Share

Part 3 - Aku dan Zevran

Apakah lukamu begitu dalam sehingga kau tak bisa melihatku?

Apakah aku tak cukup berhasil untuk membuatmu jatuh cinta padaku?

Lihatlah sejenak, Rain. Lihatlah aku. Akulah pelangi yang kau tunggu setelah hujan malam itu. Lihatlah. Meski aku tak bisa sepenuhnya menghapus luka itu, setidaknya warna baru hadir dalam hidupmu. Jangan menjadi bintang di malam kelabu, terlihat dekat, namun sangat sulit kugapai...

~(Zevran Abraham Radjoan)~

Aku menoleh dan mendapati seorang pria menatap ke arahku dan Mila. Seluruh tubuhnya basah dan rambutnya yang kecoklatan berantakan. Tubuhnya tegap. Dan ia menatapku sendu.

"Zevran." Ucapku lirih.

Mila cuma melongo. Sedangkan aku segera berdiri dan mendekati Zevran.

"Kamu mengikutiku lagi?" Tanyaku.

Zevran hanya mengangguk kecil, mirip anak kecil. Aku tersenyum dan langsung memeluknya. Jujur, aku refleks memeluknya. Entah kenapa, hatiku berbunga-bunga melihat segala sesuatu yang ia perbuat selama ini untukku.

"Kamu gak perlu begitu, Zev. Aku pasti aman kok." Kataku.

"Kau tahu, aku tak pernah membiarkanmu sendiri bersama hujan." Ucapnya lirih.

Aku segera melepaskan pelukanku dan menatapnya lekat. Tanganku kukalungkan ke lehernya. Mata hazelnya yang menarik menjadi pusat perhatianku. Aku selalu begini. Berusaha mencari kejujuran di setiap tatapan mata seseorang. Meski aku tahu bahwa setiap hujan dia selalu mengatakannya, tapi aku selalu mencari kebohongan itu di matanya. Dan hasilnya selalu sama. Dia selalu jujur setiap kali mengatakannya. Aku menjadi merasa bersalah tiap kali mengetahuinya. Itu sama saja aku mengetahui ketulusan hatinya, namun aku meragukannya.

Terkadang aku berpikir, apakah persahabatanku dengan Zevran belum cukup untuk mengetahui kebaikan dan ketulusan hatinya? Apakah Zevran mungkin saja berbohong dan tidak tulus? Tidak. Aku tidak berpikiran seperti itu. Itu bukan salah Zevran. Itu salahku. Catat, itu kesalahanku.

Kalau saja 14 tahun yang lalu aku tidak mengalami tragedi yang mengakibatkan trauma seperti ini, aku takkan pernah seperti ini. Meragukan semua orang, bahkan sahabatku sendiri. Seakan-akan aku ingin mengutuk diriku beserta nasibku.

Sekilas kemudian aku ingat bahwa aku tidak boleh membiarkan Zevran terus seperti ini. Kehidupan dia dan aku berbeda. Jangan sampai masalahku menjadi beban bagi kehidupan Zevran.

"Zev, kumohon jangan seperti ini lagi." Ucapku.

Mata Zevran langsung membulat.

"Stop, biarkan saja seperti ini, Rain. Kau tahu aku tak akan mau mendengarmu tentang hal ini." Ucapnya dengan nada tersinggung.

Dan kalau sudah seperti ini, aku akhirnya hanya bisa menghela napas kasar. Menghadapi pria keras kepala seperti Zevran memang melelahkan. Bukan apa-apa, aku hanya takut ia sakit. Aku takkan mungkin membiarkan orang lain sakit karena diriku.

"Ehm."

Astaga. Aku sampai lupa kalau Mila sedang bersamaku. Aku segera menoleh dan mendapati dirinya tengah tersenyum jahil padaku.

Aku memutar bola mataku. Melihat Mila yang seperti ini, aku jadi paranoid sendiri. Ia pasti akan mulai mengolok-olokku. Yang dia tahu, aku tak pernah punya sahabat lelaki, apalagi sampai dekat dengan seorang lelaki. Tapi kali ini, ia malah melihatku dengan Zevran. Oh God, let me fly away.

Mila segera mendekat ke arahku.

"Besok, lo harus menjelaskan sama gue siapa lelaki tampan ini." Bisiknya pelan.

Aku menelan ludah. Menjelaskan pada Mila sama saja dengan menjelaskan bahwa aku punya hubungan spesial dengan Zevran. Mila takkan percaya kalau aku memang hanya bersahabat dengan Zevran.

Tapi semoga saja dia gak aneh-aneh, batinku.

"Hai, gue Mila." Sapa Mila pada Zevran sambil mengulurkan tangannya.

"Zevran." Jawab Zevran sambil menjabat tangan Mila.

"Gue gak pernah tahu lo. Lo siapanya Rain? Kok kayaknya kalian deket banget." Tanya Mila tanpa basa-basi.

Kalau sekarang gak hujan, mungkin aku lebih memilih lari meninggalkan mereka berdua. Mila benar-benar membuatku malu.

"Aku sahabatnya." Jawab Zevran singkat.

Dan aku melihat Mila ber-O ria. Gila, aku bisa gila kalau begini lama-lama.

"Zev, aku pulang dulu sama Mila ya? Udah malam. Lagian kasihan Mila. Dia pasti udah kedinginan." Kataku sambil menggandeng tangan Mila dan berniat menjauh. Tak kupedulikan Mila yang menatapku tajam dan ingin berontak.

Namun belum sempat beranjak, sebuah tangan kekar menahanku.

"Tunggu, kalian berdua aku antar." Jawab Zevran. "Dan tanpa penolakan." sambungnya.

Kulihat Mila tersenyum senang melihatku manyun karena permintaan Zevran itu.

Nampaknya kau benar-benar berhasil, Mil, batinku.

"Sabar saja, nona Rain. Pangeran kita sedang membawa mobilnya ke sini." Kata Mila dengan gayanya.

Aku menjitak kepalanya.

"Aduh, kenapa lo menjitak kepala gue, sih?" Dengusnya kesal. Tangannya mengusap-usap kepalanya.

"Lo itu bisa gak sih gak bikin gue malu, Mil? Ih." Sahutku bersungut-sungut.

Mila hanya terkekeh pelan.

***

Aku segera turun dari mobil mewahnya Zevran yang entah apa namanya. Aku tak tahu dan tak mau tahu merknya. Saat tahu harganya yang selangit itu membuatku bergidik ngeri. Bagaimana bisa para lelaki sukses seperti Zevran senang dengan mobil yang harganya sama dengan gajiku seumur hidup? Aku tak bisa mengerti jalan pikiran mereka. Dan jujur, aku tak tertarik.

"Thanks, Zev." Ucapku.

Dia tersenyum. "Besok kamu kujemput jam 8 malam. Dandan yang cantik."

"Hah?" Aku sangat terkejut. "Memang kita mau kemana, Zev?" Tanyaku.

Zevran mengajakku? Dan kau tahu, ini pertama kalinya.

"Bersiap sajalah, Rain. Anggap saja sebagai imbalanku karena selalu menemanimu setiap hujan turun." Jawabnya.

Belum sempat aku bertanya lagi, dia sudah memacu mobilnya memasuki garasi rumahnya dan menutup pintunya dengan segera.

Aku pun mendengus kesal. Setidaknya ia harus memberitahuku, bukan menghindar seperti itu.

Aku memandang rumah minimalis berlantai dua itu dengan kesal. Rumah milik Zevran. Tepat berada di depan rumah kontrakanku. Dulunya aku sempat tidak tahu rumah siapa itu, tapi begitu tahu itu rumah Zevran, aku sangat senang pada awalnya.

Namun, siapa sangka rasa senang itu berubah menjadi rasa bersalah. Dengan menjadi tetangganya, dia akhirnya mengetahui kebiasaanku kala hujan. Dan secara tak langsung, aku menyeretnya dalam setiap cerita kehidupanku. Dan aku merasa tak nyaman dengan hal itu.

Menyusahkan orang lain, apalagi yang berhati baik seperti Zevran, bagiku seperti sebuah tamparan keras. Aku ingat kalau waktu itu Zevran membatalkan meetingnya yang amat penting dengan kliennya dari Singapura saat melihat hujan turun. Ia tahu kalau hujan turun, apapun yang terjadi aku akan tetap hujan-hujanan. Dan ia pun menemaniku, yang entah bagaimana dia selalu tahu dimana aku berada saat hujan. Hasilnya, ia gagal bekerja sama dengan perusahaan asing itu. Aku merasa bersalah sekali waktu itu. Seorang CEO perusahaan besar seperti Zevran tentunya tak boleh seperti itu. Namun nyatanya, dia melakukannya. Demi aku, sahabatnya yang tak tahu diri ini.

Ya, Zevran adalah seorang pemilik perusahaan terbesar kedua di Asia saat ini. Padahal umurnya baru menginjak 26 tahun. Aku tak pernah menyangka bahwa Zevran cilik yang dulu kukenal di sebuah panti asuhan, seorang anak yatim piatu yang sama dan senasib denganku, kini telah menjadi seorang CEO perusahaan besar dan itu karena usahanya sendiri. Padahal perusahaan itu belum genap berusia 3 tahun. Berbeda denganku yang hanya seorang pegawai keuangan sebuah perusahaan. Jujur, aku kagum padanya.

Dulu aku sempat bertanya, apa rahasianya. Dan dia cuma menjawab singkat. Proposal yang menarik dan kemampuan melobi. Ya, aku tahu ia tidak punya modal untuk mendirikan perusahaan itu, namun kepintarannya memang menjadi modal utama. Aku ingat bahwa dulu ia bisa merebut sebuah beasiswa full pendidikan hingga SMA. Dan setelah SMA, ia kembali meraih beasiswa kuliah ke luar negeri. Aku waktu itu tak berpikir jauh. Siapa sih yang berpikir anak yatim piatu bisa sukses? Itu pemikiranku dulu. Makanya aku hanya tamat S1 dalam negeri dengan nilai yang biasa-biasa saja. Bahkan uang untuk biaya pendidikan kuliah itu kudapat karena aku bekerja. Pihak yayasan panti memang hanya membiayai hingga tamat SMA. Jadi aku kuliah setelah bekerja dulu selama setahun. Buatku, yang penting aku bisa lulus dan segera bekerja.

Namun, demi melihatnya sukses sekarang, aku tahu kenapa dulu ia begitu menggebu-gebu belajar di panti asuhan dan meraih semua beasiswa itu. Tanpa sadar aku tersenyum mengingat hal itu.

Drrrtt... Drrrttt...

Ponselku bergetar dan aku segera menjawab panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelpon.

"Halo."

"Halo, Nona Rain."

Seketika mataku membulat. Suara itu? Zevran!

Apa yang dia lakukan? Kenapa menelponku?

"Aku tak mempermasalahkan kalau kau kagum pada rumahku, tapi apakah kau lupa bahwa ini sudah malam dan hujan sudah berhenti? Masuklah ke rumahmu. Aku tak tega membiarkanmu berdiri di seberang jalan dan menatap rumahku seperti singa kelaparan itu." Jawabnya sambil terkekeh.

Dan aku pun menyadari bahwa aku telah berdiri di sini sejak dia menurunkanku dari mobil tadi. Dan bodohnya, aku malah memandangi rumah Zevran.

Tuhan, buat aku tidur sekarang juga. Aku malu.

"Bukan urusanmu!" Jawabku kesal. Aku segera mematikan panggilan itu. Aku melihat ke lantai dua dan kudapati Zevran tengah melambai ke arahku dari jendela kamarnya yang terbuka. Ia tersenyum.

Aku segera berlari memasuki rumahku sebelum pipiku memerah. Zevran benar-benar iseng sekali padaku. Dan aku juga bodoh sekali.

Zevran masih memandangi rumahku, meskipun aku telah masuk rumah beberapa jam yang lalu. Aku sudah mengganti pakaianku yang basah dengan yang kering. Awalnya aku mau langsung tidur, namun saat melihat bayangan Zevran dari jendela kamarnya, aku mengurungkan niatku sejenak. Aku bisa melihatnya dari balik jendela kamarku. Meski tertutup tirai, aku bisa melihat bayangannya dengan jelas.

Apa yang sedang kau lakukan, Zev?, batinku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status