Alam seakan mendekatkan kami berdua. Jujur saja, aku tak memiliki rasa itu. Tapi apakah benar begitu? Semua yang dilakukannya tampak nyata. Tapi merapuhkan jiwaku, secara perlahan...
~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~Benar sekali.
Mila dengan polosnya mengatakan tujuannya tanpa sempat kucegah. Dan itu terjadi di foodcourt tadi. Zevran langsung tertawa lepas dan aku hanya menunduk malu.
Awas saja kau, Mila, batinku.
"Bisakah kita berhenti sebentar? Aku capek. Dan jujur saja, aku ingin pulang." ucapku saat kami bertiga sudah sampai di lantai atas mall itu. Dan tentu saja setelah lepas dari desakan pengunjung mall yang membludak, mengingat ini akhir pekan dan awal bulan. Sungguh perpaduan yang sangat pas.
"Belum. Ini masih jam 6. Dan baju itu belum kamu pakai." jawab Zevran sambil terus berjalan.
"Ha? Terus aku harus memakainya begitu?" tanyaku.
Apakah Zevran tidak berpikir bahwa membawa baju ini saja aku sudah tidak mau? Apalagi disuruh memakai. Baju ini lebih layak disebut sebagai gaun. Dengan panjangnya yang kuperkirakan semata kaki, itu memang tidak terlalu buruk. Tapi bagian atasnya tak menutup sempurna. Apakah aku akan memamerkan pundakku pada khalayak ramai? Aku langsung menggeleng cepat.
Melihatku menggeleng, Zevran menghentikan langkahnya. Ia segera berbalik menghadapku.
"Itu untuk kau pakai ke pesta nanti bersamaku, Rain. Pakai saja. Kumohon, demi aku." ucapnya memohon. Aku melirik Mila yang sedari tadi sibuk mengurusi belanjaannya yang seabrek. Ia nampak kewalahan.
"Baiklah." jawabku akhirnya. Tak ada gunanya berdebat dengan Zevran sekarang. Lagipula aku sudah berjanji dengannya kemarin.
Zevran langsung tersenyum lebar.
"Baiklah, kalau begitu. Mil, maukah kau membantuku?"
Mila yang sedari tadi sibuk sendiri langsung menoleh ke arah Zevran. "Ya?"
"Aku akan membawakan semua belanjaanmu ke mobil, tapi maukah kau membawa Rain ke salon di mall ini? Dandanilah dia dengan cantik. Dan juga, pakaikan dia baju yang kubelikan untuknya. Bagaimana?" tanya Zevran.
"Deal." jawab Mila tanpa berpikir. Dan aku cuma melongo mendengarnya.
Mila benar-benar keterlaluan.
***
"Ayolah, Rain. Ini tidak akan buruk." bujuk Mila saat aku sudah selesai make up dan memakai gaun berwarna hitam itu.
Aku menggeleng. Aku masih setia menyembunyikan diriku di balik korden bilik ganti. Jujur saja, aku merasa kurang nyaman memakai gaun terbuka seperti ini. Belum lagi aku harus memakai high heels setinggi 17 sentimeter yang membuatku agak kesusahan berjalan. Aku memang jarang sekali memakai heels setinggi itu. Tapi hari ini, aku dipaksa memakainya.
"Kayaknya elo memang sekongkol sama Zevran buat bikin gue begini, deh." sungutku.
"Udah, deh." jawab Mila sambil menarikku keluar. Ia menghadapkanku ke sebuah cermin yang besar.
Melihat penampilanku sendiri di cermin, aku merasa takjub. Benarkah itu aku? Wanita yang tampak di cermin itu serasa sempurna. Dan apakah itu aku? Aku tak percaya itu. Tanpa sadar mulutku menganga.
"Iya, itu lo." jawab Mila seakan-akan dia mengetahui apa yang kupikirkan.
"Udah,jangan kelamaan ngaca! Ayo!"
Dan tanpa permisi, ia segera menarik tanganku dan mengajakku keluar dari mall."Zevran sudah menunggu." katanya. Dan aku hanya mengangguk pasrah.
Mila membawaku menyusuri mall itu. Dari satu lantai ke lantai lainnya. Dan aku merasa tidak enak. Banyak tatapan lelaki hidung belang yang seakan menelanjangiku. Aku risih melihatnya.
Tak lama kemudian, kami sudah sampai di lantai dasar dan segera berjalan keluar. Kulihat Zevran sudah menungguku di mobilnya. Dia sudah berganti baju dengan memakai kemeja putih dan dasi kupu-kupu yang dipadukan dengan tuxedo abu-abu yang nampak pas di tubuhnya. Rambutnya terlihat klimis dengan style rambut baru.
Benarkah dia Zevran? Secepat itukah ia berganti baju dan model rambut? Astaga. Dia semakin tampan.
"Zev, ini pacar lo gue balikin. Dia udah gue dandanin sedemikian rupa. Gimana?" tanya Mila begitu kami sampai di hadapannya. Aku menatap Mila tajam. Tapi Mila hanya tersenyum jahil.
Zevran menatapku dari atas sampai bawah. Matanya tidak berkedip sekalipun.Apakah aku jelek? Pemikiran itu terus menghantuiku."Cantik. Thanks, Mil." jawabnya.
Aku langsung tersenyum.
"Sama-sama." jawab Mila.
"Eh, gue balik dulu, ya. Udah jam 8. Udah malam. Dan Zevran, jangan sampai sahabat gue ini lecet, ya!" kata Mila.
Zevran hanya tersenyum. Dan Mila segera melangkah masuk ke mobilnya, sebelum akhirnya mobilnya hilang dari pandanganku, melaju meninggalkan pelataran parkir mall itu.
"Ayo." suara Zevran membuyarkan lamunanku.
"Oh, oke." jawabku singkat.
Aku segera menaiki mobilnya bersamaan dengannya. Tak lama, mobil itu sudah melaju kencang, membelah jalanan kota.
***
Aku dan Zevran telah sampai di sebuah mansion yang tampak megah. Iringan musik klasik yang terdengar merdu di telingaku seakan mengantarkan kami berdua untuk segera memasuki mansion itu. Aku segera melangkahkan kakiku sambil menggamit lengan Zevran. Beberapa orang yang tak kukenal menyipitkan matanya, menatap ke arahku dan Zevran. Aku tak tahu arti tatapan itu. Aku berusaha mengabaikannya.
"Kita akan menemui seseorang." ucap Zevran di telingaku tepat setelah kami berdua masuk ke mansion itu.
Aku masih terpesona dengan dekorasi mansion itu. Arsitektur bangunannya yang sangat indah, seperti bukan bangunan yang dirancang oleh orang Indonesia. Dan tentang dekorasinya? Ah, iya itu sangat menarik. Klasik dan terlihat simpel, namun tidak mengurangi kesan glamor dan mewahnya pesta itu. Belum lagi tatanannya yang sedemikian rupa, ditambah dengan tingginya atap mansion itu semakin menambah mewah pesta itu. Ah, ini seperti pesta impianku. Kuharap aku bisa menikah dengan pesta seperti ini. Tapi siapa yang akan mengajakku menikah?
"Kita sampai." ucapan Zevran itu yang langsung menyadarkanku dari lamunanku.
Sampai? Sampai dimana?
"Mr. Leo, apa kabar?" ucap Zevran pada seorang lelaki yang berdiri di hadapan kami. Seorang lelaki tua yang masih terlihat sehat di usianya itu. Dia mengenakan jas hitam yang pas ditubuhnya. Zevran menjabat tangan lelaki tua itu dan disambut baik olehnya.
"Halo, Zevran. Senang melihatmu disini." jawabnya sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum dan menjabat tangan lelaki bernama Mr. Leo itu seperti yang Zevran lakukan. "Siapa dia?" tanya Mr. Leo.
Zevran mengedipkan mata ke arahku sebelum akhirnya menjawab "Dia calon istriku."
Langsung saja aku mendelik. Apa maksud perkataannya tadi? Calon istri? Aku balik memandangnya dengan tatapan tajam. Sedangkan yang ditatap cuma tersenyum miring sambil mengedipkan mata.
Astaga. Menyebalkan!
"Oh, ya? Wah, ini bisa jadi berita yang sangat bagus. Aku tunggu undangannya kalau begitu." jawab Mr. Leo. Zevran hanya tersenyum.
"Baiklah, Zevran. Selamat menikmati pesta ya! Aku akan menemui anakku dulu." kata Mr. Leo.
"Baiklah, Mister. Kami akan dengan senang hati menikmati pesta ini." jawab Zevran. Mr. Leo tersenyum sesaat ke arah kami berdua sebelum akhirnya ia beranjak pergi.
Begitu ia pergi, aku segera memandang Zevran. Meminta penjelasan tentang maksud dari perkataannya tadi.
"Baiklah, akan aku jelaskan." ucap Zevran setelah melihat sorot mataku yang nampak mengintimidasi. Dia nampak menghela napas panjang.
"Aku mencintaimu, Rain." ucapnya tepat. Tepat. Sangat jelas.
Dan perkataannya itu sukses membuat hatiku mencelos. Aku sangat terkejut. Jantungku berdetak lebih keras dari sebelumnya. Hatiku berdebar-debar. Jadi, Zevran mencintaiku? Dan dia dengan mudahnya mengucapkannya padaku? Tunggu sebentar. Aku benar-benar sangat terkejut. Hati dan pikiranku seolah-olah langsung bekerja secara cepat.
Aku terdiam dan berusaha menyelami hatiku sendiri. Berusaha menemukan sebuah rasa yang mungkin saja ada di dalam rongga dadaku ini. Tapi aku masih sangat bingung. Aku menyimpan rasa senang mendengar pengakuan Zevran. Tapi di sisi lain, aku merasa sedih. Apakah artinya dia tidak tulus menjadi sahabatku? Apakah karena rasa cinta itu ia selalu setia mendengarkan ceritaku dan mencariku setiap kali hujan turun? Apakah karena cinta itu pula ia sering memberikan perhatian lebih kepadaku?
Jujur, aku bingung. Ini tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Aku bahkan tidak tahu apakah aku menyimpan rasa yang sama untuknya.
"Kamu tidak perlu menjawab itu sekarang, Rain. Aku hanya ingin kamu tahu isi hatiku saja, setidaknya untuk sekarang. Apapun jawabanmu nantinya, aku akan menerimanya. Aku tidak bisa memaksamu menerimaku yang kemudian justru berakhir menyakitimu."
Aku hanya tersenyum kecil mendengar pernyataan Zevran. Sebuah senyum yang kupaksakan. Aku tahu, dalam hati dia berharap besar kepadaku, tapi aku yang masih bingung dengan hatiku sendiri, memilih menahan diri. Aku ingin tahu, benarkah aku mencintai Zevran atau itu hanya sebuah rasa suka dan nyaman di dekatnya.
Bagiku, mencintai dan menyukai itu berbeda. Cinta itu sebuah rasa, perasaan sayang dan tulus. Berbeda dengan rasa suka. Suka itu tidak tulus, mengedepankan ego dan nafsu semata. Dan sifatnya hanya sementara. Kuharap, Zevran mau menunggu jawabanku. Aku tidak ingin menyakiti dan membohonginya seperti yang dilakukan seorang lelaki tua padaku 14 tahun yang lalu. Selain itu, aku juga melakukannya untuk melindungi hatiku sendiri. Hatiku yang mudah hancur.
"Ayo, kita kesana!" ajak Zevran sambil menggandeng tanganku, setelah beberapa saat kami terdiam.
Aku hanya menurut saja. Aku di sini diajak olehnya, jadi tak mungkin aku akan menolaknya. Kemungkinan terburuk yang ada di pikiranku adalah aku tersesat di tengah lautan perempuan sosialita ini dengan tatapan lapar mereka. Aku mengerti saat mereka menatap Zevran dengan tatapan memangsa dan berharap. Tapi di sisi lain, mereka menatapku dengan tatapan membunuh. Jadi mereka pasti akan membunuhku jika mereka tahu aku tersesat dan terpisah dari Zevran. Percayalah, aku memang memikirkan hal itu sejak tiba di sini.
"Kenalkan ini rekan bisnisku, Sean."
Glek!!!
Seketika aku langsung menoleh ke arah orang yang dimaksud. Lamunanku buyar seketika. Benar. Lelaki itu tengah berdiri di hadapanku dengan Zevran, lengkap dengan tuxedo hitam yang pas di tubuhnya. Tatanan rambutnya terlihat lebih klimis dari biasanya.
"Sean." ucapnya padaku sambil mengulurkan tangannya.
Aku menerima uluran tangannya. Hanya sebentar saja karena aku langsung melepaskannya. Bosku ada di sini, di hadapanku. Dan dia seperti tidak mengenalku setelah sebelumnya ia mengajakku makan siang. Aku seperti orang yang baru dikenalnya. Aku mulai merasa tidak nyaman.
"Dia rekan bisnisku. Anggap saja kolega." ucap Zevran.
Aku langsung terbatuk. Dia rekan bisnis Zevran? Astaga, sepertinya aku berada di tengah-tengah dua singa yang sedang mencari mangsa. Di satu sisi Zevran yang hangat dan di sisi lain Sean yang dingin itu. Aku melemparkan tatapan singkat ke arah Sean. Aku menangkap suatu maksud di matanya.
Aku berusaha tersenyum. Dan dia hanya tersenyum sekilas kepadaku, sebelum akhirnya ia beranjak pergi.
"Aku pergi dulu ya, Zev. Silakan menikmati pestanya." ujarnya sebelum berlalu.
Zevran tersenyum dan melambaikan tangannya.
Aku tersenyum kecut. Sebuah pertemuan singkat dengan big boss di pesta dan aku bersama orang lain yang mengenalkan diriku sebagai calon istrinya. Dan sebelum Sean pergi, aku sempat menangkap tatapannya. Tatapan kekecewaan. Tidak menyenangkan. Percakapan singkat. Apa yang dia pikirkan? Kenapa tatapannya begitu tajam ke arahku?
"Bagaimana dia menurutmu? Tampan?"
Aku tergagap mendengar pertanyaan Zevran. Kenapa aku harus melamun dan memikirkan sikap Sean tadi? Ah, lupakan saja."Ah, ya. Tapi dia orang yang dingin, menurutku." jawabku.
"Tapi kau tertarik padanya? Cukup terlihat ketika kau melamun saat bertemu dengannya." ucap Zevran.
"Ah, tidak. Lupakan saja." sanggahku.
Aku tidak terpesona ataupun tertarik padanya. Aku hanya bingung dengan sikapnya tadi. Jujur saja, hatiku berkata begitu.Dan kami kembali larut dalam suasana pesta. Ralat, bukan aku, tetapi Zevran. Aku masih merasa tidak nyaman karena pertemuan ini. Di pesta ini, Zevran menyatakan cinta kepadaku dan sesaat setelahnya bertemu dengan Sean yang melemparkan tatapan kesal kepadaku. Apa yang harus kulakukan dengan dua lelaki ini?
"Zev, aku mau ke toilet dulu." ijinku.
Zevran mengangguk dan melepaskan genggamannya pada tanganku.
Aku menuju ke belakang mansion besar itu. Lumayan susah karena aku harus melewati lautan manusia yang begitu banyak. Setelah bersusah payah, akhirnya aku sampai di bagian belakang mansion ini. Kulemparkan pandangan ke segala arah dan menemukan sebuah toilet di sudut halaman belakang.
Belum sempat aku melangkah, sebuah lengan besar mencekal pergelangan tanganku. Memaksaku menoleh ke arah orang tersebut.
"Kau?"
Belum sempat aku mengelak, orang itu segera menarikku dengan paksa.
Mau dibawa kemana aku?
Aku tak bermaksud melukaimu, sama sekali. Aku hanya ingin menyadarkanmu, ingin memberitahumu, bahwa meskipun aku orang baru di hidupmu, tetapi aku juga berhak mencintaimu. Meski aku tahu hatimu bukan untukku, tapi setidaknya berilah aku waktu, buka saja sedikit jalan, aku ingin merengkuh indahnya cinta itu. Bersamamu... ~(Sean Reynald Tanubraja)~ "Apa yang kau lakukan?" teriakku saat aku berhasil lepas dari cengkraman pria itu. Kami sekarang berada di parkiran mobil. Aku melihat pergelangan tanganku yang baru saja dicengkram olehnya. Pergelangan tanganku nampak memerah karena kuatnya cengkraman pria itu. Rasanya lumayan panas. Namun, bukan itu fokus utamaku, tapi pria yang sekarang berada di hadapanku ini. Tatapannya serasa menusukku. Namun, aku tidak peduli.
Kita tidak pernah tahu hati kita akan berlabuh kepada siapa. Yang pasti aku mengetahui satu hal, aku ingin sembuh dari trauma dan luka masa lalu dengan mempercayai cinta. Dan dengan cinta, aku ingin melabuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku hanya berusaha membuka hatiku pada orang lain, selebihnya akan kupasrahkan. Biarkan hati yang memilih jalan pulangnya... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Seminggu setelah kejadian di pesta itu. Seminggu pula setelah aku memasakkan makanan untuk Zevran. Selama seminggu itulah Sean tidak lagi menampakkan dirinya di hadapanku. Dan selama seminggu itulah aku tidak bisa bertemu dengan Zevran. Kalau harus jujur, itu semua terasa berat di hatiku. Pertama, Sean. Dia entah kenapa tidak terlihat di kantor selama seminggu ini. Sebenarnya ak
Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram.... ~Zevran Abraham Radjoan~ "Kau gila, Sean!" teriakku kepada Sean. Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan. "Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa. Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu. "Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!"
Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu. ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan matak
Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu. Hening. Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. "Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki d
Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, sepert
From : Milanda Revalido Sulistya Elu yakin dia bakal paham maksud lu, Rain? Gue aja bahkan gak paham maksud elu apa. Mila mengirimkan pesan chatting lewat aplikasi pesan. Aku membacanya sambil tertawa geli. Dengan cepat aku mengetik balasannya. From : Rainisa Soedibjo Tunggal Gue sih yakin dia pasti akan tahu dan paham maksud gue. Tapi entah kapannya. Lagipula dia pasti berusaha semaksimal mungkin menemukan jawabannya. :) Tak berselang lama, balasan dari Mila masuk. From : Milanda Revalido Sulistya Hei! Belum tentu! Bisa aja dia gak paham artinya sampai beberapa waktu. Dia bahkan gak tahu ungkapan elu itu termasuk apa wkwk. Tapi by the way, apakah elu gak mau berbagi jawaban ke gue? XD Aku melotot membacanya. Bagaimana bisa dia minta bocoran? Aku tahu Mila tak pernah sanggup berbohong. Memberitahuka
Aku menguap panjang dan merasa bahwa ada yang hangat pada tubuhku. Samar-samar kudengar alunan lagu dari Beyonce yang aku bahkan lupa judulnya apa. Sebuah selimut menutupi tubuhku, sementara aku akhirnya sadar bahwa aku sedang di sebuah mobil mini cooper yang tengah melaju membelah jalanan kota. Di belakang kemudi nampak Sean yang tidak bergeming sedikit pun. Ia fokus pada jalan sambil sesekali melempar pandangan ke kanan kiri. Aku di jok belakang merasa kikuk. Dengan masih berpakaian kerja, aku diajak Sean memutari hampir seluruh pasar malam, dan berakhir aku memilih tidur setelahnya di jok belakang. AC mobil yang cukup dingin barangkali membuatnya akhirnya menyelimutiku. "Kamu sudah bangun?" Tanyanya. Ia sepertinya sadar kalau aku sudah membuka mata sedari beberapa saat lalu. "Hmm." Jawabku dengan malas. Aku masih meringkuk manja dengan e