Beranda / Romansa / Diary Rain / Part 3 - Aku dan Zevran

Share

Part 3 - Aku dan Zevran

Penulis: Pyp Raesland
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-06 14:14:07

Apakah lukamu begitu dalam sehingga kau tak bisa melihatku?

Apakah aku tak cukup berhasil untuk membuatmu jatuh cinta padaku?

Lihatlah sejenak, Rain. Lihatlah aku. Akulah pelangi yang kau tunggu setelah hujan malam itu. Lihatlah. Meski aku tak bisa sepenuhnya menghapus luka itu, setidaknya warna baru hadir dalam hidupmu. Jangan menjadi bintang di malam kelabu, terlihat dekat, namun sangat sulit kugapai...

~(Zevran Abraham Radjoan)~

Aku menoleh dan mendapati seorang pria menatap ke arahku dan Mila. Seluruh tubuhnya basah dan rambutnya yang kecoklatan berantakan. Tubuhnya tegap. Dan ia menatapku sendu.

"Zevran." Ucapku lirih.

Mila cuma melongo. Sedangkan aku segera berdiri dan mendekati Zevran.

"Kamu mengikutiku lagi?" Tanyaku.

Zevran hanya mengangguk kecil, mirip anak kecil. Aku tersenyum dan langsung memeluknya. Jujur, aku refleks memeluknya. Entah kenapa, hatiku berbunga-bunga melihat segala sesuatu yang ia perbuat selama ini untukku.

"Kamu gak perlu begitu, Zev. Aku pasti aman kok." Kataku.

"Kau tahu, aku tak pernah membiarkanmu sendiri bersama hujan." Ucapnya lirih.

Aku segera melepaskan pelukanku dan menatapnya lekat. Tanganku kukalungkan ke lehernya. Mata hazelnya yang menarik menjadi pusat perhatianku. Aku selalu begini. Berusaha mencari kejujuran di setiap tatapan mata seseorang. Meski aku tahu bahwa setiap hujan dia selalu mengatakannya, tapi aku selalu mencari kebohongan itu di matanya. Dan hasilnya selalu sama. Dia selalu jujur setiap kali mengatakannya. Aku menjadi merasa bersalah tiap kali mengetahuinya. Itu sama saja aku mengetahui ketulusan hatinya, namun aku meragukannya.

Terkadang aku berpikir, apakah persahabatanku dengan Zevran belum cukup untuk mengetahui kebaikan dan ketulusan hatinya? Apakah Zevran mungkin saja berbohong dan tidak tulus? Tidak. Aku tidak berpikiran seperti itu. Itu bukan salah Zevran. Itu salahku. Catat, itu kesalahanku.

Kalau saja 14 tahun yang lalu aku tidak mengalami tragedi yang mengakibatkan trauma seperti ini, aku takkan pernah seperti ini. Meragukan semua orang, bahkan sahabatku sendiri. Seakan-akan aku ingin mengutuk diriku beserta nasibku.

Sekilas kemudian aku ingat bahwa aku tidak boleh membiarkan Zevran terus seperti ini. Kehidupan dia dan aku berbeda. Jangan sampai masalahku menjadi beban bagi kehidupan Zevran.

"Zev, kumohon jangan seperti ini lagi." Ucapku.

Mata Zevran langsung membulat.

"Stop, biarkan saja seperti ini, Rain. Kau tahu aku tak akan mau mendengarmu tentang hal ini." Ucapnya dengan nada tersinggung.

Dan kalau sudah seperti ini, aku akhirnya hanya bisa menghela napas kasar. Menghadapi pria keras kepala seperti Zevran memang melelahkan. Bukan apa-apa, aku hanya takut ia sakit. Aku takkan mungkin membiarkan orang lain sakit karena diriku.

"Ehm."

Astaga. Aku sampai lupa kalau Mila sedang bersamaku. Aku segera menoleh dan mendapati dirinya tengah tersenyum jahil padaku.

Aku memutar bola mataku. Melihat Mila yang seperti ini, aku jadi paranoid sendiri. Ia pasti akan mulai mengolok-olokku. Yang dia tahu, aku tak pernah punya sahabat lelaki, apalagi sampai dekat dengan seorang lelaki. Tapi kali ini, ia malah melihatku dengan Zevran. Oh God, let me fly away.

Mila segera mendekat ke arahku.

"Besok, lo harus menjelaskan sama gue siapa lelaki tampan ini." Bisiknya pelan.

Aku menelan ludah. Menjelaskan pada Mila sama saja dengan menjelaskan bahwa aku punya hubungan spesial dengan Zevran. Mila takkan percaya kalau aku memang hanya bersahabat dengan Zevran.

Tapi semoga saja dia gak aneh-aneh, batinku.

"Hai, gue Mila." Sapa Mila pada Zevran sambil mengulurkan tangannya.

"Zevran." Jawab Zevran sambil menjabat tangan Mila.

"Gue gak pernah tahu lo. Lo siapanya Rain? Kok kayaknya kalian deket banget." Tanya Mila tanpa basa-basi.

Kalau sekarang gak hujan, mungkin aku lebih memilih lari meninggalkan mereka berdua. Mila benar-benar membuatku malu.

"Aku sahabatnya." Jawab Zevran singkat.

Dan aku melihat Mila ber-O ria. Gila, aku bisa gila kalau begini lama-lama.

"Zev, aku pulang dulu sama Mila ya? Udah malam. Lagian kasihan Mila. Dia pasti udah kedinginan." Kataku sambil menggandeng tangan Mila dan berniat menjauh. Tak kupedulikan Mila yang menatapku tajam dan ingin berontak.

Namun belum sempat beranjak, sebuah tangan kekar menahanku.

"Tunggu, kalian berdua aku antar." Jawab Zevran. "Dan tanpa penolakan." sambungnya.

Kulihat Mila tersenyum senang melihatku manyun karena permintaan Zevran itu.

Nampaknya kau benar-benar berhasil, Mil, batinku.

"Sabar saja, nona Rain. Pangeran kita sedang membawa mobilnya ke sini." Kata Mila dengan gayanya.

Aku menjitak kepalanya.

"Aduh, kenapa lo menjitak kepala gue, sih?" Dengusnya kesal. Tangannya mengusap-usap kepalanya.

"Lo itu bisa gak sih gak bikin gue malu, Mil? Ih." Sahutku bersungut-sungut.

Mila hanya terkekeh pelan.

***

Aku segera turun dari mobil mewahnya Zevran yang entah apa namanya. Aku tak tahu dan tak mau tahu merknya. Saat tahu harganya yang selangit itu membuatku bergidik ngeri. Bagaimana bisa para lelaki sukses seperti Zevran senang dengan mobil yang harganya sama dengan gajiku seumur hidup? Aku tak bisa mengerti jalan pikiran mereka. Dan jujur, aku tak tertarik.

"Thanks, Zev." Ucapku.

Dia tersenyum. "Besok kamu kujemput jam 8 malam. Dandan yang cantik."

"Hah?" Aku sangat terkejut. "Memang kita mau kemana, Zev?" Tanyaku.

Zevran mengajakku? Dan kau tahu, ini pertama kalinya.

"Bersiap sajalah, Rain. Anggap saja sebagai imbalanku karena selalu menemanimu setiap hujan turun." Jawabnya.

Belum sempat aku bertanya lagi, dia sudah memacu mobilnya memasuki garasi rumahnya dan menutup pintunya dengan segera.

Aku pun mendengus kesal. Setidaknya ia harus memberitahuku, bukan menghindar seperti itu.

Aku memandang rumah minimalis berlantai dua itu dengan kesal. Rumah milik Zevran. Tepat berada di depan rumah kontrakanku. Dulunya aku sempat tidak tahu rumah siapa itu, tapi begitu tahu itu rumah Zevran, aku sangat senang pada awalnya.

Namun, siapa sangka rasa senang itu berubah menjadi rasa bersalah. Dengan menjadi tetangganya, dia akhirnya mengetahui kebiasaanku kala hujan. Dan secara tak langsung, aku menyeretnya dalam setiap cerita kehidupanku. Dan aku merasa tak nyaman dengan hal itu.

Menyusahkan orang lain, apalagi yang berhati baik seperti Zevran, bagiku seperti sebuah tamparan keras. Aku ingat kalau waktu itu Zevran membatalkan meetingnya yang amat penting dengan kliennya dari Singapura saat melihat hujan turun. Ia tahu kalau hujan turun, apapun yang terjadi aku akan tetap hujan-hujanan. Dan ia pun menemaniku, yang entah bagaimana dia selalu tahu dimana aku berada saat hujan. Hasilnya, ia gagal bekerja sama dengan perusahaan asing itu. Aku merasa bersalah sekali waktu itu. Seorang CEO perusahaan besar seperti Zevran tentunya tak boleh seperti itu. Namun nyatanya, dia melakukannya. Demi aku, sahabatnya yang tak tahu diri ini.

Ya, Zevran adalah seorang pemilik perusahaan terbesar kedua di Asia saat ini. Padahal umurnya baru menginjak 26 tahun. Aku tak pernah menyangka bahwa Zevran cilik yang dulu kukenal di sebuah panti asuhan, seorang anak yatim piatu yang sama dan senasib denganku, kini telah menjadi seorang CEO perusahaan besar dan itu karena usahanya sendiri. Padahal perusahaan itu belum genap berusia 3 tahun. Berbeda denganku yang hanya seorang pegawai keuangan sebuah perusahaan. Jujur, aku kagum padanya.

Dulu aku sempat bertanya, apa rahasianya. Dan dia cuma menjawab singkat. Proposal yang menarik dan kemampuan melobi. Ya, aku tahu ia tidak punya modal untuk mendirikan perusahaan itu, namun kepintarannya memang menjadi modal utama. Aku ingat bahwa dulu ia bisa merebut sebuah beasiswa full pendidikan hingga SMA. Dan setelah SMA, ia kembali meraih beasiswa kuliah ke luar negeri. Aku waktu itu tak berpikir jauh. Siapa sih yang berpikir anak yatim piatu bisa sukses? Itu pemikiranku dulu. Makanya aku hanya tamat S1 dalam negeri dengan nilai yang biasa-biasa saja. Bahkan uang untuk biaya pendidikan kuliah itu kudapat karena aku bekerja. Pihak yayasan panti memang hanya membiayai hingga tamat SMA. Jadi aku kuliah setelah bekerja dulu selama setahun. Buatku, yang penting aku bisa lulus dan segera bekerja.

Namun, demi melihatnya sukses sekarang, aku tahu kenapa dulu ia begitu menggebu-gebu belajar di panti asuhan dan meraih semua beasiswa itu. Tanpa sadar aku tersenyum mengingat hal itu.

Drrrtt... Drrrttt...

Ponselku bergetar dan aku segera menjawab panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelpon.

"Halo."

"Halo, Nona Rain."

Seketika mataku membulat. Suara itu? Zevran!

Apa yang dia lakukan? Kenapa menelponku?

"Aku tak mempermasalahkan kalau kau kagum pada rumahku, tapi apakah kau lupa bahwa ini sudah malam dan hujan sudah berhenti? Masuklah ke rumahmu. Aku tak tega membiarkanmu berdiri di seberang jalan dan menatap rumahku seperti singa kelaparan itu." Jawabnya sambil terkekeh.

Dan aku pun menyadari bahwa aku telah berdiri di sini sejak dia menurunkanku dari mobil tadi. Dan bodohnya, aku malah memandangi rumah Zevran.

Tuhan, buat aku tidur sekarang juga. Aku malu.

"Bukan urusanmu!" Jawabku kesal. Aku segera mematikan panggilan itu. Aku melihat ke lantai dua dan kudapati Zevran tengah melambai ke arahku dari jendela kamarnya yang terbuka. Ia tersenyum.

Aku segera berlari memasuki rumahku sebelum pipiku memerah. Zevran benar-benar iseng sekali padaku. Dan aku juga bodoh sekali.

Zevran masih memandangi rumahku, meskipun aku telah masuk rumah beberapa jam yang lalu. Aku sudah mengganti pakaianku yang basah dengan yang kering. Awalnya aku mau langsung tidur, namun saat melihat bayangan Zevran dari jendela kamarnya, aku mengurungkan niatku sejenak. Aku bisa melihatnya dari balik jendela kamarku. Meski tertutup tirai, aku bisa melihat bayangannya dengan jelas.

Apa yang sedang kau lakukan, Zev?, batinku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Diary Rain   Part 32 - Neraka (2)

    Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan

  • Diary Rain   Part 31 - Neraka (1)

    Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.

  • Diary Rain   Part 30 - Bangkit

    Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber

  • Diary Rain   Part 29 - Persiapan

    "Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.

  • Diary Rain   Part 28 - Dua Hati yang Kembali

    Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku. Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif. Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun. Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga. Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu. Aku lantas men

  • Diary Rain   Part 27 - Masih Ragu

    Rain POV Aku terduduk lemas di sudut kamar inapku setelah Zevran melenggang keluar dari kamarku. Sejenak pikiranku kembali melayang ke hari pertama aku pergi dari hidupnya. -Flashback Dimulai- "Tapi nyonya..." sahutku terpotong. "Kamu tidak usah banyak tapi. Tinggal pilih! Mau Zevran mati di tanganku atau kau tinggalkan dia dan mengabdikan diri kepadaku." Jawab Tamara dengan suara penuh penekanan. "Apa alasan Anda begitu jahat padaku, hah?" Aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diriku. Ia pasti tahu bahwa nada suaraku sudah lumayan tinggi dan cukup kesal. Tetapi aku lupa bahwa ia adalah Tamara Dhananjaya yang begitu kuat dan bukan tandinganku. "Kamu masih bertanya? Ingat, perempuan jalang! Nina, istri Bhaskara, hampir bunuh diri karena Bhaskara terus memikirkanmu. Kau pikir aku tidak akan membalas dendam karenanya? Dia bahk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status