Share

Part 4 - Aku dan Sean

Orang bilang cinta itu datang tiba-tiba. Dan aku percaya. Aku mengalaminya. Tapi hatiku juga sakit. Sakit melihatnya bersama orang lain sesaat setelah pertemuan kedua. Apakah kalian percaya bahwa hubungan antara seorang pria dan wanita itu murni sahabat? Ingatlah perkataanku, bahwa hujan dan pelangi itu sepasang kekasih. Yang hadir dan saling melengkapi, walau hanya sesaat. Begitu pula dengan seorang pria dan wanita...

~(Sean Reynald Tanubradja)~

"Lo kok murung sih, Rain?" Tanya Arina yang sukses membuatku tergagap.

Melihat reaksiku, Arina langsung tertawa terbahak-bahak. "Cie, yang lagi jatuh cinta."

"Hah?" Teriakku terkejut.

Sontak saja Arina langsung menutup mulutku dengan tangannya. "Jangan keras-keras. Ini kantor, Rain."

Aku mengangguk dan Arina melepaskan tangannya dari mulutku.

"Lo jangan macam-macam deh. Jangan sembarangan ngomong. Emang tahu dari mana? Gue aja gak pernah dekat sama cowok mana pun." Sanggahku.

"Gak pernah dekat sama cowok? Terus, pak Sean kemarin deketin lo apaan coba? Mana keliatannya kalian dekat lagi."

Pupil mataku langsung membesar? Pak Sean? Deketin aku? Bukannya pak Sean itu pemilik perusahaan ini?

"Jangan gila deh, Rin. Kemarin gak ada yang deketin gue kok." balasku.

Arina segera mendekatiku dan duduk di hadapanku. Tatapannya sukses membuatku canggung karena terkesan mengintimidasi, meski aku tahu Arina seserius itu.

"Aduh, kayaknya lo itu beneran pikun ya? Kemarin itu jelas-jelas pak Sean datangin meja lo terus ngasih bekal makanannya ke lo? Apa masih nyangkal lagi? Itu gosip udah nyebar satu perusahaan, Rain. Jangan ngelak napa!" jelas Arina sambil berdecak gemas.

Aku terbatuk-batuk. Memang wajar kan kalau aku terkejut?

"Beneran? Jadi yang kemarin itu pak Sean?"

"Lo itu memang pikun atau beneran gak tahu, sih?" Arina bersungut-sungut.

"Gue beneran gak tahu, Rin." ucapku sambil mengacungkan dua jariku membentuk huruf v.

"Jadi sekarang lo udah tahu, kan?" tanyanya.

Aku cuma mengangguk.

"Gimana? Ada debaran-debaran di hati lo?" tanya Arina sambil tersenyum jahil.

"Apaan sih, lo? Biasa aja." ucapku. Dan memang benar. Aku biasa saja dengan sikap pak Sean kemarin.

"Astaga, kayaknya gue perlu meriksain lo ke dokter mata deh. Denger ya, Rain. Pak Sean itu ganteng, masih muda, kaya lagi. Siapa wanita yang gak tertarik?" ucap Arina gemas.

"Gue." jawabku sambil mengacungkan jari.

"Gue bisa gila lama-lama." ujar Arina gemas. Ia segera beranjak pergi dengan wajah ditekuk.

Aku hanya tertawa melihat ekspresi Arina. Bagiku dia teman sekantor yang blak-blakan dan ekspresif. Berbeda dengan teman kantor kebanyakan yang justru main kucing-kucingan saat membicarakan teman sekantor mereka.

Namun, beberapa detik kemudian aku jadi teringat ucapan Arina. Aku murung dan aku jatuh cinta? Pada siapa? Pak Sean? Ah, tidak mungkin. Aku baru saja bertemu dengan dia kemarin. Pertemuan pertama. Dan aku biasa saja. Mana mungkin ada cinta pada pandangan pertama?

Aku teringat dengan perkataan beberapa teman sekantorku yang sudah menikah. Mereka bilang bahwa jatuh cinta bisa ditandai dengan jantung yang berdetak lebih cepat saat berada di dekat orang yang kita cintai. Apa itu benar? Jika benar demikian, aku selalu merasakan debaran keras saat berada di dekat Zevran, bukan dengan pak Sean. Tapi benarkah itu cinta? Apakah itu bukan hanya sekadar rasa sayangku kepada Zevran sebagai seorang sahabat? Entahlah. Aku benar-benar pusing jika memikirkan hal ini.

Aku melayangkan pandanganku kembali ke layar monitor. Saat akan mulai mengetik, tiba-tiba aku mencium aroma maskulin di dekatku.

Seperti aroma pria, pikirku.

Aku refleks menoleh dan mendapati seorang pria tengah berdiri di depan meja kerjaku. Aku melongo.

Sekejap kemudian aku sadar dan segera berdiri.

"Se-selamat siang, pak Sean!" ucapku patah-patah.

Tak ada ekspresi dalam wajah pemilik perusahaan itu. Astaga, orang ini.

"Lo belum makan, kan? Ikut gue makan, gimana?" tanyanya.

Nadanya terdengar sedikit memohon. Namun, mimik wajahnya tak berubah.

Tuhan, apakah pemilik perusahaan ini memang berwajah seperti ini? Apakah memang dia tidak pernah bisa berekspresi?

"Maaf, Pak." ucapku akhirnya. "Saya tidak bisa. Ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini juga."

Bohong? Aku tidak bohong. Memang banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sekarang. Lagipula, aku memang jarang sekali makan siang di kantor. Aku lebih suka berkutat dengan pekerjaanku daripada sekedar menghabiskan waktu untuk menikmati makanan kantor.

Sia-sia, begitu pemikiranku.

"Tapi, gue memaksa." ucapnya tegas.

Aku melotot. Bahasanya bahkan memakai lo-gue, bukannya saya Anda. Ini jelas bukan dalam ranah profesional antara bawahan dan atasan. Lalu, bagaimana bisa sebuah ajakan berubah menjadi perintah? Aku tidak habis pikir dengan pemikiran bosku yang satu ini.

"Tapi pak..."

Perkataanku terpotong karena tanganku langsung saja digandeng oleh pria aneh ini dan ia langsung membawaku menyususri koridor kantor. Membiarkan tatapan para rekan kerjaku yang keheranan sekaligus sinis.

"Pak, jangan bergandengan seperti ini. Tidak enak dilihat banyak orang." ucapku mengingatkan.

Namun sepertinya ucapanku tak direspon olehnya. Ia terus saja menggandeng tanganku. Melewati banyak koridor dan lorong di kantor. Yang paling menakjubkan adalah melewati ratusan pasang mata yang seakan-akan siap menelanjangiku karena digandeng oleh direktur utama perusahaan. Dan dia baru berhenti setelah kami sampai di kantin kantor.

"Kita duduk di sini." ucapnya dingin. Dia menunjuk sebuah bangku panjang tak jauh dari tempatku dengannya berdiri sekarang.

Dan tanpa babibu lagi, dia langsung duduk. Aku yang kesal bercampur lapar, segera saja duduk. Pekerjaanku takkan cepat selesai kalau seperti ini. Aku bisa pulang telat.

"Tolong jangan panggil gue bapak. Kita seumuran. Panggil saja Sean."

Aku menoleh sekilas. Dia ngomong sama siapa sebenarnya? Benarkah padaku? Lalu kenapa tak menoleh kepadaku?

Orang aneh, batinku.

"Baiklah, Sean." ucapku akhirnya. Dan disaat yang bersamaan, kulihat ia tersenyum hangat. Melihatnya tersenyum, aku akhirnya memaksa diriku tersenyum. Tak baik jika senyuman orang tak dibalas senyuman. Itu pemikiranku.

Tak berapa lama, makanan dan minuman yang entah kapan dipesan, datang. Sepertinya sebelum kami berdua datang, makanan dan minuman ini sudah dipesan terlebih dahulu.

Begitu makanan dihidangkan, aku sedikit canggung duduk bersama dengan pria ini. Senyumnya itu tadi hangat, tulus sekali. Entah kenapa, hatiku merasakan sesuatu yang aneh.

"Ayo dimakan." katanya.

Aku menganggukkan kepala sedikit dan mulai melahap makananku. Sejak pagi tadi aku belum makan karena aku terlambat bangun. Jadi sekarang, begitu melihat makanan aku langsung melahapnya. Rasa laparku terpenuhi. Abaikan saja tatapan sinis orang-orang kantor. Mereka pasti berpikir aku seorang wanita penggoda. Tapi maaf, itu bukan sifatku. Aku juga tidak mengerti kenapa bosku bisa menjadi seperti ini.

Dan abaikan juga dengan pemikiranku tentang makan siang di kantor adalah suatu hal yang sia-sia. Aku hanya mencari alasan saja agar tak disebut workaholic, meski memang itulah kenyataannya.

"Gimana? Enak?" tanyanya dengan senyum yang kembali menghias di bibirnya itu.

Dia kembali bertanya? Padaku? Padahal dia tadi bersikap dingin padaku? Kurasa memang benar jika seorang yang salah makan akan mendadak jadi gila. Dan bosku yang satu ini, sepertinya ia mengalami peristiwa itu.

Aku mengangguk. Tak enak kan kalau aku tidak menjawab? Dan anggukan kecil dariku kuanggap sebagai sebuah jawaban.

"Jadi, gimana? Kamu suka?" tanyanya.

Sebentar? Sejak kapan kata "lo-gue" yang sejak kemarin hingga beberapa menit lalu dia ucapkan ke padaku berubah menjadi "aku-kamu"? 

Lagi-lagi aku menganggukkan kepala.

"Bisa gak pertanyaanku dijawab dengan kata-kata? Kamu pikir aku bukan manusia sehingga kamu harus memakai bahasa isyarat?" sindirnya.

Aku sedikit tersedak. Tuh, kan? Ada apa dengan pria ini? Kenapa dia mendadak menjadi manis padaku?

"Baiklah, pak. Eh, Sean." jawabku sedikit gagap.

Dia hanya terkekeh pelan melihatku terkejut. Dan aku langsung memasang wajah paling menyebalkan di dunia.

***

Hari ini aku memutuskan pulang lebih awal. Pulang lebih awal itu hanya bagiku saja. Karena pulang tepat saat jam kerja berakhir, bagiku itu sama saja pulang lebih awal. Biasanya aku akan pulang 1 sampai 3 jam setelahnya. Biasa, pekerjaan yang bagiku lebih penting.

Aku mempunyai alasan kali ini. Yang pertama, Mila. Dia kemarin sudah membuatku paranoid dengan bisikannya, dan tadi dia juga sudah mencecarku dengan kata-kata itu lagi lewat telepon. Cerita. Dan kali ini dia benar-benar memaksaku. Aku hanya mengiyakan saja. Dan alhasil kami berjanji bahwa kami akan bertemu di mall. Selain memaksaku bercerita tentang Zevran, dia juga ingin mengajakku belanja. Tuhan, sepertinya aku salah mengajaknya hujan-hujanan kemarin. Otaknya pasti sudah berpindah tempat. Entah perasaanku saja atau memang Mila memang sudah bersifat begitu dari lama.

Kedua, Zevran. Dia mengajakku yang entah kenapa aku yakin sekali kalau itu sebuah pesta. Dan itu jam 8 malam. Akan mepet sekali waktunya kalau aku pulang jam 6. Maka aku memutuskan pulang tepat waktu.

Aku melangkahkan kakiku keluar dari gedung kantor. Baru beberapa langkah, aku mendapati sesosok pria yang kukenal. Zevran? Aku terkejut saat melihat Zevran berada di depan kantorku saat aku baru saja pulang kantor. Bagaimana dia bisa di sini? Apakah dia tidak bekerja? Dan bukankah kemarin dia bilang akan menjemputku jam 8 malam?

Aku melirik jam tanganku sekilas. Ini baru saja jam 5 sore. Masih 3 jam lagi dari waktu yang dia tentukan. Lalu kenapa dia di sini? Aku memutuskan mendekatinya daripada bertanya-tanya tidak jelas.

"Hai." sapaku.

Zevran hanya menautkan alisnya sambil tersenyum ke arahku.

Dan senyuman itu seakan membuat duniaku berhenti. Apakah aku terpesona? Mungkin iya. Pada sahabatku sendiri? Salahkah aku?

"Kenapa kau di sini? Bermaksud menemuiku? Bukankah kemarin kau bilang jam 8 malam?" tanyaku. Aku sekarang berdiri di hadapannya. Menatapnya yang memakai sweater berleher panjang berwarna biru kesukaannya dengan celana jeans yang di mataku tampak pas. Rambutnya yang rapi dan kecoklatan semakin menambah aura kewibawaannya.

"Aku menunggumu. Ingin mengajakmu belanja." jawabnya.

"Hah? Kenapa tidak bilang dulu?" tanyaku cepat. Aku benar-benar terkejut.

Dia ingin mengajakku belanja dan tidak bilang dulu? Apakah aku bermimpi? Bagaimana dengan janjiku dengan Mila? Aku baru saja menelponnya beberapa menit sebelum aku keluar kantor dan dia berkata sedang dalam perjalanan. Lalu jika Zevran mengajakku belanja, bagaimana dengan Mila? Tidak mungkin aku membatalkannya begitu saja, kan?

"Kenapa? Kau tidak mau? Ayolah." bujuknya.

Melihat wajahnya yang terkesan merayu seperti itu, aku merasa tidak tega. Tapi bagaimana janjiku dengan Mila? Oh, Zev, kau benar-benar membuatku gila.

"Boleh saja, tapi aku juga membuat janji yang sama dengan Mila. Dan dia sedang dalam perjalanan kemari." ucapku akhirnya. Lebih baik jujur daripada membuatku pusing. Lagipula berbohong bukanlah keahlianku.

"Kalau begitu, kita belanja bertiga." jawabnya cepat. Bahkan aku baru saja selesai menjelaskan.

Kontan saja aku melotot ke arahnya. Arrggghhh, bisa kacau kalau begini.

Apakah kau tidak berpikir, Zev, kalau kau akan membuatku malu dengan jawabanmu barusan? Kenapa kau tidak berpikir dulu, sih? 

Mila orangnya tidak bisa diam dengan mulutnya yang ember itu. Dia pasti terang-terangan mengaku tentang tujuannya mengajakku belanja pada Zevran. Aduh, aku bisa malu kalau begini. Kenapa dua orang ini permintaannya selalu aneh, sih? Tidak aneh bagi orang kebanyakan. Tapi sangat aneh jika waktunya bersamaan dan itu mengandung tujuan tertentu. Hhh, sepertinya aku salah sangka kalau mengira Zevran dan Mila itu sahabat yang baik. Salah besar. Bagiku mereka sangat baik. Baik dalam kerja sama untuk membuatku pusing. Tuhan, bantulah aku.

"Hei, kenapa melotot begitu? Biasa saja. Belanja bertiga kan bukan suatu masalah. Atau kau memang mau belanja berdua saja denganku?" goda Zevran saat melihat ekspresiku.

Aku langsung menatapnya kesal. Tidakkah dia itu peka? Ah, ya aku lupa. Zevran itu manusia. Mana mungkin bisa membaca pikiran. Lagipula, dia spesies pria yang paling tidak peka menurutku.

"Belanja saja sendiri kalau begitu!"

Dia langsung tertawa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status