Apakah lukamu begitu dalam sehingga kau tak bisa melihatku?
Apakah aku tak cukup berhasil untuk membuatmu jatuh cinta padaku?Lihatlah sejenak, Rain. Lihatlah aku. Akulah pelangi yang kau tunggu setelah hujan malam itu. Lihatlah. Meski aku tak bisa sepenuhnya menghapus luka itu, setidaknya warna baru hadir dalam hidupmu. Jangan menjadi bintang di malam kelabu, terlihat dekat, namun sangat sulit kugapai...~(Zevran Abraham Radjoan)~"Zevran." Ucapku lirih.
Mila cuma melongo. Sedangkan aku segera berdiri dan mendekati Zevran.
"Kamu mengikutiku lagi?" Tanyaku.
Zevran hanya mengangguk kecil, mirip anak kecil. Aku tersenyum dan langsung memeluknya. Jujur, aku refleks memeluknya. Entah kenapa, hatiku berbunga-bunga melihat segala sesuatu yang ia perbuat selama ini untukku.
"Kamu gak perlu begitu, Zev. Aku pasti aman kok." Kataku.
"Kau tahu, aku tak pernah membiarkanmu sendiri bersama hujan." Ucapnya lirih.
Aku segera melepaskan pelukanku dan menatapnya lekat. Tanganku kukalungkan ke lehernya. Mata hazelnya yang menarik menjadi pusat perhatianku. Aku selalu begini. Berusaha mencari kejujuran di setiap tatapan mata seseorang. Meski aku tahu bahwa setiap hujan dia selalu mengatakannya, tapi aku selalu mencari kebohongan itu di matanya. Dan hasilnya selalu sama. Dia selalu jujur setiap kali mengatakannya. Aku menjadi merasa bersalah tiap kali mengetahuinya. Itu sama saja aku mengetahui ketulusan hatinya, namun aku meragukannya.
Terkadang aku berpikir, apakah persahabatanku dengan Zevran belum cukup untuk mengetahui kebaikan dan ketulusan hatinya? Apakah Zevran mungkin saja berbohong dan tidak tulus? Tidak. Aku tidak berpikiran seperti itu. Itu bukan salah Zevran. Itu salahku. Catat, itu kesalahanku.
Kalau saja 14 tahun yang lalu aku tidak mengalami tragedi yang mengakibatkan trauma seperti ini, aku takkan pernah seperti ini. Meragukan semua orang, bahkan sahabatku sendiri. Seakan-akan aku ingin mengutuk diriku beserta nasibku.
Sekilas kemudian aku ingat bahwa aku tidak boleh membiarkan Zevran terus seperti ini. Kehidupan dia dan aku berbeda. Jangan sampai masalahku menjadi beban bagi kehidupan Zevran.
"Zev, kumohon jangan seperti ini lagi." Ucapku.
Mata Zevran langsung membulat.
"Stop, biarkan saja seperti ini, Rain. Kau tahu aku tak akan mau mendengarmu tentang hal ini." Ucapnya dengan nada tersinggung.
Dan kalau sudah seperti ini, aku akhirnya hanya bisa menghela napas kasar. Menghadapi pria keras kepala seperti Zevran memang melelahkan. Bukan apa-apa, aku hanya takut ia sakit. Aku takkan mungkin membiarkan orang lain sakit karena diriku.
"Ehm."
Astaga. Aku sampai lupa kalau Mila sedang bersamaku. Aku segera menoleh dan mendapati dirinya tengah tersenyum jahil padaku.
Aku memutar bola mataku. Melihat Mila yang seperti ini, aku jadi paranoid sendiri. Ia pasti akan mulai mengolok-olokku. Yang dia tahu, aku tak pernah punya sahabat lelaki, apalagi sampai dekat dengan seorang lelaki. Tapi kali ini, ia malah melihatku dengan Zevran. Oh God, let me fly away.
Mila segera mendekat ke arahku.
"Besok, lo harus menjelaskan sama gue siapa lelaki tampan ini." Bisiknya pelan.
Aku menelan ludah. Menjelaskan pada Mila sama saja dengan menjelaskan bahwa aku punya hubungan spesial dengan Zevran. Mila takkan percaya kalau aku memang hanya bersahabat dengan Zevran.
Tapi semoga saja dia gak aneh-aneh, batinku.
"Hai, gue Mila." Sapa Mila pada Zevran sambil mengulurkan tangannya.
"Zevran." Jawab Zevran sambil menjabat tangan Mila.
"Gue gak pernah tahu lo. Lo siapanya Rain? Kok kayaknya kalian deket banget." Tanya Mila tanpa basa-basi.
Kalau sekarang gak hujan, mungkin aku lebih memilih lari meninggalkan mereka berdua. Mila benar-benar membuatku malu.
"Aku sahabatnya." Jawab Zevran singkat.
Dan aku melihat Mila ber-O ria. Gila, aku bisa gila kalau begini lama-lama.
"Zev, aku pulang dulu sama Mila ya? Udah malam. Lagian kasihan Mila. Dia pasti udah kedinginan." Kataku sambil menggandeng tangan Mila dan berniat menjauh. Tak kupedulikan Mila yang menatapku tajam dan ingin berontak.
Namun belum sempat beranjak, sebuah tangan kekar menahanku."Tunggu, kalian berdua aku antar." Jawab Zevran. "Dan tanpa penolakan." sambungnya.
Kulihat Mila tersenyum senang melihatku manyun karena permintaan Zevran itu.
Nampaknya kau benar-benar berhasil, Mil, batinku.
"Sabar saja, nona Rain. Pangeran kita sedang membawa mobilnya ke sini." Kata Mila dengan gayanya.
Aku menjitak kepalanya.
"Aduh, kenapa lo menjitak kepala gue, sih?" Dengusnya kesal. Tangannya mengusap-usap kepalanya.
"Lo itu bisa gak sih gak bikin gue malu, Mil? Ih." Sahutku bersungut-sungut.
Mila hanya terkekeh pelan.
***
Aku segera turun dari mobil mewahnya Zevran yang entah apa namanya. Aku tak tahu dan tak mau tahu merknya. Saat tahu harganya yang selangit itu membuatku bergidik ngeri. Bagaimana bisa para lelaki sukses seperti Zevran senang dengan mobil yang harganya sama dengan gajiku seumur hidup? Aku tak bisa mengerti jalan pikiran mereka. Dan jujur, aku tak tertarik.
"Thanks, Zev." Ucapku.
Dia tersenyum. "Besok kamu kujemput jam 8 malam. Dandan yang cantik."
"Hah?" Aku sangat terkejut. "Memang kita mau kemana, Zev?" Tanyaku.
Zevran mengajakku? Dan kau tahu, ini pertama kalinya.
"Bersiap sajalah, Rain. Anggap saja sebagai imbalanku karena selalu menemanimu setiap hujan turun." Jawabnya.
Belum sempat aku bertanya lagi, dia sudah memacu mobilnya memasuki garasi rumahnya dan menutup pintunya dengan segera.
Aku pun mendengus kesal. Setidaknya ia harus memberitahuku, bukan menghindar seperti itu.
Aku memandang rumah minimalis berlantai dua itu dengan kesal. Rumah milik Zevran. Tepat berada di depan rumah kontrakanku. Dulunya aku sempat tidak tahu rumah siapa itu, tapi begitu tahu itu rumah Zevran, aku sangat senang pada awalnya.
Namun, siapa sangka rasa senang itu berubah menjadi rasa bersalah. Dengan menjadi tetangganya, dia akhirnya mengetahui kebiasaanku kala hujan. Dan secara tak langsung, aku menyeretnya dalam setiap cerita kehidupanku. Dan aku merasa tak nyaman dengan hal itu.
Menyusahkan orang lain, apalagi yang berhati baik seperti Zevran, bagiku seperti sebuah tamparan keras. Aku ingat kalau waktu itu Zevran membatalkan meetingnya yang amat penting dengan kliennya dari Singapura saat melihat hujan turun. Ia tahu kalau hujan turun, apapun yang terjadi aku akan tetap hujan-hujanan. Dan ia pun menemaniku, yang entah bagaimana dia selalu tahu dimana aku berada saat hujan. Hasilnya, ia gagal bekerja sama dengan perusahaan asing itu. Aku merasa bersalah sekali waktu itu. Seorang CEO perusahaan besar seperti Zevran tentunya tak boleh seperti itu. Namun nyatanya, dia melakukannya. Demi aku, sahabatnya yang tak tahu diri ini.
Ya, Zevran adalah seorang pemilik perusahaan terbesar kedua di Asia saat ini. Padahal umurnya baru menginjak 26 tahun. Aku tak pernah menyangka bahwa Zevran cilik yang dulu kukenal di sebuah panti asuhan, seorang anak yatim piatu yang sama dan senasib denganku, kini telah menjadi seorang CEO perusahaan besar dan itu karena usahanya sendiri. Padahal perusahaan itu belum genap berusia 3 tahun. Berbeda denganku yang hanya seorang pegawai keuangan sebuah perusahaan. Jujur, aku kagum padanya.
Dulu aku sempat bertanya, apa rahasianya. Dan dia cuma menjawab singkat. Proposal yang menarik dan kemampuan melobi. Ya, aku tahu ia tidak punya modal untuk mendirikan perusahaan itu, namun kepintarannya memang menjadi modal utama. Aku ingat bahwa dulu ia bisa merebut sebuah beasiswa full pendidikan hingga SMA. Dan setelah SMA, ia kembali meraih beasiswa kuliah ke luar negeri. Aku waktu itu tak berpikir jauh. Siapa sih yang berpikir anak yatim piatu bisa sukses? Itu pemikiranku dulu. Makanya aku hanya tamat S1 dalam negeri dengan nilai yang biasa-biasa saja. Bahkan uang untuk biaya pendidikan kuliah itu kudapat karena aku bekerja. Pihak yayasan panti memang hanya membiayai hingga tamat SMA. Jadi aku kuliah setelah bekerja dulu selama setahun. Buatku, yang penting aku bisa lulus dan segera bekerja.
Namun, demi melihatnya sukses sekarang, aku tahu kenapa dulu ia begitu menggebu-gebu belajar di panti asuhan dan meraih semua beasiswa itu. Tanpa sadar aku tersenyum mengingat hal itu.
Drrrtt... Drrrttt...
Ponselku bergetar dan aku segera menjawab panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelpon.
"Halo."
"Halo, Nona Rain."
Seketika mataku membulat. Suara itu? Zevran!
Apa yang dia lakukan? Kenapa menelponku?
"Aku tak mempermasalahkan kalau kau kagum pada rumahku, tapi apakah kau lupa bahwa ini sudah malam dan hujan sudah berhenti? Masuklah ke rumahmu. Aku tak tega membiarkanmu berdiri di seberang jalan dan menatap rumahku seperti singa kelaparan itu." Jawabnya sambil terkekeh.
Dan aku pun menyadari bahwa aku telah berdiri di sini sejak dia menurunkanku dari mobil tadi. Dan bodohnya, aku malah memandangi rumah Zevran.
Tuhan, buat aku tidur sekarang juga. Aku malu.
"Bukan urusanmu!" Jawabku kesal. Aku segera mematikan panggilan itu. Aku melihat ke lantai dua dan kudapati Zevran tengah melambai ke arahku dari jendela kamarnya yang terbuka. Ia tersenyum.
Aku segera berlari memasuki rumahku sebelum pipiku memerah. Zevran benar-benar iseng sekali padaku. Dan aku juga bodoh sekali.
Zevran masih memandangi rumahku, meskipun aku telah masuk rumah beberapa jam yang lalu. Aku sudah mengganti pakaianku yang basah dengan yang kering. Awalnya aku mau langsung tidur, namun saat melihat bayangan Zevran dari jendela kamarnya, aku mengurungkan niatku sejenak. Aku bisa melihatnya dari balik jendela kamarku. Meski tertutup tirai, aku bisa melihat bayangannya dengan jelas.
Apa yang sedang kau lakukan, Zev?, batinku.
Orang bilang cinta itu datang tiba-tiba. Dan aku percaya. Aku mengalaminya. Tapi hatiku juga sakit. Sakit melihatnya bersama orang lain sesaat setelah pertemuan kedua. Apakah kalian percaya bahwa hubungan antara seorang pria dan wanita itu murni sahabat? Ingatlah perkataanku, bahwa hujan dan pelangi itu sepasang kekasih. Yang hadir dan saling melengkapi, walau hanya sesaat. Begitu pula dengan seorang pria dan wanita... ~(Sean Reynald Tanubradja)~ "Lo kok murung sih, Rain?" Tanya Arina yang sukses membuatku tergagap. Melihat reaksiku, Arina langsung tertawa terbahak-bahak. "Cie, yang lagi jatuh cinta." "Hah?" Teriakku terkejut. Sontak saja Arina langsung menutup mulutku dengan tangannya. "Jangan keras-keras. Ini kantor, Rain." Aku mengangguk dan Arina melepaskan
Alam seakan mendekatkan kami berdua. Jujur saja, aku tak memiliki rasa itu. Tapi apakah benar begitu? Semua yang dilakukannya tampak nyata. Tapi merapuhkan jiwaku, secara perlahan... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Di sinilah aku. Berdesak-desakan dengan pengunjung lain di sebuah mall besar di kotaku ini bersama dua orang sahabat terbaikku. Dan tebak, apa yang terjadi sebelum ini? Benar sekali. Mila dengan polosnya mengatakan tujuannya tanpa sempat kucegah. Dan itu terjadi di foodcourt tadi. Zevran langsung tertawa lepas dan aku hanya menunduk malu. Awas saja kau, Mila, batinku. "Bisakah kita berhenti sebentar? Aku capek. Dan jujur saja, aku ingin pulang." ucapku saat kami bertiga sudah sampai di lantai atas mall itu. Dan tentu saja setelah lepas dari desa
Aku tak bermaksud melukaimu, sama sekali. Aku hanya ingin menyadarkanmu, ingin memberitahumu, bahwa meskipun aku orang baru di hidupmu, tetapi aku juga berhak mencintaimu. Meski aku tahu hatimu bukan untukku, tapi setidaknya berilah aku waktu, buka saja sedikit jalan, aku ingin merengkuh indahnya cinta itu. Bersamamu... ~(Sean Reynald Tanubraja)~ "Apa yang kau lakukan?" teriakku saat aku berhasil lepas dari cengkraman pria itu. Kami sekarang berada di parkiran mobil. Aku melihat pergelangan tanganku yang baru saja dicengkram olehnya. Pergelangan tanganku nampak memerah karena kuatnya cengkraman pria itu. Rasanya lumayan panas. Namun, bukan itu fokus utamaku, tapi pria yang sekarang berada di hadapanku ini. Tatapannya serasa menusukku. Namun, aku tidak peduli.
Kita tidak pernah tahu hati kita akan berlabuh kepada siapa. Yang pasti aku mengetahui satu hal, aku ingin sembuh dari trauma dan luka masa lalu dengan mempercayai cinta. Dan dengan cinta, aku ingin melabuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku hanya berusaha membuka hatiku pada orang lain, selebihnya akan kupasrahkan. Biarkan hati yang memilih jalan pulangnya... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Seminggu setelah kejadian di pesta itu. Seminggu pula setelah aku memasakkan makanan untuk Zevran. Selama seminggu itulah Sean tidak lagi menampakkan dirinya di hadapanku. Dan selama seminggu itulah aku tidak bisa bertemu dengan Zevran. Kalau harus jujur, itu semua terasa berat di hatiku. Pertama, Sean. Dia entah kenapa tidak terlihat di kantor selama seminggu ini. Sebenarnya ak
Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram.... ~Zevran Abraham Radjoan~ "Kau gila, Sean!" teriakku kepada Sean. Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan. "Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa. Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu. "Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!"
Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu. ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan matak
Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu. Hening. Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. "Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki d
Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, sepert