"Rumahmu?" Tanya Adina.
"Aku pikir mungkin kalian mau berenang dan beristirahat." Jawab Derek datar.
"Benarkah?" Tanya Bobby kegirangan.
"Sekarang sudah larut." Kata Adina dengan nada peringatan.
"Besok libur, boleh, kan?" Rengek Bobby.
Karena Derek yang menyetir mobil, keputusan jelas bukan di tangan Adina, tapi dia sama sekali tidak menyukai ide untuk pergi ke rumah pria itu. Dia tidak mau Bobby menjadi terlalu akrab dengan orang terkenal yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya dan sewaktu-waktu bisa pergi begitu saja begitu kegembiraan memiliki seorang anak sudah luntur.
Dan kalau rasa tanggung jawab Derek membuatnya merasa wajib untuk mengasuh Bobby, bagaimana rumah tuanya, yang genteng belakangnya sangat perlu di perbaiki, dapat menandingi rumah modern yang indah dengan kolam renang di halaman belakang dan akuarium di dinding ruang makan?
Akuarium itu hanya salah satu dari ratusan benda lain yang di sebut Bobby "Keren!" ketika dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Anjing berbulu hitam pekat sedikit menggeram pada Adina tapi langsung tertarik pada Bobby dan berjalan di samping anak itu, menggoyang-goyangkan ekornya dan menjilati lutut teman barunya.
"Gila! Ruamh ini benar-benar gila!" Pekik Bobby saat melangkah keluar menuju teras untuk mengagumi kolom renangnya.
"Kau bisa pergi berenang." Kata Derek pada Bobby. "Tapi lepaskan dulu sepatunya."
Dengan cepat Bobby melapaskan celananya dan langsung terjun tanpa ragu-ragu. "Gaya renang yang bagus." Komentar Derek.
"Belajar di klub pemuda pada selama sebelas minggu." Kata Adina.
"Apakah dia selalu berhasil ada apa pun yang dia lakukan?" Tanya Derek.
Mereka mengawasi Bobby berenang bolak-balik sebelum akhirnya berhenti untuk istirahat. Luna terus membuntututinya berlari-lari di tepi, menyalak dengan girang. Saat Bobby muncul di permukaan untuk mengambil napas, anjing itu langsung menjilati wajahnya.
"Anjing ini menyukaiku." Bobby tertawa dan menghindar dari jilatan anjing itu.
"Dia belum melakukan apa pun hari ini. Bagaimana kalau kau mengajaknya jalan-jalan?" Tanya Derek. "Dua blok dari sini ada orang yang memiliki sebuah mobil Ferrari. Biasanya mobilnya di parkir di luar saat ini."
Bobby kaluar dari kolam renang dan mengambil handuk dan rantai najing yang ulurkan Derek padanya. " Ayo, Luna. Aku pergi dulu."
Si anak remaja dan teman barunya yang setia keluar lewat gerbang pribadi yang langsung menutup otomatis di belakang mereka.
"Aku rasa Luna mau saja pergi dengan Bobby kalau anak itu mengajaknya langsung." Kata Derek. "Dasar anjing tidka setia."
"Dari dulu Bobby selalu ingin punya anjing." Kata Adina.
"Kenapa dia tidak pernah punya peliharaan?" Tanya Derek dengan alis berkerut.
"Ibuku. Hewan peliharaan membuatnya gugup. Sejak ibu masuk panti, aku belum sempat mencarikan anjing untuk Bobby." Jawab Adina sambil mengangkat bahunya.
Derek mempertimbangkan hal itu sebentar, lalu menunjuk ke arah sebuah ruangan di seberang kolam renang. "Ruang ganti wanita ada di sebelah sana. Kau akan menemukan berbagai macam model baju renang di dalam lemari, tapi aku tidak yakin ada yang ukurannya cukup untukmu."
"Aku tidak butuh baju renang." Jawab Adina.
Derek melangkah mendekat, suaranya berat dan tersenyum lebar. "Itu lebih bagus lagi."
"Bukan itu maksudku." Kata Adina sambil memutar matanya.
"Kau juga pernah berenang telanjang sebelumnya, aku ingat itu." Kata Derek.
"Sepertinya kau salah karena yang ada dalam ingatan itu adalah waktu kau dan Linda yang berenang telanjang malam-malam di laut." Balas Adina.
"Oh, benar. Waktu itu kau tidak mau membuka bajumu. Kami berdua terus menerus mengajakmu, tapi kau tetap tidak mau."
"Kau bisa di tangkap karena merusak moral anak di bawah umur." Kata Adina tajam.
"kau tidak memberiku kesempatan untuk merusak moralmu. Kau menangis dan berlari pulang. Kenapa?"
Adina menggelengkan kepalanya tanpa berkata apa pun, dia terpesona dengan cahaya dari sinar bulan yang tepat berada di atas kepala Derek. Persis seperti apa yang dia lihat di pantai malam itu, ketika Deolinda menyebutnya pengecut dan mengancam akan mencekiknya kalau dia memberitahu orangtua kami tentang apa yang di lakukan kakaknya itu.
"Ayolah kuper. Ini tidak berbahaya. Kau tidak akan tersambar petir." Kata Derek berusaha membujuk Adina.
Saat itu Adina sangat ingin bergabung dengannya dalam air laut, tapi dia terlalu malu pada tubuhnya yang belum berkembang dan terlalu takut ketahuan.
"Kenapa kau tidak mau berenang bersamaku malam itu? Apakah kau takut padaku?"
"Tidak." Bantah Adina setengah berbisik.
"Kenapa kau menangis waktu itu, Adina? Apakah kau malu?"
"Aku menangis karena marah." Jawab Adina.
"Marah? Padaku?" tanya Derek bingung.
"Padamu dan juga Linda. Aku membencimu karena bisa menganggap semuanya begitu gampang sedangkan itu tidak bagiku. Tapi aku lebih marah pada diriku sendiri. kau tahu, sebenarnya aku sangat ingin bergabung dengan kalian, tapi aku tidak berani." Kata Adina jujur.
Mata Derek menyipit. "Sekarang kesempatanmu untuk mengganti kesempatan yang dulu hilang."
"Aku masih tidak berani." Kata Adina.
"Aku selalu berani." Kata Derek melepaskan sepatu dan membuka kaus kakinya. Dalam satu sentakan kaus birunya dia lepaskan lewat kepalanya. Kaus itu terjatuh di kaki Adina.
"Derek?"
"Hmm?" Gumam Derek saat dia membuka celana pendeknya.
Mata Adina yang lapar menjelajahi dada Derek. Bulu dadanya yang sudah sedikit lebih lebat di bandingkan ketika pria itu masih berumur dua puluhan. Bulu-bulu itu menutupi setiap ototnya yang keras, yang meyakinkan seorang pengusaha yang baru-baru ini meminta izin untuk memasarkan sebuah poster seorang Derek Emir.
Pengusaha itu ingin membuat gambar Derek yang memakai pakaian seragam pilot yang terbuka hingga ke pusar. Pasti akan laku keras. Tentu saja Maskapainya sangat marah. Mereka tidak memberi tanggapan resmi pada ide gila itu. Pers menayangkan berita itu selama beberapa hari sebelum akhirnya berita itu menghilang begitu saja.
Tapi sekarang Adina, dengan mulut kering, telapak tangan berkeringat dan lutut yang lemas, berpikir kalau ide pengusaha itu bagus juga.
Derek melepaskan celana pendeknya dan menendangnya ke samping, lalu mengaitkan ke dua ibu jarinya ke karet celana dalamnya. Otomatis Adina mengulurkan tangan untuk mencegah pria itu bertindak lebih jauh.
"Aku tidak bisa membiarkan Boby melihatku berenang telanjang di kolam renangmu, Derek." Kata Adina. "Ini konyol dan sangat kekanak-kanakan. Hentikan."
"Kalau begitu berhenti menjadi perusak suasana dan pergi pakai baju renang."
Mata Derek menatap mata Adina dengan tatapan yang menantang. Adina mungkin bisa bertahan lebih lama kalau mata pria itu tidak mengangkat alisnya dengan penuh tanda tanya dan kembali mengaitkan ibu jarinya ke celana dalamnya. Derek menang.
Adina berbalik dan berjalan dengan kaku menuju pintu sebuah ruangan dan membantingnya hingga tertutup. Ada tiga baju renang dan sepuluh menit kemudian Adina muncul menggunakan sebuah baju renang berwarna hitam. bahannya cukup ketat untuk menutupi seluruh tubuhnya yang ramping.
Dengan penuh percaya diri, Adina berjalan menuju kolam renang dan dengan perlahan masuk ke dalam air yang dingin. Derek yang sudah ada di dalam kolam bertepuk tangan untuk Adina sambil mengapung di punggungnya menuju ke pinggir kolam, dia menendang-nendang kakinya agar membuatnya tetap mengapung."Kau terlihat luar biasa." Kata Derek."Terima kasih." Balas Adina dengan malu-malu.Adina berenang menuju tangga yang berada di seberangnya dan ketika sudah setengah jalan menaiki tangga itu dan tangan Derek menangkap pergelangan kakinya. Derek menarik Adina kembali masuk ke dalam air dan menekan punggung Adina ke dinding kolam.Saat kaki pria itu menyentuh kaki Adina, Adina menatapnya dengan terkejut. "Derek, kau...""Aku suka berenang telanjang, Rasanya lebih nyaman." Kata Derek membenarkan perkataan Adina yang belum sempat dia selesaikan."Itu adalah prinsip hidupmu, kan? Kalau kau merasa nyaman, lakukan saja." Kata Adina berusaha untuk tetap tenang."Dan prinsip hidupmu adalah kalau rasa
Ternyata pria itu menghubunginya lagi, dengan alasan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Adina."Apa?" Tanya Adina dari balik gagang telepon yang dipegangnya."Kau bisa atau tidak?" Tanya Derek."Tidak." Jawab Adina."Kenapa tidak bisa?" Tanya Derek. Entah kenapa, Adina bisa merasakan kalau pria itu sedang mengangkat sebelah alisnya."Pertama, karena sekarang sudah jam dua siang. Dan kamu bilang acara makan malamnya jam...""Delapan malam. Memangnya kau perlu enam jam untuk berdandan?" Potong Derek."Aku tidak punya baju untuk pergi ke acara semacam itu. Lagian, kenapa kau mengajakku? Bukankah kau memiliki buku kecil yang isinya penuh dengan nama para wanita yang bersedia untuk makan denganmu?" Tanya Adina."Aku meneleponmu karena gara-gara dirimu, aku jadi tidak punya teman kencan." Kata Derek dengan nada jengkel."Gara-gara aku?" Tanya Adina dengan bingung."Aku sulit berkonsentrasi sejak bertemu dengan Bobby. Aku sama sekali tidak ingat kalau aku memiliki acara makan malam sam
"Ayo, cobalah." Kata Derek sambil menawarkan tiram mentah yang sudah di beri irisan lemon untuk di makan Adina."Tidak terima kasih. Melihatnya saja sudah geli." Jawab Adina.Derek membuka cangkak dengan bibirnya dan menelan benda licin itu sepenuhnya. Adina bergidik. Derek tertawa puas. "Ini baus untukmu, katanya bisa meningkatkan tenagamu." "Berarti tidak cocok untukku, karena dari awal aku sudah memiliki banyak tenaga." Jawab Adina. "Bisa saja." Kata Derek sambil menatap gaun Adina Adina tersipu malu dan berusaha mengalihkan perhatian Derek. "Hati-hati nanti Susan cemburu." "Siapa?" Tanya Derek bingung.Adina menganggukkan kepalanya ke arah seorang wanita berambut pirang yang terlihat baru saja di cat yang mempesona. Wanita itu mengenakan dress pendek berwarna merah dan sedang menggandeng lengan seorang pilot yang baru saja bercerai."Oh, dia." Kata Derek dengan tidak peduli dan kembali mengarahkan pandangannya pada Adina. "Dia hanya salah satu dari penggemarku.""Tadi aku sem
Keesokkan harinya Derek muncul di muka pintu rumah Adina jam sebelas siang. Adina terkejut melihat pria itu. Sejak percakapan mereka di teras di pesta malam kemarin, sikap Derek terasa kaku dan menjaga jarak. Ketika Derek mengantar Adina hingga sampai di muka pintu rumahnya semalam, pria itu mengucapkan selamat malam dengan sopan dan menciumnya dengan cepat di pipinya yang menandakan kalau dia senang karena malam itu sudah berakhir. Itu sebabnya kunjungan ini sama sekali tidak Adina duga."Apakah kau sedang sibuk?" Tanya Derek yang masih berdiri di depan pintu."Aku sedang bekerja." jawab Adina singkat.Tubuh Adina di penuhi dan berbau cat dan penampilannya juga berantakan. Rambutnya yang semalam tertata rapi sekarang sudah kusut. Rambutnya sudah kembali menjadi ikal pendek dan tipis yang menggantung di sekitaran wajahnya yang kecil. Gaun yang di kenakan Adina tadi malam sudah digantung di dalam lemari kayu di kamarnya. Pagi ini Adina hanya mengatakan celana pendek dan kaus yang sama
"Bisa lebih detail lagi?" Tanya Derek."Sudah tidak penting lagi. Bobby juga tidak mengingat kejadian itu." Kata Adina."Aku ingin tahu." Kata Derek dengan nada memaksa.Adina memejamkan matanya kuat-kuat dan berbisik pelan. "Linda mabuk waktu itu. Mobilnya melanggar jalur pemisah jalan dan menabrak mobil lain yang ada di jalur itu, Ada dua orang di dalam mobil itu bersama dengannya. Mereka bertiga tewas di tempat kejadian. Sedangkan orang yang dia tabrak mengalami patah tulang di bagian kakinya."Derek mengumpat dengan keras, dia merasa marah sekaligus menyesal. Adina langsung menyadari apa yang Derek pikirkan dan berusaha menghiburnya dengan meletakkan tangannya di atas paha pria itu."Itu bukan salahmu, Derek. Kau bahkan tidak tahu kalau Linda hamil. jangan menyalahkan dirimu karena merasa sudah meninggalkan seorang gadis dalam masalah. Linda sendiri yang menjerumuskan dirinya sendiri dalam masalah itu, dan kalau bukan denganmu dia pasti akan hamil dengan pria lain. Linda adalah s
"Dan ini adalah foto bersama teman sekelasnya. Aku tidak tahu kalau hari itu mereka mengambil gambar sampai fotonya sudah jadi." kata Adina dengan jengkel sambil menunjuk ke salah satu foto. "Bobby lupa membawa surat pemberitahuannya. Seharusnya aku memarahi dia karena berani memakai seragam lusuh seperti itu untuk di foto.""Oh, ada yang jatuh." Derek meraih tangannya dan memungut foto yang lepas itu. "pasti foto di bagian baptisan tadi. Bobby rapi sekali. Tapi orang yang di sebelahnya lebih mirip seorang hakim dari pada seorang pendeta.""oh, dia memang seorang hakim. Ini adalah hari..."Derek menatap Adina dengan rasa ingin tahu ketika wanita itu tiba-tiba menghentikan kata-katanya. "hari apa?""Bukan apa-apa." Kata Adina cepat menyesali apa yang sudah dia katakan."Apa?" Derek menggenggam tangan Adina di atas album yang terbuka supaya Adina tidak bisa mengalihkan perhatiannya. "hari apa ini Adina?"Adina menunduk, merasa tidak sanggup menatap mata Derek. "hari ketika pengadilan me
Adina sudah menunggunya di depan pintu ketika Derek keluar dari ruang tamu. meski pun belum merasa tenang, minimal dia sudah merapikan bajunya."Kurasa lebih baik kau pergi." kata Adina dingin."Kurasa lebih baik kau dewasa sedikit." balas Derek.Adina menahan amarahnya. Pertengkaran bukanlah hal yang dia sukai mau pun mudah bagi Adina. "hanya karena aku tidak mau bercinta dengan pria di lantai ruang tamu sama sekali bukan berarti kau boleh menghinaku seenaknya.""Apa yang paling mengganggumu? bercintanya?" Derek menatapnya dengan tatapan angkuh. "Atau prianya?"Mulut Adina menganga kebingungan. "Apa maksudmu, Derek?""tidak ada." jawab Derek sambil mengangkat bahu dengan tidak acuh. "Sampai jumpa."pria itu berjalan melewatinya tapi Adina langsung menahan lengannya. "Kurasa kau punya maksud tertentu. Dan itu sama sekali tidak masuk akal.""tidak masuk akal?" mata Derek berubah tajam dan meremehkan. "Kenapa kau selalu dingin setiap kali seorang pria menyentuhmu?""Aku tidak seperti it
"Bagus sekali, Terima kasih nek." Dengan sopan Bobby menerima gantungan kunci yang di buat oleh neneknya untuknya selama beberapa minggu terakhir. Tempat itu memiliki jadwal aktivitas harian. Adina merasa senang mengetahui ibunya cukup sehat untuk mengikuti beberapa kegiatan yang di selenggarakan oleh tempat itu, walau pun kebanyakan dari kegiatannya hanya untuk membuat gantungan kunci itu."Aku tahu kalau sebentar lagi kau akan berulang tahun." Ucapan neneknya lambat tapi dapat di mengerti. "Mungkin kau bisa memakainya untuk kuncimu.""Tentu, gantungan ini sangat bagus." Kata Bobby. Sebuah bulatan bergambar bumi dengan ukiran namanya yang menonjol ada di balik gambar itu. Dia memainkan gantungan itu di telapak tangannya. "terima kasih, nek.""Kau harus hati-hati kalau kau mulai belajar menyetir, ya." Kata neneknya dengan cemas. "Aku ingat Deolinda."Adina memegang bahu ibunya dan meremasnya dengan pelan untuk membuatnya tenang. "Bobby sangat berhati-hati ma. Jangan khawatir.""Aku a