Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram....
~Zevran Abraham Radjoan~Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan.
"Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa.
Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu.
"Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!" ucapku bersungut-sungut. Aku beranjak masuk rumah dan menutup pintu dengan keras sekali.
Sean tertawa. Aku mengumpat dalam hati.
"Karena kau sudah mengijinkanku berusaha, maka aku akan mampir ke rumahmu sore ini. Berdandanlah yang cantik dan jangan lupa sambut aku di depan!" ucap Sean di telpon.
"Ya." ucapku malas dan langsung memutus panggilan.
Dua hari sejak perkataanku di kantor kemarin, Sean selalu menelponku dan bertandang ke rumahku. Ya, aku tahu. Ia memang tak pernah macam-macam tetapi siapa yang tak risih jika bos perusahaan tempatku bekerja setiap hari bertandang ke rumah karyawannya?
Aku benar-benar kesal. Kubasuh mukaku di wastafel dengan kasar.
"Sudahlah, Rain. Aku cuma bergurau. Tolong maafkan aku." ucap Sean yang tiba-tiba saja sudah ada di belakangku.
Aku berbalik dan berkacak pinggang.
"Baiklah, kau kumaafkan, tapi jangan diulangi lagi. Please, Sean. Tidakkah kau tahu ini berlebihan?"
Ia mengernyit. "Berlebihan dari mana? Aku rasa tidak."
"Ya, keisenganmu jujur saja aku bisa memaklumi. Tetapi dengan semua pendekatan ini, dengan caramu, apakah itu tidak berlebihan? Kita bahkan baru kenal beberapa minggu. Kau bosku dan aku karyawanmu. Apakah ini adalah cinta yang sesungguhnya? Apakah keluargamu juga setuju? Apakah ini tidak terlalu cepat?" tanyaku.
Ia menghela napas panjang.
Kuakui ia pria yang menarik, bahkan matanya yang indah itu, jujur kuakui mampu membuatku terpesona. Tapi, ini bukan lagi masalah fisik. Ini masalah hati.
"Aku tak tahu. Perasaan ini, semuanya, membuatku terbuai, membuatku tidak bisa berpikiran jernih. Aku belum pernah kehilangan kendali seperti ini sebelumnya. Tapi denganmu, kau bisa membuatku memiliki rasa cemburu dan marah, kau bisa membuatku menjadi dingin, dan entahlah. Aku berpikir aku mencintaimu." jelasnya.
"Tapi semuanya tidak semudah itu, Sean. Cinta itu rumit."
"Kumohon padamu, Rain. Sampai semuanya jelas, sampai aku mengetahui apa isi hatiku, tolong biarkan seperti ini. Aku mencintaimu atau tidak pada akhirnya, kau mencintaiku atau tidak akhirnya, tolong biarkan semuanya mengalir, biarkan waktu yang berbicara." Sean menatapku dalam.
Aku tak tahu harus berkata apa. Aku bisa merasakan tulusnya suara itu.
"Ya, baiklah." ucapku pada akhirnya.
Sean mengulas sebuah senyum. Tampak manis dan tampan. Aku tak tahu kenapa, tetapi aku merasakan bahwa senyuman itu sangat kusukai.
Apa yang terjadi padaku? Apakah aku mulai menyukai Sean?
"Terima kasih, Rain. Aku takkan mengecewakanmu."
***
Hari ini aku merasa sangat lelah. Pekerjaan di kantor yang sangat banyak membuatku baru beranjak pulang tepat pukul 9 malam. Sampai di rumah aku langsung merebahkan diriku di atas tempat tidur. Aku terdiam sejenak. Berusaha menghilangkan sedikit rasa lelah yang kualami.
Brrt... Brrtt...
Ponselku bergetar. Namun kuacuhkan saja. Aku masih menikmati nyamannya tempat tidurku. Aku berpikir itu dari Mila, karena semenjak tadi sore Mila menghubungiku dan kuacuhkan. Aku tak sempat menjawab telponnya karena aku lembur menyelesaikan pekerjaanku.
Brrrtt... Brrrtt...
Ponselku berdering lagi. Dan aku masih bersikap sama.
Brrrtt... Brrrtt
Dan akhirnya aku meraih ponselku dan menjawab panggilan itu.
"Ya, halo."
"Rain."
Suara itu.
"Aku memutuskan menghubungimu. Aku tak dapat menahannya. Mereka memberi tahuku semua tentangmu."
Tanpa babibu lagi.Seketika hatiku entah kenapa terasa sakit. Ya Tuhan, aku merasa sesak. Aku berusaha menahan air mataku. Aku tidak boleh lemah. Aku harus kuat.
"Zev, a-aku masih bingung dengan semua ini, jadi kumohon, berhentilah sebentar. Aku ingin menenangkan hatiku dulu." jawabku.
Aku mendengar helaan napas panjang Zevran. Aku tahu, aku menggantungkan perasaan seseorang karena hal ini. Hatiku yang rapuh dan tak bisa tegas. Aku yang salah.
"Kau tahu bagaimana cara bertemu denganku, kan? Maka temuilah aku dengan cara itu. Aku paham maksudmu dan aku takkan mengganggumu lagi, Rain." suara Zevran terdengar sedih.
"Apa maksudmu, Zev? Kau akan pergi, begitu?" tanyaku.
"Aku tak akan pergi. Percayalah."
Pip. Panggilan terputus.
"Halo, Zev? Zev?" kataku memanggil. Percuma saja. Ia sudah memutuskan panggilannya.
Aku tahu. Zevran juga tahu. Aku memilih memberikan kesempatan bagi Sean dan meninggalkan Zevran. Zevran mengetahuinya saat dia kembali dari Jerman dan hujan sedang turun hari itu.
Aku tengah menikmati kembali setiap tetes hujan yang kebetulan turun, saat bersamaan si mata hazel itu memandangiku dengan tatapan tajam. Aku masih tidak menyadarinya, sampai suaranya mengagetkanku.
"Kamu benar-benar cantik, Rain."
Lembut, tapi penuh dengan makna.
Aku seketika menoleh, mendapatinya berada di belakangku.
Aku tersenyum. "Kapan kau kembali, Zev?" Tanyaku.
"Baru saja. Sesaat sebelum hujan turun dengan lebatnya. Sepertinya alam tahu bahwa kita akan bertemu lagi."
Aku segera mendekati Zevran, dan kemudian memeluknya. Sama seperti yang biasanya kulakukan.
Zevran segera melepaskan pelukanku. Dia mundur beberapa langkah, membuatku sedikit tertegun.
Tak biasanya Zevran seperti ini. Apa yang terjadi?
"Zev, kamu kenapa?" Tanyaku sambil menatapnya lekat. Aku tahu, saat ini ada hal yang mengganggunya. Dan ia pun tahu, dalam hujan ini, aku bukan Rain yang biasanya.
"Katakan padaku! Mengapa Sean selalu mendatangimu? Kenapa dia dan kamu tampak seperti kekasih? Dan kenapa hal itu terjadi setelah aku mengatakan cintaku padamu? Apakah Sean pelampiasanmu? Apakah kamu menolakku? Tapi mengapa tidak ada jawaban penolakanmu sebelum kamu melakukannya?"
Pertanyaan bertubi-tubi Zevran membuatku tercekat.
Selama beberapa detik setelahnya, kami terdiam sembari mencari kebenaran pada diri masing-masing. Aku sendiri bertanya pada diriku. Mengapa aku memberikan Sean kesempatan, padahal jelas-jelas Zevran sudah lebih dulu menyatakan perasaannya. Zevran bahkan sudah kukenal sejak 14 tahun yang lalu, sedangkan Sean baru beberapa minggu.
Zevran yang awalnya menjadi sahabatku dan kini jatuh cinta padaku. Zevran yang telah menemaniku bersama hujan selama beberapa tahun belakangan ini. Zevran yang tidak pernah membentakku atau pun berbuat kasar padaku. Zevran dengan mata hazelnya yang selalu ada kapan pun aku membutuhkannya. Tapi mengapa hanya karena Sean, aku seakan melupakan Zevran?
"Aku tahu. Silakan untuk bercerita dengan hujanmu, Rain. Aku yang salah. Aku yang akan pergi." Ucap Zevran akhirnya, setelah beberapa lama kami hanya saling terdiam.
Zevran melangkah pergi, meninggalkan aku sendiri yang hanya terpaku melihat punggungnya semakin menjauh. Hatiku seperti mencelos, tetapi ragaku tak mampu bergerak mencegahnya.
'Zev, aku tidak bermaksud. Maafkan aku!'
Mengingat kejadian itu membuatku semakin merutuki diriku sendiri. Seorang wanita berusia 26 tahun tapi masih plin-plan dan labil dalam mengambil keputusan, dan berakhir melukai semua pihak. Dan itu karena hatiku yang sangat bodoh. Aku memang bodoh sekali. Cinta? Aku tak tahu apa itu. Kuharap dengan jalan ini aku bisa menemukan cinta dan menghapus lukaku. Namun, kenapa aku juga harus mengorbankan orang lain? Kenapa harus Zevran yang terluka? Kenapa Sean yang masih baru justru kuterima?
Aku menghempaskan tubuhku kembali ke atas kasur. Pikiranku kembali kacau.
"Zev, apa yang terjadi? Bagaimana kau tahu? Aku masih bingung. Kau mau kemana?"
***
3 bulan kemudian
Aku menyesap cappucino yang kupesan dengan malas. Aku lebih asyik memperhatikan lalu lalang kendaraan dari balik kaca cafe daripada menikmati minuman pesananku. Melamun. Tidak, lebih tepatnya berpikir.
"Hai, Rain." sapa Mila begitu ia menemukanku di meja sudut cafe.
"Hai, Mil." jawabku lesu.
"Kenapa lo? Lesu begitu." tanya Mila.
"Ya, lo pasti tahulah masalah gue." jawabku.
Mila duduk dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia nampak berpikir.
"Pernah gak sih lo mencoba buat bertanya lagi ke dia?"
"Ya berulang kali, tapi nihil." jawabku tak bersemangat.
"Susah juga sih kalau kayak gitu. Dulu kan dia yang ngebet banget, kenapa sekarang malah santai banget. Apa dia udah berubah pikiran ya?"
Aku hanya mengangkat bahuku. Sudah tiga bulan dan aku rasa sudah cukup waktu untuk memberinya jawaban. Namun ia tak kunjung bertanya kembali.
Sudah seminggu semenjak terakhir kali Zevran menelponku. Aku sudah tak pernah melihatnya lagi semenjak makan pagi hari itu. Dan sudah seminggu berlalu semenjak aku mendengar suaranya. Aku kacau dan tak bisa masuk kerja. Bahkan Sean berulang kali datang ke rumahku.
Aku merasakan ada bagian dari diriku yang hilang.
Zevran.
Ya, dia adalah sahabatku. Dia pria yang menjadi teman pertamaku. Zevran yang sekarang adalah pengusaha besar di Asia. Zevran temanku di panti asuhan. Zevran kecil yang selalu pulang ke panti sambil berteriak gembira karena ia mendapat ranking satu di sekolahnya. Zevran yang selalu ada buatku. Zevran yang mengerti setiap gundahku saat hujan turun.
"Kamu kenapa Rain? Jangan begini! Kamu bisa sakit kalau terus begini." bujuk Sean yang saat itu sedang berada di rumahku.
Aku hanya melengos. Entah kenapa aku merasa sakit. Aku merasa tak tenang.
"Rain."
Aku masih diam.
Tiba-tiba Sean mengangkatku. Aku berontak namun ia tak mau melepaskannya. Justru ia mendekapku dalam gendongannya lebih erat.
"Turun."
Sean menurunkanku di halaman depan rumahku. Aku diam membisu.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Zevran kan?"
Aku langsung menoleh ke arahnya. Bagaimana Sean tahu?
"Rain, aku tak bisa berkata banyak. Namun bukankah hidupmu terus berjalan? Bukankah kamu juga harus bekerja? Aku memang awam tentang dunia ini, tapi aku tahu satu hal. Luka yang diciptakan waktu akan sembuh oleh waktu asalkan kamu mau membuka hati, Rain. Bukalah hatimu agar takdir bisa berjalan. Bukalah hatimu agar waktu bisa menyembuhkannya. Tak selamanya luka masa lalu terus menghantuimu. Obatnya adalah dirimu sendiri, Rain."
Seketika aku langsung jatuh terduduk. Sean memegangi tubuhku yang oleng itu.
Aku menangis. Ya, kulepaskan semuanya pada akhirnya. Saat itu tiba-tiba saja hujan deras turun. Moment yang tepat. Hatiku benar-benar rapuh.
Sean memelukku erat.
"Aku tak tahu harus bagaimana, Sean. Semua hal ini membuatku bingung. Ibuku, ayahku, kejadian antara mereka, bahkan Zevran. Aku, a-aku, a-aku..." ucapanku terputus. Tangisku semakin keras bersamaan dengan jatuhnya air hujan. Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi.
"Lepaskan semuanya, Rain. Lepaskan. Lepaskan." kata Sean lirih.
Aku balas memeluk Sean dengan erat. Entah kenapa aku merasa nyaman. Semua rasa sesak yang kurasakan sedikit memudar.
Hujan. Sean. Entah kenapa rasanya seperti saat pertama kali Zevran menemukanku menangis dalam hujan. Ia juga memelukku erat dan mendengarkan segala kesahku.
Hatiku, entah kenapa tertuju kepada Zevran, tapi ragaku dan pikiranku bergerak kepada Sean.
"Woy, lo nglamun lagi?" Mila tiba-tiba mengagetkanku.
Aku tersentak kaget.
"Sebenarnya sih gue mendukung aja antara lo ama Sean, Rain. Pertama, ia bisa menghilangkan sedikit demi sedikit kebiasaan lo yang suka banget hujan-hujanan. Kedua, sekarang lo banyak berubah. Lo udah bisa bicara terbuka dan jujur ama gue. Gue seneng banget tahu nggak? Ya Tuhan."
Aku tersenyum mendengar celotehan Mila. Kuakui ia benar. Semenjak kejadian dengan Sean hari itu, aku mulai membuka hatiku. Dan sedikit demi sedikit aku mulai berubah. Bersama Sean aku mampu mengobati diriku. Itulah yang membuatku yakin akan menjawab pertanyaannya.
"Nah, sekarang lo senyam-senyum lagi."
"Eh, enggak. Apaan sih?" elakku.
Mila tertawa melihatku tersipu.
"Udah, mending kita ke mall aja yuk. Gue mau beli beberapa barang. Daripada lo ngelamun enggak jelas mending ikut gue aja." ajak Mila.
Aku langsung mengiyakan dan berangkat ke mall bersama Mila setelah sebelumnya aku meninggalkan beberapa lembar uang puluhan ribu di atas meja cafe sebagai bayaran cappucino yang kupesan.
***
Hari ini aku berangkat ke kantor dengan ceria. Ya, kemarin setelah bersama Mila aku sedikit tenang dan kembali bersemangat. Langkahku kembali percaya diri saat aku memasuki gedung kantoranku. Semua orang yang melihatku seakan tersihir. Mereka memandangiku layaknya orang kebingungan.
"Rain, lo gak papa kan?" Arina bertanya padaku saat aku tiba di bilik kerjaku.
"Gue gak papa. Gue sehat dan siap bekerja." kataku sembari mengulas sebuah senyum.
"Syukur deh kalau lo nggak papa. Gue sempat shock waktu orang-orang sekantor ngomong kalau lo itu punya kepribadian ganda."
"Hah? Kok gitu?" tanyaku heran.
"Ya iyalah, Rain. Lo itu sering banget berubah. Kadang sedih, kadang galak, kadang percaya diri. Intinya gonta-ganti suasana hati mulu. Mereka kan ngiranya lo berkepribadian ganda gara-gara itu."
Aku tertawa.
"Kok ketawa sih?"
"Bagaimana nggak ketawa kalau mereka itu ternyata perhatian dan peduli banget gitu. Lagian mereka juga asal nebak aja. Nggak mungkinlah gue kayak gitu."
Arina menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Aku hanya tersenyum saja dan mulai menyalakan komputer kerjaku. Tanganku mulai mengetik dengan cepat. Ini laporan yang harus dikumpulkan besok dan aku tak mau berakhir dengan pemanggilan pribadi ke ruang atasan. Arina yang melihatku mulai serius bekerja menyingkir. Ia kembali ke meja kerjanya.
Sesekali aku mengambil beberapa kertas laporan yang menumpuk di sebelah komputerku. Aku membacanya berulang kali. Kubolak-balik kertas laporan itu. Setelah memahami aku melanjutkan kembali mengetik laporanku.Tuhan, bantulah aku memilih jika memang aku tak bisa hidup sendiri.
Bantulah aku jika bahkan rintik hujan pun tak sanggup mengobati hatiku.
Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu. ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan matak
Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu. Hening. Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. "Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki d
Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, sepert
From : Milanda Revalido Sulistya Elu yakin dia bakal paham maksud lu, Rain? Gue aja bahkan gak paham maksud elu apa. Mila mengirimkan pesan chatting lewat aplikasi pesan. Aku membacanya sambil tertawa geli. Dengan cepat aku mengetik balasannya. From : Rainisa Soedibjo Tunggal Gue sih yakin dia pasti akan tahu dan paham maksud gue. Tapi entah kapannya. Lagipula dia pasti berusaha semaksimal mungkin menemukan jawabannya. :) Tak berselang lama, balasan dari Mila masuk. From : Milanda Revalido Sulistya Hei! Belum tentu! Bisa aja dia gak paham artinya sampai beberapa waktu. Dia bahkan gak tahu ungkapan elu itu termasuk apa wkwk. Tapi by the way, apakah elu gak mau berbagi jawaban ke gue? XD Aku melotot membacanya. Bagaimana bisa dia minta bocoran? Aku tahu Mila tak pernah sanggup berbohong. Memberitahuka
Aku menguap panjang dan merasa bahwa ada yang hangat pada tubuhku. Samar-samar kudengar alunan lagu dari Beyonce yang aku bahkan lupa judulnya apa. Sebuah selimut menutupi tubuhku, sementara aku akhirnya sadar bahwa aku sedang di sebuah mobil mini cooper yang tengah melaju membelah jalanan kota. Di belakang kemudi nampak Sean yang tidak bergeming sedikit pun. Ia fokus pada jalan sambil sesekali melempar pandangan ke kanan kiri. Aku di jok belakang merasa kikuk. Dengan masih berpakaian kerja, aku diajak Sean memutari hampir seluruh pasar malam, dan berakhir aku memilih tidur setelahnya di jok belakang. AC mobil yang cukup dingin barangkali membuatnya akhirnya menyelimutiku. "Kamu sudah bangun?" Tanyanya. Ia sepertinya sadar kalau aku sudah membuka mata sedari beberapa saat lalu. "Hmm." Jawabku dengan malas. Aku masih meringkuk manja dengan e
Aku mengetik laporan keuangan dengan malas. Sesekali aku menguap dengan lebar sembari menegakkan punggungku. Aku benar-benar tidak bisa fokus. Bahkan aku hanya bisa membuat jurnal umum untuk transaksi satu hari, belum sampai pada buku besar, arus kas, apalagi laporan rugi laba. Aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Kulihat jam tanganku. Sudah pukul 11.30 WIB. Tandanya sebentar lagi akan masuk waktu istirahat siang. Sepertinya aku tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Akan lebih baik jika aku meminta izin masuk setengah hari, daripada laporanku berantakan dan berakhir aku berada di meja interogasi. Membayangkannya saja aku begidik ngeri. Dengan segera aku menuju lift dan naik ke lantai 4 untuk meminta izin. Namun, belum sempat aku menekan tombol, sebuah tangan menyerobot dan menekan tombol lantai teratas. Segera saja aku menoleh. Dan aku mendapati Se
Blarrrr! Hujan turun dengan sangat derasnya sore ini, disertai dengan kilat yang menyambar-nyambar. Aku masih dengan pakaian kerjaku dan Mila sudah pulang dari kafe sejak beberapa saat lalu. Aku menatap langit mendung dan tetesan hujan dengan tatapan nanar. Masih tidak percaya bahwa aku tetap belum lepas dari bayangan 14 tahun yang lalu. Kini hatiku bergemuruh, seiring dengan kilat yang terus menyambar dan menghasilkan bunyi yang memekakkan telinga. Aku merasa sesak. Sebelumnya, saat aku masih dekat dengan Sean, aku bahkan sudah mulai terbiasa saat hujan turun. Namun, sekarang aku justru kembali seperti 14 tahun yang telah kujalani. Badanku mulai bergetar dan... Aku melebur kembali bersama hujan. Dalam langkah tegap, aku berjalan dengan suasana hati yang kembali meredup menerobos hujan lebat. Di saat orang lain berlarian mencari tempat berteduh, hanya aku
Aku menatap Bhaskara nanar. 3 tahun yang lalu aku melihatnya sebagai sosok superhero. Sekarang aku menatapnya sebaliknya. Penuh kebencian, dendam, dan amarah yang tak terbendung.Tubuhku bergetar hebat. Antara menangis dan berusaha kuat, aku bahkan tidak mampu menahan gejolak dalam diriku sendiri. Rasa-rasanya masih tidak percaya kalau 3 tahun menghilang akan membuatnya sedemikian drastis berubah."Bhas, is that you who loved me 3 years ago?" Ucapku parau.Aku masih menatapnya tak percaya. Kulihatnya sekali lagi dari ujung kepala sampai ujung kaki.Matanya masih mata hitam bulat yang tak pernah berubah. Gaya berpakaiannya masih sama, suka memakai kaos dan celana jeans panjang dan sepatu sport pria hitam putih. Dia sekarang bahkan memakai hoodie putih. Gaya rambutnya juga bahkan tak berubah sama sekali. Aku menatapnya lekat sekali lagi dan aku yakin dia bahkan tidak memiliki pe