, semoga aku tidak terlambat. Semoga saja aku tidak mendapatkan penyesalan atau semacamnya. 

Begitu sampai di sana, aku langsung mencengkeram bahu Mila dan mencecarnya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. 

"Mil! Cepat! Di mana dia? Apa yang kmu katakan padanya? Bagaimana dia bisa kemari? Apa kamu yang memberitahunya? Kamu kan tahu ini satu-satunya yang kuberitahukan padamu." 

Mila menunjuk ke belakangku. Reflek aku berbalik dan melihatnya berdiri tegap di belakangku. Ia membelakangiku dan melihat pemandangan kota dari atas dengan helaan napas berat yang panjang. Tangan kanannya memegang koper hitam, menandakan ia memang benar-benar akan pergi sesuai perkataannya kemarin. Ia memakai tuxedo biru dan celana kain panjang hitam, lengkap dengan sepatu hitam yang mengkilat. 

Aku tahu, aku kemarin terlalu terkejut mendengar setiap pernyataannya yang mendadak. Sehingga membuatku hilang kendali dan pergi begitu saja. 

Tetapi sekarang, aku tahu, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Bukan karena aku egois, tapi hatiku sepertinya juga tidak mampu menanggung beban ini terlalu lama. Apalagi berpisah Jerman-Indonesia adalah jarak yang cukup jauh sehingga aku akan kesulitan mendapatkan kesempatan lain. 

Perlahan, aku melangkahkan kakiku mendekat. Aku menarik napas panjang dan mengatur ritme jantungku agar bisa berkata dengan jelas dan tepat. 

"Pemandangan di sini cukup indah, tetapi sayang akhirnya kamu mengetahuinya." Kataku lembut. 

Zevran seketika membalikkan badan dan menoleh ke arahku. Aku langsung melemparkan senyum. 

"Kamu di sini?" Tanyanya. 

"Yes. And I got surprise from Mila that you come here too. Bagaimana aku bisa melewatkan kesempatan ini di saat kamu juga akhirnya tahu tempat persembunyianku dari Mila?" 

Ya. Tempat ini adalah sebuah tebing tinggi di kotaku, sekitar 1 jam dari pusat kota. Tempatnya sangat sepi dan sangat jarang orang ke sini. Aku memberitahu Mila 2 bulan yang lalu kalau aku sering ke sini saat aku sedang ingin sendiri dan merasa capek dengan dunia. Dan tak kusangka, Mila memberitahu Zevran hari ini dan mereka datang ke sini.

"A-a-aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan saja." Jawabnya terbata-bata. 

Aku mengangguk. "Zev, benarkah kamu akan pergi?" 

Ia mengangguk cepat. "Kurasa tempat ini akan menjadi saksi kita bahwa aku akan pergi. Awalnya aku ke sini hanya ingin mengucapkan selamat tinggal pada tempat favoritmu. Tak kusangka takdir membawaku bertemu kamu sekali lagi. Mungkin aku harus mengucapkan perpisahan padamu dan juga tempat kesukaanmu." 

"Aku tidak akan memaksamu tinggal atau meneriakimu seperti kemarin, Zev. Aku tahu bahwa aku tidak punya hak atas hidupmu. Tapi izinkan aku memberimu jawaban atas pertanyaanmu empat bulan yang lalu di pesta kolegamu." Jawabku setenang mungkin. 

Zevran nampak terkejut mendengar perkataanku. 

"Zev," ucapku memulai jawabanku. 

"Jawabanku ini hanya akan kamu dengarkan sekali. Benar-benar sekali. Maka kamu harus mendengarkannya dengan seksama. Dan aku harap kamu akan mengerti keputusanku, Zev." Sambungku. 

Zevran menatapku lekat. 

"Jawabanku..." jawabku menggantung. 

Hening. Seakan-akan dunia juga mendukungku untuk membuat sedikit drama pada momen seperti ini. 

"Aku adalah raga pada cinta yang telah kau embuskan dengan tulus, Zev. Aku akan menjadi telentang sama makan abu, tengkurap sama makan tanah." 

"Hah? Maksudnya?" Matanya membelalak keheranan. 

"Silakan cari artinya, Zev. Temui aku lagi jika kamu sudah berhasil menemukan artinya. Karena itu adalah jawabanku." Jawabku dengan senyum simpul. 

"Rain." Ucapnya tertahan melihatku berlalu. 

Sementara Mila hanya melongo menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Zevran. Alih-alih memberikan jawaban langsung, aku malah memberikan jawaban yang membuat kepala orang pusing. 

Tapi aku tak peduli itu. Aku tersenyum dan lega telah memberikan jawaban untuk Zevran. Setidaknya, meski dia nanti terlambat menyadarinya, dia telah tahu perasaanku yang sesungguhnya. 

Mengenai peribahasa itu, ah aku sendiri tak mau ambil pusing. Biarkan Zevran mencarinya sampai ketemu. 

Langkahku hari ini bagiku terasa ringan, ditemani dengan merah senja yang menari-nari di ufuk barat. 

Aku mengambil headset-ku dan mendengarkan sebuah lagu yang mewakili perasaanku hari ini. 

~Sesi Lagu Dimulai~ 

Heart beats fast

Colors and promises

How to be brave?

How can I love when I'm afraid to fall?

But watching you stand alone

All of my doubt suddenly goes away somehow

One step closer

I have died every day waiting for you

Darling, don't be afraid

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

Time stands still

Beauty in all she is

I will be brave

I will not let anything take away

What's standing in front of me

Every breath

Every hour has come to this

One step closer

I have died every day waiting for you

Darling, don't be afraid

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

And all along I believed I would find you

Time has brought your heart to me

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

One step closer

One step closer

I have died every day waiting for you

Darling don't be afraid

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

And all along I believed I would find you

Time has brought your heart to me

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

 

-Christina Perri, A Thousand Years- 

 

~Sesi Lagu Berakhir~ 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diary Rain   Part 32 - Neraka (2)

    Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan

  • Diary Rain   Part 31 - Neraka (1)

    Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.

  • Diary Rain   Part 30 - Bangkit

    Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber

  • Diary Rain   Part 29 - Persiapan

    "Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.

  • Diary Rain   Part 28 - Dua Hati yang Kembali

    Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men

  • Diary Rain   Part 27 - Masih Ragu

    Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status